Kecemasan Asia Tenggara: Donald Trump akan rusak perundingan iklim global
Para menteri dan pengamat khawatir Donald Trump akan membuat Amerika Serikat keluar dari perjanjian penting terkait perubahan iklim jika dia sudah dilantik presiden.
BAKU, Azerbaijan: Pemerintahan negara-negara Asia Tenggara harus terus melanjutkan ambisi mereka dalam mengatasi perubahan iklim, dengan atau tanpa keterlibatan Amerika Serikat.
Hal ini disampaikan oleh para menteri dan pejabat lingkungan hidup di Asia Tenggara pada perundingan iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pekan lalu.
Mereka khawatir AS akan menarik diri dari berbagai perundingan iklim global jika Donald Trump sudah dilantik menjadi presiden. Namun meski ada ancaman tersebut, para pejabat sepakat bahwa momentum untuk mengatasi perubahan iklim tidak boleh kendur.
Trump akan dilantik menjadi presiden ke-47 AS pada Januari tahun depan setelah menang dalam pemilu November lalu mengalahkan Kamala Harris.
"Hasil pemilu AS membayang-bayangi, tapi pada akhirnya, kita harus terus maju," kata Nik Nazmi bin Nik Ahmad, Menteri Sumber Daya Alam dan Kelestarian Lingkungan Malaysia, kepada CNA.
"Pemilu AS datang dan pergi, dan menurut saya hasilnya justru menunjukkan pentingnya kerja sama global dalam menghadapi ancaman bersama, seperti perubahan iklim. Jadi kami berharap akan ada peningkatan dalam momentumnya," lanjut dia.
Perundingan iklim COP29 yang berakhir pekan lalu menghasilkan kesepakatan bantuan dana sebesar US$300 miliar per tahun mulai 2035 bagi negara-negara miskin untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Angka tersebut didapatkan setelah melalui perundingan alot di antara negara-negara penyumbang. Sebelumnya, dana bantuan tahunan yang diajukan adalah sebesar US$1 triliun mulai 2030.
Namun dengan terpilihnya Trump, banyak pihak khawatir dia akan membuat perundingan iklim mandek dan pendanaan yang telah disepakati tidak terlaksana.
Pasalnya, Trump memiliki riwayat buruk terkait komitmen terhadap upaya mengatasi perubahan iklim. Dia pernah mengatakan bahwa perubahan iklim adalah hoaks dan penipuan.
Ketika menjadi presiden pada 2017, Trump langsung mengeluarkan AS dari Perjanjian Paris, sebuah kesepatan yang diadopsi 196 negara untuk mengatasi perubahan iklim, salah satunya soal mencegah peningkatan suhu. AS kembali menjadi anggota Perjanjian Paris ketika Joe Biden menjabat presiden. Kini, Trump kembali mengancam akan membuat AS keluar lagi jika dia sudah jadi presiden.
Ancaman Trump ini dikhawatirkan akan memengaruhi negara lain. Pekan lalu Argentina keluar dari COP29 dan menarik pulang juru rundingnya atas perintah Presiden Javier Milei, sosok yang dianggap sebagai sekutu dekat Trump.
Masih belum diketahui apakah Argentina juga akan menyusul rencana Trump untuk menarik diri dari Perjanjian Paris.
Ketiadaan AS sebagai salah satu negara ekonomi terbesar dunia dalam Perjanjian Paris disebut akan menyulitkan perundingan terkait pendanaan iklim.
"Kami mendengar bahwa AS kemungkinan akan keluar dari Perjanjian (Paris). Jika itu terjadi, maka akan buruk bagi komunitas iklim dunia. Ini mengkhawatirkan," kata Dr Ching Thoo Ki, sekretaris jenderal Kementerian Sumber Daya Alam dan Kelestarian Lingkungan Malaysia.
Menurut Ching, negara-negara maju harus adil dalam membantu negara-negara berkembang atau miskin untuk mengatasi perubahan iklim.
"Kesampingkan dulu semua masalah geopolitik, fokus dengan apa yang terjadi saat ini, yaitu perubahan iklim. Gletser sedang mencair. Permukaan laut sedang naik. Ini yang sedang terjadi," kata dia
Saat ini Filipina menjadi anggota dewan pendanaan untuk bantuan bagi negara-negara yang terkena dampak perubahan iklim.
Maria Antonia Yulo-Loyzaga, Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Filipina, mengatakan kepada CNA bahwa meskipun Amerika Serikat adalah “negara yang sangat penting dalam hal mencapai tujuan iklim kita”, namun Filipina harus bersikap pragmatis di masa mendatang.
"Secara umum, Filipina akan terus maju," kata dia.
“Tentu saja, ada pertimbangan geopolitik dan geostrategis dalam setiap keputusan yang kami ambil, tetapi kami tahu betapa rentannya kita, dan oleh karena itu kami pada dasarnya akan tetap berada di jalur yang sama.”
Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq, tidak menyinggung soal terpilihnya kembali Trump, tapi dia menyuarakan kekhawatiran yang sama terkait ancaman tersendatnya kerja sama dan kemajuan dalm perundingn iklim.
“Harapan kami, dengan adanya COP29 ini, semua negara membuka diri untuk mengambil tindakan yang jelas dan realistis untuk dilakukan bersama. Jika semua negara dapat bekerja sama, maka akan lebih mudah untuk mencapai hasil yang dapat disepakati secara global,” katanya.
“Jika kita terlalu sibuk berunding tanpa henti, namun masih terus membangun serta mengeluarkan gas rumah kaca, maka kita cuma melakukan diskusi yang tiada ujungnya.”
MANIFESTASI REGIONAL
Di bawah pemerintahan Biden, produksi minyak dan gas AS telah mencapai rekor tertingginya. Di bawah Trump akan lebih parah. Dia telah berjanji akan meningkatkan produksi bahan bakar fosil dalam negeri dan menderegulasi sektor energi.
Kebijakan Trump di bidang energi diperkirakan akan memberikan dampak hingga ke negara-negara Asia Tenggara, sebuah kawasan yang berada di persimpangan jalan antara isu ketahanan, keamanan dan keterjangkauan energi.
Gerry Arances, direktur eksekutif Center for Energy Ecology and Development, mengatakan kebijakan AS berpotensi membuat Jepang bisa berinvestasi lebih banyak pada gas alam cair (LNG). Jika demikian, LNG asal Jepang akan masuk ke dalam bauran energi di Asia Tenggara dalam beberapa dekade mendatang.
Jepang adalah investor besar di sektor LNG AS dan tengah menjajaki kesepakatan dan perdagangan di seluruh Asia Tenggara.
Sejauh ini, berbagai perusahaan Jepang telah terlibat dalam lebih dari 30 proyek terkait gas dan LNG di Asia Tenggara, termasuk dengan Vietnam dan Filipina untuk pembangkit listrik.
Menurut data Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), tahun lalu penjualan kembali LNG oleh Jepang ke luar negeri jauh lebih banyak ketimbang yang diimpor dari masing-masing negara mitra produsen gas.
"Pemerintahan di Asia Tenggara harus mewaspadai terjadinya ketergantungan pada gas," kata Arances.
"Strategi investasi dan ekonomi Jepang akan menciptakan banyak tekanan bagi pemerintahan di dalam negeri, karena akan ada banyak imbal baliknya bagi investasi dan perdagangan."
Dengan ketiadaan AS nantinya, para pengamat mengatakan ada kekosongan kepemimpinan dalam isu iklim yang bisa diisi oleh China. Dan di Baku, pemerintah Beijing telah menunjukkan kesiapan untuk mengambil peranan lebih besar dalam memimpin upaya mengatasi perubahan iklim.
"Saya kira kepemimpinannya harus datang dari yang lain," kata Arances.
Pada COP29, para pejabat China telah mengatakan bahwa negara mereka siap untuk itu. Namun mereka tidak setuju jika diharuskan berkontribusi bagi pendanaan iklim di masa depan. Beberapa negara memang ingin menyertakan China, Rusia, dan Arab Saudi dalam daftar negara pendonor.
Meski sebelumnya telah menyatakan enggan berkontribusi, namun kepala delegasi China Zhao Yingmin pada COP29 mengatakan sebaliknya. Dia menegaskan bahwa negara-negara kaya mendanai proyek mengatasi perubahan iklim bukanlah hibah atau donasi, melainkan sebuah kewajiban.
Arances mengatakan, China dengan industri energi terbarukannya yang maju akan diuntungkan jika AS mengambil langkah mundur dari perang terhadap perubahan iklim.
"China memimpin dalam bidang ini di seluruh dunia. Kami berharap China bisa memanfaatkan energi terbarukan mereka yang unggul dan sumber daya keuangannya dengan baik. Dan negara Asia Tenggara bisa mengambil keuntungan darinya," kata dia.
"Sekarang dengan Gedung Putih yang diisi si penyangkal perubahan iklim lagi (Trump), China harus berani mengisi kekosongan itu di kawasan (Asia Tenggara)," kata dia.
SATU NEGARA TIDAK BISA MENGUBAH DUNIA
Dengan keluarnya Argentina dari COP23, banyak pihak khawatir langkah ini akan disusul negara-negara lain setelah Amerika yang dipimpin Trump menarik diri dari berbagai kesepakatan iklim.
Namun, Lindy Fursman - direktur Kebijakan Iklim dan Energi di Tony Blair Institute for Global Change - mengatakan bahwa Amerika Serikat sendirian tidak akan mampu menggagalkan momentum perubahan global, terutama di sektor energi.
"Faktanya, perubahan kebijakan satu negara tidak akan mengubah atau mengalihkan transisi menuju energi terbarukan yang kita sama-sama saksikan saat ini," kata dia.
"Di masa lalu, misalnya, kita tahu investasi energi terbarukan dua kali lipat dibanding bahan bakar fosil. Dan perubahan kebijakan satu negara tidak akan mengubah selera dari negara-negara berkembang terkait pertumbuhan di sektor keberlanjutan."
Fursman juga mengatakan bahwa pendanaan dari sektor swasta bisa dijajaki untuk menutupi kekurangan yang ada.
"Yang jelas ada modal di luar sana yang siap digelontorkan, asalkan kita bisa memberikan sinyal yang tepat," kata Fursman.
Menurut para ahli, ketika Trump memimpin AS dan menarik diri dari kesepakatan iklim pada 2016, negara-negara lain dan organisasi lingkungan tidak lantas ciut nyali, malah akan semakin gencar melakukan kerja sama.
Saat ini, delapan tahun berselang, kerja sama terkait iklim lebih mendesak lagi. Para ilmuwan mengatakan ini adalah saat yang krusial untuk menjaga suhu bumi agar tidak terus naik. Menurut Laporan Kesenjangan Emisi yang dirilis Program Lingkungan PBB (UNEP), suhu Bumi akan lebih panas 3,1 derajat Celcius pada akhir abad ini.
Di saat bersamaan, perbincangan dan aksi terkait dekarbonisasi ekonomi lebih maju dibanding delapan tahun lalu.
"Kita sudah pernah ada di posisi ini sebelumnya. Kita sudah tahu bagaimana harus bertindak, dan kita lihat ketika itu bahwa sektor swasta ingin melanjutkan dan berkomitmen terhadap tujuan Perjanjian Paris," kata Champa Patel, direktur eksekutif untuk pemerintah dan kebijakan di Climate Group, lembaga nirlaba internasional yang mengkhususkan diri pada bidang iklim dan energi.
"Tentu saja, kita butuh kepemimpinan AS untuk masalah ini, karena AS adalah penghasil emisi terbesar dunia. Tapi di waktu yang sama, ada banyak aktor di dalam negeri AS yang memobilisasi aksi ambisius terkait iklim," kata dia.
Sentimen yang sama disampaikan Franceso La Camera, direktur jenderal Badan Energi Terbarukan Internasional.
"Pemerintahan AS, sama seperti pemerintahan lainnya, meyakini pasar bebas," kata dia kepada CNA.
"Situasinya berbeda dibanding delapan tahun lalu. Dulu banyak ketidakpastian. Sekarang buktinya sudah nyata. Angkanya sudah jelas. Energi terbarukan kini adalah cara yang paling kompetitif dalam menghasilkan energi."
📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀
🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V