Ada konsekuensi yang mengintai dari keputusan MK menghapus presidential threshold
Keputusan terbaru MK soal presidential threshold memberi kesempatan lebih luas bagi semua orang untuk bersaing dalam pilpres berikutnya. Namun apakah keputusan ini akan membawa banyak perubahan, terlebih karena anggaran besar masih dibutuhkan untuk kampanye pilpres?
JAKARTA/SINGAPURA: Pada pemilihan presiden 2029 nanti, rakyat Indonesia kemungkinan akan melihat wajah-wajah baru yang muncul dengan gagasan-gagasan segar dan menarik.
Tapi para pemilih bisa jadi akan kebingungan dengan banyaknya calon presiden, dan untuk pertama kalinya sejak pemilu 2004 pilpres berpotensi berlangsung dua putaran.
Perubahan yang dramatis ini bisa terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Januari lalu menghapuskan ambang batas presiden atau presidential threshold. Artinya, untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri ini, seluruh partai politik baik besar maupun kecil bisa mengusung calon mereka sendiri menjadi calon presiden.
Dalam peraturan sebelumnya, seseorang bisa maju sebagai calon presiden setelah mendapat dukungan dari partai atau gabungan partai dengan setidaknya 20 persen jumlah kursi DPR atau mendapat 25 persen suara dalam pemilu legislatif.Â
Dengan ambang batas yang tinggi itu, tidak ada satu pun partai di DPR dengan jumlah kursi yang memenuhi persyaratan. Perolehan kursi DPR terbesar oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hanya sekitar 16,7 persen pada pemilu legislatif 2024.
"Penentuan persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra, sembari menambahkan bahwa ambang batas itu juga "berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih dalam mendapatkan alternatif paslon presiden dan wakil presiden".
Para pengamat menyambut baik keputusan MK tersebut, mengatakan ini sebuah langkah positif bagi kemajuan demokrasi Indonesia. Namun mereka juga memperingatkan akan adanya masalah yang mungkin timbul akibat keputusan MK ini.
"Dampak utama dari perubahan ini bahwa polarisasi akan berkurang jika dibandingkan dengan tiga pemilu sebelumnya. Lebih banyak capres berarti lebih banyak pilihan bagi pada pemilih, dan, yang terpenting, partai-partai besar tidak punya lagi kekuatan veto terkait pencalonan capres," kata Dedi Dinarto, pengamat isu Indonesia di lembaga Global Councel, kepada CNA.
Tiga pemilihan presiden terakhir di Indonesia telah didominasi oleh para capres dari dua partai politik besar, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan PDIP.
Gerindra dalam pemilu presiden lalu mengusung ketua umumnya, Prabowo Subianto, yang menjadi presiden setelah mendapatkan 58,5 persen suara.Â
Sementara PDIP, yang sebelumnya menjadi kendaraan politik Joko Widodo sebelum dia dipecat karena mendukung Prabowo, mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Capres ketiga adalah Anies Baswedan yang diusung oleh koalisi empat partai.
"Dengan keputusan MK itu, berarti 2024 sepertinya akan menjadi tahun terakhir pemilihan presiden Indonesia berlangsung dalam satu putaran," kata Djayadi Hanan, direktur eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Berdasarkan undang-undang, pilpres akan memasuki putaran kedua jika tidak ada capres yang mendapatkan lebih dari 50 persen suara. Putaran kedua hanya akan diikuti oleh dua capres dengan suara tertinggi dalam putaran pertama.
Untuk menggelar pilpres 2024, Indonesia telah menganggarkan Rp30,3 triliun. Namun karena hanya berlangsung satu putaran, anggaran itu bisa menghemat hingga Rp12,3 triliun.
Djayadi mengatakan, putaran kedua tidak hanya menambah penggunaan anggaran tetapi juga memperpanjang proses pemilu, yang otomatis juga memperpanjang ketidakpastian politik yang ditandai oleh mandeknya investasi, kesepakatan dagang dan pertumbuhan ekonomi.
Namun menurut Djayadi, ini hanyalah konsekuensi kecil dari keputusan MK yang memberikan kebebasan setiap orang untuk maju menjadi capres.
"(Sebelumnya) tidak mungkin orang di luar partai-partai besar maju jadi calon presiden. Pemilu mendatang akan lebih berwarna karena akan ada orang-orang dari luar yang mungkin datang membawa ide-ide segar dan menawarkan sesuatu yang berbeda kepada pemilih," kata dia.
PEMILU YANG LEBIH KOMPETITIF?
Indonesia pernah memiliki presidential threshold sebesar 15 persen, menghasilkan lima pasang capres-cawapres. Pemilu itu dimenangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah bersaing sengit dengan presiden petahana Megawati Soekarnoputri.
Menjelang pemilu 2009, Indonesia meningkatkan ambang batas presiden menjadi 20 persen. Ketika itu para pengamat mengatakan keputusan ini akan menciptakan pilpres yang kurang kompetitif akibat sedikitnya capres.
Keputusan tersebut akhirnya menghasilkan tiga capres dalam pemilu berikutnya, dan SBY terpilih kembali dalam satu putaran.
Ambang batas 20 persen dikritik karena memberi kekuatan terlalu banyak bagi partai-partai besar seperti Gerindra dan PDIP, sementara partai-partai kecil hanya bisa menjadi calon wakil presiden atau berebut kursi di DPR.
"Selain itu, proses nominasi calon presiden tak pernah transparan karena tidak melalui proses konvensi partai yang bisa disaksikan semua orang, tidak seperti di Amerika Serikat. Calon presiden di Indonesia pada dasarnya dipilih oleh segelintir elite di dalam partai politik besar," kata Titi Anggraini, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia.
Meski pengaruh mereka dalam peta perpolitikan Indonesia akan terkikis, namun para politisi dari partai-partai besar telah menyatakan menghargai keputusan MK dan berjanji mematuhinya.Â
"Kami akan mempelajari lebih detail putusan tersebut sebelum kami jadikan acuan dalam pembahasan revisi UU Pemilu,” kata Ketua Fraksi Gerindra DPR RI, Budisatrio Djiwandono, pada 3 Januari lalu.
Sementara itu PDIP telah mengatakan bahwa mereka akan mencari cara untuk membatasi jumlah kandidat calon presiden.
"Kami ingin kandidat yang memenuhi persyaratan kualitatif khusus seperti pengalaman dalam peran publik, pengetahuan tentang kenegaraan, serta rekam jejak integritasnya, tanpa menghilangkan hak dari setiap partai untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden mereka sendiri," kata politisi senior PDIP Said Abdullah pada 3 Januari lalu.
Para pengamat mengaku tidak sabar melihat pemilu tanpa adanya ambang batas. Nantinya, para partai akan mencari cara untuk mencegah agar capres tidak terlalu banyak yang berlaga dalam pilpres.
"Menghapuskan threshold akan menciptakan ruang yang setara bagi partai politik, tidak peduli ukuran mereka. Keputusan MK akan membuka jalan pada pemilu yang lebih inklusif, terbuka dan kompetitif karena keragaman politik ditawarkan kepada pemilih di Indonesia," kata Titi.
Keputusan MK ini, lanjut Titi, juga menunjukkan "sikap yang lebih progresif". Pasalnya, selama 20 tahun terakhir sudah ada setidaknya 30 gugatan penghapusan threshold ke MK.
Gugatan kali ini dilayangkan oleh empat mahasiswa dari Universitas Islam Sunan Kalijaga di Cirebon, Jawa Barat.
"Mahkamah Konstitusi sepertinya tidak ingin citra publik mereka semakin buruk, yang sebelumnya pernah ternodai karena keputusan kontroversial soal Gibran pada 2023," kata Made Supriatma, peneliti tamu di lembaga riset ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.
Pada 2023, MK merevisi batas usia peserta pemilu sehingga membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, yang saat itu berumur 36 tahun untuk maju menjadi calon presiden.
Keputusan MK ketika itu memicu protes besar mahasiswa di depan gedung MK. Dalam sidang etik ditemukan bahwa ketua MK ketika itu yang juga ipar Jokowi, Anwar Usman, memiliki konflik kepentingan. Anwar dicopot dari jabatannya sebagai ketua, namun masih boleh menjadi hakim MK.
PERLU ANGGARAN YANG LEBIH BESAR
Meski disambut baik, tapi keputusan MK diperkirakan tidak akan terlalu memberi dampak seperti yang diharapkan.Â
Para pengamat menduga capres yang akan berlaga pada pilpres mendatang tetaplah para oligarki atau orang-orang yang dekat dengan mereka, mengingat perlu anggaran yang luar biasa besar untuk menggelar kampanye.
Berdasarkan data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), tim kampanye Prabowo melaporkan anggaran Rp207 miliar untuk kampanye pilpres 2024. Sementara Jokowi pada pemilu 2019 mengeluarkan anggaran Rp606 miliar.
Para aktivis mempertanyakan apakah ada donasi atau pengeluaran yang belum dilaporkan. Pasalnya, beberapa kampanye berlangsung dengan sangat meriah, yang diperkirakan memakan dana besar.
"Sudah diakui banyak orang bahwa biaya untuk menjadi kandidat pada pemilu luar biasa tinggi," kata Made, seraya menambahkan bahwa partai-partai kecil akan kesulitan mendanai kampanye mereka seorang diri.
"Calon presiden tanpa dukungan partai besar perlu bekerja lebih keras mencari dukungan finansial dari para pendonor mereka yang kaya ... Hasilnya, pengaruh oligarki yang mengendalikan Indonesia masih akan terus tumbuh."
RESPONS KOALISI PENDUKUNG PRABOWO
Dalam waktu dekat, keputusan MK disinyalir akan mengubah dinamika di dalam koalisi 11 partai pendukung Prabowo.
"Partai-partai kecil di dalam koalisi sekarang punya nilai tawar lebih besar karena mereka kini bisa memilih jalan masing-masing dan mencalonkan kandidat sendiri para pemilu berikutnya," kata Djayadi dari LSI.
Tapi menurut pengamat, tidak semua partai ingin meninggalkan koalisi penguasa dan berani bersaing dengan Prabowo pada pilpres mendatang - jika memang dia ingin maju lagi.
"Tidak semua partai punya uang dan sumber daya untuk melakukan kampanye presiden, dan tidak semua partai punya kader yang mendekati, atau bahkan melampaui popularitas Prabowo," kata Hendri Satrio, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Jakarta.
Pemilu berikutnya masih empat tahun lagi. Artinya masih banyak waktu bagi partai untuk mencari dan mempersiapkan kandidat capres mereka.Â
"Sementara itu, Prabowo perlu menjalankan tugasnya sebagai presiden dengan baik. Jika bisa membuktikan bahwa dia adalah presiden yang baik dengan approval rating yang tinggi, maka mitra koalisinya akan berpikir dua kali untuk bersaing, dan kesempatan partai-partai anggota koalisi untuk terus berada di belakangnya dalam pilpres berikutnya akan tinggi," kata Djayadi.
"Dan ini berlaku juga untuk semua presiden di masa mendatang. Mereka harus melaksanakan tugas dengan baik karena pemilu akan jauh lebih kompetitif. Lantas siapa yang paling diuntungkan jika presidennya bekerja dengan baik? Tentu saja rakyat Indonesia."
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​