Thailand terancam jadi negara para lansia. Karena warganya malas punya anak?
Jumlah penduduk Thailand diperkirakan berkurang hingga setengahnya sebelum pergantian abad ini. CNA mendalami penyebab dan solusi potensial untuk penurunan angka kelahiran di Thailand.
BANGKOK: Empat tahun telah berlalu sejak Sira Kitpinyochai dan Boontarika Namsena menjalin tali pernikahan, dan mereka merasa lebih bahagia memelihara 11 kucing daripada punya anak.
Sebelum menikah pun pasangan ini sudah sepakat untuk tidak menjadi orangtua. Menurut mereka, "anak itu lebih seperti beban mengingat semua biaya yang akan dikeluarkan". Bagi mereka, anak adalah tambahan biaya yang tidak penting dalam rancangan keuangan masa tua mereka.
Belum lagi masalah keterbatasan waktu. "Biasanya itu 10 sampai 12 jam (dalam sehari) di kantor," kata Boontarika, manajer pengadaan, yang berbicara untuk diri sendiri sekaligus suaminya yang bekerja sebagai pialang saham. "Bagaimana kami bisa punya waktu mengasuh anak?"
Di sudut lain dari dunia korporat Thailand, Anchalee Chaichanavijit, direktur eksekutif Asosiasi Pemasaran Thailand, juga memikirkan soal pengeluaran jika memiliki anak.
Dengan tuntutan kehidupan profesionalnya yang berat, membesarkan anak tampak seperti tugas yang menuntut energi, dana, sumber daya, dan waktu tambahan yang tidak dimiliki oleh Anchalee.
"Saya tidak ingin punya anak karena ... hidup saya sendiri sudah cukup berat," katanya kepada program Insight CNA. Pernyataannya mencerminkan sentimen yang kian umum di tengah masyarakat Thailand.
Menurut survei Institut Nasional Administrasi Pembangunan di Thailand pada September lalu, 44 persen responden menyatakan tidak ingin memiliki anak.
Tiga alasan utama yang dikemukakan adalah biaya membesarkan anak, kekhawatiran tentang dampak kondisi masyarakat terhadap anak, dan tidak ingin menanggung beban pengasuhan anak.
Keengganan ini pun tercermin pada tingkat kesuburan Thailand, yang tahun lalu berada di angka 1,08 — kedua terendah di Asia Tenggara setelah Singapura dengan 0,97 tahun lalu.
Wakil Perdana Menteri Somsak Thepsutin memperingatkan bahwa jika Thailand tetap berada pada kondisi ini, populasinya bisa berkurang setengahnya — dari 66 juta saat ini menjadi 33 juta — dalam kurun waktu 60 tahun.
Meski penurunan angka kelahiran merupakan fenomena global, Thailand diperkirakan akan menghadapi berbagai tantangan yang belum pernah muncul sebelumnya.
THAILAND SEBAGAI ANOMALI
Kondisi di Thailand mencolok di antara negara-negara satu kawasan dengan tingkat perkembangan serupa. Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, misalnya, memiliki angka kelahiran mendekati atau sekitar tingkat penggantian 2,1 kelahiran per perempuan.
Ironisnya, apa yang menjadi landasan pertumbuhan ekonomi Thailand mungkin justru merupakan pemicu masalah-masalah yang dihadapinya saat ini.
Pada tahun 1970, Thailand meluncurkan program keluarga berencana nasional dengan tujuan mengendalikan pertumbuhan populasi dan mendorong kemajuan ekonomi.
Pada 1976, program ini tidak hanya berhasil menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk menjadi 2,55 persen, tetapi juga melampaui target penerimaan kontrasepsi sebesar 26 persen. Sampai saat ini, kesuksesan program ini masih terus bertahan, dibuktikan dengan hampir tiga dari empat perempuan menikah saat ini menggunakan kontrasepsi.
Tiffany Chen, seorang ahli eksperimentasi kebijakan di Thailand Policy Lab, bagian dari Program Pembangunan PBB, mencatat bahwa keberhasilan negara ini bisa jadi ada sangkut pautnya dengan agama.
Sekitar 95 persen populasi Thailand menganut agama Buddha yang membolehkan bentuk-bentuk pengendalian kelahiran tertentu. Hal ini membedakannya dari negara-negara tetangga dengan agama mayoritas seperti Islam atau Katolik yang secara garis besar melarang kontrasepsi.
Menurut Sutthida Chuanwan, lektor kepala di Institut Penelitian Populasi dan Sosial di Mahidol University, dibandingkan dengan beberapa negara lain, sikap tradisional terkait patriarki juga telah bergeser di Thailand.
Saat ini, jumlah perempuan Thailand melebihi jumlah laki-lakinya dalam hal pendidikan tinggi. Selain itu, partisipasi perempuan di Thailand dalam angkatan kerja melebihi perempuan di Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
"Hal ini pun membatasi jumlah anak yang dimiliki perempuan, dibandingkan dengan mereka yang menjadi ibu rumah tangga dan hanya tinggal di rumah," kata Kirida Bhaopichitr, direktur penelitian untuk ekonomi internasional dan kebijakan pembangunan di Institut Penelitian Pembangunan Thailand.
Namun, masalah keuangan tidak menghalangi warga Thailand untuk menikah, berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan. Di negara-negara itu, penurunan angka pernikahan dapat berkontribusi pada menurunnya angka kelahiran.
Baca:
Selama satu dekade lebih, angka pernikahan di Thailand berjalan konsisten. Hanya saja, pasangan-pasangan menikah di negara ini memilih tak punya anak, baik menundanya secara sementara sementara maupun permanen.
Meski demikian — lagi-lagi berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan — ekonomi Thailand dianggap masih berkembang. Artinya, Thailand bisa menjadi salah satu negara pertama yang "menjadi tua sebelum jadi kaya".
"Ketika penuaan populasi terjadi secara bertahap, lebih mudah untuk beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang menua, baik dalam hal perawatan kesehatan, infrastruktur sosial-ekonomi, atau lingkungan," kata Sakarn Bunnag, direktur eksekutif sementara Pusat Penuaan Aktif dan Inovasi ASEAN.
"Ketika perubahan terjadi dengan cepat, penyesuaiannya bisa jadi akan sulit."
PENINGKATAN JUMLAH LANSIA
Populasi yang menua tidak sekadar menandakan penurunan angka kelahiran, tetapi juga peningkatan jumlah lansia. Di Thailand, warga senior berusia 60 tahun ke atas sudah mencakup seperlima dari total populasi.
Salah satunya adalah Thawatchai Potin di Bangkok. Sejak usia 25 tahun, mata pencahariannya adalah mereparasi kipas angin. Menurutnya, di usia 74 tahun — 14 tahun melampaui usia pensiun — hidupnya akan luntang-lantung jika ia tak bekerja.
"Selama COVID-19, misalnya, saya harus berbagi satu telur dengan orang lain untuk satu kali makan," ungkapnya. "Kalau saya pulang (ke Provinsi Ubon Ratchathani), bisa-bisa saya jadi beban bagi anak-anak saya, padahal saya masih sanggup kerja."
Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional Thailand melaporkan 41,4 persen dari warga lansia memiliki tabungan kurang dari 50.000 baht (sekitar Rp22 juta) pada 2021, dan 78,3 persen berpenghasilan kurang dari 100.000 baht per tahun.
Sebagai perbandingan, diperlukan sekitar 4,3 juta baht dalam tabungan untuk pensiun di kota.
Terkait hal ini, pemerintah Thailand mengalokasikan hampir 78 miliar baht tahun lalu untuk Tunjangan Hidup Warga Usia Lanjut, program subsidi bulanan hingga 1.000 baht bagi warga senior nonpensiunan atau yang tidak menerima tunjangan kesejahteraan.
Namun, seiring dengan terus meningkatnya populasi lansia, inisiatif ini akan makin membebani anggaran pemerintah.
Proyeksi menunjukkan bahwa Thailand dapat beralih menjadi bangsa super-tua, dengan warga berusia 60 tahun ke atas mencakup setidaknya 28 persen dari populasi pada 2033 atau lebih awal.
Pergeseran demografi ini akan membuat Thailand merogoh kocek untuk perawatan lansia, termasuk pengasuh, obat-obatan berkualitas, serta perawat dan terapis fisik khusus.
Anak-anak yang beranjak dewasa pun mulai merasakan tekanan. Memberikan perawatan untuk orangtua dan diri sendiri menyisakan sedikit uang untuk keturunan mereka di masa depan.
Meskipun Thailand menyediakan pendidikan gratis 12 tahun di sekolah negeri, bank sentralnya memperkirakan bahwa orangtua masih harus mengeluarkan 1,6 juta baht untuk biaya anak dari TK hingga universitas — lebih dari enam kali lipat produk domestik bruto per kapita.
Selain itu, meskipun pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, membesarkan anak tidaklah mudah di lingkungan Thailand yang kian urban.
Lebih dari setengah populasi Thailand tinggal di daerah perkotaan, terutama di Wilayah Metropolitan Bangkok. Kepadatan penduduk di perkotaan menimbulkan aneka tantangan seperti biaya hidup yang tinggi, ketimpangan sosial, kurangnya ruang hijau, atau polusi.
"Mengingat iklim ekonomi saat ini, kecuali keluarga tersebut berkecukupan, orang tua sering kali harus bekerja dua-duanya. Jadi banyak orang memutuskan untuk menunda punya anak," kata Bunyarit Sukrat, direktur Biro Kesehatan Reproduksi.
Di balik peningkatan fokus pada karier dan pendapatan di kalangan penduduk perkotaan, tingkat partisipasi angkatan kerja Thailand telah menurun sejak dekade lalu, kata Kirida.
Berkurangnya jumlah pekerja berdampak pada produktivitas dan pendapatan yang diperlukan untuk menopang keluarga dan memulai usaha di negara ini.
Jika tidak diatasi, penurunan angka kelahiran Thailand dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor potensial, dan mereka bisa jadi akan mengalihkan fokus ke negara lain.
STRATEGI UNTUK MASA DEPAN
Untuk meredam bom waktu demografis ini, pemerintah Thailand telah menguraikan tiga strategi utama.
Dua strategi pertama melibatkan penciptaan lingkungan yang mendukung kelahiran dan pengasuhan anak serta memperbaiki sikap masyarakat terkait nilai-nilai keluarga. "Kami ingin mengurangi beban orangtua semaksimal mungkin," kata Bunyarit.
Hal ini mencakup pemberian dukungan seperti area menyusui khusus, fasilitas penitipan anak, dan bantuan keuangan, mulai dari subsidi untuk barang-barang kebutuhan pokok hingga pengurangan pajak bagi orang tua dengan banyak anak.
Pengupayaan jam kerja fleksibel untuk ibu yang memiliki anak kecil juga jadi perhatian. Dalam hal ini, ekonom Piyachart Phiromswad menekankan pentingnya kolaborasi sektor swasta dalam mengembangkan kebijakan untuk mendukung perempuan karier dalam membesarkan anak.
Strategi ketiga fokus pada peningkatan akses ke berbagai layanan kesehatan reproduksi.
Pemerintah berencana memperluas akses ke teknologi reproduksi berbantuan untuk para lajang muda yang ingin memiliki anak. Selain itu, karena Thailand akan melegalkan pernikahan sesama jenis, akses ke layanan yang sama mungkin akan diperluas ke pasangan-pasangan gay dan lesbian.
Terkait ancaman gelombang tsunami lansia, proyek seperti Platform Penelitian Inovasi Penuaan oleh Chulalongkorn University membantu mempromosikan penuaan secara sehat di komunitas-komunitas perkotaan.
Platform ini berfokus pada upaya-upaya peningkatan kondisi sosial-ekonomi, layanan kesehatan, integrasi teknologi, dan lingkungan fisik.
Misalnya, ruang-ruang yang dikurasi seperti taman ramah geriatri untuk komunitas di Sapsinmai memfasilitasi interaksi sosial di antara para lansia sembari berada di lingkungan yang disesuaikan dengan berbagai kebutuhan fisik mereka.
CEO Rumah Sakit Internasional Chersery Home, Gengpong Tangaroonsanti, juga menganjurkan pergeseran dari kategorisasi berbasis usia ke penilaian usia fungsional.
Ia mengusulkan agar usia 60 tahun dianggap sebagai usia paruh baya yang baru, dan agar pensiun didasarkan pada fungsionalitas daripada usia.
Ide-ide lama yang menyatakan bahwa pusat pertumbuhan adalah tenaga kerja dan konsumsi telah menjadi kian tidak relevan. Apa yang terjadi di Thailand, negara berkembang dengan penuaan tercepat, bisa jadi pertanda apa yang akan terjadi di masa depan.
"Jamnya sudah mulai berdetak sejak lama," kata Piyachart. Dan masa depan Thailand mungkin bergantung pada kemampuannya untuk "mengubah tantangan-tantangan (demografis) ini menjadi berbagai peluang".
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.