Trump bakal perluas wilayah AS? Nasib ‘menyedihkan’ Arktik hingga ‘tragedi’ Terusan Panama di depan mata
Donald Trump berpendapat bahwa Amerika Serikat membutuhkan Greenland demi keamanan nasional, dan Terusan Panama untuk mengekang biaya tinggi perkapalan AS serta melawan pengaruh China.

Kolase foto warga di lapangan olahraga di Qeqertarsuaq, Pulau Disko, Greenland, 30 Juni 2024, dan foto seorang pekerja di kunci Cocoli di sisi Pasifik Terusan Panama, 23 Juni 2016. (Foto: Reuters/Ritzau Scanpix/Ida Marie Odgaard, Carlos Jasso)
BEIJING: Janji Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pidato pelantikannya pada Senin (20/1) untuk memperluas wilayah Amerika, terutama terkait pengambilalihan kembali Terusan Panama, telah memperdalam kekhawatiran yang baru-baru ini timbul terkait agenda ekspansionisnya.
“Amerika Serikat sekali lagi akan menjadi bangsa yang berkembang, bangsa yang menambah kekayaan kita, memperluas wilayah kita, membangun kota kita, meningkatkan harapan kita, dan membawa bendera kita ke cakrawala baru yang indah,” ujar Trump di Gedung Capitol AS di Washington DC.
Meskipun Trump tidak mengulangi niatnya untuk menguasai Greenland, para pengamat menilai langkah seperti itu tetap mungkin terjadi dan dapat memicu persaingan yang semakin intens dengan China dan Rusia di Arktik — mengubah kawasan tersebut dari arena perubahan iklim menjadi zona militerisasi dan potensi konfrontasi.
Mereka menambahkan bahwa retorika presiden AS yang baru dilantik tersebut dapat mendorong Tiongkok semakin dekat dengan Rusia di Arktik, karena Beijing berupaya mengatasi keterbatasan akses kawasan itu dan mempertahankan kepentingan strategisnya.
“(China dan Rusia) akan semakin erat, mungkin bersatu untuk bersaing atau melawan AS di bawah Trump di Arktik,” ujar Liu Nengye, associate professor di Universitas Manajemen Singapura (SMU) yang berfokus pada hukum kutub.
Melihat memburuknya kerja sama kawasan kutub antara China dan Barat, para analis memperkirakan keamanan akan menjadi sorotan utama dalam strategi Arktik Beijing yang terus berkembang.
“Saya pikir bahasa yang digunakan China akan jauh lebih lugas … akan ada fokus yang jauh lebih besar pada keamanan, serta penekanan pada perlunya menghormati hak negara-negara non-Arktik,” kata Marc Lanteigne, profesor ilmu politik di Universitas Tromsø (UiT): Universitas Arktik Norwegia, kepada CNA.
Para pengamat memperingatkan bahwa semua ini hanya akan semakin memecah Arktik, sehingga mempersulit pihak lain untuk beroperasi di kawasan kutub tersebut, dan memperingatkan bahwa ketegangan dapat merembet ke seluruh dunia ketika negara-negara semakin terdesak untuk memilih kubu.
MENGINCAR GREENLAND
Greenland, daerah otonomi Denmark di Amerika Utara, sebelumnya telah didekati oleh Trump selama masa jabatan pertamanya (2017-2021). Meskipun mendapat penolakan keras, keinginan Trump untuk mengakuisisi pulau terbesar di dunia itu tetap bertahan saat ia memulai periode keduanya di Gedung Putih.
“Demi Keamanan Nasional dan Kebebasan di seluruh Dunia, Amerika Serikat merasa bahwa kepemilikan dan kontrol atas Greenland merupakan suatu keharusan,” tulis Trump saat masih sebagai presiden terpilih pada 22 Desember tahun lalu di platform Truth Social miliknya.
Trump mempertegas pendiriannya dalam konferensi pers dua minggu kemudian, dengan mengatakan kepada wartawan bahwa ia tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan militer atau paksaan ekonomi untuk mengambil alih Greenland. Pada saat yang sama, putra sulungnya, Donald Trump Jr, melakukan kunjungan singkat yang ia sebut bersifat “pribadi” ke wilayah tersebut.

Menurut Lanteigne, pernyataan Trump kali ini “jauh lebih blak-blakan” mencerminkan agenda ekspansionisnya yang kembali terlihat dalam pidato pelantikannya - menunjukkan pentingnya posisi Greenland dalam pemikiran strategis sang presiden.
Terlepas dari apakah ambisi pengusaha yang kini menjadi presiden itu pada akhirnya berhasil atau tidak, para analis sepakat bahwa AS akan terus mengincar Greenland karena kepentingan strategisnya yang semakin meningkat.
Salah satu faktornya adalah kekayaan sumber daya alam Greenland yang hingga kini belum banyak dieksplorasi. Dari 34 mineral yang dikategorikan sebagai “bahan baku kritis”, 25 di antaranya telah ditemukan di Greenland menurut survei Komisi Eropa tahun 2023.
“Logam tanah jarang sangat menarik perhatian, karena saat ini China memiliki pengaruh besar di sebagian besar industri tersebut, dan Trump terang-terangan menyatakan bahwa ia ingin mematahkan dominasi China di bidang ini,” kata Lanteigne.
Logam tanah jarang adalah komponen penting dalam beragam produk teknologi sehari-hari seperti ponsel pintar, komputer, televisi, dan magnet. Menurut Institusi Brookings, lembaga think tank asal AS, China menguasai sekitar 55 persen kapasitas penambangan global serta sekitar 85 persen proses pemurnian logam tanah jarang pada tahun 2024. Sementara itu, AS berada jauh di posisi kedua dengan sekitar 12 persen produksi logam tanah jarang dunia pada 2023.
Pada saat yang sama, para analis mengatakan Trump mengirim sinyal pencegahan yang jelas ketika Rusia dan China memperkuat jejak mereka di kawasan Arktik. Kerja sama antara Moskow dan Beijing di kutub utara mencakup perdagangan, sains, dan militer, dalam kerangka kemitraan “tanpa batas”.
“(Trump) mencoba mengirim sinyal tegas kepada Rusia dan China — bahwa AS ingin menciptakan semacam garis perlindungan atau zona penyangga di sekitar kepentingan Arktik AS,” kata Lanteigne.
Menurut peneliti di Institut Arktik yang berbasis di Washington DC, Trym Eiterjord, militerisasi kawasan Arktik oleh Rusia dan meningkatnya kehadiran China di kutub utara menjadi pendorong utama strategi AS di kawasan itu.
“Menguasai Greenland mungkin akan membatasi kawasan tersebut dari aktivitas China (atau Rusia) lebih lanjut yang menjadi kekhawatiran besar selama pemerintahan Trump sebelumnya,” ujarnya.
MENGINCAR TERUSAN PANAMA
Selain Greenland, Presiden AS Donald Trump juga mengincar Terusan Panama dengan alasan keamanan nasional. Ia juga tidak menutup kemungkinan menggunakan paksaan ekonomi atau militer untuk mencapai tujuan itu.
Terusan internasional sepanjang 80km tersebut merupakan jalur pintas pelayaran antara Samudra Atlantik dan Pasifik, memungkinkan kapal untuk menghindari perjalanan panjang dan berbahaya melewati ujung Amerika Selatan.
Trump menuduh Panama mematok tarif berlebihan bagi kapal-kapal Amerika yang melewati kanal di Amerika Tengah itu, dan dengan tanpa bukti menuding China terlibat dalam pengelolaan terusan dengan pengoperasian oleh pasukan China.
“Terusan itu dioperasikan oleh China. China! Kita menyerahkan Terusan Panama kepada Panama, bukan kepada China,” kata Trump dalam konferensi pers di resor Mar-a-Lago miliknya pada 7 Januari.
Trump kembali menegaskan klaimnya dalam pidato pelantikannya pada 20 Januari.
“China mengoperasikan Terusan Panama, dan kita tidak memberikannya kepada China, kita memberikannya kepada Panama, dan kita akan merebutnya kembali,” ujarnya.

Pada kenyataannya, China tidak menguasai atau mengelola Terusan Panama, meski anak perusahaan CK Hutchison Holdings yang berbasis di Hong Kong telah lama menjalankan dua pelabuhan di kedua ujung kanal air tersebut.
Para pemimpin Panama dengan tegas menolak ancaman Trump untuk merebut kembali jalur pelayaran global penting yang dahulu dibangun dan dimiliki AS sebelum kendalinya diserahkan pada 1999.
China juga angkat bicara.
“China akan selalu menghormati kedaulatan Panama atas terusan dan mengakui terusan tersebut sebagai jalur air internasional yang selamanya netral,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China pada akhir Desember.
Pernyataan Trump tersebut memicu kontroversi dan menandakan kebijakan luar negeri yang agresif, yang menurut banyak pengamat akan dijalankannya selama masa kepresidenannya kali ini.
Para analis menilai kecil kemungkinan pemerintahan Trump 2.0 benar-benar akan merebut Terusan Panama dengan paksa.
Menurut Amalendu Misra, profesor politik internasional di Universitas Lancaster, posisi AS di Amerika Latin akan terdampak parah bila Trump nekat melanjutkan rencananya. Hal itu bisa mendorong negara-negara di kawasan keluar dari Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS), dan bahkan mencari aliansi militer dengan musuh-musuh AS seperti Rusia, China, dan Iran.
“Itu jelas tidak akan memperkuat keamanan AS,” ujarnya dalam sebuah artikel di situs berita independen The Conversation, 9 Januari lalu.
Bagaimanapun, menurut Gideon Rachman, kolumnis urusan luar negeri di Financial Times, retorika ekspansionis Trump telah merusak reputasi Amerika.
“Bahkan jika Trump tidak mewujudkan ancamannya, ia sudah merusak kedudukan global Amerika dan sistem aliansinya,” kata Rachman dalam sebuah kolom komentar di CNA pada 15 Januari.
“Mengejek ‘candaan’ Trump adalah hal yang keliru. Apa yang kita saksikan ini adalah tragedi — bukan komedi.”
MEMPERHITUNGKAN ULANG STRATEGI ARKTIK CHINA
Greenland menolak menjadi bagian dari AS, meskipun daerah otonomi di Amerika Utara yang telah menjadi bagian dari Denmark selama 600 tahun ini terus meniti jalan menuju kemerdekaan.
“Kami ingin menjadi warga Greenland,” ujar Perdana Menteri Greenland, Mute Egede, dalam wawancara dengan Fox News pada 16 Januari.
“Tetapi kami juga ingin menegaskan: Kami tidak ingin menjadi orang Amerika. Kami tidak ingin menjadi bagian dari AS, tetapi kami menginginkan kerja sama yang kuat dengan AS,” tegasnya.
Terlepas dari apakah Trump akan berhasil mendapatkan Greenland atau tidak, para pengamat menekankan bahwa tindakannya kemungkinan akan mendorong Beijing untuk semakin mendekat ke Moskow di Arktik, guna menjaga kepentingan strategisnya di kawasan utara itu.
“Bagi China, kepentingan terbesar di Arktik adalah sumber daya dan keamanan energi,” ujar Liu dari SMU kepada CNA.
Berdasarkan data Komite DPR AS bidang Hubungan Luar Negeri, China telah menginvestasikan lebih dari US$90 miliar (Rp1.455 triliun) di kawasan Arktik selama satu dekade terakhir, terutama dalam bentuk proyek infrastruktur di sektor energi dan mineral.
Sebagian besar dana ini dialirkan ke proyek di wilayah Arktik Rusia, seperti Yamal LNG, Arctic LNG 2, serta pipa Power of Siberia yang mengalirkan gas alam dari Rusia ke China.

“Sebagai ekonomi besar seperti China, mereka — sama seperti AS — harus memastikan mendapat prioritas atas kebutuhan sumber dayanya untuk mendukung perekonomian secara global,” kata Liu.
Selain itu, pelayaran juga menjadi kepentingan inti China di Arktik, sebagaimana tercantum dalam buku putih Arktik yang diterbitkan Beijing pada 2018. Dokumen tersebut menggambarkan “Jalur Sutra Kutub” melalui pengembangan rute pelayaran Arktik, sekaligus memicu kontroversi karena menempatkan China sebagai negara “dekat Arktik”.
Arktik adalah salah satu kawasan paling terdampak perubahan iklim. Suhu yang menghangat telah membuka rute pelayaran baru di kawasan yang dahulu dianggap tak dapat dilalui, berpotensi memangkas waktu berminggu-minggu dari rute tradisional melalui Terusan Suez di Mesir.
Terdapat tiga rute utama pelayaran di Arktik. Rute Laut Utara saat ini paling sering digunakan karena kondisi yang relatif lebih menguntungkan, kebanyakan membentang di sepanjang pesisir Arktik Rusia. Moskow dan Beijing adalah mitra dalam pengembangan jalur ini. Jalur Timur Laut melintasi kepulauan di utara Kanada, menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik.
Namun, Rute Laut Transkutub yang melintasi pusat Arktik — dan berada di luar zona ekonomi eksklusif negara-negara pesisir Arktik — bisa jadi paling menarik perhatian, terutama jika es di Arktik mencair sepenuhnya di musim panas pada 2030-an seperti yang diprediksi sejumlah riset.

“China berupaya mempersiapkan diri untuk saat di mana ia dapat memperluas perdagangan di Arktik tengah. Namun untuk sekarang, mereka masih sangat bergantung pada negara-negara Arktik, termasuk Rusia,” ujar Lanteigne.
Negara-negara lain dengan jarak beragam dari kutub utara juga meningkat keterlibatannya dalam urusan Arktik. Negara rentan iklim seperti Singapura, misalnya, khawatir akan dampak eksistensial mencairnya es kutub, sementara bagi negara lain, fokus utamanya adalah pelayaran dan penelitian ilmiah.
Rusia, yang dulunya sangat berhati-hati dalam mengundang kekuatan asing ke wilayah Arktiknya, kini melunak terhadap China. Hal ini setidaknya dikarenakan semakin bergantungnya Moskow pada Beijing secara ekonomi dan politik di tengah sanksi keras negara-negara Barat, terutama sejak aneksasi Krimea pada 2014 dan invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.
Di sisi lain, China kini kian bergantung pada Rusia untuk mendapatkan akses ke kutub utara, di tengah meningkatnya ketegangan AS-Tiongkok dan mencuatnya kecurigaan negara-negara Arktik terhadap Beijing, sehingga menghambat berbagai bentuk kerja sama.
Lanteigne menjelaskan bahwa China sebenarnya dulu berupaya menggaet negara-negara Arktik lain, mengarahkan investasi ke Denmark, Norwegia, Finlandia, hingga Islandia. Namun, “sangat sedikit” dari proyek-proyek tersebut benar-benar terwujud.
“Ada banyak pembicaraan tentang penambangan China di Greenland. Tidak ada yang benar-benar terealisasi,” ungkapnya.
Menurut Eiterjord dari Institut Arktik, China pun menghadapi “banyak penolakan” dari AS dan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
JAUH DI UTARA, DEKAT DI MATA
Meningkatnya hubungan China dan Rusia di Arktik akan menaikkan suhu geopolitik dan membagi kawasan kutub menjadi dua blok, dengan kedua negara tersebut di satu sisi — dan AS beserta sekutunya di sisi lain, menurut para pengamat.
“Secara geopolitik, Arktik, sayangnya, kembali menjadi zona konfrontasi … dan ini sangat menyedihkan bagi Arktik, kawasan yang paling terdampak perubahan iklim di planet ini,” kata Liu dari SMU.
Ia menyoroti bagaimana Arktik dahulu menjadi kawasan yang sangat termiliterisasi semasa Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet saling menargetkan rudal satu sama lain. Meskipun kondisinya sekarang tidak separah dulu, para analis menilai Arktik sedang memasuki kembali fase militerisasi seiring dengan persaingan yang mengesampingkan kerja sama.
Berdasarkan artikel Foreign Policy edisi April 2024, antara 2014 hingga 2019 Rusia telah membangun lebih dari 475 fasilitas militer di Arktik.
Tiongkok dan Rusia juga melakukan aktivitas militer gabungan di Arktik. Pada bulan Juli 2024, pesawat pengebom strategis berkemampuan nuklir dari kedua negara terbang di atas Laut Chukchi dan Laut Bering. Ini adalah pertama kalinya pesawat pengebom Tiongkok terbang di dalam zona identifikasi pertahanan udara Alaska.
Tiongkok dan Rusia juga mengadakan latihan angkatan laut gabungan di Selat Bering pada tahun 2023. Kemudian, pada bulan Oktober 2024, penjaga pantai Tiongkok mengklaim telah memasuki perairan Samudra Arktik untuk pertama kalinya sebagai bagian dari patroli gabungan dengan Rusia.

Sementara itu, di pihak Barat, Trump kembali mengincar Greenland dan tidak menutup kemungkinan paksaan ekonomi atau militer.
“Saya berbicara tentang melindungi dunia bebas,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers awal bulan ini.
NATO juga memperkuat kehadirannya di Arktik di tengah bayang-bayang Rusia yang kian besar. Semua negara Arktik, kecuali Rusia, tergabung dalam aliansi tersebut. Finlandia dan Swedia, anggota terbaru NATO, berubah haluan dari status netral setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina hampir tiga tahun lalu.
“Jika NATO benar-benar kelihatan jauh lebih aktif di Arktik sementara kehadiran strategis AS di Greenland semakin kentara, pertama-tama, Rusia akan merespons dan terus berusaha memperkuat kemampuan militer Arktiknya sendiri,” ujar Lanteigne.
“Dan saya pikir China akan mengarahkan kembali upayanya karena China telah secara tegas menyatakan kawasan kutub sebagai cakrawala strategis baru.”
Lanteigne mencatat bahwa China, melalui medianya, berusaha menggambarkan AS dan NATO sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas militerisasi Arktik.
“Kritik-kritik ini cenderung mengabaikan Rusia. Mereka berpendapat: ‘Arktik dulunya kawasan kerja sama dan kesepakatan ilmiah yang erat, lalu NATO muncul dan menghancurkannya.’”
Para analis sepakat bahwa isu keamanan akan menjadi fokus utama kebijakan Arktik Tiongkok di masa depan.
Menurut Lanteigne, buku putih Arktik Tiongkok tahun 2018 hanya membahas keamanan secara “sangat terbatas” dan mencoba menghindari kesan bahwa China “ingin merusak” keseimbangan di Arktik.
“Namun waktu itu China berharap tidak dipandang sebagai agresor, pihak yang menyeimbangkan kekuatan di Arktik,” ujarnya.
“Sekarang kondisinya berbeda. China tidak lagi bisa benar-benar mengklaim bahwa ia adalah mitra netral yang sekadar ingin membantu.”
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.