5 isu utama dalam perundingan iklim global COP29 di Azerbaijan
Perundingan iklim yang dipimpin PBB di kota Baku sangat penting dalam menciptakan momentum bagi terciptanya kebijakan penyelamat Bumi.
BAKU: Dalam dua minggu ke depan, Azerbaijan akan menarik perhatian dunia. Negara ini menjadi tuan rumah bagi Konferensi Para Pihak (COP29) PBB tahun 2024, sebuah ikhtiar negara-negara di dunia untuk mengatasi kerusakan alam akibat perubahan iklim.
COP telah menjadi badan pengambilan keputusan tertinggi di PBB dalam hal menilai kemajuan upaya mengatasi perubahan iklim. COP29 di kota Baku, Azerbaijan, telah dimulai pada Senin (11 Nov) dan akan berakhir pada 22 November mendatang.
Pada COP, para pemimpin dunia, perunding kelas dunia, pemilik modal dan pelaku industri papan atas berkumpul untuk membahas cara mengatasi kian memanasnya suhu bumi dan transisi ekonomi dunia ke arah yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Untuk mewujudkan berbagai mimpi besar itu, para perunding akan berfokus pada mengumpulkan dana pemerintah dan swasta untuk membiayai berbagai program pencegahan bencana iklim.
Sebagai tuan rumah, Presiden COP29 Azerbaijan Mukhtar Babaye mengatakan pertemuan kali ini bertujuan untuk "meningkatkan ambisi dan menciptakan aksi".
Namun perundingan akan menghadapi rintangan dan tantangan karena COP29 kali ini dibayangi konflik regional di Eropa dan Timur Tengah yang dikhawatirkan mengganggu terciptanya konsensus antar negara.
Berikut ini adalah lima isu utama yang akan jadi perhatian pada COP29 di Azerbaijan.
1. DARI MANA UANGNYA?
Azerbaijan sebagai tuan rumah COP blak-blakan soal betapa mereka menginginkan fokus perundingan kali ini adalah soal uang. Itulah sebabnya, agenda COP tahun ini akan berpusat soal pendanaan.
"Suka atau tidak suka, perkara pendanaan akan menjadi inti dari perundingan iklim tahun ini," kata CEO COP29 Elnur Soltanov kepada CNA. "Pendanaan tidak bisa dimaknai secara abstrak. Pendanaan diperlukan untuk menciptakan aksi."
Salah satu perundingan paling penting dalam COP kali ini kemungkinan adalah Target Kolektif Baru yang Terukur atau NCQG.Â
NCQG digadang akan menggantikan mekanisme pendanaan iklim pada 2009. Dalam mekanisme tersebut, negara-negara maju berkomitmen memberikan insentif bagi negara-negara yang lebih miskin setiap tahunnya mulai 2020.Â
Secara umum, rencana itu tak terwujud dan komitmen pendanaan sebesar US$100 miliar tidak tersalurkan. Akhirnya dicari cara lain untuk membantu negara-negara yang paling terdampak perubahan iklim.
Pendanaan ini sebenarnya sifatnya sukarela dan tidak menggambarkan kebutuhan setiap negara, tapi telah dianggap sebagai komitmen kolektif.
Namun efektivitasnya kemudian dipertanyakan, terutama oleh negara-negara berkembang yang kebutuhannya dalam menghadapi perubahan iklim terus meningkat setiap tahunnya.
Perunding utama dalam NCQG telah mengatakan bahwa pendanaan yang diperlukan adalah sebesar triliunan dolar AS setiap tahun.
"Kita perlu menciptakan aksi, perlu sarana untuk implementasi. Kita punya pendanaan, teknologi dan pembangunan kapasitas, dan pendanaan jelas adalah yang paling penting," kata Soltanov.
PBB telah mengatakan bahwa soal pendanaan ini adalah hal yang paling mendesak. Dalam COP kali ini di Baku akan dirundingkan secara transparan soal siapa yang akan memberikan pendanaan, dalam bentuk apa dan berapa besarannya.
2. SUHU YANG KIAN MEMANAS
Menurut para ilmuwan, bumi dalam kondisi yang semakin buruk dibanding 12 bulan lalu.
Suhu global terus meningkat, dengan temperatur permukaan lautan mencapai rekor tertinggi. Suhu pada September 2023 hingga Agustus 2024 - 12 bulan - adalah yang paling panas selama ini, 1,64 derajat Celcius lebih panas dibandingkan masa praindustri.
Perjanjian Paris diteken untuk menjaga suhu tetap di angka 1,5 derajat Celcius di atas masa praindustri.
Rekor panas tertinggi terjadi di 19 negara, termasuk Laos dan Kamboja.
Kandungan zat polutan karbondioksida dan metana di atmosfer mencapai level tertinggi seiring dengan meningkatnya produksi bahan bakar fosil.
Perubahan iklim juga dikaitkan dengan semakin banyaknya terjadi kekeringan, angin topan dan banjir di seluruh dunia pada 2024.
Enam bulan sebelum COP28 tahun lalu, kerugian akibat cuaca ekstrem mencapai US$41 miliar secara global. Hal ini menunjukkan semakin perlunya langkah kolektif negara-negara di COP29 untuk mencari solusi, pendanaan yang adaptif dan meningkatkan upaya mitigasi bencana.
3. MENINGGALKAN BAHAN BAKAR FOSIL
Fokus utama lainnya dari COP29 di Azerbaijan adalah merumuskan masa depan tanpa ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Bagi Azerbaijan sendiri, beralih dari bahan bakar fosil dianggap sulit karena selama beberapa generasi minyak dan gas bumi adalah sumber kekayaan bagi mereka. Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil juga masih berlanjut di negara itu pada era modern. Sektor ini telah menyumbang 90 persen dari nilai ekspor Azerbaijan dan setengah dari produk domestik bruto.
Tahun ini, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengatakan bahwa minyak adalah "anugerah dari Tuhan".
Selama tiga tahun berturut-turut, COP dipimpin oleh negara-negara penghasil minyak. Sebelum Azerbaijan tahun ini, COP dipimpin oleh Uni Emirat Arab tahun lalu dan Mesir pada 2022.
Pada 2023, untuk pertama kalinya kesepakatan akhir COP menyertakan redaksi soal bahan bakar fosil, berisikan seruan untuk beralih ke sistem energi ramah lingkungan secara bertahap dan adil.
"Perlu 30 tahun sampai akhirnya bisa mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil," kata Uni Eropa ketika itu, merujuk pada tiga dekade pertemuan COP yang dimulai pada 1995.
Sayangnya, pada kesepakatan COP tahun lalu tidak dicantumkan soal penghentian atau pengurangan bahan bakar fosil, membuat negara-negara polutan terbesar terus menggunakannya.
Soal peralihan dari bahan bakar fosil diperkirakan akan mendominasi diskusi di COP kali ini, dan sekali lagi memasukkannya dalam kesepakatan akhir negara-negara peserta.
4. KONSENSUS DI TENGAH PERANG
Ketika COP28 di Dubai tahun lalu, perang terjadi dan meluas di Timur Tengah. Tengah terjadi juga konflik di Ukraina, Sudan dan Myanmar.
Mengingat COP sangat bergantung pada kerja sama antar negara dan membutuhkan konsensus untuk menghasilkan deklarasi formal, konflik akan merusak rasa saling percaya yang krusial dalam menciptakan aksi dalam menyelamatkan planet.
"Biasanya negosiasi terkait iklim dilakukan terpisah. Tapi, tingkat ketegangan saat ini tidak terduga bisa terjadi di era modern," kata Dr Jennifer Allan, dosen senior hubungan internasional di Cardiff University.
"Sumber daya akan dialihkan untuk anggaran pertahanan, dan persoalan iklim tidak akan jadi perhatian."
Selain hubungan antar pemerintahan yang terganggu, konflik juga memiliki dampak lain. Perang telah menjadi penyumbang besar emisi - misalnya operasi militer Israel di Gaza yang menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar.
Menurut para peneliti di Inggris dan Amerika Serikat, upaya pemulihan dampak perang diprediksi akan menyumbang hingga 61 juta ton CO2 - lebih banyak ketimbang emisi tahunan 135 negara.
Konflik dan perubahan iklim juga terkait satu sama lain, saling menambah derita.Â
"Jadi ada penderitaan ganda. Negara-negara yang terdampak konflik terpapar juga oleh perubahan iklim, membuat kehidupan masyarakat di dalamnya semakin menderita," kata Florian Krampe, direktur studi perdamaian dan pembangunan di Stockholm International Peace Research Institute.
Penyelenggara COP di Baku mengatakan pertemuan kali ini adalah "COP gencatan senjata". Penyelenggara menyerukan dilakukannya gencatan senjata global selama satu bulan selama konferensi iklim ini berlangsung.
5. MERAMPUNGKAN PERATURAN KARBON
Selama sepuluh tahun terakhir, Pasal 6 dari Perjanjian Paris telah menjadi isu yang masih mengambang.
Pasal ini berisikan peraturan dan kerangka untuk pasar karbon internasional. Nantinya, peraturan ini akan jadi acuan negara-negara dalam memenuhi target pengurangan emisi dan membuat pencapaian target emisi lebih terjangkau.
Pada COP29 kali ini, para fasilitator berharap akan tercipta mekanisme untuk memuluskan pembentukan peraturan pembelian dan penjualan kredit karbon ini.
Dengan kredit karbon, negara-negara penghasil polusi bisa membeli kredit - izin pengeluaran emisi di atas ambang batas - dari negara-negara yang memiliki kredit emisi berlebih, misalnya dari negara yang telah berhasil memulihkan hutan hujan.
Inisiatif semacam ini telah berjalan dalam bentuk percontohan melalui perjanjian bilateral atau regional.
Singapura misalnya, telah menandatangani perjanjian perdagangan karbon dengan Papua Nugini dan Ghana.
Untuk pertama kalinya pada COP29, para kepala delegasi akan terlibat langsung dalam perundingan Pasal 6. Hal ini menekankan bahwa kesepakatan pada Perjanjian Paris yang ditandatangani pada 2015 harus diselesaikan.
Saat ini di seluruh dunia, belum ada kerangka peraturan yang terpusat mengenai cara kerja pasar karbon. Hal ini akhirnya mengurangi keuntungan yang seharusnya didapatkan dan memunculkan skema-skema yang sebenarnya tidak berdampak pada pengurangan emisi, atau sekadar greenwashing.
Perundingan mengenai hal ini sangat rumit, teknis dan politis. Beberapa hal menghambat kemajuan perundingan soal pasar karbon, di antaranya cara penghitungan kredit dan mekanisme pelaporan yang belum jelas.
📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!
Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya đź‘€
đź”— Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V