Pakar soroti tantangan besar dalam ambisi Prabowo wujudkan Indonesia bebas emisi
Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia akan menjadi negara emisi nol bersih pada 2050. Namun pengamat mengatakan, ada banyak tantangan besar yang mengadang untuk mewujudkannya.
JAKARTA: Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk memerangi perubahan iklim, salah satunya dengan berjanji akan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, menuai apresiasi dari para pakar lingkungan.
Namun mereka mengakui bahwa komitmen itu terdengar terlalu muluk. Prabowo, kata mereka, harus bersiap menghadapi berbagai tantangan yang akan mengadang dalam mewujudkan ambisi tersebut.
Selain itu, kata salah seorang pakar, beberapa kebijakan yang ada saat ini di Indonesia malah menyebabkan peningkatan penggunaan energi tak terbarukan.
"Kami mengapresiasi ambisi tersebut, tapi itu masih jauh dari kenyataan. Jika kita melihat kenyataannya, ada banyak kontradiksi yang terjadi," kata Leonard Simanjuntak, direktur Greenpeace Indonesia kepada CNA.
Dalam beberapa pekan terakhir, para pejabat tinggi negara ini - termasuk Prabowo - telah menyuarakan target iklim Indonesia dalam berbagai pertemuan internasional.
Salah satunya disampaikan Prabowo pada KTT G20 di Brasil pada 19 November silam. Para forum tersebut, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan menghentikan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik dalam waktu 15 tahun ke depan.
"Kami memiliki sumber daya panas bumi yang luar biasa, dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan," kata Prabowo pada pertemuan tersebut.
Sebelumnya pernyataan yang sama disampaikan Prabowo pada KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEK) di Peru pada 14 November.
"Kita mungkin akan menjadi salah satu dari sedikit negara yang dapat mencapai 100 persen energi terbarukan dalam beberapa tahun. Kita bisa mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan," kata Prabowo
Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo sekaligus utusan khusus presiden untuk iklim dan energi, juga menyampaikan ambisi pemerintah Indonesia dalam Konferensi para Pihak atau COP29 di Azerbaijan.
Dalam perundingan perubahan iklim tahunan tersebut, Hashim mengatakan bahwa Indonesia ingin mencapai emisi nol bersih sebelum tahun 2050, yaitu dengan cara meningkatkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biofuel) dan energi terbarukan, termasuk nuklir.
Namun para pakar mengatakan bahwa berbagai komitmen tersebut membutuhkan kemauan politik, mengingat sumber utama pemenuhan energi Indonesia berasal dari bahan bakar fosil. Selain itu, masih belum dapat dilihat apakah pemerintahan Prabowo akan memenuhi janji-janji pro-lingkungannya.
RENCANA PRABOWO DAN SUDAH SEJAUH MANA DIJALANKAN
Pada KTT G20 di Brasil, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia terbuka untuk mengoptimalkan prospek 557 juta ton kredit karbon.
Kredit karbon adalah izin yang memungkinkan pemiliknya untuk mengeluarkan karbondioksida atau gas rumah kaca dengan jumlah tertentu.
Prabowo dalam pertemuan tersebut menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang besar dan siap menawarkannya ke negara lain.
Sementara untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, pemerintah Indonesia akan meningkatkan penggunaan biosolar dan energi terbarukan. Biosolar adalah energi terbarukan dari sumber-sumber biologis, seperti minyak nabati, minyak jelantah dan lemak hewan.
Di Indonesia yang merupakan negara produsen minyak sawit terbesar dunia, biosolar paling banyak bersumber dari minyak sawit mentah (CPO).
Berdasarkan data di situs Statista, tahun lalu Indonesia memproduksi 47 juta ton CPO, mencakup 54 persen nilai ekspor global.
Biosolar yang digunakan Indonesia saat ini bernama B35, yang namanya merujuk pada 35 persen kandungan wajib CPO di dalam bahan bakar ramah lingkungan ini. Sebanyak 65 persen kandungan sisanya adalah solar.
Tahun depan, Indonesia menargetkan program biosolar B40 - yang memiliki rasio 40 persen CPO dan 60 persen solar. Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah mendorong pemanfaatan biosolar B50 dan B60.
Bauran energi di Indonesia saat ini memang mencakup penggunaan energi terbarukan. Namun bahan bakar fosil masih mendominasi dengan lebih dari 80 persen penggunaan di negara ini, berdasarkan data Statista.
Indonesia juga salah satu produsen terbesar di dunia untuk batu bara, bahan bakar fosil yang telah menjadi penghasil energi paling murah dan mudah diakses di negara ini.
Berdasarkan laporan, terdapat lebih dari 250 pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia. Sekitar 62 persen listrik di Indonesia berasal dari pengolahan batu bara dan 18 persen dari gas, 20 persen sisanya dari energi terbarukan.
Namun dalam COP29, Hashim mengatakan pemerintah akan memperkenalkan rencana baru. Di antaranya adalah proyek energi bersih dengan membangun 75 gigawatt tenaga terbarukan.
Ini akan menjadi bagian dari rencana pemerintah untuk menambahkan kapasitas listrik hingga 100 gigawatt dalam 15 tahun ke depan. Saat ini, kapasitas lisrik Indonesia sekitar 73 gigawatt.
"Nah ini terdiri dari 75 (gigawatt) dari energi baru dan terbarukan. Ini suatu komitmen masif untuk energi baru dan terbarukan. Terdiri dari tenaga bayu, panas bumi, tenaga air, dan nuklir. Kita akan bangun pusat tenaga nuklir," kata Hashim, mengungkapkan rencana untuk membangun dua pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama Indonesia.
Salah satunya adalah PLTN terapung yang akan ditempatkan di wilayah yang tidak rawan gempa.
TANTANGAN YANG MENGADANG
Para pakar mengatakan bahwa banyak tantangan dan konsekuensi yang tak diinginkan jika Indonesia mau mewujudkan rencana meninggalkan tenaga batu bara. Salah satunya adalah ancaman penggundulan hutan jika penggunaan biosolar ingin ditingkatkan.
"Biosolar sebenarnya cukup bermasalah karena potensi penggundulan hutannya sangat besar," kata Leonard dari Greenpeace Indonesia kepada CNA.
Dia mengatakan, biosolar adalah penyebab penggundulan hutan di hutan hujan Amazon, Brasil. Padahal Amazon berperan penting dalam menyerap karbondioksida dari atmosfer dan melepaskan oksigen, membuatnya menyandang gelar "paru-parunya bumi".
"Jadi, apakah kita mau mengulangi kesalahan yang sama (di sini) seperti di Amazon?"
Industri kelapa sawit seringkali dikaitkan dengan penggundulan hutan, terutama di provinsi seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua yang kaya akan sumber daya alam.
Leonard mengatakan, untuk mewujudkan program biosolar B50, misalnya, diperlukan pembebasan lahan sebesar 9 juta hektare. Ini adalah temuan dari hasil studi Greenpeace Indonesia dengan Universitas Indonesia beberapa tahun lalu.
"Dan definisi lahan di Indonesia sangat kompleks - apakah sebuah lahan dikategorikan sebagai lahan hutan, atau lahan non-hutan, atau lahan peruntukan lain tapi ada hutannya, cukup rumit," kata dia.
Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan menggunakan lahan tidak produktif, tapi Leonard mempertanyakan apakah itu cukup. Lahan tidak produktif adalah lahan bekas perkebunan seperti kelapa sawit, tapi sudah tidak digunakan lagi.
Ia juga menambahkan bahwa dengan meningkatnya penggunaan biosolar, perusahaan-perusahaan besar sering kali yang mendapatkan keuntungannya, bukan para petani kecil.
Biaya pengolahan biosolar di Indonesia juga masih cukup mahal. Oleh karena itu, pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk subsidi, kata Leonard.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa subsidi per liter biosolar lebih besar daripada subsidi bahan bakar minyak,” tambahnya.
Selain itu, lanjut Leonard, target biosolar pemerintah ini kontradiktif dengan target peningkatan produksi gas per tahunnya menjadi 12 miliar kaki kubik (BCF) pada 2030.
Dengan meningkatkan produksi gas, angka emisi yang diproduksi juga akan meningkat sehingga membuat emisi nol bersih akan sulit terwujud. Padahal di tahun itu, Indonesia telah menargetkan menjadi negara emisi nol bersih.
Kontradiksi lainnya adalah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang bertentangan dengan rencana Prabowo untuk menghentikan penggunaan batu bara dalam 15 tahun ke depan.
Di sela KTT G20, Airlangga mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pengurangan ketergantungan pada batu bara hingga 33 persen, serta meningkatkan bauran energi terbarukan hingga 42 persen pada 2040.
Indonesia dengan 130 gunung berapi aktifnya memiliki sekitar 40 persen dari potensi panas bumi dunia. Meski sumber daya panas bumi berlimpah untuk produksi energi terbarukan, namun pengembangan pada sektor ini tidak berjalan mulus di Indonesia.
Beyrra Triasdian - manajer energi terbarukan di lembaga swadaya masyarakat Trend Asia - mengatakan bahwa Indonesia telah menggunakan energi panas bumi selama 50 tahun terakhir.
Sekitar 5 persen dari bauran energi saat ini berasal dari panas bumi.
Namun Beyrra mengatakan, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) membutuhkan air dalam jumlah besar. Terkadang, hal ini membuat sungai di sekitarnya menjadi kering.
"Ketika penggalian (pembangunan PLTP) selesai, jumlah air yang digunakan sangat masif," kata Beyrra.
Hal itu terjadi di Dieng, Jawa Tengah, ketika PLTP menuai protes dari warga desa. PLTP di Dieng juga pernah mengalami kebocoran gas beracun.
Rencana pemerintah membangun PLTP di Nusa Tenggara Timur juga membuat warga setempat protes.
Sementara itu, banyak yang meragukan rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Pasalnya, secara geografis Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik, sebuah area dengan aktivitas tektonik yang intens. Kondisi ini membuat Indonesia sangat rawan gempa dan berbahaya bagi PLTN jika tidak dioperasikan dan dirawat dengan benar.
Salah satu contoh dampak bencana alam bagi PLTN adalah apa yang terjadi di Fukushima ketika Jepang dihantam gempa dan tsunami pada 2011.
Usai gempa, PLTN Fukushima mengalami kerusakan hebat sehingga memicu kebocoran dan kontaminasi radioaktif di wilayah sekitarnya.
Beyrra menduga, karena secara umum masyarakat menolak PLTN skala besar, maka pemerintah Indonesia akan membangun reaktor-mini.
“Ada penolakan bukan karena kami sengaja menolaknya. Tapi karena belum ada studi kelayakan dan apakah masyarakat menerimanya,” kata dia.
Kendati Beyrra mengapresiasi langkah pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan, tapi dia mengatakan bahwa masih banyak orang di negara ini yang tidak mendapat pasokan listrik yang layak.
Karena itu menurut dia, pemerintah seharusnya memperhatikan hal ini dan fokus membangun energi terbarukan di daerah-daerah terpencil demi pemerataan listrik.
"Akses energi masih bermasalah di banyak daerah. Terutama karena Indonesia memiliki banyak pulau-pulau kecil," kata Beyrra.
Leonard dari Greenpeace Indonesia mengatakan penangkapan dan penyimpanan karbon bukan solusi dari permasalahan polusi di Indonesia, karena sifatnya adalah perdagangan.
Namun Fabby Tumiwa, direktur eksekutif lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa pendapatan dari penyimpanan karbon dapat membantu transisi energi di Indonesia yang membutuhkan biaya dalam jumlah besar.
“Tidak ada yang salah selama dilakukan secara transparan dan benar,” ujarnya.
APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN PEMERINTAH
Para pengamat mengatakan, pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan yang selaras dengan target pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
"Kami mengapresiasi ambisinya, tapi itu juga harus diikuti dengan kebijakan yang fundamental, yang mendukung pengembangan energi terbarukan dan tidak memberi ruang pada solusi yang salah," kata Leonard.
"Kita harus mempertimbangkan kembali soal penggunaan nuklir, karena lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya."
Pemerintah juga harus memperhatikan mata pencaharian masyarakat sekitar ketika membangun pembangkit listrik, termasuk yang terbarukan, dan memastikan keselamatan mereka terjamin.
Selain itu, pemerintah diharapkan memperhatikan masyarakat yang hidup tanpa atau kekurangan listrik.
"Tujuan transisi energi adalah untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan layak untuk manusia, yang selama 150 tahun telah dirusak oleh bahan bakar fosil.
"Jadi transisi energi harus memprioritaskan manusia," kata Beyrra dari Trend Asia.
Menurut pengamat, bagi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan dengan anggaran yang terbatas, maka pembangkit listrik tenaga surya adalah sumber energi terbarukan yang paling bisa diandalkan.
"Saya tidak mengatakan ini adalah yang terbaik, tapi kalau kita bicara teknologi yang bisa dengan cepat dan mudah diaplikasikan, maka itu adalah energi surya," kata Fabby dari IESR.
"Jika semua rumah di Indonesia menggunakan energi surya, kita berpotensi memiliki 655 gigawatt," lanjut dia lagi.
Namun apa pun langkah yang akan diambil pemerintah, Fabby berharap mereka akan mendahulukan kepentingan rakyat.
"Saya berharap ini dapat memberikan manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat."
📢 Kuis CNA Memahami Asia, eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia, sudah dimulai. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Cek info selengkapnya di sini: https://www.cna.id/kuis-info