Ironi Azerbaijan: Mimpi transisi hijau di tengah ketergantungan akan minyak
Azerbaijan menjadi sorotan karena menjadi tuan rumah perundingan iklim COP29. Apakah peran ini tepat bagi Azerbaijan, negara yang sejak lama bergantung pada bahan bakar fosil dan industri minyak?
BAKU: Ibu kota Azerbaikan, Baku, adalah sebuah kota yang maju pesat berkat sumbangsih langsung dari wilayah-wilayah sekitarnya.
Di sebelah timur Baku terdapat Laut Kaspia yang menyimpan banyak cadangan minyak dan gas. Perairan darat terbesar di dunia ini telah lama dieksploitasi sebagai sumber penyediaan energi dan sumber pendapatan ekspor Azerbaijan.
Tak jauh dari Baku terdapat ladang minyak yang luas dan tersebar di semenanjung Absheron. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan di pusat nadi penghasil "emas hitam" ini kecuali mesin bor yang tanpa henti menggali ke kedalaman tanah.
Baku memang kota yang dibangun di atas pondasi dan warisan kekayaan minyak.
Ekstraksi minyak telah lama menjadi industri utama di Azerbaijan, sejak masih menjadi negara terpencil di pertengahan abad ke-19 hingga didaulat jadi penghasil energi besar bagi Uni Soviet. Ketika Azerbaijan menjadi negara merdeka pada 1991, industri minyak masih merupakan andalan mereka.
Sektor minyak dan gas mencakup sekitar 90 persen dari nilai ekspor dan setengah dari produk domestik bruto (PDB) Azerbaijan.
Belakangan ini, Azerbaijan semakin sering dibandingkan dengan Dubai karena arsitekturnya yang megah dan perkembangan kota serta kawasan tepi airnya yang ambisius.
Bulevar-bulevarnya yang mewah menjadi tempat balapan Formula satu setiap tahunnya. Bulan ini, Baku menjadi tuan rumah bagi perundingan iklim terbesar dan paling penting, yaitu Konferensi Para Pihak (COP29) PBB.
Fokus utama dari kepresidenan COP29 Azerbaijan adalah memimpin transisi dunia dari ketergantungan terhadapa bahan bakar fosil. Ironisnya, Azerbaijan sendiri sangat menggantungkan kemakmuran negaranya dari sumber daya minyak ini.
Sebagian pengamat mengatakan kepemimpinan di COP29 akan membawa Azerbaijan menuju revolusi hijau. Sementara sebagian yang lain sangsi Azerbaijan bisa terlepas dari ketergantungan akan minyak, menyerukan negara ini mengawasi lebih ketat jaringan energi mereka.
Dengan keketuaan Azerbaijan, berarti COP29 sudah tiga tahun berturut-turut dipimpin oleh negara-negara penghasil minyak, yaitu Uni Emirat Arab tahun lalu dan Mesir pada 2022. Pernyataan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyez bahwa minyak adalah "anugerah dari Tuhan" masih menggema setiap kali dilakukan perundingan iklim.
"Sebagai pemimpin negara yang kaya akan bahan bakar minyak, tentu saja kami akan mempertahankan hak negara ini untuk terus berinvestasi dan memproduksi, karena dunia memerlukannya," kata dia dalam pidatonya di Dialog Iklim Peterberg di Berlin, Jerman, April lalu.
"Bukan salah kami memiliki cadangan minyak dan gas. Ini adalah anugerah dari Tuhan," kata dia.
Namun CEO dan Wakil Menteri Energi Azerbaijan, Elnur Soltanov, mengatakan keterikatan mereka dengan minyak bukan berarti negara itu menolak transisi ke energi ramah lingkungan.
"Dari awal hingga akhir, saya rasa kami telah berada di garis terdepan revolusi energi, dan revolusi itu sangat penting dalam menciptakan peradaban saat ini," kata dia kepada CNA.
"Yang kami lihat sekarang, cara pembangunan tradisional telah menghancurkan dunia. Saya kira kami sangat siap untuk yang terdepan dalam revolusi energi ramah lingkungan ini."
BERJALAN SEPERTI BIASANYA
Perusahaan minyak negara SOCAR adalah pemain utama dalam konsorsium yang mengelola dan mengekstraksi sumber minyak Azerbaijan. Perusahaan-perusahaan internasional di antaranya BP, Chevron, ExxonMobil dan Equinor juga telah menjadi investor dalam kegiatan operasional.
Tapi produksi minyak Azerbaijan tidak lagi seperti dulu. Sempat mencapai puncaknya pada 2009, pada Juni tahun ini produksi minyak mentah mereka turun setengahnya hingga 479.000 barel.
Salah satu alasan anjloknya produksi ini adalah penurunan sumber daya di ladang minyak dan akibat perjanjian internasional negara-negara OPEC+ soal pembatasan kuota demi menghindari kelebihan pasokan di pasar.
Meski alami penurunan, tapi berbagai investasi besar masih mengalir ke Azerbaijan. Sejak awal tahun ini, BP mengoperasikan anjungan lepas pantai Azeri Central East dengan nilai investasi US$6 miliar dan mampu memproses hingga 100.000 barel minyak per hari.
Tapi menurut Iham Shaban, kepala Pusat Riset Minyak di Baku, kondisi di masa depan akan berubah di Azerbaijan.
"Penurunan produksi minyak sangat drastis dan akan terus menurun sampai pada titik pengeboran minyak tidak akan lagi menguntungkan," kata dia.
“Apakah ini akan terjadi pada tahun 2040, 2045, atau 2050 akan bergantung pada harga minyak dan biaya-biaya yang terkait pada saat itu,” katanya.
Karena produksi minyak melambat dalam beberapa tahun terakhir, gas alam telah menjadi peluang ekonomi berikutnya bagi negara ini. Produksi gas dalam negeri telah melonjak selama dua dekade terakhir - naik hampir 500 persen antara tahun 2000 dan 2021.
Dalam beberapa tahun terakhir, gas Azerbaijan telah menjadi komoditas seksi. Invasi Rusia ke Ukraina mengakibatkan Eropa memperluas pasar pembelian gas alam karena adanya gangguan pasokan dari Rusia.
Kamala Mustafayeva, seorang analis minyak dan energi independen di Baku, mengatakan Azerbaijan adalah mitra bersahabat bagi Uni Eropa yang sangat membutuhkan ketahanan energi.
“Eropa kini adalah tujuan utama gas Azerbaijan. Mereka membutuhkan lebih banyak gas dari Azerbaijan. Tidak peduli dengan perubahan iklim atau apa pun. Anda harus bertahan hidup hari ini, bukan besok,” katanya.
“Sejujurnya, produksi minyak dan gas berjalan seperti biasanya.”
Azerbaijan terus mengembangkan Ladang Gas Shah Deniz di Laut Kaspia yang kini menjadi salah satu ladang gas terbesar di dunia.
Ekstraksi gas diperkirakan akan terus “memberikan kontribusi yang signifikan” terhadap perekonomian dalam beberapa dekade mendatang, menurut Badan Energi Internasional.
Saat ini, Azerbaijan memenuhi sekitar 5 persen kebutuhan energi Eropa melalui Koridor Gas Selatan. Azerbaijan telah berjanji akan melipatgandakan ekspornya ke Eropa pada 2027.
“Apa artinya ini? Ini menunjukkan kepentingan luar biasa Azerbaijan dalam ketahanan energi beberapa negara Uni Eropa,” kata Shaban.
Terlepas dari langkah strategis dalam sektor bahan bakar fosil ini, ada juga peluang bagi Azerbaijan untuk memperluas infrastruktur energi terbarukannya.
“Azerbaijan melihat lebih jauh ke depan. Apa tren global? Energi hijau,” kata dia.
MASA LALU, SEKARANG DAN MASA DEPAN
Berjalan ke selatan Baku, megahnya perkotaan tergantikan dengan dataran tandus nan kering. Wilayah yang keras ini adalah monumen bagi masa lalu, masa kini dan masa depan Azerbaijan.
Pahatan tembok batu yang berumur 40.000 tahun sejak masa Paleolitikum Akhir tersebar di Lanskap Budaya Seni Batu Gobustan, sebuah refleksi kehidupan selama seribu tahun di belahan bumi ini.
Ratusan gunung berapi lumpur terkumpul di wilayah itu, sebuah pemandangan yang langka. Kawah yang menggelegak dan erupsi periodik menandakan adanya kandungan minyak dan gas yang kaya di bawah permukaannya.
Tidak jauh dari situ, terdapat Terminal Sangachal, permatanya tambang energi Azerbaijan yang berada di tengah-tengah gurun pasir. Ini adalah kompleks industri yang luas, terdiri dari tempat berlabuh kapal tanker, pipa, tangki penyimpanan, dan turbin, yang menyokong operasional sektor minyak dan gas.
Sekitar 80km sebelah selatan Baku adalah instalasi energi terbaru, sebuah pembangkit listrik tenaga surya yang terbentang sepanjang 550 hektare di dataran yang berkontur rata, dikembangkan oleh Masdar Clean Energy dari Uni Emirat Arab.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Garadagh itu memiliki kapasitas 230 MW, terdiri dari setengah juta panel lebih yang menyerap panas surya di lokasi yang sepanjang tahun disinari matahari.
Instalasi ini merupakan salah satu dari beberapa proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang direncanakan Azerbaijan dalam mewujudkan penyediaan energi ramah lingkungan.
Instalasi ini bertujuan meningkatkan porsi energi terbarukan Azerbaijan menjadi 30 persen dari total produksi listrik pada 2030. Dengan teknologi ini, Azerbaijan juga ingin mengurangi jejak karbon dan mencatatkan penurunan emisi total hingga 40 persen pada 2050.
Alasan Azerbaijan melakukan ini bukan hanya untuk kebaikan bersama, melainkan juga demi mendapatkan insentif ekonomi. Dengan menggunakan energi bersih untuk kebutuhan dalam negeri, maka Azerbaijan bisa lebih banyak lagi mengekspor gas alam yang seharusnya mereka gunakan. Saat ini, negara itu menggunakan gas alam untuk pemenuhan 90 persen kebutuhan listrik negara.
Menyusul Perang Nagorno-Karabakh Kedua pada 2020, Azerbaijan berhasil menguasai beberapa distrik yang sebelumnya di bawah kendali Armenia. Wilayah yang kosong dari manusia dan hancur lebur akibat konflik itu digunakan untuk lahan proyek energi ramah lingkungan.
Azerbaijan juga telah menandatangani perjanjian penting seperti Proyek Energi Laut Hitam, yang mengatur pengiriman energi hijau dari negara itu ke Georgia. Diatur juga pengiriman energi hijau melalui bawah Laut Kaspia ke Rumania, Bulgaria, Uzbekistan dan Kazakhstan.
"Ada kemungkinan negara-negara Barat tidak akan berhenti membeli minyak dan gas. Mungkin bukan besok, juga bukan lusa, tapi akan terjadi di masa depan. Dan itu bisa dipahami," kata Mustafayeva.
"Dan di saat bersamaan, jika Anda punya energi terbarukan di sini, mengapa tidak menggunakannya untuk diri sendiri? Tempatkan di lokasi yang tepat, dan gunakan, lalu minyak dan gas bisa diekspor lebih banyak lagi."
Penggunaan energi terbarukan memang bisa membuat jumlah emisi gas rumah kaca nasional Azerbaijan menjadi berkurang. Namun pada kenyataannya, mereka hanya memindahkan masalah polusi itu ke para pembeli gas.
Perhitungan emisi tidak mencakup energi yang diekspor. Artinya, beban polusi ditanggung oleh negara pengimpor dan konsumen energi.
Itulah mengapa perlu adanya peningkatan pengawasan dari jaringan energi secara keseluruhan, dari produsen ke pedagang hingga ke pembeli, kata Kate Watters, direktur Crude Accountability, lembaga pengawas hak asasi manusia dan lingkungan hidup untuk Laut Kaspia.
"Jika kita melihat rantai pasok dari awal hingga akhir, apakah mereka cuma mengekspor emisi karbon ke Eropa? Apakah itu jadi jawaban atas pertanyaan bagaimana kita akan menciptakan masa depan yang lebih hijau, sebuah masa depan dengan sedikit emisi karbon? Tidak, itu cuma memindahkan polusi," kata dia.
MELAMPAUI BATAS KEMAMPUAN
Menjadi presiden COP membuat catatan iklim dan penggunaan bahan bakar fosil Azerbaijan menjadi sorotan.
Meski banyak pengamat mengaku khawatir jika perundingan iklim COP29 akan disandera oleh petro-state - negara yang sangat tergantung pada minyak - namun para pemimpin menganggap ajang ini adalah peluang bagi terjadinya perubahan.
Soltanov, CEO COP29, mengatakan bahwa pemerintahannya menyadari adanya tren global untuk dekarbonisasi. Azerbaijan memang tengah mengatur ulang perekonomiannya beralih dari hidrokarbon, namun menurut Soltanov dunia masih bergantung pada mereka.
"Perekonomian dunia didasarkan pada hidrokarbon. Suka atau tidak suka, itulah faktanya. Dan semua orang, setiap negara di dunia, adalah negara minyak, baik sebagai produsen atau konsumen, atau keduanya,” katanya.
“Kami berencana untuk memastikan bahwa sumber daya lepas pantai Kaspia, pembangkit tenaga angin, yang tengah dikembangkan, akan menguntungkan Azerbaijan tetapi juga akan meluas ke wilayah tersebut dan memiliki implikasi global,” tambahnya.
Markas COP di Baku terletak di area peremajaan kota. Terletak dekat dengan pantai Kaspia, apartemen-apartemen dan kompleks perkantoran mewah dengan kaca-kaca jendela berkilauan berdiri di tempat yang dulunya sepi.
“Tempat kita berada saat ini, kami menyebutnya 'Kota Putih' karena tempat ini telah berubah. Dulunya, tempat ini adalah 'Kota Hitam' karena polusi minyak,” kata Soltanov.
Ini adalah metafora yang tepat, katanya, untuk kisah Azerbaijan dan peran yang dapat dimainkannya dalam mengubah sesuatu yang berbahaya bagi planet ini menjadi sesuatu yang bersih dan berguna.
"Saya kira tempat ini adalah contoh bahwa Azerbaijan bisa melampaui batas kemampuan dan mengkontribusikan sesuatu yang amat berharga," kata dia.
"Kami siap. Ini adalah tren. Kita tidak bisa mengelak darinya."
"Selama Anda percaya bahwa planet yang kita tinggali ini bisa hilang, maka apa pun yang Anda lakukan untuk berkontribusi pada solusi krisis iklim akan membuat Anda bahagia. Pada akhirnya, inilah yang terpenting."
Pertanyaannya pentingnya masih sama, yaitu bagaimana cara Azerbaijan melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber daya tambang. Menurut Toghrul Valiyec, pengamat ekonomi di Baku, negara itu kesulitan melakukan diversifikasi ekonomi.
Sekitar setengah dari total pendapatan anggaran negara ini dari minyak dan gas. Namun meski memiliki sumber daya alam yang kaya dan dikuasai negara, Azerbaijan hanya memiliki sedikit sekali simpanan kekayaan dan sangat bergantung pada anggaran pemerintah untuk menstimulasi ekonomi.
Ketika harga minyak dunia turun, kata Valiyev, maka masyarakat Azerbaijan yang akan merasakan dampaknya.
"Kami belum menciptakan ekonomi riil di negara ini. Harga minyak menjadi indikator kesehatan ekonomi kami," kata dia.
"Setiap kali terjadi penurunan harga minyak, pemerintah menciptakan program-program strategis, beberapa peta jalan untuk diversifikasi.
"Tapi dalam satu atau dua tahun ini, harga minyak mulai naik, dan semua orang melupakannya. Bagi kami ini problematik, karena kami tidak punya strategi apa-apa untuk masa depan."
Laporan Crude Accountability pada 2020 menyebutkan, kekayaan yang diciptakan dari minyak sebagian besar gagal menciptakan perekonomian yang lebih besar. Laporan itu juga menyebut bukti bahwa "pemasukan dari penjualan minyak oleh Azerbaijan tidak mampu mengurangi angka pengangguran, mengangkat kemiskinan dan tidak meliberalisasi, mendiversifikasi dan memodernisasi perekonomian nasional".
Jurang kesenjangan kemakmuran di Azerbaijan masih sangat dalam. Laporan Bank Dunia pada 2021 menyebutkan negara ini memiliki tingkat kesenjangan dua kali lipat dibanding negara-negara Eropa dan Asia Tengah.
"Kita melihat proyek-proyek pembangunan megah. Kita lihat bangunan yang keren, bandara baru, jalanan yang entah ke mana, tapi ketika Anda pergi ke desa, berkendara 15 sampai 20 menit keluar Baku - tidak perlu sampai ke luar negeri - tanda-tanda kekayaan itu sangat cepat menguap," kata Watters.
Namun, Shaban dari Pusat Penelitian Minyak membantahnya. Dia mengatakan Azerbaijan telah berubah menjadi lebih baik dalam beberapa dekade terakhir berkat eksploitasi sumber daya minyak dan gas.
Ia berpendapat bahwa demam minyak pada masa Soviet telah menumbuhkan kota-kota baru dari ketiadaan. Sejak kemerdekaan, kata dia, Republik ini juga telah mengalami banyak kemajuan.
“Saya sering mengatakan bahwa Azerbaijan telah melalui masa-masa sulit. Masyarakat saat ini melupakan masa-masa sulit dengan sangat cepat dan berpikir bahwa semuanya harus sempurna,” katanya.
“Beberapa orang berpikir bahwa semua uang harus diberikan kepada rakyat, atau bahwa kita tertinggal jauh di belakang.”
Kemiskinan telah menurun secara drastis di Azerbaijan, dari 49 persen di tahun 2004 menjadi 4,9 persen di tahun 2014, berdasarkan data dari Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian. Namun, angka-angka ini juga menunjukkan kesenjangan yang besar antara Baku dan daerah perdesaan.
Laporan Crude Accountability juga menemukan bahwa infrastruktur bahan bakar fosil menyebabkan masalah kesehatan serius bagi masyarakat yang tinggal di dekatnya.
"Penting sekali lagi untuk diingat bahwa ini bukan sekadar data. Ini bukan sekadar statistik. Ini nyawa manusia. Mereka adalah generasi anak-anak yang tumbuh di bawah bayang-bayang emisi beracun,” kata Watters.
“Kita harus bertanggung jawab karena terus melanjutkan perekonomian bahan bakar fosil yang kita nikmati bersama.”
📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀
🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V