Skip to main content
Iklan

Asia

FOKUS: AS tutup celah ekspor barang China via Asia Tenggara, bagaimana nasib perusahaan dan pekerja?

Perusahaan China yang ingin menghindari tarif tinggi AS dengan memindahkan operasi ke Asia Tenggara kini terkena imbas tarif baru 40 persen atas barang alih muatan (transshipment levy).

FOKUS: AS tutup celah ekspor barang China via Asia Tenggara, bagaimana nasib perusahaan dan pekerja?

Pekerja Huashuo Plastics memeriksa kualitas bahan untuk membuat papan plastik berongga di pabriknya di Hai Phong, Vietnam. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

HANOI: Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan China Huashuo Plastics memindahkan sebagian besar kegiatan operasinya dari Guangdong di China selatan ke Hai Phong di Vietnam utara.

Sebelum 2016, hampir seluruh produksinya terpusat di Dongguan - kota industri di provinsi Guangdong - namun kini sekitar 80 persen produknya dikirim dari Hai Phong, yang berjarak sekitar 100 km dari Hanoi.

Perusahaan tersebut mengekspor 90 persen barangnya - papan plastik berongga yang umumnya digunakan untuk membuat kotak pengiriman - ke Amerika Serikat, dengan raksasa e-commerce Amazon sebagai salah satu klien utamanya.

Qiu Ji De, direktur utama Huashuo Plastics, mengatakan kepada CNA bahwa sejak perang dagang AS–China dimulai pada 2018, kebijakan tarif tambahan AS telah mendorong banyak perusahaan China, termasuk perusahaannya, untuk mengadopsi strategi China Plus One atau membangun basis produksi tambahan di luar negeri.

Strategi ini bertujuan memperluas rantai pasok untuk menghindari tarif tinggi AS terhadap produk asal China.

Qiu mengatakan, rencana tersebut sempat terganggu dua kali: pertama akibat tarif "Hari Pembebasan" yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada April, dan kemudian pada Juli saat Trump memperkenalkan tarif baru sebesar 40 persen terhadap barang yang dinilai dialihmuat dari China ke AS lewat negara lain.

Dirut Huashuo Plastics, Qiu Ji De. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Alih muatan (transshipment) pada dasarnya adalah proses pemindahan barang dari satu moda transportasi ke moda lain di titik perantara untuk melanjutkan pengiriman ke destinasi akhir.

Awalnya, Vietnam dikenai tarif resiprokal sebesar 46 persen pada Hari Pembebasan, namun pada awal Juli Trump mengumumkan adanya kesepakatan kerja sama dengan Hanoi, yang menurunkan tarif tersebut menjadi 20 persen.

Beberapa barang juga dikenai tarif ekspor tambahan 40 persen terkait alih muatan. Aturan tersebut dilaporkan mulai diterapkan pada Agustus, tetapi batasan mengenai apa yang dianggap sebagai alih muatan masih samar.

“Sebelum kedua jenis tarif itu diberlakukan, proses produksi dan pengiriman berjalan lancar. Namun setelah tarif naik, situasinya berubah ... pesanan kami turun drastis,” ujar Qiu.

Saat CNA mengunjungi pabriknya di Hai Phong pada awal September, suasana tampak sepi dan tumpukan papan plastik terlihat menumpuk di gudang penyimpanan.

Amazon adalah salah satu klien terbesar Huashuo Plastics. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

“Karena penurunannya berlangsung sangat cepat - cepat sekali - kami harus merespons dengan mengurangi jumlah karyawan. Kami memangkas sekitar sepertiga tenaga kerja, jumlah yang cukup besar,” ujarnya, tanpa menyebut angka pasti.

Para pakar perdagangan menyebut tarif 40 persen tersebut merupakan respons Washington terhadap fenomena yang disebut “Southeast Asia-washing”, yakni praktik perusahaan China yang menyamarkan asal produk mereka dengan memindahkan operasi ke negara-negara Asia Tenggara.

Vietnam kini disorot karena berfungsi sebagai jalur transit bagi barang produksi China menuju AS, di mana eksportir dapat mengambil keuntungan dari tarif lebih ringan di Hanoi guna menghindari bea tinggi yang dikenakan AS.

Menurut data tarif terkini, impor dari China ke AS kini dikenai tarif 55 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan tarif 20 persen untuk Vietnam, sebagaimana disampaikan Trump pada Juni.

Sementara itu, tarif impor China terhadap barang-barang dari AS mencapai lebih dari 10 persen, menurut pengumuman pada Mei.

Namun, angka-angka tersebut masih bisa meningkat. Bulan ini, Trump mengumumkan rencana kenaikan tambahan sebesar 100 persen terhadap sebagian besar produk asal China mulai 1 November.

Kebijakan ini akan diberlakukan di atas tarif yang sudah ada, sehingga tarif efektif untuk sejumlah kategori barang bisa melampaui 100 persen, tergantung jenis produk dan kebijakan penegakan yang ditetapkan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

Sebelumnya, AS juga sempat mengumumkan tarif hingga 145 persen terhadap produk asal China, sementara China menetapkan tarif 125 persen untuk barang asal AS. Kedua negara kemudian sepakat memperpanjang gencatan tarif hingga 10 November sambil melanjutkan pembicaraan.

Presiden AS Donald Trump di Ruang Oval Gedung Putih, Washington, DC, 3 September 2025. (Foto: REUTERS/Brian Snyder)

Perusahaan, eksportir logistik, dan pakar perdagangan yang berbicara kepada CNA mengungkapkan masih ada ketidakpastian tentang bagaimana pemerintah AS akan menafsirkan dan menerapkan tarif tambahan 40 persen terhadap barang alih muatan (transshipment).

Tanda tanya juga muncul soal kriteria aturan asal barang (rules of origin) dan proporsi komponen buatan China yang dapat memicu pemberlakuan tarif itu.

Menurut mereka, kebijakan tersebut ditujukan pada perusahaan China yang diduga memanfaatkan celah dengan mengirim produk melalui negara Asia Tenggara untuk menghindari tarif tinggi AS.

Ketidakpastian ini membuat perusahaan China berada dalam situasi menggantung, sekaligus berdampak pada perusahaan lokal di Asia Tenggara dalam rantai pasok, menyebabkan penundaan produksi dan pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini paling terasa di Vietnam, serta di negara lain seperti Malaysia dan Thailand.

Beberapa analis perdagangan menyebut, ketidakpastian ini membuat banyak pihak mempertanyakan kelayakan Asia Tenggara sebagai “jalur pelarian tarif” bagi perusahaan China, sehingga sebagian bisnis mulai menggeser perhatian ke Asia Selatan dan Eropa demi memperluas pasar.

Dalam konteks geopolitik yang lebih luas, tarif alih muatan dipandang sebagai upaya Trump untuk menekan China secara langsung dengan mendorong negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand mengurangi porsi komponen asal China dalam rantai pasok mereka.

Analis yang diwawancarai CNA menilai belum jelas apakah negara-negara Asia Tenggara, yang dikenal sebagai sekutu strategis Beijing, akan menjaga jarak dari mitra dagang utama mereka di Asia.

“Washington ingin ASEAN memangkas komponen asal China dari rantai pasoknya. Namun dalam praktiknya, itu bukan hal yang mudah,” kata Nguyen Khac Giang, pakar politik dan ekonomi kawasan yang juga peneliti tamu di program Vietnam Studies, ISEAS–Yusof Ishak Institute.

“Asia Tenggara bukan sekadar tempat singgah bagi barang ‘Made in China’, melainkan bagian dari jaringan produksi Asia Timur yang sangat terintegrasi, yang menjaga biaya tetap rendah dan produksi tetap tinggi,” ujarnya.

TEKANAN TERHADAP EKSPOR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN

Praktik Southeast Asia-washing dilaporkan melonjak setelah putaran pertama tarif AS–China pada 2018–2019 saat perang dagang memanas, dan mencapai puncaknya sekitar 2022 hingga pertengahan 2024, terutama di rantai pasok industri panel tenaga surya dan elektronik.

Menurut sejumlah laporan, praktik tersebut banyak terjadi di Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja — pusat industri seperti panel surya, elektronik, dan tekstil yang terkait dengan jalur produksi dari China.

Namun, tarif tinggi yang diberlakukan terhadap negara-negara Asia Tenggara tahun ini, ditambah dengan tarif alih muatan (transshipment), telah mengurangi keuntungan dari praktik Southeast Asia-washing. Para analis menilai, praktik alih muatan dan pelabelan ulang itu kini mulai berakhir.

Pemandangan udara dari pusat industri di Bắc Ninh, Vietnam, pada tanggal 4 September 2025. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Kota industri yang tengah berkembang di Vietnam utara seperti Bac Ninh dan Hai Phong - yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi tujuan banyak perusahaan China - dalam beberapa bulan terakhir mengalami perlambatan produksi.

Seorang karyawan perusahaan logistik yang menangani pengiriman barang dari pelabuhan Hai Phong ke AS mengatakan kepada CNA bahwa volume pengiriman turun lebih dari separuh dibanding tahun lalu.

Karyawan tersebut, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan bahwa menurut pengakuan kliennya, penurunan ini disebabkan ketidakpastian seputar tarif alih muatan 40 persen dan potensi penegakannya, yang membuat sebagian importir AS menunda pesanan karena khawatir biaya akan meningkat.

VIP Green Port in Hai Phong, Vietnam. (Photo: CNA/Zamzahuri Abas)

“Kami melihat tren ini terjadi di berbagai sektor - mulai dari garmen, manufaktur, hingga elektronik. Efeknya berantai - tarif membuat pesanan menurun, produksi berkurang, dan semua pihak, termasuk kami, ikut terdampak,” ujar pejabat tersebut.

Warga negara China, Gao Wen Ming, yang memimpin fasilitas distribusi BYD Forklift di Bac Ninh, pinggiran Hanoi, mengatakan kepada CNA bahwa perusahaan mitranya, seperti produsen elektronik konsumen China TCL Technology, juga terpukul oleh tarif karena sangat bergantung pada ekspor ke AS.

BYD Forklift, anak usaha dari produsen otomotif China BYD, memasok forklift dan truk palet ke pabrik BYD maupun perusahaan lain di kawasan.

Manajer di BYD Forklift Gao Wen Ming mengatakan bahwa timnya terkena dampak tidak langsung dari tarif alih muatan yang diberlakukan Amerika Serikat. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Sejak memindahkan operasinya dari Shandong di China ke Bac Ninh pada 2024, BYD Forklift telah mengembangkan kegiatan bisnisnya di Vietnam dari kantor kecil berukuran satu ruangan menjadi satu gudang penuh.

Namun, pesanan yang tertunda dari sejumlah importir AS yang bekerja sama dengan klien BYD Forklift membuat ekspansi perusahaan terhenti. Akibatnya, perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja dalam beberapa bulan terakhir, meski Gao enggan menyebut jumlah karyawan yang terdampak.

“Tenaga kerja kami beroperasi dalam sistem seleksi alami — yang kuat bertahan,” ujarnya.

Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tarif AS dapat memangkas hingga seperlima ekspor Vietnam ke AS, senilai lebih dari US$25 miliar (Rp428 triliun), menjadikannya negara paling terdampak di Asia Tenggara.

Sejumlah pakar memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Vietnam bisa turun sekitar 5 persen jika kebijakan tarif tersebut terus berlanjut.

Data perdagangan AS menunjukkan Vietnam merupakan eksportir terbesar keenam ke AS tahun lalu dengan nilai ekspor mencapai US$136,5 miliar (Rp2.339 triliun), tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara.

Konsultan bisnis internasional yang berbasis di Hanoi, Dan Martin, dari firma Dezan Shira & Associates, mengatakan kepada CNA bahwa Vietnam memiliki daya tarik besar bagi perusahaan global karena menjadi satu dari dua anggota ASEAN yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa — selain Singapura.

“Saya kira banyak perusahaan — baik dari Amerika, Eropa, maupun China yang berbasis di China — sudah memahami arah kebijakan AS yaitu memisahkan perusahaan dari China,” kata Martin.

Dan Martin, seorang penasihat bisnis internasional yang berbasis di Hanoi di perusahaan konsultan Dezan Shira & Associates, dalam sebuah wawancara dengan CNA. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Ia menambahkan, posisi geografis Vietnam utara — yang berbatasan darat langsung dengan China dan memiliki garis pantai panjang dengan beberapa pelabuhan laut dalam yang melayani pengiriman ke berbagai negara, termasuk AS — menjadikan negara itu semakin menarik sebagai lokasi investasi bagi perusahaan China.

Namun, keunggulan itu tidak cukup untuk menutupi biaya yang kini meningkat, terutama setelah Trump memberlakukan tarif 20 persen untuk Vietnam, serta tarif 40 persen bagi perusahaan China yang melakukan alih muatan, ujar Martin.

“Sejak sekitar September–Oktober 2024, banyak perusahaan mengambil posisi wait and see, dan sikap itu masih bertahan sampai sekarang,” kata Martin, menyinggung periode ketika peluang kemenangan Trump dalam pilpres AS 2024 semakin besar.

“Jika Anda perusahaan yang terhubung dengan pasar AS, akan masuk akal untuk tidak memindahkan operasi ke Vietnam atau negara lain di kawasan, karena belum ada kepastian soal angka tarif yang akan berlaku,” ujarnya.

Negara-negara lain di kawasan juga tidak luput dari dampak serupa.

Di Thailand, pemerintah memperkirakan kebijakan untuk memperketat pengawasan ekspor terkait alih muatan dapat memangkas ekspor ke AS hingga US$15 miliar (Rp257 triliun), atau sekitar sepertiga dari surplus perdagangan Thailand dengan Washington tahun lalu.

Menurut laporan media lokal, eksportir Thailand yang menjual produk ke AS kini harus bisa membuktikan bahwa barang mereka benar-benar “buatan Thailand”. Sektor-sektor yang sangat bergantung pada bahan baku impor — seperti elektronik, suku cadang otomotif, dan mesin industri — disebut paling berisiko.

Selain itu, pemerintah Thailand berkomitmen untuk lebih selektif dalam menilai investasi asing, terutama di sektor kendaraan listrik yang berkembang cepat dan banyak menarik investasi perusahaan China beserta pemasoknya.

Tanda pengisian daya mobil listrik terlihat di stasiun pengisian daya di Bangkok. (Foto File: Reuters/Jorge Silva)

Pada September, pemerintah Thailand menyatakan akan membentuk satuan tugas khusus untuk menangani jutaan sertifikat asal barang (certificate of origin) yang diperkirakan akan dibutuhkan di bawah aturan perdagangan AS.

Tarif impor AS terhadap produk Thailand dipangkas menjadi 19 persen dari rencana awal 36 persen, tetapi produk yang diduga dialihkan guna menutupi asalnya masih berisiko terkena tambahan tarif sampai 40 persen.

Sementara itu, negara tetangganya di selatan, Malaysia, mencatat peningkatan ekspor secara keseluruhan, meski tidak sebesar yang diperkirakan.

Total ekspor Malaysia naik 1,9 persen pada Agustus dibanding tahun sebelumnya, menurut data Kementerian Investasi, Perdagangan, dan Industri yang dirilis pada September — lebih rendah dari perkiraan median 3 persen dalam survei Bloomberg.

Namun, pengiriman ke AS turun 16,7 persen secara tahunan, sementara impor anjlok 36,7 persen. Perdagangan dengan mitra dagang terbesar ketiganya itu menyusut 25 persen.

“Penurunan keseluruhan dalam perdagangan dengan AS kemungkinan mencerminkan dampak awal dari penyesuaian tarif yang baru diperkenalkan oleh pemerintah AS,” kata kementerian dalam pernyataannya pada 19 September.

Sementara sejumlah laporan media menyebut beberapa perusahaan China seperti Shein, ByteDance, dan BYD membuka operasi di Singapura untuk menghindari tarif dan hambatan perdagangan.

Namun, para pengamat mengatakan bahwa meski Singapura merupakan pusat alih muatan, praktik penyamaran asal produk tidak begitu lazim di sana karena penegakan aturannya jauh lebih ketat.

Dalam sebuah forum pada September, Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, Gan Kim Yong, memperingatkan bahwa perusahaan yang mencoba memanfaatkan celah tarif AS melalui Singapura “harus berhati-hati” karena risikonya adalah sanksi berat.

Selain itu, Otoritas Bea dan Cukai Singapura pada Juni menerbitkan surat edaran yang mengingatkan eksportir dan agen agar secara akurat mencantumkan asal negara dalam izin impor, ekspor, maupun alih muatan.

EnterpriseSG, melalui laman tanya-jawab resminya, menyatakan bahwa AS dapat melakukan verifikasi asal produk langsung ke produsen di Singapura, dan Bea Cukai Singapura siap membantu proses pemeriksaan tersebut bila diminta.

Pakar politik dan ekonomi Giang mengatakan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam “tidak bisa menghindari dampak” dari tarif tersebut, namun jika tarif resiprokal tetap di kisaran 20 persen seperti saat ini, efeknya masih bisa ditanggung.

Ia menambahkan, kantor statistik umum Vietnam memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara itu hanya akan terpangkas kurang dari satu poin persentase.

“Memang tidak tanpa konsekuensi, tapi ini masih jauh dari skenario terburuk yang bisa memangkas pertumbuhan hingga 3–5 poin persentase di bawah skema tarif 46 persen (Liberation Day) sebelumnya,” kata Giang.

“Namun, banyak perusahaan masih menunggu kejelasan dari Washington tentang seberapa besar penerapan tarif alih muatan akan memengaruhi mereka,” lanjutnya.

KETIDAKPASTIAN TERKAIT DEFINISI ALIH MUATAN

Perlambatan perdagangan di sejumlah negara Asia Tenggara diperkirakan disebabkan oleh ketidakpastian mengenai bagaimana AS mendefinisikan alih muatan dan menegakkan tarif 40 persen, yang menurut analis dapat menjadi pukulan mematikan bagi beberapa sektor industri.

Perintah eksekutif Trump pada 31 Juli mengenai tarif baru untuk puluhan negara menyebut bahwa barang yang dialihkan melalui negara lain “untuk menghindari tarif yang berlaku” akan dianggap sebagai alih muatan dan dikenai tarif 40 persen.

Selain itu, tarif 40 persen ini akan dikenakan di atas tarif lain yang seharusnya berlaku jika barang tersebut dikirim langsung dari negara asal produksinya.

Para pengunjung berpose untuk berfoto di Hanoi. (Foto: CNA/Zazmahuri Abas)

Sebagai contoh, barang yang dialihmuat ke AS melalui Vietnam akan dikenai tarif resiprokal sebesar 20 persen ditambah tarif alih muatan 40 persen.

Menurut Steven Okun, CEO APAC Advisors di Singapura, tindakan memproduksi barang di China kemudian mengirimkannya ke Vietnam atau negara Asia Tenggara lain untuk diberi label baru dan dinyatakan sebagai produk asal negara tersebut sebelum diekspor ke AS, merupakan pelanggaran hukum.

Namun, ia menambahkan, bila sebuah produk dibuat di satu negara, lalu dikirim ke negara lain untuk diproses atau diubah menjadi produk baru sebelum diekspor, hal itu termasuk kegiatan perdagangan yang sah. Masalahnya, kata Okun dan sejumlah analis lain, terletak pada sejauh mana tingkat “perubahan” itu dapat dianggap menciptakan produk baru.

Okun bahkan mengatakan ada kemungkinan kebijakan tarif 40 persen justru membuat praktik alih muatan yang sebelumnya ilegal menjadi diperbolehkan.

“Belum ada kejelasan apakah dan bagaimana AS akan memperluas definisi alih muatan ilegal. Washington bisa memperluasnya kapan saja,” kata Okun.

“Sampai saat itu, perusahaan masih belum yakin apakah barang yang dirakit di negara seperti Vietnam dengan kandungan komponen buatan China tertentu dapat dianggap sebagai produk asal Vietnam dalam konteks tarif,” ujarnya.

Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation, Singapura, menyampaikan pandangan serupa. Ia menekankan bahwa perusahaan maupun pemerintah di kawasan masih menunggu kejelasan lebih lanjut tentang bagaimana pemerintahan AS mendefinisikan alih muatan.

“Agar tidak digolongkan sebagai hasil alih muatan, suatu barang mesti melalui proses transformasi substansial, lebih dari sekadar perakitan atau pembongkaran sederhana. Namun, batas definisinya hingga kini belum tegas,” katanya.

Sejumlah perusahaan China yang ditemui CNA di Vietnam menolak keras bahwa produk mereka seharusnya dikenai tarif alih muatan, dengan alasan seluruh produksi dilakukan sepenuhnya di Vietnam. Mereka juga mengaku belum dikenai tarif 40 persen itu sejak mulai diberlakukan pada Agustus.

Meski demikian, mereka mengakui bahwa ketidakpastian seputar definisi barang alih muatan telah memengaruhi pesanan dan memperlambat produksi.

Qiu dari Huashuo Plastics mengatakan kepada CNA, “Opini publik semacam ini — begitu muncul — menciptakan suasana yang kurang bersahabat.”

Namun, Le Minh Ngoc, pemilik perusahaan ekspor keramik di Bat Trang, dekat Hanoi, mengatakan kepada CNA bahwa praktik alih muatan sudah umum terjadi di Vietnam, dan perusahaannya bertindak sebagai perantara bagi produsen tembikar China yang ingin mengekspor ke AS.

Produk-produk tersebut mencakup vas, pot, dan patung tokoh sejarah China maupun Vietnam.

Le Minh Ngoc, yang menjalankan perusahaan pengekspor keramik lokal, di ruang pamernya di Bat Trang dekat Hanoi pada 3 September 2025. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

“Rata-rata, kami mengekspor enam hingga tujuh kontainer besar ke AS setiap tahun, menggunakan kontainer berukuran 40 kaki,” kata Minh.

“Perang dagang justru memberi kami sedikit keuntungan karena sebagian klien kini mempertimbangkan memindahkan sebagian produksinya ke Vietnam untuk mengurangi tekanan,” lanjut pria berusia 27 tahun itu, yang mengonfirmasi bahwa produk China yang lewat perusahaannya diberi label ulang sebelum dikirim ke AS.

Ketika ditanya apakah tarif alih muatan berdampak pada bisnisnya, Minh mengatakan perusahaan China bersedia mengambil risiko dan menanggung biaya tambahan di pihak mereka sendiri.

Namun, tidak semua perusahaan lokal diuntungkan oleh kebijakan tarif ini.

Manajer butik sutra di Hanoi bernama Nam, yang enggan menyebut nama lengkapnya, mengatakan kepada CNA bahwa persaingan ketat dari perusahaan China dan kenaikan tarif resiprokal membuat ekspor ke AS tak lagi layak dilakukan. Sebelum itu, sekitar 20 persen produknya ditujukan untuk pasar AS.

Sebuah butik sutra di Hang Gai, Hanoi, tempat CNA mewawancarai manajernya, yang hanya ingin dikenal sebagai Nam. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

“Saya harus memangkas 30 hingga 40 persen tenaga kerja sejak masa COVID-19 dan setelah tarif diberlakukan. Keuntungan menurun, penjualan juga turun sekitar 20 hingga 30 persen dibanding sebelumnya,” kata pria berusia 35 tahun itu.

Negara-negara dan kota besar di Asia Tenggara juga merasa tidak nyaman dilabeli pusat alih muatan bagi barang-barang asal China.

Penang, yang dikenal luas sebagai “Silicon Valley of the East” karena perannya sebagai pusat utama dalam rantai pasok global semikonduktor, kini semakin dipandang sebagai lokasi potensial bagi perusahaan China di bawah strategi China Plus One.

Strategi ini merupakan upaya diversifikasi rantai pasok di mana perusahaan China tetap mempertahankan basis produksi di dalam negeri, namun menambah setidaknya satu fasilitas manufaktur di negara lain — umumnya di Asia Tenggara — untuk menekan biaya, memanfaatkan jaringan perjanjian perdagangan bebas, serta memperoleh insentif pajak dari pemerintah setempat.

Fenomena ini bermula pada awal 2000-an ketika perusahaan China, terutama di sektor tekstil, mulai mencari alternatif seperti Vietnam dan Kamboja.

Gelombang ekspansi meluas ke negara-negara seperti Thailand dan Malaysia setelah eskalasi perang dagang AS–China pada 2018 hingga 2020.

Pada paruh pertama 2025, negara bagian Penang di Malaysia bagian utara mencatat investasi manufaktur asal China senilai RM1,85 miliar (Rp6,6 triliun), setara hampir 15 persen dari total investasi manufaktur Penang pada periode tersebut.

Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun 2024, Penang hanya mencatat investasi manufaktur asal China sebesar RM411,8 juta (Rp1,5 triliun), atau seperempat dari nilai 2025.

Ketua Menteri Penang Chow Kon Yeow mengatakan bahwa negara bagian ini memprioritaskan investasi yang "membawa aktivitas bernilai tambah tinggi". (Foto: Facebook/Chow Kon Yeow)

Dalam tanggapan tertulis kepada CNA, Ketua Menteri Penang Chow Kon Yeow menegaskan bahwa meski Penang menyambut investasi dari China, pemerintah daerah memprioritaskan proyek yang “memberikan kegiatan bernilai tambah tinggi bagi negara bagian,” bukan yang hanya berfokus pada kegiatan alih muatan.

“Kami memprioritaskan proyek yang berkontribusi terhadap peningkatan kapasitas lokal dan inovasi, bukan yang semata-mata berorientasi pada alih muatan,” ujar Chow.

“Karena itu, perusahaan yang ingin membuka operasi hanya untuk tujuan alih muatan mungkin akan merasa Penang kurang sesuai dengan kebutuhan mereka,” tambahnya.

Ia tidak menjelaskan secara rinci bagaimana pemerintah Penang memastikan apakah suatu perusahaan melakukan kegiatan alih muatan atau tidak.

ASIA TENGGARA JADI JALUR PELARIAN TARIF?

Para pakar perdagangan yang diwawancarai CNA menegaskan bahwa kebijakan tarif alih muatan yang diterapkan AS telah mengurangi daya tarik Asia Tenggara sebagai jalur pelarian tarif bagi perusahaan China.

Di saat yang sama, sejumlah perusahaan China mengatakan mereka tengah mempertimbangkan memindahkan sebagian operasi ke wilayah lain, di mana sorotan terhadap praktik alih muatan tidak seketat di negara seperti Vietnam.

Sebagai contoh, Qiu dari Huashuo Plastics mengatakan kepada CNA bahwa perusahaannya tengah mempertimbangkan relokasi sebagian operasi ke India, sebagai langkah diversifikasi pasar selain AS, termasuk ke Uni Eropa.

VIP Green Port di Hai Phong, Vietnam, pada 4 September 2025. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Seorang pegawai perusahaan logistik yang menangani pengiriman barang dari pelabuhan Hai Phong ke AS mengatakan kepada CNA bahwa perusahaan China yang beroperasi di Vietnam kini memperluas pasar mereka dengan mengekspor ke Eropa dan Timur Tengah, tidak hanya ke AS.

Sementara itu, bisnis lokal di Asia Tenggara juga ikut terpukul akibat meningkatnya persaingan dari perusahaan China, dan menurut Okun, negara-negara di kawasan ini pun bisa saja menerapkan langkah proteksionis untuk melindungi diri.

Okun menambahkan, ada bukti bahwa kapasitas produksi China yang dialihkan ke Asia Tenggara telah mengancam industri lokal. Ia mencontohkan, dalam dua tahun terakhir lebih dari 4.000 pabrik di Thailand tutup, sementara puluhan ribu pekerja di sektor tekstil Indonesia kehilangan pekerjaan.

“Ini sinyal jelas bahwa efek limpahan sudah terjadi, dan pemerintah akan mengambil langkah untuk melindungi diri,” ujarnya.

Namun, para analis menilai eksodus besar-besaran perusahaan China dari Asia Tenggara tidak mungkin terjadi karena secara realistis, mustahil memisahkan China dari basis manufaktur kawasan dalam waktu dekat.

Giang mengatakan kepada CNA, “Rantai pasok bersifat melekat. Setelah Anda membangun pabrik, melatih tenaga kerja, dan membentuk jaringan pemasok, Anda tidak bisa begitu saja membongkarnya dalam semalam.”

Para pekerja Huashuo Plastics memeriksa kualitas papan plastik berlubang sebelum dikirim ke AS. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Namun, para pakar perdagangan mengatakan kepada CNA bahwa pada akhirnya tujuan dari kebijakan tarif alih muatan yang diterapkan AS adalah untuk mendorong negara-negara Asia Tenggara menjauh dari China dan memperkuat hubungan dengan mitra dagang lain.

Berbagai laporan menyebut bahwa AS tengah mengejar strategi pemisahan ekonomi (strategic decoupling) dari China dan menekan mitra dagangnya di kawasan agar melakukan hal serupa.

Para analis juga mencatat bahwa penasihat perdagangan Trump, Peter Navarro, pernah menyebut Vietnam sebagai “koloni China”, dengan klaim bahwa sepertiga ekspor Vietnam ke AS sebenarnya merupakan barang asal China yang diberi label ulang sebagai produk Vietnam.

Okun menambahkan, kesepakatan Vietnam untuk menurunkan tarif resiprokalnya dari 46 persen menjadi 20 persen menunjukkan bahwa Hanoi bersedia melakukan sebagian langkah pemisahan dari China demi meredakan tekanan AS dan memperoleh tarif yang lebih ringan.

Namun, ia menegaskan bahwa pemisahan penuh tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

“AS mungkin berupaya membatasi tingkat kandungan China dalam rantai pasok, tetapi tidak bisa menghapusnya sepenuhnya. Kebijakan ini lebih bersifat pembatasan, bukan pemisahan total,” ujar Okun.

PERUSAHAAN CHINA MASIH EKSPANSI

Di tengah ketidakpastian global, sejumlah perusahaan multinasional asal China yang mengekspor ke AS tetap melanjutkan ekspansinya di kawasan, meski dengan langkah hati-hati.

Pada Mei, peritel fesyen China Shein membuka gudang besar seluas 15 hektare di dekat Kota Ho Chi Minh, sementara BYD mengonfirmasi pada Agustus bahwa mereka akan membangun pabrik perakitan di Perak, Malaysia.

Sementara itu, produsen asal Taiwan, Pou Chen — pemasok kontrak untuk merek fesyen olahraga seperti Nike dan Adidas — meningkatkan kehadirannya di Indonesia dan Vietnam dalam beberapa tahun terakhir.

Pemasok kontrak adalah perusahaan yang memproduksi komponen atau barang jadi untuk klien berdasarkan spesifikasi yang ditetapkan.

Namun, di tengah ekspansi tersebut, Pou Chen terpaksa melakukan beberapa kali PHK, termasuk memecat 6.000 pekerja di pabrik raksasanya di Ho Chi Minh pada akhir 2024, karena pesanan melemah dan permintaan dari pembeli di AS serta Eropa turun.

Nguyen Huong, 43, pekerja di pabrik Pou Chen di Ho Chi Minh, mengatakan kepada CNA bahwa ia khawatir kehilangan pekerjaan setiap hari.

“Sejak pesanan menurun pada Juni, saya tidak lagi mendapat lembur. Itu berarti tidak ada tambahan penghasilan bagi keluarga saya. Hidup jadi terasa tidak stabil, jadi saya hanya berusaha bertahan sebaik mungkin,” kata Huong.

Shein membuka gudang besar di dekat kota Ho Chi Minh seluas 15 hektar pada bulan Mei 2025. (Foto: Reuters/Dado Ruvic)

Sementara itu, Shein juga melakukan pemangkasan kecil di tingkat korporat, termasuk memberhentikan 17 staf di kantor pusatnya di Singapura pada 2024 sebagai bagian dari restrukturisasi.

Pakar perdagangan Elms mengatakan kepada CNA bahwa dengan tingkat tarif di Asia Tenggara yang kini relatif tinggi — terutama karena adanya tarif alih muatan 40 persen — perusahaan China memiliki insentif yang lebih kecil untuk keluar dari China.

Namun, ia menegaskan bahwa karena komponen asal China sudah sangat tertanam dalam rantai pasok kawasan, sistem ini tidak mungkin berubah secara drastis.

“Isu ini lebih relevan ketika tarif terhadap China mencapai 145 persen, sehingga perusahaan punya dorongan kuat untuk mengalihkan barang ke tempat lain. Kini, karena tarif China tidak jauh berbeda dengan kawasan lain, dorongan itu mulai berkurang,” kata Elms.

“Tapi penting diingat bahwa sebagian besar ekonomi Asia sangat bergantung pada komponen asal China dalam rantai pasoknya, dan mengubah struktur itu akan sulit serta mahal,” tambahnya.

Gao Wen Ming, seorang manajer di BYD Forklift, mengatakan bahwa perusahaannya memasok peralatan penanganan material, seperti forklift dan truk palet, untuk pasar Vietnam. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Soal masa depan, beberapa perusahaan mengatakan kepada CNA bahwa satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.

Gao dari BYD Forklift mengatakan kepada CNA, “Kalau soal harapan, jujur saja, sulit diprediksi — terutama di bawah kepemimpinan Trump di AS. Pendekatannya cenderung hegemonik, dan terkadang kebijakan berubah hanya karena satu keputusan atau pernyataannya.”

“Perilaku hegemonik seperti ini jelas di luar kendali kami,” ujarnya.
 

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan