Angka pernikahan Indonesia merosot, perselingkuhan dan KDRT jadi faktor penyebab
Penurunan angka pernikahan terkait dengan meningkatnya kemandirian perempuan Indonesia.

JAKARTA: Angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan signifikan sebesar 128 ribu dibandingkan tahun 2022, dengan total 1,6 juta pernikahan pada tahun lalu, menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Penurunan ini tercatat terjadi di hampir semua provinsi, menandakan fenomena yang bersifat nasional.
BPS melaporkan bahwa penurunan angka pernikahan di DKI Jakarta mencapai 4.000, di Jawa Barat turun sebanyak 29 ribu, Jawa Tengah 21 ribu, dan Jawa Timur sekitar 13 ribu.
Secara keseluruhan, jumlah pernikahan di Indonesia turun 28,63% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yang merupakan level terendah dalam satu dekade.
Bagong Suyanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, mengaitkan penurunan ini dengan meningkatnya kemandirian perempuan.
“Angka itu turun karena kesempatan perempuan untuk bersekolah dan bekerja semakin terbuka lebar. Ketergantungan perempuan juga menurun,” ungkapnya akhir pekan lalu, dilansir dari laman resmi UNAIR.
Menurut Bagong, akses pendidikan yang lebih luas bagi perempuan membuat mereka cenderung fokus pada pendidikan atau karier, sehingga tidak merasa tergesa-gesa untuk menikah.
“Perempuan dengan pendidikan dan karier yang stabil memiliki kecenderungan untuk menikah di usia yang lebih matang, atau bahkan merasa bahwa mereka tidak perlu menikah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” jelasnya.
Ike Herdiana, Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, menambahkan bahwa meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan yang terekspos melalui media sosial turut mengikis kepercayaan generasi muda terhadap institusi pernikahan.
“Maraknya kasus perselingkuhan dan KDRT yang mudah diakses melalui media sosial telah mengikis kepercayaan Gen Z terhadap institusi pernikahan. Terakhir, munculnya gaya hidup bebas dan mandiri, salah satunya menormalisasi hubungan tanpa pernikahan, semakin meningkatkan anggapan Gen Z untuk menunda pernikahan,” ujarnya, dikutip dari GoodStats.
Perubahan nilai budaya dan pandangan generasi muda terhadap pernikahan juga menjadi faktor lain di balik penurunan ini.
Jika sebelumnya pernikahan dianggap sebagai keharusan dalam siklus kehidupan seseorang, kini generasi muda cenderung lebih fleksibel dalam memandang pernikahan dan tidak lagi menjadikannya prioritas utama.
Kesadaran yang semakin tinggi akan pentingnya kesejahteraan mental dan emosional dalam memilih pasangan hidup turut memperkuat perubahan perspektif ini di Indonesia.
📢 Kuis CNA Memahami Asia sudah memasuki putaran pertama, eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀
đź”—Â Cek info selengkapnya di sini:Â https://cna.asia/4dHRT3V