Dari diskon kereta hingga subsidi upah, ini alasan paket stimulus tidak cukup mendongkrak daya beli
Diskon transportasi, bantuan pangan dan subsidi upah belum cukup untuk mendorong kelas menengah di Indonesia untuk lebih banyak berbelanja selama masa liburan sekolah, ujar para pakar.

Pemerintah memberikan diskon kereta api untuk meningkatkan daya beli masyarakat di masa libur sekolah. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
JAKARTA: Pemerintah Indonesia menggulirkan paket stimulus ekonomi untuk meningkatkan daya beli masyarakat dalam dua bulan ke depan. Namun menurut para pakar, langkah ini saja tidak cukup untuk memulihkan konsumsi dalam negeri yang lesu dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Mereka mengatakan, perlu langkah yang lebih luas untuk membantu kelas menengah yang tengah terhimpit dan melindungi dunia usaha dari dampak kenaikan tarif Amerika Serikat.
Dengan liburan sekolah yang akan berlangsung antara 28 Juni hingga 12 Juli, pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan konsumsi dan pariwisata dalam negeri.
Pada 27 Mei lalu, pemerintah telah mengumumkan berbagai diskon tarif serta bantuan tunai dan pangan bagi rumah tangga tertentu mulai 5 Juni.
Masyarakat akan mendapatkan diskon tiket kereta hingga 30 persen dan 50 persen untuk kapal laut. Sementara untuk perjalanan dengan pesawat, pemerintah memberi diskon enam persen untuk pajak pertambahan nilai (PPN) mulai awal Juni hingga pertengahan Juli.
Selain itu, akan diberikan bantuan pangan sebesar Rp200.000 per bulan kepada 18,3 juta rumah tangga.
Awalnya pemerintah mengumumkan akan memberikan diskon tarif listrik 50 persen kepada 79,3 juta rumah tangga dengan daya listrik 1.300 VA ke bawah dari 5 Juni hingga 31 Juli.
Namun pada Senin (2/6), rencana diskon listrik dibatalkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pembatalan dilakukan karena proses penganggaran yang dinilai tidak cukup cepat untuk mengejar target pelaksanaan pada Juni dan Juli.
“Diskon listrik, ternyata untuk kebutuhan atau proses penganggarannya jauh lebih lambat. Sehingga kalau kita tujuannya adalah Juni dan Juli, kita memutuskan tidak bisa dijalankan,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip Antara.
Sri Mulyani mengatakan bahwa pembatalan diskon tarif listrik itu diganti dengan meningkatkan bantuan subsidi upah dari semula Rp150.000 menjadi Rp300.000 (total Rp600.000) selama dua bulan bagi pekerja dan guru honorer pada Juni dan Juli 2025.
Pemerinttah juga akan memberikan diskon tarif tol sebesar 20 persen untuk sekitar 110 juta pengendara.
Untuk paket stimulus ini, pemerintah mengucurkan dana hingga senilai Rp24,44 triliun.
Namun para pakar mempertanyakan efektivitas stimulus ekonomi ini, pasalnya sasaran insentif adalah keluarga berpenghasilan rendah dan bukan kelas menengah.
“Sulit untuk mencapai peningkatan konsumsi yang diharapkan dengan manfaat yang begitu kecil dan hanya menyasar jumlah penerima yang terbatas,” kata Achmad Nur Hidayat, dosen ekonomi dan kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, kepada CNA.
Ia mencatat bahwa hampir semua insentif yang direncanakan hanya akan menguntungkan rumah tangga berpenghasilan rendah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 25,2 juta warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pengeluaran kurang dari Rp600.000 per bulan.
“Jika tujuannya adalah untuk mendorong konsumsi, maka pemerintah seharusnya menargetkan kelas menengah yang memiliki pendapatan tersisa (disposable income),” katanya.
“Kelas menengah telah menjadi penopang utama konsumsi domestik Indonesia, dan daya beli mereka telah menurun dalam beberapa tahun terakhir,” kata Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE).
“Namun insentif untuk kelas menengah hanya terbatas pada subsidi tarif transportasi.”
PHK AKAN SEMAKIN MELUAS
Data resmi menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54 persen dari perekonomian Indonesia.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir konsumsi melambat.
Pada kuartal pertama tahun 2025, konsumsi hanya tumbuh sebesar 4,89 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024, meskipun dalam periode tersebut terdapat hari-hari besar seperti Tahun Baru Imlek dan Idul Fitri.
Pertumbuhan tahunan ini adalah yang terlemah untuk kuartal pertama dalam lebih dari tiga tahun terakhir, yakni 5,11 persen pada 2024, 5,03 persen pada 2023, dan 5,01 persen pada 2022.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,87 persen pada kuartal pertama, dan pemerintah menargetkan pertumbuhan sekitar 5 persen pada kuartal kedua.
Sementara itu, impor barang konsumsi rumah tangga pada Januari dan Februari tahun ini masing-masing tercatat sebesar US$1,64 miliar dan US$1,47 miliar. Angka ini turun masing-masing 10,6 persen dan 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya — menjadi indikasi lain melemahnya konsumsi rumah tangga di Indonesia, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Salah satu faktor utama adalah menyusutnya populasi kelas menengah Indonesia yang selama ini menyumbang sekitar 40 persen dari total konsumsi nasional.
Negara ini juga masih merasakan dampak dari pandemi COVID-19, penyebab gulung tikarnya ribuan bisnis.
Jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Pada periode yang sama, jumlah penduduk Indonesia meningkat dari 267 juta menjadi 280 juta.
Para pakar percaya bahwa jumlah kelas menengah bisa semakin menyusut seiring ancaman tarif AS sebesar 32 persen terhadap barang-barang asal Indonesia.
Pemerintahan Trump sebelumnya telah menyatakan menunda penerapan tarif “resiprokal” ini hingga Juli.

Stimulus terbaru dari pemerintah Indonesia hanya akan memangkas pengeluaran rumah tangga untuk sementara, kata Tauhid Ahmad dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
"Tapi jika mau sesuatu yang berdampak jangka panjang, maka kita perlu melakukan lebih banyak, mulai dari menciptakan lapangan pekerjaan baru sampai mencegah hilangnya pekerjaan yang sudah ada," kata dia.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di DPR pada 12 Mei lalu mengatakan bahwa lebih dari 24.000 orang telah kehilangan pekerjaan antara 1 Januari hingga 23 April tahun ini.
Dia melanjukan, ada puluhan ribu lainnya yang terancam di-PHK akibat perang dagang, terutama pekerja sektor mebel dan tekstil yang produksinya kebanyakan dijual di pasar luar negeri.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pada 14 Mei lalu memberikan informasi yang lebih mencengangkan, yaitu setidaknya ada 70.000 orang di-PHK antara Januari dan Maret tahun ini.
APINDO memperingatkan bahwa jika dampak perang dagang tidak ditangani dengan baik, sebanyak 250.000 orang terancam kehilangan pekerjaan hingga akhir tahun ini.
PERLU INSENTIF YANG BERDAMPAK JANGKA PANJANG
Tauhid mengatakan bahwa stimulus dan insentif pemerintah harus digunakan untuk meredam dampak buruk dari perang dagang.
Namun para pakar mencatat bahwa anggaran pemerintah justru akan banyak dialokasikan untuk program andalan Presiden Prabowo Subianto, seperti makan bergizi gratis untuk jutaan anak sekolah serta ibu menyusui dan ibu hamil.
Tahun ini, Indonesia menganggarkan sekitar Rp71 triliun untuk program tersebut, dan berencana meningkatkan anggarannya menjadi Rp127 triliun pada tahun depan.

Selain program makan bergizi gratis, Prabowo juga berencana membangun 3 juta rumah bagi masyarakat miskin setiap tahunnya, yang diperkirakan akan menghabiskan anggaran negara lebih dari Rp100 triliun per tahun.
Untuk menutupi biaya program-program ini, pemerintah awalnya ingin menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari. Namun, rencana tersebut dibatalkan setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Tanpa kenaikan PPN, program-program ini diperkirakan akan menyebabkan defisit anggaran pemerintah sekitar Rp616 trilium atau 2,53 persen dari PDB pada akhir 2025.
“(Program-program ini) membuat ruang fiskal pemerintah sangat terbatas untuk memberikan insentif yang berarti bagi pemulihan ekonomi kita,” ujar Achmad, menyarankan agar program-program tersebut ditunda atau dikaji ulang.
“Apakah harus dilakukan sekarang? Bisakah kita memperkecil skala program-program ini? Pemerintah perlu mempertimbangkan opsi-opsi tersebut,” tambahnya.
Tauhid dari INDEF juga menyarankan untuk memberikan insentif kepada perusahaan.
“Daripada kepada individu, mengapa tidak memberikan insentif kepada bisnis agar mereka bisa bertahan? Mengapa tidak memberikan keringanan pajak supaya investor mau membangun pabrik di sini dan menciptakan lapangan kerja?” kata dia.
“Rencana memberikan diskon tarif listrik dan membagikan bantuan tunai memang populer di kalangan masyarakat dan dapat memberikan hasil cepat, tapi hasilnya bersifat sementara dan dangkal. Kita butuh sesuatu yang berdampak baik secara jangka panjang bagi perekonomian kita.”
Bhima Yudhistira, direktur eksekutif think tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan pemerintah bisa mempertimbangkan menurunkan PPN, yang saat ini 11 persen, menjadi 9 persen.
“Dengan menjaga harga tetap rendah, masyarakat akan terdorong untuk lebih banyak membelanjakan uang untuk barang dan jasa,” katanya.
“Ini akan membantu usaha kecil dan menengah yang menyediakan barang dan jasa tersebut,” ujar Bhima, menyoroti bahwa banyak negara seperti Irlandia dan Jerman telah menurunkan PPN untuk membantu pemulihan dampak pandemi.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.