Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Dunia

Para pemuda China kini keranjingan investasi saham, bikin untung atau buntung?

Para pemuda di China ramai-ramai main saham, beberapa bahkan nekad meminjam uang di bank untuk memenuhi hasrat mereka. Pengamat mengatakan, diperlukan literasi keuangan agar para pemuda ini tidak malah buntung di bursa saham.

Para pemuda China kini keranjingan investasi saham, bikin untung atau buntung?

Seorang pria berjalan melewati sebuah bursa efek dengan papan display yang menampilkan Indeks Komposit Shanghai dan informasi saham lainnya, di Beijing, China pada 6 November 2024. (Foto: REUTERS/Florence Lo)

SINGAPURA: Memang kelulusan masih delapan bulan lagi, tapi mahasiswa akuntansi Li Hao dari provinsi Hunan di China sudah melamar kerja kemana-mana. 

Mulai dari mengirim lamaran ke bank-bank, hingga mengajukan sertifikasi guru SMP, mahasiswa tahun ketiga di Fakultas Keuangan dan Ekonomi Hunan University ini ingin memastikan dia tidak menganggur setelah jadi sarjana.

Tapi belum juga memasuki dunia kerja, pria 22 tahun ini sudah berpotensi kehilangan uang 30.000 yuan (Rp65 juta) yang sudah ditabungnya dengan susah payah.

Baru-baru ini Li menginvestasikan uang itu di bursa saham, dengan harapan bisa menangguk untung pada jenis investasi yang memang sedang ngetren di China ini. Keyakinannya bertambah setelah pemerintah menyuntikkan stimulus pada akhir September lalu untuk memulihkan perekonomian.

Tapi Li tidak mengira bahwa harga saham akan terpuruk setelah para investor kecewa dengan keputusan anggota dewan pada 11 September lalu.

Pemerintah pusat di Beijing mengumumkan paket bantuan 10 triliun yuan untuk meringankan beban utang pemerintah daerah, termasuk enam triliun yuan untuk membayar utang tersembunyi. Namun, mereka tidak mengumumkan langkah-langkah untuk memajukan perekonomian yang tengah tersendat.

"Saya kehilangan uang," kata Li, menyalahkan dirinya sendiri. "(Ini karena) saya tidak memilih saham unggulan."

Seperti halnya Li, di China sedang banyak anak-anak muda yang keranjingan bermain saham untuk mencari keuntungan cepat ketimbang melakukan investasi konservatif seperti membeli emas atau properti.

Li Hao mencoba peruntungan di pasar saham China. Sementara beberapa orang mendapat untung, yang lain malah buntung. (Foto: Li Hao)

CUMA IKUT-IKUTAN TREN

Memang tidak ada angka resmi berapa anak muda China yang terjun ke bursa saham. Namun data Sinolink Securities, perusahaan pasar modal di Chengdu, menunjukkan bahwa sejak awal Oktober lalu nasabah baru mereka kebanyakan berusia di bawah 30 tahun.

Perusahaan sekuritas China, Northeast Securities, juga mengatakan kepada Shanghai Securities News, nasabah baru di platform mereka berusia antara 18 dan 25 tahun. Peningkatan signifikan jumlah nasabah terjadi ketika masa liburan Golden Week di awal Oktober.

Perusahaan sekuritas di Shenzhen, Ark of the Times, juga mencatat adanya gelombang nasabah baru sejak pengumuman kebijakan pada akhir September lalu. Tiga puluh persen dari mereka berusia di bawah 35 tahun, menurut pendiri dan direktur Wei Haihong, 57 tahun. 

Ia mengatakan bahwa saham-saham perusahaan teknologi adalah yang paling populer di kalangan investor anak-anak muda karena dianggap selaras dengan ambisi manufaktur dan inovasi di China,

Namun yang paling mengkhawatirkan adalah banyak dari anak-anak muda itu meminjam uang ke bank untuk bisa membeli saham.

Menurut manajer pelayanan pelanggan di Bank of China cabang Shandong, Zhao, ada peningkatan jumlah permohonan pinjam dibanding hari biasanya tepat sebelum libur Golden Week.

Pengamat mengatakan, kondisi ini menunjukkan adanya peralihan dari anak-anak muda China yang sebelumnya memiliki pola investasi konservatif.

"Dulu, anak-anak muda China ketika punya uang, mereka akan mendepositokannya atau membeli emas. Sebelumnya mereka sangat konservatif," kata Shaun Rein, pendiri dan direktur pelaksana lembaga riset pasar market Research Group (CMR) kepada CNA. 

Menurut Rein, investasi konservatif tidak buruk karena sangat aman. Namun, ia mencatat bahwa kenaikan ekuitas baru-baru ini telah membuat anak-anak muda China tertarik terjun ke bursa saham yang lebih berisiko.

Pada 24 September lalu, bank sentral China mengambil berbagai langkah untuk meningkatkan perekonomian. Di antaranya adalah menawarkan pendanaan dan pemangkasan suku bunga, sebuah paket stimulus terbesar sejak pandemi.

Reaksi pasar ketika itu sangat cepat dan drastis. Membanjirnya investor, baik besar dan kecil, membuat bursa saham China mengalami hari terbaiknya dalam 16 tahun terakhir pada 30 September. Omset gabungan di bursa Shanghai dan Shenzhen naik ke rekor tertinggi 2,6 triliun yuan.

"Semua tiga grup chat terkait saham yang saya ikuti ramai sekali," kata Wang Mo, 34, operator mesin di pemasok suku cadang di Wenzhou, provinsi Zhejiang, yang telah berinvestasi sejak 10 tahun lalu.

Wang mengatakan rekan-rekannya yang lebih muda juga ikut-ikutan, banyak dari mereka bertanya di forum-forum internet soal saham. Berbagai forum internal kampus juga ramai membicarakan saham, menunjukkan minat besar mahasiswa dalam jenis investasi ini.

Namun pengamat mengatakan, orang-orang baru di dunia saham ini bisa merugi besar. Pasalnya, mereka hanya ikut-ikutan dan didorong oleh emosi sesaat, bukannya pengetahuan.

"INI MURNI PERJUDIAN"

Wang sendiri sudah paham betul apa risiko bermain saham.

Dia mulai berinvestasi saham sejak 2014 ketika masih menjadi manajer keuangan di sebuah bank China. Setelah sebelumnya berhasil membuat modalnya sebesar 50.000 yuan (Rp100 juta) bertambah dua kali lipat, pada 2016 dia mengalami kerugian hingga 100.000 yuan (Rp200 juta) dan memutuskan untuk rehat sejenak.

Ia kembali berinvestasi pada 2019 di reksa dana ekuitas dan saham, dengan harapan mendapatkan keuntungan lagi. “Saya menghabiskan 500.000 yuan di saham selama satu dekade terakhir, tetapi dibandingkan dengan suku bunganya, saya rugi,” akunya.

Saat ini, Wang berharap bisa mendapat laba dari perkembangan di bursa saham.

Tapi dia sadar betul situasinya bisa berubah dengan cepat. Sejak akhir September, bursa saham China mengalami fluktuasi yang tajam. Setelah sempat naik usai pengumuman paket simulus, harga saham kemudian naik dan turun dengan cepat.

Bagi Wang, berinvestasi di pasar saham kelas A di China bukan soal peluang, tapi "100 persen perjudian". Saham kelas A adalah saham perusahaan yang berbasis di China dan diperdagangkan di bursa Shanghai, Shenzhen, dan Beijing, menggunakan renminbi sebagai mata uang penilaiannya.

"Saya adalah orang yang penakut. Jika saya melihat situasi seperti ini di masa lalu, saya tidak akan membeli, tetapi kali ini saya telah menyiapkan 500.000 yuan," kata Wang. "Ini murni sebuah perjudian, hanya untuk jangka pendek."  

Mentalitas penjudi juga sesuatu yang diamati oleh Li di antara sesama investor.  

"Investor China memiliki literasi saham yang rendah, pola pikir mereka seperti penjudi - berinvestasi berdasarkan perasaan," kata Li, yang baru mulai berinvestasi pada akhir Juli setelah diperkenalkan pada bursa saham melalui sebuah kompetisi antar-universitas. 

Seorang wanita bersepeda melewati gedung Bursa Efek Beijing yang dihiasi dengan dekorasi Tahun Baru Imlek, di Beijing, China, pada 8 Februari 2024. REUTERS/Florence Lo/File Photo

INVESTASI UNTUK DANA PENSIUN

Investasi sering dikaitkan dengan pengumpulan dana pensiun, mengumpulkan uang dalam jangka panjang untuk hari tua.

Inilah yang menjadi alasan bagi Li ketika memutuskan main saham. Awalnya dia berencana melakukan strategi investasi nilai, yaitu membeli saham-saham murah untuk mendapat keuntungan jangka panjang.

Namun dia berubah pikiran karena sahamnya berfluktuasi di tengah ketidakstabilan pasar. "Seringkali saya impas dan seringkali juga rugi," kata Li.

Rein dari CMR mengatakan yang diperlukan saat ini adalah stabilitas pasar. "Tidak bisa ada pergerakan 8, 9 persen setiap harinya - itu membuat orang takut. Ini jadi lebih seperti kasino," kata dia.

Selain membenahi sistem, Kelvin Tay, kepala investasi untuk Asia Pasifik Selatan di UBS Wealth Management, mengatakan literasi keuangan adalah hal yang dibutuhkan di China.

Dalam beberapa tahun terakhir, China memang telah menggelar kursus literasi finansial di sekolah dasar dan menengah, tapi efektivitasnya masih belum diketahui.

"Masalah utamanya adalah edukasi finansial. Ini adalah area yang menurut saya investor China masih perlu banyak belajar," kata dia.

Bagi Li, mahasiswa yang akan segera lulus, nasi sudah menjadi bubur. Saat ini, sebisa mungkin dia bisa mempertahankan 30.000 yuan (Rp65 juta) sahamnya yang tersisa dan tidak merugi terlalu besar.

Ia berharap pengalamannya bisa menjadi peringatan bagi mereka yang ingin main saham. Namun, ia juga berusaha mengambil sisi positif dari semua ini.

"Saya beruntung tidak mulai main saham ketika punya beberapa juta (yuan). Saya mungkin bisa kehilangan semuanya.”

📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!

Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀

🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan