Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Indonesia

Ahli soal tewasnya 67 orang pada banjir lahar dingin Sumbar: Jatuhnya korban seharusnya bisa dihindari

Banjir bandang lahar dingin di kaki Gunung Marapi, Sumatra Barat, sejauh ini telah menewaskan 67 orang, 20 orang lainnya masih belum ditemukan.

Ahli soal tewasnya 67 orang pada banjir lahar dingin Sumbar: Jatuhnya korban seharusnya bisa dihindari

Warga berjalan di daerah yang terdampak banjir bandang dan tanah longsor di Agam, provinsi Sumatra Barat, 12 Mei 2024 (Foto: Reuters/Antara Foto/Iggo El Fitra)

JAKARTA: Jatuhnya korban tewas dalam banjir bandang lahar dingin di kawasan Gunung Marapi, Sumatra Barat, menurut para ahli bisa dihindari. Mereka juga menyerukan masyarakat di kaki gunung api teraktif di Sumatra itu untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Menurut para ahli, pembangunan yang berlebihan dan penggundulan hutan telah menyumbang pada terjadinya bencana ini. Selain perlunya jalur evakuasi, lanjut mereka, mitigasi risiko bencana juga bisa dilakukan dengan teknik modifikasi cuaca dan adanya kebijakan tata kelola lahan yang lebih baik di tataran pemerintah provinsi.

Banjir bandang pada Sabtu malam (11/5) itu membawa serta berton-ton material vulanik yang sebelumnya tertimbun di lereng Gunung Marapi akibat erupsi yang terjadi puluhan kali dalam lima bulan terakhir. 

Lahar dingin, air dan bebatuan mengalir deras ke lereng-lereng Gunung Marapi, mengarah ke lembah dan sungai di bawahnya.

Aliran banjir di puluhan aliran sungai yang berhulu di Gunung Marahi sangat deras, merobohkan jembatan, memutus akses jalan, mengubur lahan pertanian dan daerah permukiman dengan lapisan lumpur dan puing-puing.

Per Kamis pagi (16/5), dikonfirmasi 67 orang meninggal dunia dan 20 lainnya masih hilang dalam bencana ini.

Warga melihat rumah yang rusak akibat banjir bandang dan tanah longsor di Agam, provinsi Sumatra Barat, 12 Mei 2024. (Foto: Reuters/Antara Foto/Iggo El Fitra)

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sejak beberapa bulan lalu telah memperingatkan warga bahwa material vulkanik yang menumpuk dekat kawah Marapi bisa memicu banjir bandang jika diguyur hujan lebat.

Peringatan itu disampaikan tidak lama setelah 23 pendaki tewas dalam erupsi Marapi pada 3 Desember lalu. Para pendaki itu mengabaikan larangan untuk mendekati wilayah dengan radius 2km dari kawah. Larangan ini telah diberlakukan sejak 2011 ketika Marapi menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik.

Bahkan PVMBG telah mengeluarkan peta wilayah yang berpotensi dialiri banjir.

Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memperingatkan masyarakat akan terjadinya hujan lebat di wilayah sekitar Gunung Marapi pada 6 hingga 22 Mei.

"Peringatan tentang risiko banjir bandang telah dikeluarkan sejak jauh-jauh hari. Bahkan ada peta wilayah yang akan terdampak banjir bandang. Kematian seharusnya bisa dihindari," kata Dr Eko Teguh Paripurno, ahli mitigasi bencana dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta kepada CNA.

Rumah-rumah yang rusak setelah banjir bandang dan aliran lahar dingin dari Gunung Marapi di Tanah Datar, Sumatra Barat, pada 12 Mei 2024. (Foto: AFP/Rezan Soleh)

DAMPAK DARI PENGGUNDULAN HUTAN

Pembangunan yang berlebihan dan penggundulan hutan (deforestasi) di Gunung Marapi dan daerah bantaran sungainya turut menyumbang pada tingkat keparahan bencana, ujar juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari.

"Sepuluh tahun lalu, daerah itu masih sangat ditumbuhi oleh pohon yang cukup lebat, artinya kalaupun terjadi debit air yang sangat luas, tidak akan langsung berdampak menghantam bagian tebing jalan," kata Muhari dalam konferensi pers Senin lalu.

Muhari mengatakan, daerah bantaran sungai dekat Gunung Marapi terus dikembangkan sebagai permukiman, wilayah komersial dan rekreasi, kendati ada potensi bahaya banjir bandang dan lahar dingin. 

Dua tempat rekreasi permainan air, Mega Mendung dan Mata Air, dan sebuah restoran bernama Xakapa di kelurahan Silaing yang terletak sekitar 15km dari kawah Merapi, rata dihantam banjir.

Ratusan rumah, sekolah dan masjid di kabupaten Tanah Datar dan Agam mengalami kerusakan atau hanyut terbawa arus banjir yang datang tiba-tiba. Banjir juga menghancurkan jembatan dan memutus akses ke jalan utama yang menghubungkan provinsi Sumatra Barat dengan kota-kota penting lainnya.

BNPB masih menghitung berapa kerugian yang ditimbulkan akibat bencana ini.

Seorang pria berdiri di dekat sebuah mobil yang rusak di daerah yang terdampak bencana. (Foto: Reuters/Antara Foto/Iggo El Fitra)

Ahli vulkanologi, Surono, mengatakan sudah saatnya pemerintah provinsi Sumatra Barat meninjau kembali kebijakan tata kelola lahan mereka.

"Marapi sering sekali erupsi, melontarkan banyak sekali material (vulkanik). Banjir bandang lahar dingin sudah sering terjadi. Masyarakat seharusnya tidak tinggal dekat dengan sungai," kata Surono kepada CNA.

Kepala BMKG Professor Dwikorita Karnawati mengatakan hujan diprediksi masih akan terjadi di Sumatra Barat dalam beberapa pekan ke depan.

"Hujannya tidak perlu lebat. Hujan yang berintensitas sedang pun mampu membawa material vulkanik dari Gunung Marapi, yang kami khawatirkan masa ada banyak," kata dia pada Selasa lalu, seperti dikutip dari Antara.

Dwikorita mengatakan banjir berikutnya berpotensi menimpa daerah yang sebelumnya tidak terdampak. Hal ini akan terjadi karena daerah aliran sungai sudah dipenuhi lumpur dan puing-puing akibat banjir bandang Sabtu lalu.

Dia juga menyarankan dilakukan penyemaian awan atau cloud seeding, yaitu teknik modifikasi cuaca untuk meningkatkan kemampuan awan dalam memproduksi hujan. Cloud seeding, kata Dwikorita, bisa digunakan untuk mengatur agar hujan turun di wilayah yang lebih aman atau dataran rendah di sepanjang pesisir Sumatra Barat, menjauhi kawasan Gunung Marapi.

KESIAPSIAGAAN BENCANA ADALAH KUNCI

Ini bukan kali pertama Sumatra Barat dihantam banjir bandang lahar dingin.

Banjir bandang yang membawa serta bebatuan dan puing di sekitaran Gunung Marapi juga pernah terjadi pada dini hari 30 April 1979, menewaskan 60 orang dan 19 lainnya hilang. Beberapa jam sebelumnya, terjadi erupsi Marapi yang disusul dengan hujan lebat.

Sejak saat itu, hampir semua peristiwa erupsi Marapi disusul banjir bandang lahar dingin.

Erupsi Marapi pada 3 Desember lalu juga disusul oleh empat kali banjir bandang, seperti yang diberitakan media setempat. Beruntung, peristiwa itu tidak sampai menimbulkan kerusakan dan memakan korban.

"Saking seringnya terjadi banjir bandang, sampai-sampai masyarakat Sumbar punya kata untuk itu: galado," kata Surono. "Sudah saatnya mereka yang tinggal dekat bantaran sungai menyadari risikonya, dan juga tahu cara memitigasinya."

Pemandangan dari drone menunjukkan daerah yang terdampak banjir bandang dan tanah longsor di Tanah Datar, provinsi Sumatra Barat, pada 12 Mei 2024. (Foto: Reuters/Antara Foto/Adi Prima)

Surono mencontohkan, masyarakat yang tinggal di gunung berapi lainnya di Indonesia telah membantuk jaringan radio transceiver genggam untuk mengabarkan tentang potensi bahaya.

"Dengan cara ini, mereka yang sedang bekerja di sawah tahu adanya erupsi. Mereka yang sedang menambang pasir di sungai tahu banjir bandang akan datang," kata dia.

Surono juga menyarankan agar daerah permukiman memiliki rute evakuasi dengan penanda yang jelas. Penduduknya juga harus mendapatkan pelatihan untuk menghadapi bencana.

Hal yang sama disampaikan oleh Dr Eko dari UPN Yogyakarta.

"Semua orang harus bekerja sama untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana, karena banjir lahar dingin tidak hanya berdampak pada mereka yang tinggal dekat dengan gunung," kata dia.

"Masyarakat harus tahu cara merespons (bencana) dan paham kapan dan ke mana harus evakuasi. Jika tidak, maka bisa dipastikan akan jatuh lebih banyak korban jika bencana berikutnya terjadi."

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan