Thailand terapkan skema visa baru untuk menarik wisatawan, akankah berhasil?
Thailand ikut tren dunia dengan memperkenalkan berbagai skema visa baru untuk memberikan waktu tinggal lebih lama bagi para turis atau mereka yang bekerja secara remote.
BANGKOK: Sebagai konten kreator, Steve Lim tidak pernah berniat untuk tinggal di Thailand. Sebenarnya tujuannya adalah New York.
Namun ketika transit sebentar di Bangkok pada 2022 dalam penerbangan menuju Big Apple, visa Amerika Serikat-nya bermasalah. Akhirnya pria Selandia Baru ini mengambil sebuah keputusan besar.
Bagi Lim, ibu kota Thailand itu adalah tempat yang benar-benar asing, diselimuti oleh berbagai kisah miring dan baru bangkit dari pandemi yang menghancurkan sektor pariwisatanya.
Namun dua tahun kemudian, Lim, 27, sekarang telah menjadi seorang konten kreator dan pekerja remote untuk sebuah perusahaan di China. Dia sudah merasa Bangkok adalah rumahnya, "pusat kreativitas di Asia Tenggara".
Saat ini, pemerintah Thailand ingin menarik lebih banyak pekerja pengembara digital (digital nomad) seperti Lim untuk tinggal di negara mereka. Thailand kemudian menggelontorkan skema visa baru untuk membuat para turis bisa tinggal lebih lama.
Menurut Nithee Seeprae, wakil gubernur di Otoritas Pariwisata Thailand (TAT), skema visa ini adalah bagian dari kampanye pariwisata Thailand yang bertujuan memudahkan para turis dari seluruh dunia untuk datang.
"Kebijakan visa baru ini akan membantu meningkatkan pemasukan dari sektor pariwisata, meningkatkan daya saing di kawasan dan mendorong hubungan internasional yang lebih baik. Ini juga untuk mendiversifikasi demografi turis, membuat mereka ingin tinggal lebih lama dan kembali datang, serta berpotensi menarik investor," kata dia kepada CNA.
Di antara ketentuan baru yang diumumkan pada 15 Juli lalu, pemegang Visa Tujuan Thailand (DTV) seperti pekerja remote, pengembara digital dan pekerja lepas (freelancer) bisa tinggal di negara itu selama lima tahun dan bersifat multiple entry.
Para pemegang visa ini bisa keluar dan masuk lagi ke Thailand untuk memperpanjang masa tinggal selama 180 hari ke depan. Visa ini juga diperuntukkan bagi peserta kursus Muay Thai, kelas memasak Thailand, kunjungan medis hingga latihan olahraga.
Permohonan visa ini dikenakan biaya 10.000 baht Thailand (Rp4,5 juta). Di antara persyaratannya adalah pemohon harus bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki tabungan dengan saldo lebih dari 500.000 baht (Rp220 juta)
Perubahan lainnya adalah penambahan batas waktu kunjungan dari 57 menjadi 93 hari bagi turis dari negra-negara penerima bebas visa kunjungan ke Thailand. Thailand juga menambah daftar negara yang warganya bisa menerima visa saat kedatangan (visa on arrival) menjadi 31 negara, dari sebelumnya hanya 19 negara.
Thailand juga menambah keuntungan bagi pemegang visa pelajar, yaitu memberikan mahasiswa asing yang lulus dari universitas Thailand perpanjangan masa tinggal hingga setahun untuk berbagai tujuan, termasuk wisata dan penelitian.
Bagi Lim yang selama ini tinggal dengan visa jangka pendek di Bangkok, kebijakan terbaru ini membuatnya gembira.
"Awalnya saya menggunakan visa liburan. Tapi saya harus keluar-masuk untuk bisa memperpanjang visa. Itu melelahkan," kata dia.
Setelah sekitar enam atau tujuh bulan, dia memutuskan untuk mendapatkan visa pendidikan. Artinya, dia harus mengambil kursus bahasa Thailand secara remote. Tapi dia menyadari, bahwa penggunaan visa ini hanya sementara.
Menurut Kim, saat ini banyak kenalannya di bidang kreatif di dalam dan luar negeri menyatakan keinginannya datang ke Thailand untuk menggunakan skema visa terbaru ini.
"Sudah bukan rahasia lagi jika Asia Tenggara menarik bagi banyak pekerja remote. Dan dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada yang mengakui pekerjaan seperti ini... tapi sekarang sudah lebih baik, karena sudah mendapatkan pengakuan.
"Saya senang ada fleksibilitas semacam ini. Menurut saya, selama masa COVID, banyak perusahaan dan pekerja yang menyadari bahwa karyawan tidak perlu menghabiskan delapan hingga sembilan jam di kantor setiap harinya. Kita bisa kerja dari rumah, bisa sambil bepergian, asalkan pekerjaannya beres," kata dia.
VISA TERBUKTI BISA MENARIK WISATAWAN
Dalam beberapa tahun terakhir, pemberian visa tinggal lebih lama bagi para pengunjung berduit memang sedang jadi tren.
Meski jumlah pengunjung ke Thailand belum kembali seperti masa sebelum pandemi COVID, namun data menunjukkan adanya peningkatan pendatang yang mengajukan izin tinggal lebih lama di negara itu.
Olivier Ponti, direktur intelijen dan pemasaran di ForwardKeys, sebuah perusahaan data perjalanan, mengatakan bahwa seperempat dari seluruh pengunjung yang datang ke Thailand saat ini tinggal lebih dari dua minggu.
Jumlah pengunjung dengan masa tinggal 22 hari atau lebih telah sepenuhnya pulih di Thailand ke masa sebelum pandemi. Namun menurut Ponti, jumlah kunjungan jangka pendek masih kurang 19 persen lagi untuk bisa dikatakan pulih.
“Visa tidak diragukan lagi merupakan cara yang telah terbukti untuk bisa menarik wisatawan ke sebuah tempat. Sejak pandemi, banyak tempat telah meluncurkan skema visa baru untuk mengakomodasi meningkatnya jumlah pekerja remote,” katanya.
"Meningkatnya jumlah pengembara digital dan adopsi cara kerja remote akan diakui secara global dan begitu juga di Thailand," lanjut dia.
Ponti mengatakan skema serupa di negara lain juga berhasil menarik para pengunjung jangka panjang, di antaranya visa B211a milik Indonesia dan Program Kerja Virtual milik Uni Emirat Arab.
Di kawasan Asia Tenggara, Malaysia juga menawarkan masa tinggal 12 bulan untuk pengembara digital yang memenuhi syarat di bawah skema DE Rantau Nomad Pass, sementara Filipina juga telah mengumumkan rencana untuk program yang sama.
Menurut Peter Guis, pemilik TMT Visa Service Phuket, minat terhadap DTV sangat tinggi. Pasalnya, visa ini menawarkan fleksibilitas dan opsi yang lebih terjangkau bagi para pengunjung di Thailand. Namun, mengingat skema ini masih baru, Guis mengakui masih ada ketidakpastian tentang bagaimana skema ini akan berjalan nantinya.
“DTV memang akan membawa perubahan, namun tidak dapat dipastikan seberapa besar perubahan yang akan terjadi. Akan ada dampak positifnya,” kata Guis.
“(Namun pemerintah) perlu mengawasi dengan seksama, karena skema ini akan memberikan dampak negatif juga dengan memasukkan orang asing ke negeri ini dalam jangka panjang," lanjut dia.
Stephen Noton, penasihat pemasaran internasional di platform wisata Thailand Tourism.co.th, mengatakan skema ini akan memberikan nilai ekonomi yang lebih luas jika memang terbukti mampu menarik turis asing seperti yang diinginkan.
Namun sampai saat ini, jumlah turis China ke Thailand usai pandemi belum kembali seperti dulu, padahal skema visa yang ada telah dibuat untuk semakin memudahkan mereka.
"Bukan cuma itu faktor yang bermain. Kondisi ekonomi global, inflasi dan hal-hal seperti harga tiket pesawat dan stabilitas politik juga bisa memberikan dampak besar," kata dia. "Jika orang-orang merasa tidak yakin untuk mengeluarkan uang, atau ada penghalang lainnya, maka peningkatan jumlah turis tidak akan signifikan."
KUALITAS KETIMBANG KUANTITAS
Menurut Paul Pruangkarn, kepala staf di Asosiasi Travel Asia Pasifik (PATA), dengan menargetkan "kualitas ketimbang kuantitas" dalam meningkatkan jumlah turis asing, maka Thailand akan mendapatkan keuntungan ekonomi dan juga sosial.
"Jika saya hanya mau mencari keuntungan, saya akan mengincar pasar jangka panjang dan para pengembara digital. Karena mereka akan tinggal lebih lama, dan menghabiskan lebih banyak uang.
"Tapi kemudian kita melihat kemarahan masyarakat terhadap turis belakangan ini di Barcelona," kata dia, merujuk pada protes warga lokal dengan cara mempermalukan turis karena mereka marah pemerintahnya lebih mementingkan usaha-usaha yang menguntungkan pariwisata ketimbang publik dalam negeri.
Pada 2024, pemerintah Thailand menargetkan 40 juta kunjungan. Pruangkarn mengatakan, pemerintah Bangkok harus memastikan sektor swasta, termasuk hotel dan maskapai penerbangan, dapat menangguk untung dari jumlah wisatawan tersebut, sembari menjaga keberlangsungan industri ini dan ketertiban sosial.
"Kita harus mampu menyeimbangkan antara manusia, laba dan planet, terlebih setelah COVID semua negara berlomba-lomba mencari pengunjung dan meraup keuntungan," kata dia.
Upaya menggaet lebih banyak turis juga berimbas pada infrastruktur dan pengalaman para turis di negara tersebut.
Dalam beberapa tahun ke depan bandara utama Thailand akan diperluas untuk mengurai kepadatan di terminal kedatangan dan keberangkatan. Termasuk di antaranya perluasan bandara internasional U-Tapao dekat Pattaya yang akan dimulai tahun ini, dan rencana pembangunan rel kereta cepat yang menghubungkan bandara Suvarnabhumi dan Don Meuang di Bangkok yang akan dimulai pada 2025.
Nithee mengatakan TAT akan bekerja sama dengan agen pariwisata untuk menawarkan paket khusus bagi turis yang ingin tinggal lama di Thailand dan melakukan promosi untuk wisata sepanjang tahun.
"Ketika berbicara soal 'turis yang berkualitas', kita merujuk kepada turis yang membawa sesuatu yang lebih daripada nilai ekonomi pada tempat yang mereka tuju. Turis ini tinggal lebih lama, berbaur dengan kebudayaan setempat, dan menerapkan praktik perjalanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
"Mereka tidak hanya melakukan wisata singkat, tapi pengalaman yang membuat mereka terhubung lebih dalam dengan sebuah tempat yang dikunjungi," kata dia.