Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Dunia

Antara Donald Trump dan Prabowo, mengapa sama-sama tunjuk loyalis masuk kabinet?

Dalam penunjukan kabinet di pemerintahan, baik Trump dan Prabowo sama-sama mengisinya dengan para loyalis dan simpatisan. Namun menurut pengamat, keduanya memiliki perbedaan.

Antara Donald Trump dan Prabowo, mengapa sama-sama tunjuk loyalis masuk kabinet?

Kolase: Presiden terpilih AS Donald Trump (kanan) dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto. (Foto: Reuters/Jay Paul/Ajeng Dinar Ulfiana/Pool)

JAKARTA: Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump menunjuk para loyalis untuk masuk dalam jajaran kabinet. Pengamat mengatakan, langkah Trump ini serupa tapi tak sama dengan Presiden Prabowo Subianto yang mengisi posisi menteri dengan para loyalisnya.

Sebanyak 27 anggota kabinet yang telah dipilih Trump sejauh ini mengejutkan banyak pihak karena dianggap tidak cakap dan kurang berpengalaman untuk mengisi posisi yang ditugaskan.

Di antaranya adalah Matt Gaetz, 42, yang ditunjuk menempati posisi jaksa agung. Pemilihan Gaetz yang sejak lama dikenal sebagai loyalis Trump dipertanyakan, pasalnya dia tidak pernah bekerja di kementerian kehakiman AS, dan bahkan bukan seorang jaksa.

"(Tapi) Gaetz akan melakukan apa yang dikatakan Trump, itulah sebabnya dia dipilih," kata seorang sumber dekat Trump, kepada Reuters.

Loyalis lainnya yang ditunjuk Trump pekan ini adalah Tulsi Gabbard, sebagai direktur intelijen nasional yang akan membawahi 18 badan mata-mata di AS. Gabbard adalah mantan politisi Partai Demokrat yang membelot ke Republik lalu jadi pendukung tulen Trump. Reuters menuliskan, Gabbard sedikit sekali pernah bersentuhan langsung dengan urusan intelijen.

Nama lainnya adalah Pete Hegseth, komentator di stasiun televisi Fox News yang ditunjuk menjadi menteri pertahanan. Hegseth memang seorang veteran perang, namun pendukung Trump ini tidak pernah menjadi petinggi militer atau menempati jabatan publik sebelumnya. Selain itu dia tengah diselidiki atas tuduhan pelecehan seksual pada 2017, seperti yang diberitakan CNN.

Untuk posisi menteri dalam negeri, Trump menunjuk Gubernur Dakota Utara Doug Burgum. Dia sempat menjadi rival Trump pada nominasi capres Partai Republik, namun Burgum mundur lalu turut menyokong kampanye Trump. Burgum kerap muncul mengkampanyekan Trump di televisi dan acara penggalangan dana.

Trump menunjuk rekannya dari Partai Republik Marco Rubio sebagai menteri luar negeri. Rubio adalah senator yang tidak punya pengalaman di kementerian luar negeri AS, dikenal sangat pro-Israel dan keras terhadap China serta Rusia.

Marco Rubio (kanan) berbicara dalam kampanye Donald Trump, di Pennsylvania pada 29 Oktober 2024. (Foto: REUTERS/Brendan McDermid)

Yang mengejutkan lagi adalah penunjukan Elon Musk, CEO Tesla dan pemilik X, sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintahan atau DOGE. Musk adalah pendukung Trump yang disebut telah merogoh kocek hingga US$200 juta atau lebih Rp3 triliun untuk kampanye pemenangan Trump, seperti diberitakan Associated Press.

Dr Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional di Universitas Padjadjaran dan President University, mengatakan bahwa secara kasat mata mungkin para loyalis ini terlihat tidak kompeten, namun dia yakin pastinya Trump tidak sembarangan dalam menjatuhkan pilihan.

"Trump tentunya sudah mendapat informasi yang amat andal perihal mereka dari FBI dan CIA," kata Teuku kepada CNA. 

"Para loyalis tersebut adalah bagian dari Dream Team yang dipimpin Trump, dan dipersepsikan mampu menjalankan tugas secara bertanggung jawab," lanjut dia.

Menurut para pengamat, apa yang dilakukan Trump serupa tapi tak sama dengan Prabowo ketika menunjuk para pembantunya di pemerintahan. Pengamat mengatakan ini hal yang wajar dan merupakan hak prerogatif seorang presiden, namun tetap ada risiko yang mengintai atas pilihan-pilihan tersebut.

CEO Tesla dan pemilik X, Elon Musk, dalam kampanye Donald Trump di di Pennsylvania, AS, pada 5 Oktober 2024. (Foto: Reuters/Carlos Barria/File Photo)

SERUPA TAPI TAK SAMA

Tidak lama setelah diangkat presiden pada 20 Oktober lalu, Prabowo menetapkan jajaran kabinet gemuk yang terdiri dari 55 menteri/pejabat setingkat menteri dan 56 wakil menteri.

Selain para profesional, isi Kabinet Merah Putih Prabowo bertabur loyalis, simpatisan, dan para petinggi partai dari koalisi pendukung Prabowo. Salah satunya adalah Sugiono, wakil ketua umum Gerindra, yang ditunjuk menteri luar negeri. 

Sugiono tidak punya pengalaman sebagai diplomat. Padahal tiga menlu sebelumnya sejak 2004 hingga 2024 adalah para diplomat karier kawakan yang sudah malang melintang di Kementerian Luar Negeri.

Prabowo juga mempertahankan 17 menteri sebelumnya di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, meski beberapa posisi mereka tidak lagi sama. Sejak kampanye tahun lalu, meneruskan kebijakan Jokowi memang telah menjadi jargon Prabowo.

Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan kabinet Prabowo terdiri dari empat kluster, yaitu orang partai politik, profesional, loyalis, dan tim sukses atau simpatisan.

Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono, pada pelantikannya di Istana Kepresidenan Jakarta, 21 Oktober 2024. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Menurut Ujang, dalam konteks politik, pemilihan loyalis dalam kabinet - baik oleh Trump maupun Prabowo - adalah sesuatu yang wajar, meski memang idealnya profesional harus menempati porsi besar jika ingin pemerintahan berjalan dengan lebih baik.

"Loyalis itu kesetiaannya telah teruji ... Sejatinya loyalis perlu diberi tempat karena sudah berdarah-darah ikut berjuang, dan ketika menang dikasih posisi, itu wajar, asalkan memiliki kecakapan dan keahlian yang baik," kata Ujang.

"Trump juga melakukan hal yang sama, menunjuk yang loyal. Loyalitas menjadi penting, karena di politik banyak terjadi pengkhianatan," lanjut dia.

Teuku, dosen HI Unpad dan President University, berpandangan saat ini batasan antara loyalis dan profesional telah semakin kabur. Karena menurut dia, loyalis mungkin memiliki keterbatasan profesionalisme, sementara kalangan profesional mungkin loyalitasnya dipertanyakan.

"Juga terdapat nilai-nilai yang tingkat kelekatannya tak seragam, seperti: Kenegarawanan, patriotisme, ke-Indonesia-an, kesetiaan pada ideologi negara dan konstitusi negara," kata Teuku.

Meski sama-sama menunjuk loyalis masuk kabinet, namun penunjukan menteri oleh Trump dan Prabowo memiliki perbedaan, demikian M. Waffaa Kharisma, Peneliti Departemen Hubungan Internasional di lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berpandangan.

"Trump cenderung memilih yang ideologinya sama ... mereka bukan serta merta loyalis Trump, tapi mereka yakin Trump akan mendukung ideologi mereka," kata Waffaa saat dihubungi CNA.

Sementara Prabowo memilih orang-orang yang sudah lama berjalan bersama dirinya. Selain itu, kata dia, Prabowo juga merekrut orang-orang yang berseberangan seperti ahli atau ketua partai "sebagai bagian dari power-sharing (berbagi kekuasaan)".

Presiden Prabowo Subianto usai mengumumkan nama menteri-menteri kabinetnya di istana Kepresidenan Jakarta, 20 Oktober 2024. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Waffaa mengatakan, Trump yang memilih loyalis dengan kesamaan ideologi akan membuat pemerintahan AS jelas arah dan warnanya. Namun, kesamaan ideologi ini akan jadi bumerang di tengah naiknya paham nasionalis sayap kanan yang sebagian penganutnya ambil kursi di kabinet Trump.

Salah satu tokoh sayap kanan yang paling menonjol dalam pemerintahan Trump adalah calon menhan Pete Hegseth. Dia dikenal kerap menyuarakan ideologi kekerasan, dan ekstremisme politik sayap kanan.

Berbagai media AS juga mencermati soal tato salib di dada Hegseth yang mencerminkan gerakan nasionalis Kristen dan tulisan "Deus Vult", istilah yang diasosiasikan dalam Perang Salib pertama. 

"Cukup mengkhawatirkan melihat pemerintah Trump yang di eksekutifnya tidak ada penyeimbang atau tokoh yang lebih moderat, karena Trump tidak memilih yang cross-ideology," jelas dia.

Namun pemilihan kabinet berisikan loyalis dan berbagi kekuasaan seperti di Indonesia juga memunculkan risiko jika tidak dikelola dengan baik. "Bisa korup juga kalau akuntabilitas tidak jalan karena power-sharing," ujar Waffaa.

MENTERI TRIUMVIRAT HARUS PROFESIONAL?

Ujang, pengamat dari Al Azhar University, mengatakan seyogyanya menteri triumvirat diisi oleh para profesional. 

"Namun karena menteri adalah jabatan politik, maka bisa diisi oleh siapapun, baik dari partai, loyalis maupun tim sukses," kata Ujang.

Menteri triumvirat adalah tiga menteri yang bisa mengisi kekosongan kepemimpinan negara secara bersama, jika Presiden atau Wakil Presiden berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatan berakhir. 

Berdasarkan UUD 1945, menteri triumvirat adalah menteri dalam negeri (mendagri), menteri luar negeri (menlu), dan menteri pertahanan (menhan).

Pada kabinet Prabowo, mendagri adalah Tito Karnavian yang juga menjabat posisi yang sama di bawah Jokowi pada 2019-2024, menhan dijabat Sjafrie Sjamsoeddin, yang sebelumnya Asisten Khusus Menhan Bidang Manajemen Pertahanan pada 2019-2024, sementara menlu adalah Sugiono, petinggi Partai Gerindra yang disebut-sebut sebagai anak ideologis Prabowo.

Teuku juga berpandangan bahwa triumvirat seharusnya diisi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang sesuai dengan posisi yang mereka emban.

"Karena di tiga kementerian ini biasanya sudah sangat terstruktur dalam membangun sistem perjenjangan dan kepegawaian, di tiap tingkatan, kenaikan pangkat, dan jabatan mereka sudah disumpah," kata Teuku.

"Jadi tiga orang di kementerian ini sudah terbiasa dengan corporate culture yang sama. Bukan hanya mereka, tapi juga unit kerja di bawah mereka. Jadi idealnya, di tiga kementerian tersebut adalah orang-orang profesional."

Presiden Prabowo Subianto, ketika mengumumkan nama menteri-menteri kabinetnya di istana Kepresidenan Jakarta, 20 Oktober 2024. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Namun, lanjut Teuku, pemilihan menteri adalah sepenuhnya hak prerogatif presiden. Dia mencontohkan, Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gusdur yang memimpin pada 1999-2001 juga pernah menunjuk menlu yang bukan dari kalangan diplomat, yaitu Alwi Shihab.

"Sepanjang diasumsikan oleh Presiden bahwa ke depan negara akan stabil, presiden dan wapres bertahan, Indonesia punya pondasi kuat untuk terus membangun, ancaman, tantangan dan gangguan bisa dihadapi dengan baik, maka hak prerogatif presiden yang menentukan seorang menteri itu dari kalangan profesional atau loyalis," ujar Teuku.

Dalam kasus AS juga demikian, bahwa Trump berhak memilih siapa pun yang akan jadi menterinya. Menurut Teuku, pemilihan loyalis yang dianggap minim pengalaman tidak akan menjadi masalah di pemerintahan Trump. Pasalnya, kata dia, jajaran birokrasi AS sudah sangat andal dan menguasai sistem informasi.

"Keunggulan AS, birokrasinya yang sudah sangat tua dan terstruktur, kemampuan mereka menyimpan informasinya bagus sekali, bisa mengambil keputusan cepat, tepat, akurat dan real-time," kata Teuku.

📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!

Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya đź‘€

đź”— Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V
 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan