Thailand akan jadi negara kedua di Asia Tenggara yang terapkan pajak karbon, Indonesia kapan?
Kebijakan Thailand ini akan membuatnya menarik di mata investor. Namun agar terlihat dampaknya bagi pengurangan emisi, negara-negara Asia Tenggara lainnya juga harus menerapkan kebijakan yang sama.
BANGKOK: Thailand akan menjadi negara kedua setelah Singapura di Asia Tenggara yang menerapkan pajak emisi karbon. Menurut para pakar, rencana Thailand ini akan mendorong kawasan untuk segera mengadopsi teknologi ramah lingkungan demi menanggulangi pemanasan global.
Pajak karbon yang akan diterapkan Thailand tahun depan diprediksi tidak akan terlalu berpengaruh pada emisi regional dan domestik di masa awal pemberlakuannya. Namun pakar mengatakan, keputusan Thailand ini menjadi sinyal penting bagi para produsen energi dan sektor swasta bahwa mengurangi jejak karbon adalah prioritas pemerintah Bangkok.
Langkah Thailand dan Singapura akan membuat negara-negara tetangga mereka terdorong untuk ikut serta menerapkan pajak karbon yang diharapkan dapat mengurangi emisi di Asia Tenggara, ujar para pakar.
Dr Vinod Thomas, peneliti senior tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute dan mantan direktur jenderal Asian Development Bank, mengatakan "sangat mudah sekali" untuk menerapkan pajak emisi bagi Thailand, sebagai negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil - 85 persen dari bauran energi negara ini berasal dari minyak, gas bumi dan batu bara.
"Udara gratis, jadi orang-orang mencemarinya dengan polusi. Dan karena polusi mengandung karbondioksida, maka udara menjadi panas, menyebabkan banjir dan badai ekstrem, lalu muncul gelombang panas dan kebakaran, menimbulkan malapetaka di Asia Tenggara. Jadi dalam konteks itu, wacana yang muncul adalah, kenapa kita tidak memasang tarif untuk udara saja?" kata dia.
Ini seperti menerapkan pajak pada rokok. Jika rokok menjadi semakin mahal, maka publik akan berpikir dua kali sebelum merokok."
Singapura sejak 2019 telah lebih dulu menerapkan pajak karbon yang mencakup 80 persen dari emisi di negara itu. Pajak yang dipatok Singapura adalah sebesar S$5 (Rp60 ribu) per ton setara karbondioksida (tCO2e) untuk lima tahun pertama dan meningkat menjadi S$25/tCO2e pada tahun ini. Pada 2030, pajaknya diperkirakan naik hingga mencapai S$50 sampai S$80 per ton.
Thailand mengikuti jejak Singapura. Pada Juni lalu, pemerintah Bangkok mengatakan mereka akan menerapkan pajak karbon sebesar 200 baht (Rp90 ribu)/tCO2e untuk produk minyak bumi seperti solar dan bensin.
Tarif pajak karbon di Thailand nantinya adalah konversi dari pajak produk minyak bumi yang ada saat ini. Dengan cara ini, maka tidak akan ada pengeluaran tambahan dari perusahaan dan mereka tidak akan membebankannya kepada konsumen dengan menaikkan harga. Selain itu, konversi pajak ini tidak membutuhkan undang-undang baru.
"Besaran pajak itu tidak akan berdampak apa-apa. Perusahaan akan memilih membayar ketimbang harus memangkas emisi. Dan untuk memperjelas, tujuan penarifan ini bukan untuk mengumpulkan uang. Tujuannya adalah untuk memotong emisi," kata Thomas.
"Tapi kita tidak bisa mengabaikan pentingnya penerapan pajak, bahkan jika cuma US$5. Karena ini adalah sebuah sinyal," lanjut dia, sembari membandingkan dengan tarif 5 sen untuk kantong plastik di Singapura demi mengurangi sampah.
Seperti halnya Singapura, Thailand juga akan terus mengembangkan besaran dan jenis pajak karbon bagi industri yang ditarget. Misalnya, pajak tinggi nantinya akan diterapkan juga untuk produksi baterai dan sektor transportasi atau manufaktur.
"Seiring waktu, kita akan melihat peningkatan pajak dari 200 baht per ton. Seberapa besar naiknya, kita juga belum tahu. Tidak ada batasan atas," kata Lektor Kepala Wongkot Wongsapai, wakil direktur Institut Penelitian Multidisiplin di Universitas Chiang Mai.
Pajak karbon ini adalah bagian dari paket legislatif di bawah Undang-Undang Perubahan Iklim Thailand yang diperkirakan akan diberlakukan dalam waktu satu hingga tiga tahun lagi. Selain mematok pajak, akan diatur juga soal kewajiban pelaporan emisi, pembentukan lembaga resmi pengumpul dana perubahan iklim dan skema perdagangan emisi agar perusahaan bisa membeli dan menjual kredit karbon.
Di bawah skema tersebut, pemerintah akan menetapkan plafon atau jumlah maksimal emisi yang diperbolehkan. Perusahaan yang mampu mengurangi emisi hingga di bawah plafon bisa menjual selisih karbon mereka ke perusahaan beremisi tinggi.
"Hal ini akan memberikan fleksibilitas bagi perusahaan-perusahaan ... mereka bisa membeli kredit karbon atau mengganti dengan teknologi baru (yang lebih ramah lingkungan)," kata Lektor Kepala Nattapong Puttanapong dari Fakultas Ekonomi di Thammasat University.
"Mungkin teknologi baru dianggap terlalu mahal, jadi lebih baik membeli kredit karbon. Atau jika harga teknologi barunya ternyata terjangkau, maka bisa digunakan," kata dia lagi.
KAPAN MALAYSIA DAN INDONESIA AKAN MENYUSUL?
Negara-negara lainnya di kawasan juga telah mempertimbangkan pajak karbon.
Indonesia awalnya ingin memberlakukan pajak karbon pada 2022, namun ditunda implementasinya hingga 2025 dengan alasan butuh waktu untuk memastikan skema ini tidak berbenturan dengan undang-undang dan peraturan yang ada.
Menteri Malaysia bulan ini mengatakan bahwa mereka akan mulai menerapkan pajak karbon untuk memfasilitasi perdagangan karbon. Pertimbangan Malaysia juga muncul setelah Uni Eropa (UE) sebagai mitra dagang mereka akan segera memberlakukan Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) pada 2026.
Dengan CBAM, UE akan mematok tarif emisi karbon bagi barang-barang impor untuk meningkatkan daya saing produsen domestik. Dengan cara ini, UE ingin barang produksi dalam negeri yang dikenakan pajak karbon tidak kalah saing dengan barang impor tanpa pajak serupa.
"Di bawah CBAM, ekspor baja dan lima barang lainnya dari Malaysia akan dikenakan pajak oleh UE. Kecuali jika Malaysia menerapkan pajak karbon," ujar wakil menteri investasi, perdagangan dan industri Malaysia Liew Chin Tong, seperti dilaporkan kantor berita Bernama.
"Penetapan tarif, perdagangan, dan perpajakan karbon merupakan aspek penting dalam agenda dekarbonisasi."
Terkait CBAM, pemerintah Thailand akan berunding dengan UE untuk memastikan produk ekspor mereka tidak dikenakan tarif ganda ketika pajak karbon telah berlaku. Thailand juga meminta agar barang ekspor mereka dilabeli sebagai produk ramah lingkungan di UE.
Baca:
MUNGKINKAH TARIF PAJAK KARBON DITERAPKAN DI KAWASAN
Thomas mengatakan, dampak dari penetapan pajak karbon hanya akan terasa jika diberlakukan di skala regional.
Menurut dia, ASEAN sebagai asosiasi yang menaungi negara-negara Asia Tenggara terkenal "lemah" dalam menyikapi perubahan iklim. Bahkan rencana pembangkit dan penyaluran listrik lintas negara menguap dalam beberapa tahun terakhir, terbentur masalah regulasi dan infrastruktur.
"Bagi ASEAN atau kelompok negara-negara lainnya, soal urusan regional sangat penting. Kesuksesan pajak karbon tergantung seberapa cepat dalam menyediakan cara alternatif dalam menghasilkan energi. Intinya ini tidak bisa tergantung seluruhnya kepada Thailand, harus satu kawasan," kata dia.
"(Penerapan di seluruh) ASEAN-lah yang akan membuat kebijakan ini memiliki arti dan membawa perubahan," lanjut dia.
"Ada dua pemikiran: Udara harus dicemari dengan polusi agar tetap kompetitif atau seiring waktu, udara harus dibersihkan untuk menarik investasi. Dan untuk kedua pemikiran itu, yang terbaik adalah ASEAN melakukannya sebagai satu kesatuan, ketimbang berbeda satu sama lain."
Memberlakukan pajak karbon terlalu cepat atau sendirian di kawasan dengan kompetisi industri yang tinggi akan sangat berisiko secara ekonomi. Sebuah negara akan kehilangan daya saing dengan tetangganya.
Lembaga Moneter Internasional (IMF) telah menyerukan penetapan tarif karbon yang lebih tinggi dibanding yang diterapkan di Asia saat ini, untuk mendesak perusahaan penyumbang polusi melakukan perubahan. IMF mengusulkan kerangka kerja sama untuk menetapkan tarif karbon yang berbeda.
Misalnya, tarif karbon minimum untuk negara berpendapatan tinggi dipatok US$75, sementara untuk negara berpendapatan rendah US$25.
Kemampuan memperdagangkan kredit karbon antar negara ASEAN dapat semakin mendorong pemerintah untuk segera menetapkan pajak karbon dan meningkatkan tarifnya.
Namun ketiadaan kerangka hukum dan perbedaan mata uang akan menghambat rencana ini. "Kita bisa melakukannya bersama, tapi belum akan terwujud dalam waktu 10 tahun," kata Wongkot.
Terlalu cepat menerapkan kebijakan ini memang berpotensi merugikan sebuah negara, tapi ada juga keuntungannya.
"Menyoal pajak perbatasan dan karbon, memiliki sistem perpajakan yang maju dan matang justru menjadikan sebuah negara menarik. Dibandingkan negara lain di Asia (yang tidak memiliki pajak karbon), daya saing itu justru adalah pajak, bukan yang lain," kata Thomas.
KEMANA PENDAPATAN DARI PAJAK KARBON DIALIRKAN?
Idealnya, memberlakukan pajak karbon tidak akan memberikan pemasukan yang menguntungkan pemerintah. Pasalnya, perusahaan penyumbang emisi akan mengurangi jumlah karbon mereka untuk menghindari pajak.
Menurut Nattapong, pertanyaannya adalah ke mana pemasukan dari pajak karbon itu akan dialirkan oleh pemerintah. Thailand, kata dia, harus melakukan perubahan yang sistematik dalam jangka panjang agar pemasukan yang sedikit ini bisa menguntungkan.
"Bukti-bukti menunjukkan bahwa efektivitas pajak karbon tergantung dari proses ini - bagaimana sebuah negara mendistribusikan uang pajak?"
Dengan regulasi yang ada saat ini di Thailand, pemasukan dari pajak karbon akan diserap dalam pendapatan publik. Menurut Wongkot, hal itu akan dirundingkan ulang oleh Departemen Perubahan Iklim dan Lingkungan Thailand (DCCE) sebagai bagian dari pengembangan Undang-Undang Perubahan Iklim.
"DCCE akan melihat apakah memungkinkan jika sebagian pemasukan dari pemerintah itu digunakan untuk lembaga dana perubahan iklim yang akan segera dibentuk. Jika tidak demikian, lembaga tersebut tidak akan punya kekuatan untuk membantu mewujudkan energi terbarukan atau aktivitas kehutanan di Thailand," kata dia.
Pajak karbon juga bisa disalurkan sebagai jaring pengaman bagi warga berpenghasilan rendah dalam pemenuhan kebutuhan energi mereka. Dana ini akan membantu warga menghadapi kemungkinan naiknya tarif listrik dan harga bahan bakar.
"Langkah-langkah itu akan memberikan dampak jangka pendek," kata Nattapong. "Sebenarnya, investasi untuk teknologi baru adalah opsi terbaik bagi jangka panjang, karena kita harus mengganti bahan bakar fosil dengan teknologi baru, kita perlu berinvestasi dalam riset dan pengembangan demi menurunkan biaya bahan bakar atau menemukan sumber energi yang benar-benar baru.
"Tapi jangan gunakan pendapatan (dari pajak karbon) ini untuk tujuan lain."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.