Kepala BKKBN bantah wajibkan pasangan suami-istri lahirkan 1 anak perempuan
Pakar Perempuan dan Anak Universitas Muhammadiyah Surabaya Sri Lestari mengkritik permintaan BKKBN yang menjadikan perempuan seakan-akan sebagai mesin produksi anak.

JAKARTA: Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo membantah pernyataan bahwa dirinya pernah menyatakan setiap perempuan wajib memiliki satu anak perempuan.
"Saya tidak mengatakan setiap perempuan wajib punya satu anak perempuan. Saya tidak berbicara seperti itu. Saya mengatakan bahwa rata-rata diharapkan setiap perempuan memiliki satu anak perempuan, rata-rata, lo," katanya kepada Antara, Minggu (7 Juli).
"Itulah makna dari 'rata-rata', jangan diterjemahkan sebagai kewajiban setiap perempuan untuk memiliki satu anak," jelas Hasto lebih jauh setelah menjadi pembicara pada acara "Percepatan Penurunan Stunting untuk Menyongsong Generasi Emas 2045".
Tugas BKKBN, lanjut Hasto, adalah menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk.
Jika di suatu wilayah, misalnya satu kelurahan, jumlah perempuan 5.000, namun sepuluh tahun kemudian menjadi 4.500, maka jumlah penduduk akan berkurang karena yang hamil dan melahirkan adalah perempuan.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mendukung gagasan yang disampaikan Hasto pekan lalu.
Saat itu, mantan Bupati Kulon Progo tersebut meminta agar setiap pasangan suami istri di Indonesia memiliki setidaknya satu anak perempuan.
Alasannya adalah penurunan angka pernikahan di Indonesia yang sebelumnya mencapai rata-rata 2 juta pernikahan per tahun, kini merosot menjadi 1,5 hingga 1,7 juta per tahun.
Penurunan angka pernikahan ini juga berdampak pada angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) yang secara nasional kini berada di angka 2,1.
"Oh, kita mendukung sekali karena kita melihat, setiap kali ada pertemuan G7, G20, banyak kepala negara sekarang khawatir karena penduduknya menua, tidak produktif, dan populasinya menurun. Sehingga negara mereka tidak bisa tumbuh, GDP-nya itu tidak bisa tumbuh di atas 4 persen per tahun," kata Budi Gunadi dikutip detikNews, Sabtu (6 Juli).
Menurutnya, pertumbuhan penduduk erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, jika Indonesia ingin maju, maka masih memerlukan masyarakat usia produktif.
Pakar Perempuan dan Anak Universitas Muhammadiyah Surabaya Sri Lestari mengkritik permintaan BKKBN tersebut.
Ia menyebut pernyataan Hasto Wardoyo tidak responsif gender, karena berimplikasi menambah daftar panjang kebijakan negara yang selama ini mengontrol tubuh perempuan dan menganggap perempuan harus bertanggung jawab penuh atas peran reproduksi.
"Mulai dari kebijakan mengenai KB yang masih jauh dari ideal, di mana perempuan masih menjadi satu-satunya sasaran utama dalam mengontrol angka kelahiran, kini ditambah dengan pernyataan yang seolah-olah menganggap perempuan sebagai mesin produksi anak," kritik Sri Lestari, Minggu (7 Juli).
Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya ini menjelaskan, fenomena menurunnya angka kelahiran sudah menjadi masalah di hampir 2/3 negara di dunia, termasuk Indonesia, meski rasionya masih tergolong normal.
Kebijakan negara yang mengalami tingkat kelahiran rendah menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan perempuan dan anak dan itulah yang harus difokuskan oleh Indonesia, pungkasnya.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini