Analisis: Ini alasan mengapa siapa yang memenangi pilkada penting bagi Prabowo
Pada Pilkada 27 November mendatang, masyarakat Indonesia akan memilih para pemimpin daerah yang terdiri dari 37 gubernur, 93 walikota, 415 bupati dan para wakilnya.

Para pendukung kandidat calon gubernur Jakarta berkumpul di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta pada 28 Agustus 2024. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni)
JAKARTA: Banyak yang dipertaruhkan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) November mendatang di Indonesia. Para pengamat mengatakan, hasil pilkada nanti akan membentuk peta perpolitikan Indonesia dan menentukan kemajuan bangsa dalam lima tahun ke depan.
Dampak hasil pilkada kali ini juga disebut akan memengaruhi pemilu berikutnya di masa yang akan datang. Para politisi berharap, kemenangan pada pilkada tahun ini akan memuluskan jalan bagi partai mereka pada pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg) tahun 2029.
Bagi presiden terpilih Prabowo Subianto, hasil pilkada kali ini akan menentukan arah hubungan kerja sama antara pemerintahan daerah dan pusat.
Pilkada pada 27 November mendatang akan digelar secara serentak di seluruh Indonesia, untuk memilih 37 gubernur, 93 walikota, 415 bupati dan para wakil mereka.
Dari 38 provinsi di Indonesia, Yogyakarta adalah satu-satunya yang tidak akan memilih gubernur karena dipimpin oleh seorang sultan.
Pendaftaran calon kepala daerah sendiri telah dibuka pada 27 Agustus lalu dan ditutup pada Kamis, 29 Agustus.
Menurut Titi Anggraini, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, pemerintahan baru yang akan datang sangat memiliki kepentingan dalam pilkada kali ini.
Setelah dinyatakan memenangi pilpres Februari lalu, Prabowo dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka akan dilantik pada 20 Oktober mendatang.
"Jadi tidak diragukan lagi para elite politik nasional sangat tertarik dengan pemilihan kepala daerah 2024, karena hasilnya nanti akan membentuk kepemimpinan politik nasional dan arah politik ke depannya," kata Titi.

PILKADA YANG SARAT KONTROVERSI
Bahkan sebelum hari pencoblosan, pilkada telah sarat akan kontroversi yang memicu kemarahan publik dan jadi ujian bagi demokrasi di Indonesia, negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara.
Sejauh ini, kontroversi terbesar adalah ketika pekan lalu DPR ingin mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia dan ambang batas (threshold) elektoral pada pilkada mendatang.
Dalam putusannya pada 20 Agustus lalu, MK menurunkan threshold bagi partai untuk bisa mencalonkan kandidat dalam pilkada.
Putusan ini memungkinkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang belum berkoalisi dengan partai mana pun bisa mendaftarkan calon gubernur mereka sendiri.

MK juga memutuskan bahwa usia minimum calon gubernur adalah 30 tahun pada masa pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Putusan ini membuat putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang berusia 29 tahun, tidak bisa turut serta.
Sehari kemudian, para anggota dewan ingin menganulir putusan MK tersebut, memicu kecaman yang luas di dunia maya.
Pada 22 Agustus, akhirnya ribuan orang turun ke jalan di kota-kota besar Indonesia. Ini adalah aksi protes terbesar di negara ini dalam lima tahun terakhir.
Dosen ilmu politik di Universitas Airlangga, Surabaya, Hari Fitrianto, mengatakan kontroversi kali ini mirip dengan yang terjadi ketika pemilu presiden Februari lalu.
Ketika itu, Gibran yang berusia 36 tahun baru bisa maju setelah MK mengubah konstitusi yang memungkinkan mereka yang berusia di bawah 40 tahun ikut dalam pilpres. Sebelumnya, 40 tahun adalah batas usia minimum bagi peserta pemilu.
Mahkamah Konstitusi ketika itu dipimpin oleh paman Gibran, Anwar Usman.
"Kontroversi seputar pilkada sama seperti yang terjadi ketika pilpres. Ada upaya mengubah undang-undang, terutama soal usia minimum kandidat," kata Hari.
"Dan masyarakat meyakini bahwa ini adalah upaya agar putra Presiden Jokowi (Kaesang) dapat ikut menjadi kandidat dalam pemilihan kepala daerah," imbuh dia.

Setelah menuai kemarahan publik, akhirnya anggota dewan menyatakan tidak akan mengubah undang-undang pemilu pada pemerintahan kali ini.
Sementara, Titi berpandangan bahwa Jokowi terlihat ingin memengaruhi pilkada - seperti halnya dia turut campur dalam pemilu presiden Februari lalu. Cara ini, kata Titi, dilakukan Jokowi agar tetap memiliki pengaruh kendati tidak lagi menjabat presiden lepas Oktober nanti.
Di tingkatan nasional, terbentuk koalisi besar di bawah bendera Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sebelumnya sukses mengusung Prabowo dan Gibran dalam pilpres.
KIM terdiri dari partai-partai besar pemegang kursi di parlemen, di antaranya Golkar, Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Beberapa pekan terakhir, Partai Nasionalis Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memutuskan bergabung dengan KIM. Sebelumnya ketiga partai ini memiliki koalisi sendiri untuk mendukung mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden. Tinggal PDIP yang tidak tergabung dalam koalisi di tingkat nasional.Â
Namun di tingkatan daerah, partai politik boleh membentuk koalisi yang berbeda untuk memajukan calon mereka pada pilkada November mendatang.Â
Menurut Titi, Jokowi mencoba mereplikasi KIM untuk pilkada demi memengaruhi partai-partai politik yang berbeda.
"Dominasi, hegemoni dan kendali Jokowi sebagai presiden petahana yang akan mengakhiri masa jabatan namun masih punya pengaruh besar di pemerintahan jadi sorotan utama dalam kontestasi pilkada serempak kali ini.
"Kontroversi ini menyangkut upaya untuk menduplikasi dan mereplikasi Koalisi Indonesia Maju di pilkada," kata Titi.
Dia mencontohkan pencalonan mantan gubernur Jawa Barat sekaligus kader Golkar Ridwan Kamil dan kader PKS Suswono untuk pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta. Padahal Ridwan memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi di Jawa Barat.
Mereka didukung oleh koalisi besar yang terdiri dari 13 partai.
Titi meyakini duet Ridwan Kamil-Suswono ini dipaksakan untuk berkontestasi di Jakarta, tujuannya demi menutup peluang kandidat potensial lainnya yang bukan anggota partai untuk bisa maju dalam pilgub Jakarta.
DI MANA BATTLEGROUND PENTING DALAM PILKADA?
Para pengamat mengatakan wilayah pertempuran atau battleground terpenting dalam pilkada adalah Jawa, pulau terpadat di Indonesia, tempat lebih dari setengah populasi negara ini tinggal.
Hari, pakar politik dari Universitas Airlangga, mengatakan populasi di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur mencapai total 130 juta orang, melampaui setengah dari 280 juta populasi Indonesia. Ketiga provinsi ini akan menjadi medan pertempuran tersengit para calon kepala daerah.
Tapi menurut Hari, sorotan paling tajam akan mengarah ke Jakarta.
Posisi gubernur Jakarta, yang pernah dipegang Jokowi selama dua tahun sebelum terpilih presiden pada 2014, dianggap sebagai batu loncatan untuk menduduki kursi presiden.
Selain Ridwan Kamil dan Suswono, dua pasangan lain juga mengincar jabatan ini.

PDIP sebagai partai politik terbesar Indonesia telah memilih Sekretaris Kabinet Prabomo Anung dan Rano Karno, aktor yang beralih jadi politisi, untuk berlaga di pilgub Jakarta.
Sementara itu, purnawirawan Jenderal Polri Dharma Pongrekun dan Kun Wardana Abyoto akan maju sebagai pasangan independen.
Selain di pulau Jawa, Titi mengatakan bahwa provinsi-provinsi besar di Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan juga penting dan layak dicermati.
"Terutama daerah-daerah yang calonnya memiliki kedekatan dengan Jokowi, misalnya Sumatra Utara dengan Bobby, yang pasti akan menarik banyak perhatian publik karena ini terkait apakah Jokowi masih punya kuasa melalui para pemimpin yang dipilih untuk pilkada," kata Titi, menyebut nama menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang akan maju dalam pilgub Sumatra Utara.
Wasisto Raharjo Jati, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), setuju bahwa pertarungan gubernur di Sumatera Utara akan berlangsung sengit.

Bobby yang saat ini menjabat walikota Medan, ibu kota Sumatra Utara, didukung oleh Koalisi Indonesia Maju dan akan berhadapan dengan Edy Rahmayadi yang diusung PDIP.
Edy, seorang purnawirawan jenderal TNI, adalah gubernur Sumatra Utara dari 2018 hingga 2023 dan mantan ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
"Ini juga akan menjadi semacam ujian politik untuk melihat apakah efek Jokowi masih ada," kata Wasisto soal pengaruh Jokowi yang membuat Prabowo dan Gibran memenangi pemilu presiden.
APA YANG DIPERTARUHKAN?
Pilkada November mendatang memiliki dampak strategis bagi pemilu presiden dan legislatif pada 2029 mendatang, ujar pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin.
"Partai yang anggota atau kadernya menang lebih banyak akan menjadi kuat, artinya partai ini mungkin bisa memenangi pemilu presiden dan legislatif berikutnya di tahun 2029. Karena itu, partai politik akan berusaha sekuat tenaga untuk menang pilkada serentak ini," kata dia.
Hari menambahkan bahwa situasi kali ini lebih kompleks, karena pilkada digelar serentak di seluruh Indonesia bersamaan tahunnya dengan pilpres dan pileg.
"Meski namanya pemilu lokal untuk memilih kepala daerah, tapi ini sebenarya seperti memilih para pemimpin nasional," kata hari.
KPU akan mengumumkan penetapan calon kepala daerah yang memenuhi syarat pada 22 September mendatang, sementara masa kampanye akan dimulai pada 25 September hingga 23 November.
Pemenang pada pilpres dan pileg akan menjabat secara resmi setelah diambil sumpahnya pada Oktober mendatang.
Karena itu, pengamat mengatakan bahwa pemerintahan mendatang ingin memasang pemimpin daerah yang bisa mengikuti dan menjalankan program-program pemerintah pusat dalam lima tahun ke depan.
Wasisto dari BRIN mengatakan: "Pilkada kali ini penting dan berbeda. Salah satu alasannya adalah karena ada pilpres dan pileg pada Februari yang berdampak pada formasi koalisi partai politik dan pencalonan kandidat kepala daerah untuk pilkada."

PENTINGNYA PILKADA BAGI PRABOWO
Pilkada ini akan sangat penting bagi Prabowo sebagai presiden terpilih. Pasalnya menurut pengamat, ajang ini akan jadi uji kekuatan dari koalisi besar pendukungnya.
"Pilkada ini sangat penting karena mereka yang menang di daerah-daerah strategis seperti Jawa ... harus memiliki pandangan yang selaras dengannya (Prabowo) agar pembangunan nasional nantinya seiring sejalan dengan pembangunan daerah," kata Ujang, pengamat dari Universitas Al Azhar Indonesia.
"Jika pemimpin yang terpilih berasal dari kubu oposisi atau musuh politiknya, maka keputusan yang diambil di tingkat nasional tidak akan diimplementasikan di lapangan."
Ini artinya, kata Ujang lagi, beberapa janji kampanye Prabowo tidak bisa terealisasi jika oposisi menang besar pada pilkada.
Ujang memberikan permisalan, Anies Baswedan ketika menjadi gubernur Jakarta pada 2017 hingga 2022 dikenal tidak sejalan dengan Presiden Jokowi.
Ketika pandemi COVID-19, pemerintah nasional dan Jakarta punya pandangan berbeda soal cara mengatasi pandemi, terang Ujang.
"Ini yang tidak diinginkan Prabowo. Jadi kepala daerah harus memiliki pandangan dan ritme kerja yang sama dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan di daerah."
Wasisto menambahkan, pilkada akan menjadi uji kekuatan koalisi besar pendukung Prabowo dan komitmen berbagai partai politik.Â
Sementara Titi mengatakan, pilkada akan menjadi agenda politik besar pertama Prabowo setelah menjabat presiden.
"Tentu saja, agenda politik ini akan memengaruhi citra dan kredibilitas Prabowo di dalam dan luar negeri," kata dia.
"Terutama bagaimana publik dan masyarakat internasional memandang posisi Prabowo dalam menyelenggarakan perhelatan demokrasi. Prabowo tentu saja ingin meyakinkan dunia bahwa fungsi demokrasi Indonesia berjalan dengan mulus dan tidak ada pengekangan."
Menurut Titi, ada kekhawatiran soal bagaimana cara Prabowo memimpin negeri ini dalam lima tahun ke depan, mengingat latar belakang militernya dan merupakan bekas menantu Presiden Suharto.
"Jadi bisa kita simpulkan bahwa pilkada adalah kompetisi yang sangat strategis dan penting untuk menentukan implementasi program pemerintah dalam lima tahun ke depan," kata Titi.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.Â