Desa ditinggalkan, listrik diputus: Pesisir Jawa terancam tenggelam, dapatkah tanggul laut Prabowo mengatasinya?
Para pakar mengatakan butuh waktu bertahun-tahun sampai megaproyek tanggul laut raksasa selesai dibangun, itu pun kalau ada anggarannya.
Dua anak laki-laki bersepeda di atas dermaga di Desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah, yang perlahan-lahan tergerus air laut. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
JAWA TENGAH: Rasjoyo hanya terdiam ketika perahu kayu kecilnya berlayar melintasi Semonet, desa nelayan di pesisir utara Jawa yang dulu menjadi tempat tinggalnya.
Dalam dua dekade terakhir, garis pantai di Semonet mundur sekitar 1,5km ke daratan, menenggelamkan 54 rumah dan ratusan hektare tambak ikan dan persawahan. Semua akses darat ke desa yang ditinggalkan itu kini terputus oleh aliran air payau.
"Dulu kami punya semuanya di Semonet," kata pria 38 tahun ini kepada CNA.
"Pagi hari kami menangkap kepiting, siang dan sore hari memberi makan ikan di tambak, memetik bunga dan buah-buahan dari kebun. Bisa dibilang orang-orang di sini hidupnya cukup sejahtera."
Lalu pada pertengahan tahun 2000-an, air laut mulai mencapai desa.
Sawah dan kebun adalah yang pertama rusak ketika terendam air mengandung garam. Lalu gelombang mulai menerpa rumah-rumah, mengikis tanah berpasir di bawahnya, membuatnya kini menyatu dengan lautan.
Masyarakat telah mencoba semua cara untuk mencegah air masuk ke lahan mereka, mulai dari membangun tanggul dari karung pasir, pemecah ombak dari batu dan beton, dan meninggikan rumah hingga 1 meter dari atas tanah.
Namun berbagai upaya ini tidak cukup untuk menangkis kekuatan alam. Sekitar pertengahan tahun 2010-an, warga perlahan mulai meninggalkan Semonet. Keluarga Rasjoyo termasuk yang terakhir meninggalkan rumah mereka pada 2022, pindah lebih jauh ke daratan.
Pada akhir tahun lalu, desa itu telah ditinggalkan sepenuhnya.
Apa yang menimpa Semonet di Kecamatan Wonokerto, Jawa Tengah, bukanlah sesuatu yang unik.
Di sepanjang pantai utara pulau Jawa, desa-desa dan komunitas perkotaan menghilang akibat penurunan muka tanah, abrasi pantai dan naiknya permukaan laut.
Di beberapa tempat, daratan telah menyusut hingga lebih dari 2km dalam 20 tahun terakhir, membuat ribuan orang tersingkir dan menimbulkan kerugian hingga miliaran rupiah akibat hilangnya lahan pertanian dan perumahan.
Meski fenomena serupa juga terjadi di pantai timur Sumatra dan selatan Kalimantan, namun menurut para ahli, sebaran dan skalanya masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan yang terjadi di Jawa - pulau terpadat di Indonesia yang ditinggali 58 persen dari total 280 juta populasi.
Tidak seperti permukaan tanah di pantai selatan yang keras dan berbatu, pesisir utara Jawa berada di atas sedimen yang lunak dan tidak padat. Itulah mengapa kota-kota seperti Jakarta, Pekalongan dan Semarang rata-rata tenggelam antara 1cm hingga 26cm setiap tahunnya.
Tanah yang gembur di perkotaan semakin terbebani dengan bobot bangunan buatan manusia, ditambah lagi dengan eksploitasi air tanah yang berlebihan, menyebabkan permukaan terus amblas seiring menyusutnya lapisan di bawahnya.
Sementara Jakarta, Pekalongan dan Semarang punya anggaran dan pengaruh politik untuk membangun dinding pertahanan di pesisir dan infrastruktur lainnya demi melindungi masyarakat, hal serupa tidak dimiliki oleh desa-desa kecil seperti Semonet.
"Sayangnya untuk desa-desa dengan populasi yang sedikit, pemerintah setempat lebih memilih relokasi ketimbang membangun tanggul laut yang mahal," kata Heri Andreas, pakar penurunan muka tanah di Institut Teknologi Bandung kepada CNA.
Tapi Presiden Prabowo Subianto telah berjanji untuk membangun tanggul laut raksasa (giant sea wall). Menurut Prabowo, kehadiran desa-desa pesisir penting bagi produksi pangan negara ini.
Ketahanan pangan memang menjadi agenda kunci pemerintahan Prabowo yang telah menargetkan Indonesia mencapai swasembada pangan untuk makanan pokok seperti beras pada 2027.
Pada Februari lalu, Presiden mengumumkan pemerintahannya akan mulai membangun tanggul laut raksasa yang terbentang dari provinsi Banten di ujung barat Jawa sampai ke Kota Gresik di Jawa Timur, 700km panjangnya.
"Giant sea wall akan menyelamatkan pantai utara Jawa ... harus dari Banten sampai ke Gresik. Sekian ratus kilometer harus kita bangun apa bisa? Bisa, saya tidak tahu berapa tahun tapi dengan tekad kita akan sampai," kata Prabowo pada 25 Februari lalu, dikutip dari Kompas.
Tapi belum jelas dari mana anggaran untuk membangun tanggul tersebut berasal. Pasalnya, pemerintahan Prabowo tengah melakukan penghematan yang membuat anggaran Kementerian Pekerjaan Umum turun dari Rp111 triliun menjadi hanya Rp50 triliun tahun ini.
Tapi Prabowo bersikeras bahwa ada anggaran untuk itu.
Namun jika pun anggarannya ada, para pakar mengatakan butuh waktu bertahun-tahun sampai tanggul laut selesai dibangun. Sementara bagi masyarakat pesisir yang tempat tinggalnya tenggelam, waktunya sangat mendesak.
MENYELAMATKAN JUTAAN ORANG DARI TENGGELAM
Sekitar 7km sebelah timur Semonet, warga di kota industri Pekalongan harus hidup dalam ketakutan akan naiknya air laut atau banjir rob.
Selama puluhan tahun, rumah, tempat usaha dan pertanian di wilayah itu bergantung pada air tanah karena sungai sekitar dicemari limbah buangan dari pabrik-pabrik batik yang banyak tersebar di kota berpenduduk 300.000 orang itu.
Alhasil, Pekalongan saat ini tenggelam rata-rata 22cm per tahun dan diperkirakan 90 persen dari kota itu akan berada di bawah permukaan laut pada 2035.
Ketika Nur Fatmawati membeli rumah satu lantai pada 2018, lingkungan tempat tinggalnya berjarak sekitar 1,2km dari laut, dipisahkan sawah dan hutan bakau. Perlahan, persawahan mulai dirambah oleh laut sebelum akhirnya air garam menenggelamkan rumah dan jalan.
“Banyak warga yang pindah karena rumah mereka rusak terendam air laut. Banjir rob semakin sering terjadi dan di dalam rumah saya, air bisa sampai segini,” ujar wanita 36 tahun ini kepada CNA sambil meletakkan tangannya di bagian atas perutnya.
“Itu (ketinggian air) di dalam rumah saya. Bisa dibayangkan bagaimana di luar.”
Dengan lebih dari 40 persen wilayahnya di bawah permukaan laut, tidak ada jalur keluar air ketika Pekalongan diterpa hujan lebat. Situasinya memburuk ketika terjadi gelombang pasang atau meluapnya air sungai.
Kondisi yang sama juga dapat diamati di Semarang, kota yang terletak 80km sebelah timur Pekalongan. Ibu kota Jawa Tengah berpenduduk 1,7 juta jiwa ini tenggelam dengan kecepatan rata-rata 10cm per tahun dengan beberapa daerah sudah berada 2 meter di bawah permukaan laut.
Semarang setiap tahunnya langganan banjir, terkadang melanda lebih dari 60 persen wilayah perkotaannya.
"Karena sebagian besar wilayah pesisir berada di bawah permukaan laut, kami mengandalkan tanggul untuk mencegah air laut membanjiri kota serta pompa untuk mengalirkan air dari sungai ke laut," kata Mila Karmila, pakar perencanaan kota dari Universitas Islam Sultan Agung Semarang, kepada CNA.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, mengatakan bahwa miliaran rupiah telah dialokasikan dan digunakan untuk membangun tanggul, pemecah gelombang, dan infrastruktur lainnya guna menyelamatkan Pekalongan dan Semarang dari banjir.
Di antara proyek tersebut adalah penghalang banjir untuk melindungi Pekalongan dari gelombang pasang serta jalan tol sepanjang 27km yang menghubungkan Semarang dengan Kabupaten Demak, yang juga berfungsi sebagai penghalau air pasang.
Penghalang banjir Pekalongan senilai lebih dari Rp1 triliun dijadwalkan beroperasi tahun ini, sedangkan jalan tol Semarang-Demak senilai Rp10,8 triliun ditargetkan selesai pada tahun 2027.
Berbagai proyek yang tengah berjalan ini adalah tambahan dari banyaknya parit, pemecah dan penghalau gelombang yang telah dibangun untuk menyelamatkan Pekalongan dan Semarang. Seiring waktu, berbagai infrastruktur ini - yang sebagian berusia lebih dari 20 tahun - telah menjadi usang dan perlu diremajakan serta ditinggikan untuk mengimbangi penurunan muka tanah dan meningkatnya permukaan laut.
"Kami berharap proyek infrastruktur ini bisa memitigasi masalah penurunan muka tanah dan peningkatan permukaan laut yang terjadi di Jawa Tengah," kata Sumarno kepada CNA.
HIDUP DI UJUNG TANDUK
Sekda Jateng, Sumarno, mengatakan ada daerah-daerah seperti Simonet, yang saking hancurnya oleh terjangan air laut sehingga satu-satunya opsi yang tersisa adalah merelokasi warganya ke tempat aman.
Salah satunya adalah desa Rejosari yang terletak 10km sebelah timur Semarang di Kabupaten Demak. Sebanyak 200 warganya telah meninggalkan rumah-rumah mereka setelah air laut mulai menggenangi lahan pertanian dan perumahan pada 2004. Dua puluh tahun kemudian, air laut menenggelamkan wilayah 4km dari garis pantai sebelumnya.
Sejak tahun 2010, Pasijah dan suaminya menjadi satu-satunya penduduk Rejosari, tinggal di sebuah rumah di sebidang tanah yang semakin menyusut dan dikepung air.
"Ini rumah saya," kata wanita berusia 53 tahun itu kepada CNA saat ditanya mengapa ia memilih tetap tinggal di desanya ketika semua orang telah pergi.
Bagi Pasijah dan keluarganya, pindah berarti meninggalkan tempat yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi.
"Saya ingin melindungi desa ini dari tenggelam. Itu sebabnya saya menanam mangrove. Meskipun ombak sesekali menghanyutkan tanaman itu, saya tidak menyerah," ujarnya.
Namun, keputusannya bukan tanpa konsekuensi. Listrik di desa yang tenggelam ini telah lama diputus, dan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, ia harus menempuh perjalanan pulang-pergi selama 40 menit dengan perahu kayu kecil ke toko terdekat.
Pada malam-malam badai, rumahnya dihantam gelombang besar. Akhirnya keluarganya terpaksa tidur di atas dipan bambu yang diikat ke kerangka kayu atap rumahnya.
Kendati sulit, Pasijah tetap bersikeras untuk bertahan. Padahal kedua putranya, yang telah pindah setelah berkeluarga, telah memohon agar ia pergi demi keselamatannya.
"Ombak memang semakin besar, tapi sejauh ini saya masih bisa mengatasinya. Selama saya masih sehat, bisa menanam mangrove, dan berjuang menyelamatkan desa ini, saya akan tetap tinggal," tekadnya.
Sekitar 3km timur laut dari Rejosari, di desa tetangga Timbulsloko, Suratno merasa bimbang untuk meninggalkan tempat kelahirannya. Laut yang dulunya berjarak satu kilometer, kini sudah hampir mengetuk pintu rumahnya.
"Pindah ke tempat baru tidak semudah itu. Saya mencari nafkah dari laut, apa yang harus saya lakukan kalau pindah ke daratan?" kata Suratno kepada CNA.
Sebelumnya ada 400 keluarga tinggal di Timbulsloko, kini tersisa hanya seperempatnya. Beberapa dari mereka telah beradaptasi dengan membangun rumah panggung setinggi 1m dari permukaan air laut yang semakin merambah daratan.
Tapi dengan perubahan iklim yang menyebabkan angin kencang dan pola cuaca yang semakin tidak menentu, tinggi ombak pada akhirnya mencapai rumah mereka juga.
"Terkadang kami harus evakuasi dan mengungsi ke masjid di daratan karena ombak bisa mencapai tinggi dua meter," kata Suratno.
Jika gelombang terus meninggi dan desanya semakin tenggelam, Suratno mengaku tidak punya pilihan selain pindah.
"Saya ingin pindah, tapi kalau itu pilihan terakhir. Untuk sekarang, saya masih bisa bertahan," kata dia.
PERLUKAH MEMBANGUN TANGGUL LAUT?
Para ilmuwan memperkirakan setidaknya 100 wilayah pesisir di sepanjang pantai utara Jawa berada di ambang kehancuran. Ini termasuk Jakarta, yang 95 persen wilayahnya diperkirakan berada di bawah permukaan laut pada 2050.
Namun, para ahli ragu membangun tanggul sepanjang 700km yang membentang di hampir sepanjang Pulau Jawa adalah solusi yang tepat untuk menyelamatkan daerah-daerah ini dari tenggelam.
"Membangun tanggul adalah solusi sementara," kata Mila, ahli perencanaan kota.
Karena tanah terus turun dan permukaan laut naik, tanggul laut itu harus terus ditinggikan dan diperkuat secara rutin.
"Semarang sudah punya tanggul dan sistem pertahanan pantai sendiri, tapi mereka tetap tidak bisa mencegah badai membanjiri kota. Karena seperti daratan di sekitarnya, sistem pertahanan ini juga tenggelam. Jadi ini bukan solusi jangka panjang," kata dia.
Bosman Batubara, peneliti dari kelompok advokasi Amrta Institute for Water Literacy, mengatakan bahwa membangun tanggul juga memiliki dampak sosial dan ekologis yang besar.
"Tanggul laut raksasa akan menghalangi ribuan nelayan untuk mengakses laut,” katanya kepada CNA, seraya menambahkan bahwa ada juga kemungkinan sampah dan polutan lainnya terperangkap di dalam tanggul, sehingga menimbulkan ancaman bagi lingkungan dan orang-orang yang tinggal di daerah pesisir.
Ide untuk membangun tanggul laut raksasa bukanlah hal yang baru. Pemerintah Indonesia telah mempertimbangkan membangun tanggul laut sepanjang 30km di Laut Jawa selama lebih dari 10 tahun. Namun, penolakan dari komunitas nelayan lokal dan aktivis lingkungan memaksa pemerintah menunda rencana tersebut.
Kementerian Pekerjaan Umum sebelumnya memperkirakan bahwa pembangunan tanggul laut Jakarta akan memakan biaya Rp164 triliun.
Untuk membangun tanggul laut raksasa yang membentang hampir sepanjang Pulau Jawa seperti yang diusulkan Prabowo, anggarannya akan berlipat-lipat kali lebih besar. Belum lagi ditambah biaya untuk pengoperasian dan pemeliharaan mesin yang mengatur ketinggian air.
Kementerian Pekerjaan Umum belum mengumumkan rencana detail pembangunan tanggul laut, termasuk apakah proyek yang sedang berjalan seperti jalan tol Semarang-Demak yang juga berfungsi sebagai penahan air akan menjadi bagian dari sistem tersebut.
Heri dari ITB berpendapat bahwa proyek ini sebaiknya tidak berupa satu struktur yang menyatu, melainkan dibagi menjadi beberapa bagian.
"Ada area yang tidak mengalami penurunan tanah karena berdiri di atas tanah keras. Membangun tanggul di area ini akan menjadi pemborosan."
Selain itu, pembangunan tanggul tidak menyelesaikan masalah utama: eksploitasi berlebihan air tanah yang membuat tanah semakin amblas.
"Semua dana itu seharusnya lebih dari cukup untuk membangun waduk, fasilitas pengolahan air, dan jaringan distribusi air yang diperlukan agar masyarakat tidak terlalu bergantung pada air tanah," kata Heri.
Namun, Sekda Jateng Sumarno mengatakan bahwa mengurangi penggunaan air tanah bukanlah hal yang mudah.
"Kami sudah melarang kawasan industri baru untuk menggunakan air tanah. Tapi kami juga harus menghentikan (industri dan rumah tangga) yang sudah bergantung pada air tanah selama bertahun-tahun. Kami tidak bisa begitu saja menghentikan mereka tanpa terlebih dahulu menyediakan sumber air alternatif," katanya.
"Membangun bendungan, waduk, dan jaringan distribusi membutuhkan waktu. Setelah semuanya siap, barulah kami bisa mulai mengurangi penggunaan air tanah."
Masyarakat yang tinggal di daerah terdampak juga tidak yakin dengan rencana pembangunan tanggul laut raksasa di pantai utara Jawa.
“Yang penting kami masih bisa mencari ikan di laut dan mencari nafkah. Saya harap pemerintah mempertimbangkan itu saat merancang tanggul baru ini, karena kami telah banyak kehilangan dan kami harus membangun kembali kehidupan kami,” kata Rasjoyo, seorang warga Semonet.
"Saya berharap pemerintah bisa memetik pelajaran dari apa yang terjadi di desa kami, dan memanfaatkannya agar tidak ada desa-desa lain yang bernasib serupa. Jika tidak, maka pengorbanan kami akan sia-sia."
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.