Anjlok! Kelas menengah Indonesia terus turun kasta, apa pemicunya?
Tiga faktor utama, salah satunya minimnya jaring pengaman sosial dari pemerintah menjadi penyebab anjloknya kelas menengah Indonesia.
JAKARTA: Kekhawatiran muncul akhir-akhir ini mengenai menurunnya secara drastis jumlah kelas menengah di Indonesia.
Saat ini, jumlah kelas menengah di Indonesia tersisa 17,13 persen, setara dengan 46,25 juta penduduk.
Angka ini menurun lebih dari 4 persen dibanding tahun 2019. Ketika itu jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45 persen.
Padahal kelas menengah memiliki peran krusial sebagai motor penggerak ekonomi nasional dalam sektor kewirausahaan, penciptaan lapangan kerja, dan investasi.
Fenomena ini dinilai dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari fundamental perekonomian nasional, kebijakan pemerintah yang membebani, hingga minimnya jaring pengaman sosial.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan kepada Kompas.com, kinerja industri manufaktur yang melemah menjadi salah satu penyebab menyusutnya kelas menengah.
Tertekannya kinerja industri manufaktur memicu pelaku usaha melakukan efisiensi secara masif, sehingga berdampak terhadap pemangkasan tenaga kerja alias PHK massal.
"Deindustrialisasi prematur atau menurunnya porsi industri terhadap PDB juga berimbas ke PHK massal," paparnya, Kamis (29/8).
Di saat serapan tenaga kerja formal seperti manufaktur merosot, pada saat bersamaan, jumlah serapan tenaga kerja sektor informal cenderung meningkat dari 38,29 persen terhadap total tenaga kerja pada 2019 menjadi 40,64 persen pada 2024.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan pekerja sektor informal relatif mendapatkan upah yang lebih rendah dibanding pekerja sektor formal.
Pekerja sektor informal sangat rentan terhadap "guncangan" ekonomi nasional.
Pandemi COVID-19 juga menjadi salah satu biang kerok utama melemahnya fundamental ekonomi nasional yang menyebabkan turun kastanya kelas menengah
"Sayangnya dalam 2 tahun ke belakang pandemi Covid-19 memperburuk situasi, di mana masyarakat harus berhadapan dengan dampak pandemi (pada 2020 - 2023)," tutur Yusuf.
Kebijakan pemerintah yang membebani tingkat pengeluaran ikut melemahkan kelas menengah.
Salah satu contoh kebijakan yang dinilai semakin menekan daya beli masyarakat ialah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang resmi berlaku pada 1 April 2022.
"Kenaikan PPN ini berkontribusi ke naiknya harga barang di tingkat ritel," ungkap Bhima.
Keadaan semakin buruk karena ditambah minimnya jaring pengaman sosial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kelas menengah.
Pemerintah dinilai hanya fokus memberikan bantuan sosial (bansos) pemerintah kepada masyarakat miskin.
"Jika pemerintah tidak mulai memikirkan memberikan bantuan baik bantuan sosial tunai ataupun subsidi pada kelompok kelas pendapatan menengah ataupun aspiring middle class, maka tren penurunan kelas pendapatan menengah seperti yang disampaikan BPS bukan tidak mungkin akan berlanjut," pungkas Yusuf.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini