Prabowo dan ambisi meremajakan alutsista di tengah ketegangan Laut China Selatan
Ketika menjabat menhan, Prabowo melakukan pembelian alutsista dalam jumlah besar, tapi anggarannya terbatas. Program Insight CNA mengulas bagaimana sistem pertahanan Indonesia ke depannya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo.
JAKARTA: Indonesia telah melakukan pembelanjaan alat utama sistem senjata (alutsista) besar-besaran untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya.
Yang menggawangi proyek besar ini adalah Prabowo Subianto, mantan menteri pertahanan yang kini menjadi presiden baru Indonesia. Prabowo telah membuat berbagai kesepakatan demi meremajakan alutsisa Indonesia yang sudah uzur.
Kendati pemerintah pada November lalu menyetujui penambahan anggaran pertahanan hingga 20 persen untuk periode 2020-2024 - mencapai US$25 miliar yang pendanaannya dari pinjaman asing - tapi Indonesia masih belum juga bisa memenuhi target modernisasi alutsista.
Para anggota DPR juga telah mengkritisi rencana Prabowo untuk membeli jet tempur bekas dari Qatar. Prabowo kemudian terpaksa membatalkan rencana tersebut karena kurangnya pendanaan.
CNA Insight mencoba menyelami apakah Prabowo yang kini telah menjadi presiden akan mampu meremajakan alutsista Indonesia di tengah keterbatasan anggaran dan ketegangan geopolitik di Laut China Selatan.
KEKUATAN POKOK MINIMUM
Indonesia memiliki rencana modernisasi militer yang dikenal dengan nama Kekuatan Pokok Minimum atau Minimum Essential Force (MEF). Dicanangkan sejak 15 tahun lalu, MEF mencakup komponen postur pertahanan minimum untuk menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara.
Menurut para pengamat, MEF ini adalah yang paling diperlukan saat ini.
"Memang alutsista kita sudah banyak yang usang," kata Khairul Fahmi, pengamat militer dari lembaga Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) di Jakarta kepada CNA.
Hampir setengah dari alutsista Indonesia tidak layak untuk diterjunkan dalam peperangan modern sehingga dapat mengancam keamanan, kata Khairul dalam pernyataan terpisah Desember tahun lalu di Jakarta Globe.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang dua per tiga wilayahnya adalah lautan, kewalahan mencegah penyusupan kapal-kapal asing.
Meski Indonesia beberapa kali menggelar latihan angkatan laut, menyita atau menghancurkan kapal penyusup, tapi para nelayan melaporkan peningkatan jumlah kapal asing yang masuk ke perairan Nusantara - tidak hanya dari China, tapi juga Vietnam dan Filipina. Kapal-kapal ini kerap mengganggu para nelayan saat mencari ikan di perairan sendiri.
"Seharusnya ada penjaga pantai kita di sana. Kami orang Indonesia hanya sedang mencari makan di wilayah kami sendiri. Seharusnya kami dilindungi," kata Wahyudin, seorang nelayan.
Klaim China di Laut China Selatan yang dikenal dengan nama "sembilan-garis putus" tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di kepulauan Natuna yang kaya minyak dan gas bumi.
China memang tidak mengakui kepemilikan atas kepulauan tersebut, tapi klaim atas perairan Laut Natuna Utara acapkali memicu ketegangan diplomatik kedua negara, pengerahan jet tempur dan kapal perang Indonesia. Presiden Joko Widodo bahkan menyambangi langsung Natuna untuk memberikan sinyal kepada China.
Untuk menunjang kinerja pertahanan, Indonesia telah meningkatkan anggaran tahunan kementerian pertahanan hingga hampir rata-rata 20 persen dalam empat tahun terakhir, jika dibandingkan dengan 2019.
Tahun lalu, anggaran Kemenhan RI adalah Rp144 triliun, kedua terbesar di Asia Tenggara setelah Singapura (sekitar Rp225 triliun).
Namun anggaran itu hanya mencakup sekitar 0,7 sampai 0,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam sedekade terakhir. Berdasarkan Stockholm International Peace Research Institute, ini adalah rasio terkecil di antara enam negara berkembang di Asia Tenggara.
"Seharusnya tidak sekecil itu," kata Julia Lau, peneliti senior di ISEAS - Yusof Ishak Institute. "Setiap negara yang ingin memiliki militer yang berfungsi efektif harus mengalokasikan sekitar 2 hingga 4 persen dari PDB untuk pertahanan."
Proses mencapai MEF yang seharusnya ditargetkan mencapai 100 persen pada akhir 2024 juga berjalan lambat. Tahun lalu, Indonesia baru memenuhi 65 persen dari target modernisasi alutsista ini.
Kepada Insight CNA, agar bisa berhasil maka perlu anggaran militer dengan rasio setidaknya antara 1,5 hingga 2,5 persen dari PDB.
AMBISI BELANJA ALUTSISTA
Meski dengan keterbatasan anggaran, namun dalam beberapa tahun terakhir Prabowo telah melakukan pembelian alutsista besar-besaran.
Di antaranya adalah 42 jet tempur Rafale buatan Prancis seharga US$8,1 miliar, 12 drone baru dari Turkish Aerospace senilai US$300 juta, 24 jet tempur dari Boeing dan 24 helikopter angkut dari Lockheed Martin di Amerika Serikat, dengan nilai transaksi yang tidak disebutkan untuk dua yang disebut terakhir.
Tapi rencana Prabowo tidak selalu berjalan mulus. Februari lalu dia terpaksa membatalkan rencana pembelian 12 jet tempur Mirage 2000-5 bekas seharga 733 juta euro (Rp12 triliun) setelah menuai kritikan dari anggota DPR karena dianggap sebagai alutsista tua.
"Prabowo menulis cek yang tidak bisa diuangkan oleh pemerintah," kata Ian Storey, peneliti senior di ISEAS - Yusof Ishak Institute.
Dia belanja alutsista ke seluruh dunia, membeli jet tempur dan kapal selam dan yang lainnya, beberapa di antaranya tidak mampu dibayarkan pemerintah. Dan itu menyebabkan penundaan dan pembatalan."
Juli tahun lalu, Jokowi memerintahkan kabinetnya untuk mempertahankan "anggaran negara tetap sehat". Jokowi menyinggung besarnya anggaran belanja oleh institusi-institusi pertahanan di Indonesia, termasuk Kementerian Pertahanan.
Kendati demikian, ambisi Prabowo untuk belanja alutsista seakan tidak surut. Kepada Financial Times pada Juli tahun lalu, adik sekaligus penasihat Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan bahwa kakaknya yang ketika itu menjadi capres akan meningkatkan rasio utang terhadap PDB pemerintah menjadi 50 persen untuk mendanai program-programnya.
Saat ini rasio utang terhadap PDB Indonesia adalah 39 persen, salah satu yang terendah di Asia Tenggara. Artinya, masih ada ruang bagi negara ini untuk berutang lagi. "Saya kira itu tidak akan jadi masalah," kata Indra Alverdian, dosen hubungan internasional di President University.
Ridzwan Rahmat, analis pertahanan utama di lembaga riset intelijen dan keamanan Janes, memperkirakan Prabowo akan meningkatkan pinjaman luar negeri untuk mendanai akuisisi alutsista. Hal ini pernah dilakukan sebelumnya untuk pengadaan jet tempur Rafale yang "dibeli dengan bantuan pinjaman luar negeri Prancis".
Bahkan ketika MEF belum rampung sepenuhnya, Prabowo telah memulai fase baru modernisasi alutsista.
Rencana Prabowo ini dinamai Trisula Perisai Nusantara dan ditargetkan berlangsung selama 25 tahun. Dengan rencana ini, pemerintah Indonesia ingin mengakuisisi alutsista paling canggih untuk pertempuran darat, laut dan udara serta berinvestasi dalam sistem keamanan siber.
Trisula Perisai Nusantara diperkirakan akan memakan biaya hingga US$125 miliar, dan kementerian keuangan telah menyetujui penganggaran tahap kelima dalam proyek ini.
Namun sebagai presiden, Prabowo juga memiliki beban tugas lainnya, bukan hanya fokus pada modernisasi alutsista. Di antaranya adalah pemenuhan janji kampanye untuk memberikan makan gratis bergizi bagi pelajar dan ibu hamil di seluruh Indonesia.
Program makan gratis yang akan diikuti oleh 83 juta orang ini diperkirakan memakan anggaran hingga Rp460 triliun per tahun jika sudah dilaksanakan secara penuh.
Prabowo juga harus menyeimbangkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan negara yang terus bertambah, mulai dari sektor infrastruktur hingga pendidikan. Belum lagi ditambah proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang masih berjalan dengan anggaran US$33 miliar atau sekitar Rp521 triliun.
Khairul mengatakan bahwa Prabowo telah menekankan komitmennya untuk meningkatkan anggaran belanja pertahanan secara berkala. Namun Khairul mengaku masih belum tahu apakah rencana itu akan disetujui oleh parlemen atau tidak.
"Kalau belanja pertahanan ditingkatkan menjadi lebih dari 0,8 persen atau menembus angka psikologis 1 persen dari PDB, ada kekhawatiran anggaran belanja yang cukup besar itu tidak digunakan secara efisien dan efektif jika problem akuntabilitas tidak diselesaikan."
TANTANGAN GEOPOLITIK
Di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia merespons dengan sangat hati-hati dan berusaha untuk tidak memprovokasi China terkait pelanggaran batas di laut sengketa. Kendati demikian, respons itu dilakukan Jokowi dengan tetap menegaskan hak kedaulatan maritim Indonesia yang sah.
"Itu yang telah dilakukan Jokowi. Dan inilah yang juga akan dilakukan Prabowo," kata Storey.
"Pasalnya China adalah negara yang sangat penting dan Jokowi telah mendorong China untuk berinvestasi dalam jumlah besar untuk pembangunan infrastruktur Indonesia."
Pada tahun ini, Indonesia telah mempromosikan 81 proyek untuk menarik investor China. Total investasi yang diperlukan untuk sektor perumahan hingga pariwisata ini sekitar Rp239 triliun.
Indonesia tahun ini juga menargetkan peningkatan ekspor barang ke China dari US$64,9 miliar tahun lalu menjadi US$70 miliar. China sendiri merupakan negara mitra dagang terbesar Indonesia.
Indonesia tidak sendirian menghadapi dilema geopolitik ini. China dan ASEAN juga masih belum menyepakati kode etik atau code of conduct di Laut china Selain.
Ketegangan diperparah dengan keterlibatan Amerika Serikat yang berebut pengaruh di kawasan Asia dan Pasifik. Di Pasifik, AS bersama dengan Inggris dan Australia membentuk Aukus, sebuah kemitraan pertahanan yang salah satu proyeknya adalah mempersenjatai Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir.
Menurut Ridzwan, Aukus inilah yang paling dikhawatirkan Indonesia dalam merencanakan sistem pertahanan. "Karena Aukus telah membuka front baru dalam konflik antara kekuatan-kekuatan besar di kawasan Asia-Pasifik."
Jika terjadi perang antara China dan AS, kata dia, "maka beberapa pertempuran, jika tidak sebagian besarnya, akan terjadi di perairan Indonesia karena di sinilah titik-titik panas berada".
Storey mengatakan, ketika Aukus pertama kali dibentuk pada 2021, Indonesia juga khawatir "kemitraan itu akan memicu perlombaan senjata di kawasan".
Beberapa pengamat mengatakan perkembangan militer Indonesia juga akan menjadi penyebab perlombaan senjata tersebut. "Namun, tidak ada tanda-tanda pemerintah Indonesia akan mengadopsi politik konfrontatif seperti di masa lalu," kata Khairul.
Kerja sama militer antara negara anggota ASEAN juga meningkat. Tahun lalu, ASEAN melaksanakan latihan militer gabungan pertama mereka selama lima hari di Laut Natuna Selatan, berfokus pada tanggap bencana dan bantuan kemanusiaan.
"ASEAN tidak pernah didirikan sebagai aliansi militer ... tapi ada banyak tekanan dari luar terhadap negara-negara Asia Tenggara ini," kata Ridzwan. "Jadi mereka memutuskan untuk mulai dengan latihan militer yang tidak terlalu sensitif seperti latihan pengiriman bantuan kemanusiaan."
Namun pada akhirnya, Indra dari President University mengatakan, militer Indonesia yang kuat "baik untuk kawasan".
Jika Indonesia memodernisasi alutsista dan diikuti oleh negara-negara tetangga, kata Indra, maka pertahanan mereka yang kuat akan membantu persatuan ASEAN agar kawasan ini tetap menjadi "zona kebebasan, perdamaian dan netralitas".
Sekarang keputusan ada di tangan Prabowo apakah Indonesia akan bisa memajukan kebijakan militer dan luar negerinya. Mengingat reputasi Prabowo sebagai perwira militer, para pengamat sangsi dia akan mudah mengalah jika terjadi konfrontasi.
"Saya melihat dia bisa menjadi presiden yang sangat nasionalis jika memang diperlukan," kata Lau. "Jika ada yang mencoba mem-bully Indonesia, saya menduga kuat dia akan meresponsnya dengan keras."
📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀
🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V