Perubahan iklim penyebab turbulensi? Para pakar urun pendapat usai insiden pesawat Singapore Airlines
Studi terbaru menemukan bahwa turbulensi cuaca cerah (CAT) meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan perubahan iklim.
Insiden pesawat Singapore Airlines SQ321 dengan penerbangan dari London, Inggris menuju Singapura yang menewaskan seorang korban pada Selasa (21/5) diduga disebabkan oleh clear air turbulence (CAT), atau turbulensi cuaca cerah yang biasanya tidak terdeteksi. Para pakar penerbangan memperkirakan fenomena CAT semakin sering terjadi karena perubahan iklim.
Studi terbaru yang dirilis tahun 2023 oleh Universitas Reading di Inggris menemukan bahwa bentuk turbulensi semacam ini "sangat berbahaya bagi pesawat dan diproyeksikan akan meningkat seiring dengan perubahan iklim di masa depan."
Fenomena CAT memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan South China Morning Post (SCMP), pada tahun 1979, terjadi CAT selama total 467 jam pada penerbangan yang melewati Atlantik Utara. Sementara pada tahun 2020, angkanya meningkat menjadi 547 jam.
Turbulensi sebenarnya dapat diprediksi melalui prakiraan cuaca yang diterima pilot saat mempersiapkan penerbangan. Namun, CAT merupakan jenis turbulensi yang sulit diprediksi karena tidak serta merta terlihat.
Yang paling membahayakan dari jenis turbulensi semacam ini adalah karena dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya - dengan kata lain penumpang bahkan tidak sempat mengencangkan sabuk pengaman.
Memang, sebagian besar kasus turbulensi hanya dirasakan para penumpang seperti guncangan ringan di pesawat dan terdapat sedikit penurunan ketinggian.
Namun, dalam kasus turbulensi yang hebat dan jarang terjadi, penumpang dan awak dapat terluka, seperti yang terjadi pada pesawat Singapore Airlines SQ321 yang harus mendadak darurat di di Bangkok, Thailand, ini.
Menurut data dari Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat, turbulensi telah menyebabkan 163 orang "cedera serius" pada penerbangan dari dan menuju ke berbagai bandara di AS antara periode tahun 2009 dan 2022, menurut laporan SCMP, Selasa (21/5).
Namun, tidak tercatat adanya kasus kematian akibat turbulensi penerbangan selama periode itu di AS, menurut laporan NBC News. Sehingga, insiden yang menewaskan seorang warga Inggris dan melukai puluhan lainnya pada pesawat Singapore Airlines ini mengejutkan dunia penerbangan.
Para pakar menyatakan bahwa turbulensi hebat yang tidak terduga menjadi ancaman bukan hanya bagi penumpang dan awak, tetapi juga terhadap keselamatan pesawat jangka panjang.
"Semakin sering pesawat berupaya melewati turbulensi, maka semakin sering pesawat mengalami kelelahan dan meningkatkan keausan pada rangka pesawat," bunyi studi dari Universitas Reading itu.
Meskipun demikian, para pakar menilai kecil kemungkinan turbulensi bisa menghancurkan rangka pesawat. Konstruksi pesawat dan standar keamanan tingkat tinggi yang diterapkan pada proses produksi pesawat modern sudah didesain untuk tahan terhadap turbulensi hebat.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.