Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Teriak lirih Orang Asli Malaysia yang berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka

Ketika pengembang dan pebisnis datang, Mah Meri di Selangor adalah salah satu suku Orang Asli Malaysia yang berjuang mempertahankan tanah mereka sebelum semuanya terlambat.

Teriak lirih Orang Asli Malaysia yang berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka

Ramon Shari, "Tok Batin" ke-10 atau pemimpin spiritual di empat desa Mah Meri di Sepang, Selangor, Malaysia, merasa bahwa desa-desa dan tanah adat suku mereka tengah terancam. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

KUALA LUMPUR: Di pesisir selatan Selangor, segaris pantai yang sejuk menjadi rumah bagi Orang Asli - suku pribumi Malaysia - di Bagan Lalang. Mereka membangun permukiman kecil berisikan gubuk-gubuk sederhana dan rumah-rumah tidak permanen.

Di sini komunitas kecil Orang Asli Selangor, Mah Meri, telah tinggal dan mengelola tanahnya selama ratusan tahun. Tapi keberadaan mereka di tempat ini diprediksi tidak akan lama lagi.

Pada 13 Mei lalu, kepala desa Bukit Bangkong mengajak CNA berkeliling untuk menyaksikan sisa-sisa desanya. Bukit Bangkong adalah desa utama suku Mah Meri yang terletak 12km jauhnya di Bagan Lalang.

Sambil mengelilingi desanya, dia mengatakan bahwa Bagan Lalang bukan hanya tempat desa mereka berada, tapi juga lokasi terdekat dari tempat kerja para warganya.

Marin berhenti di depan salah satu rumah, seorang pemuda duduk di lantai depan pintunya dengan kedua lengan memeluk lutut. "Jangan bergerak sampai kamu diberi rumah baru," kata Marin kepada pemuda itu.

Pada April 2021 lalu, warga suku Mah Meri di Bagan Lalang mendapatkan surat perintah dari badan pertanahan Selangor untuk mengosongkan rumah mereka. Nantinya, di kawasan itu akan dibangun perluasan dari resor mewah di dekatnya di bawah rencana pembangunan Sepang GoldCoast.

Insiden ini menambah panjang daftar kasus Orang Asli di Malaysia yang memperjuangkan hak tanah mereka dari pihak-pihak yang disokong pemerintah negara bagian.

Ada sekitar 200.000 Orang Asli yang terdiri dari 18 suku, atau di bawah 1 persen dari jumlah total 32 juta populasi Malaysia.

Negara bagian Selangor adalah rumah bagi 4.100 warga suku Mah Meri, dengan konsentrasi terbanyak di wilayah Bukit Bangkong, sebagian lainnya tinggal di Pulau Carey.

Selama beberapa tahun terakhir, bentrokan terjadi antara suku-suku Orang Asli di Kelantan dan Perak dengan perusahaan penebangan kayu. Warga membangun blokade untuk melindungi hutan leluhur, meski yang terjadi kemudian pagar-pagar kayu itu dirobohkan oleh aparat.

Pada Mei 2019, kematian 15 warga suku Bateq di Kelantan akibat campak memantik perhatian publik Malaysia. Para ahli mengatakan, penyakit itu adalah dampak dari degradasi lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang telah menggunduli hutan-hutan mereka.

Berbagai keputusan pengadilan telah memberi pengakuan atas hak tanah adat warga pribumi, mewajibkan pembayaran kompensasi yang layak untuk setiap lahan Orang Asli yang digusur.

Tanah adat atau leluhur merujuk pada wilayah yang diakui Orang Asli sebagai daerah atau ekosistem mereka, melalui pendudukan, pemanfaatan dan permukiman, termasuk menjadikannya tempat tinggal atau berlindung, lahan pertanian dan mata pencaharian, pemakaman serta ritual adat lainnya.

Sebuah masjid di daerah tinggal Orang Asli di Bagan Lalang, dengan latar belakang resor mewah. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Pada Mei 2021, menteri utama Selangor, Amirudin Shari, mengklarifikasi bahwa tiga petak lahan yang diduduki suku Mah Meri di Bagan Lalang bukanlah desa Orang Asli, tapi sekadar pos transit sementara antara desa mereka dengan Bagan Lalang, tempat mereka bekerja.

Dia mengatakan bahwa Permodalan Negeri Selangor Bhd, perusahaan negara pemilik lahan tersebut dan yang menjalankan proyek Sepang GoldCoast, telah mengikuti prosedur dan peraturan untuk memanfaatkan tanah yang diduduki Orang Asli itu. Mereka juga disebut telah bernegosiasi dengan warga desa untuk memastikan pengurusan yang layak.

Peninjauan kembali kemudian diajukan untuk menggugat perintah penggusuran dan mendapat pengakuan atas tanah leluhur Mah Meri. Namun hakim menolak gugatan itu dan menyarankan untuk mengajukan gugatan perdata, ujar pengacara yang terlibat dalam kasus tersebut kepada CNA.

Marin Mungai (kiri), ketua desa Mah Meri di Bukit Bangkong, dan Ramon Shari di dekat sebidang tanah adat yang kini telah diakuisisi dan dijadikan perkebunan buah naga. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Kedua pihak akhirnya menyelesaikannya secara kekeluargaan, kata Ramon Shari, Tok Batin - pemimpin spiritual - dari desa warga suku Mah Meri di Bukit Bangkong, Pantai Jengkok, Ulu Chucoh dan Sungai Belankan.

Dalam penyelesaiannya, kata Tok Batin berusia 53 tahun ini, keluarga yang terdampak akan mendapatkan rumah baru di Bukit Bangkong, terletak jauh ke dalam, dan biaya pindahan akan ditanggung.

Ramon, yang telah menjabat Tok Batin setelah sengketa Bagan Lalang rampung, mengatakan kini dia mengawasi pembangunan dan serah terima rumah-rumah ini. Diperkirakan, prosesnya akan rampung pada akhir Juni atau Juli 2024.

"Wilayah ini telah jadi tempat jelajahan kami selama bertahun-tahun," kata Ramon tentang Bagan Lalang, menambahkan bahwa warga Mah Meri biasa menjelajahi hutan bakau dan rawa-rawanya untuk berburu kepiting, kerang atau memancing ikan, jauh sebelum daerah itu diubah menjadi pantai.

"Warga kami tinggal dan mencari sumber penghasilan di sini, jadi jika mereka harus pindah, maka harus mendapat kompensasi."

Warga dari suku Mah Meri memancing di hutan bakau di Bagan Lalang. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Namun Ramon menegaskan bahwa kompensasi bukanlah jawaban dari apa yang dia rasakan atas perambahan lahan Orang Asli. Pasalnya, banyak warga suku Mah Meri masih bergantung pada pertanian untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan membiayai sekolah anak-anak mereka.

"Kompensasi tidak ada harganya bagi kami. Yang berharga adalah tanah dan desa kami," kata dia.

Meski empat desa Mah Meri lainnya masih belum dirambah pengembang, namun Ramon menyebutkan ada dua kasus perebutan lahan pertanian suku mereka oleh pihak luar dalam beberapa tahun terakhir.

Desa-desa itu, kata dia, terletak di wilayah pengembangan utama dekat Bandara Internasional Kuala Lumpur dan pantai, dan di ibu kota administratif Malaysia, Putrajaya.

Suku Mah Meri mengatakan bahwa sebidang tanah adat yang digunakan untuk bertani di dekat desa mereka, Sungai Belankan, sedang dalam proses pengambilalihan. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Saat ini, warga suku Mah Meri berharap segera mendapatkan pengesahan untuk total 270 hektare lahan yang terdiri dari lahan pertanian dan desa mereka.

"Kami mendukung pembangunan oleh pemerintah, tapi perlu ada keseimbangan - jangan sampai Orang Asli diperlakukan dengan buruk," kata Ramon, sembari menyulut rokoknya di pantai yang dipenuhi vila-vila mewah.

"Jika memungkinkan, kami ingin (desa dan tanah adat) disahkan agar insiden Bagan Lalang tidak terjadi lagi."

PROAKTIF, TAPI KEMAJUANNYA SEDIKIT

Mah Meri memilih untuk proaktif ketimbang reaktif dalam menyikapi hal ini, sebuah pendekatan yang berbeda dibanding suku Orang Asli lainnya. Upaya mereka ini bukannya tanpa tantangan.

Dalam Akta Orang Asli 1954 - perundangan bagi perlindungan Orang Asli di Malaysia - negara bagian bisa mengesahkan kawasan adat Orang Asli sebagai wilayah warga pribumi dan melindunginya sebagai bentuk pengakuan yang lebih kuat. 

Lahan yang telah disahkan pemerintah negara bagian itu tidak dapat disewakan atau dikeluarkan izin pemanfaatan hutannya untuk pihak luar.

Ramon Shari telah memajang peta yang menandai lokasi desa-desa dan lahan pertanian Mah Meri. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Mah Meri telah menyampaikan permintaan pengesahan lahan mereka ke Jabatan Kemajuan Orang Asli (JAKOA), badan pemerintah yang mengurusi perkara masyarakat pribumi Malaysia. 

Tapi sejauh ini, belum ada kemajuan terkait permintaan tersebut. Ramon menduga, hal ini terjadi akibat lambannya badan pertanahan dan departemen kehutanan Selangor, pemilik tanah yang di dalamnya terdapat desa dan pertanian Mah Meri.

"JAKOA telah berusaha membantu kami, jadi kami tidak menyalahkan mereka. Tapi permohonan kami mandek di departemen lain," kata dia, yang mengaku tidak tahu alasan kemandekan tersebut.

Juru bicara JAKOA kepada CNA mengatakan bahwa sembilan dari 13 desa Mah Meri telah disahkan sebagai wilayah atau kawasan perlindungan Orang Asli, memiliki luas sekitar 653 hektare lahan. Namun dia tidak menyebutkan apakah ini sudah termasuk tanah adat Mah Meri.

Empat desa yang belum disahkan adalah Kampung Pulau Indah dan Pulau Ketam, begitu juga Bukit Bangkong dan Sungai Belangkan.

Juru bicara JAKOA mengatakan, pemetaan telah dilakukan untuk tiga desa pertama di atas dan permohonan telah diajukan ke otoritas yang berwenang pada 2018, namun hingga saat ini belum ada keputusan.

"Masalah ini akan terus disampaikan kepada otoritas pemerintah yang terkait," kata dia.

Sementara untuk Sungai Belankan, JAKOA mengatakan desa itu berada di dalam lokasi cagar alam dan memerlukan keterlibatan Departemen Kehutanan Semenanjung Malaysia sebelum bisa disahkan sebagai wilayah atau tempat perlindungan Orang Asli.

Jika tanah adat Mah Meri tidak disahkan, Ramon Shari khawatir akan masa depan generasi penerus suku mereka. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Untuk dapat mengesahkan tanah Orang Asli, juru bicara JAKOA mengatakan pemerintah negara bagian harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya pelestarian area hijau dan rencana penggunaan lahan di masa mendatang.

"Tantangan utama dalam proses pengesahan adalah kesiapan pemerintah negara bagian untuk menyetujui permohonan tersebut," kata juru bicara JAKOA.

"Dalam hal ini, perlu adanya keterlibatan dan diskusi yang terus menerus antara pemerintah negara bagian dan masyarakat Orang Asli."

CNA telah mencoba menghubungi badan pertanahan dan departemen kehutanan Selangor untuk dimintai komentarnya.

Ramon mengatakan bahwa Orang Asli merasa lahan mereka terancam direbut, padahal nenek moyang mereka telah tinggal di sana selama berabad-abad.

"Kami merasa para pengembang mengincar tanah adat Orang Asli, karena mereka tahu itu milik negara bagian dan tidak perlu membayar kompensasi yang terlalu besar," tambah dia.

Itulah alasan mengapa kami tidak merasa aman tinggal di desa kami. Jadi sebelum terjadi sesuatu, kami mencoba meminta pengesahan."
Warga suku Mah Meri, Bagan Lalang, sedang menunggu untuk pindah ke rumah baru mereka di Bukit Bangkong yang disediakan pemilik tanah sebagai bagian dari penyelesaian sengketa. (Foto: CNA/Aqil Haziq Mahmud)

Konstitusi Federal melindungi hak-hak orang pribumi Malaysia, termasuk hak milik atas tanah mereka sendiri.

Namun Kanun Tanah Negara 1965 di Malaysia menyatakan bahwa semua lahan di negara itu adalah milik negara, kecuali jika terdapat tiga hal: Sertifikat tanah yang terdokumentasikan, pengesahan sebagai tanah yang dilindungi pemerintah untuk kepentingan masyarakat, atau izin tambang yang disahkan di bawah undang-undang kehutanan.

"Kawasan adat Orang Asli yang tidak memiliki sertifikat atau status perlindungan dianggap sebagai tanah negara," bunyi laporan tahun 2016 tentang perambahan lahan milik Orang Asli, dipublikasikan oleh LSM Sahabat Alam Malaysia dan Jaringan Orang Asli di Semenanjung Malaysia.

Kondisi saat ini memungkinkan negara untuk mengeluarkan sertifikat tanah di kawasan adat Orang Asli kepada pihak swasta atas dasar Kanun Tanah Negara.

PENGESAHAN TANAH ORANG ASLI

Amani Williams-Hunt Abdullah, pengacara dan aktivis Orang Asli, kepada CNA mengatakan bahwa pihak-pihak yang ingin mengakuisisi tanah negara seharusnya mengunjungi wilayah itu terlebih dulu untuk melihat aktivitas dan penduduk di dalamnya.

"Jika ada Orang Asli di sana, seharusnya lahan itu tidak boleh dialihfungsikan, tapi seringkali tidak seperti itu yang terjadi," kata Amani, atau yang kerap dipanggil Bah Tony oleh masyarakat Orang Asli.

Inilah yang terjadi ketika Amani menangani sebuah kasus hukum pada 2015. Ketika itu, Kampung Senta, rumah bagi suku Semai di negara bagian Perak, disewakan kepada perusahaan swasta kendati di daerah tersebut telah berdiri sekolah negeri.

Perusahaan itu kemudian mengeluarkan surat penggusuran kepada warga Semai sebelum akhirnya menggugat mereka ke pengadilan. Dalih gugatan perusahaan, mereka telah mendapat hak milik dari sebagian lahan dan menganggap warga di dalamnya sebagai "penyusup".

Amani Williams-Hunt Abdullah, pengacara dan aktivis suku Orang Asli, pernah menangani kasus hak-hak atas tanah adat di pengadilan. (Foto: Amani Willians-Hunt Abdullah)

Warga desa kemudian menggugat balik. Amani mengatakan Pengadilan Banding kemudian memerintahkan tanah yang diakuisisi dikembalikan ke suku Semai, serta tanah adat mereka akan disahkan sebagai kawasan perlindungan Orang Asli.

Untuk pengesahan tersebut, suku Semai bekerja sama dengan JAKOA dengan memetakan batas-batas desa dan tanah adat mereka, dan akan menyerahkan dokumen pendukung yang membuktikan keterkaitan mereka dengan kawasan itu.

JAKOA mengatakan mereka akan menyerahkan permohonan pengesahan itu ke badan pertanahan terkait, meski menurut Amani wilayah yang disahkan bisa jadi lebih kecil dari pada yang diajukan.

Kendati proses ini telah dimajukan dalam kasus Kampung Senta, namun menurut Amani pengesahan belum juga rampung meski sudah ada perintah pengadilan. Pemerintah negara bagian, kata Amani, berdalih pengesahan lahan belum juga terwujud karena kurangnya anggaran.

"Sampai sekarang, belum ada yang terwujud dan Orang Asli di desa itu telah mengeluhkan ada pihak-pihak lain yang berusaha merebut lahan mereka. Jadi, kami sangat berharap pemerintah negara bagian bisa mulai melakukan sesuatu," kata dia.

ORANG ASLI "TIDAK MENGKLAIM SEMUANYA"

Ketika ditanya mengapa proses pengesahan berlangsung sangat lama, Amani mengatakan bahwa tanah adalah komoditas yang sangat berharga sehingga banyak diperebutkan orang.

"Saya menduga, mungkin pemikirannya adalah lebih baik menyerahkannya untuk tujuan yang memberikan manfaat komersial ketimbang kepada Orang Asli," kata dia. "Tapi itu persepsi yang salah, karena Orang Asli sebenarnya hanya mengklaim tanah yang mereka miliki; mereka tidak mengklaim semuanya."

Dr Colin Nicholas, pendiri dan koordinator di Center for Orang Asli Concerns, telah memperjuangkan hak-hak Orang Asli selama bertahun-tahun. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Dr Colin Nicholas, pendiri Center for Orang Asli Concerns, mengatakan bahwa pemerintah memang mengakui 200.000 hektare lahan di Malaysia sebagai wilayah permukiman Orang Asli, namun hanya 34 persen yang telah disahkan sebagai kawasan perlindungan Orang Asli.

"Bahkan jika tanahnya sudah disahkan pun, tidak berarti sudah diamankan sebagai tanah milik Orang Asli. Kapan saja keputusan itu bisa dibatalkan oleh pemerintah negara bagian," kata dia.

Hak tinggal Orang Asli di kawasan yang disahkan disebut tak ubahnya penyewa lahan. Mereka dilarang menggunakan lahannya sebagai tempat berbisnis model apa pun tanpa ada izin.

Sebuah papan nama di dekat desa Mah Meri, Sungai Belankan, yang menunjukkan bahwa lahan pertanian itu adalah milik Departemen Kehutanan Selangor. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Dr Nicholas mengatakan salah satu cara agar pemerintah negara bagian mengakui Orang Asli sebagai pemilik lahan adalah melalui konstitusi yang memberikan perlindungan terhadap "tanah adat", sebuah istilah yang tidak tercantum dalam hukum Malaysia.

"Jika perlu lahan untuk keperluan publik atau lainnya, dan Orang Asli setuju, maka mereka harus diperlakukan selayaknya pemilik lahan, dengan kesepakatan kerja bersama bagi hasil - ini hal yang biasa kita lakukan dengan pemilik lahan di mana pun juga," kata dia.

"Jadi semuanya sama-sama senang. Tapi mengapa harus mengambil semuanya dan membuat mereka kesusahan? Itulah yang terjadi ketika rasa kemanusiaan dan keadilan hilang."

GUGATAN DI PENGADILAN

Amran Angah, anggota suku Temiar di Perak, mengaku kecewa ketika melihat penebangan pohon telah menggunduli hutan leluhurnya pada 2018. Padahal, ketika itu warga desa telah membuat blokade untuk mencegahnya.

Konflik antara penebang dan Orang Asli yang sama juga terjadi di Perak dan jadi pemberitaan media pada 2019.

"Saat itu, aparat datang untuk membongkar blokade kami. Mereka membawa alat berat seperti ekskavator," kata Amran, 32, kepada CNA.

"Kami diperingatkan untuk tidak mengganggu mereka. Kami marah, kami menyaksikan sendiri bagaimana mereka tidak peduli pada tanah Orang Asli."

Amran Angah (kedua dari kiri) bersama dengan anggota suku Temiar lainnya dari Perak tengah memperjuangkan hak-hak tanah adat mereka di pengadilan. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Penebangannya sudah selesai, dan saat ini Amran tengah dalam proses menggugat di pengadilan atas pelanggaran terhadap hak-hak tanah adat mereka.

Pada 2019, menteri utama Perak ketika itu, Ahmad Faizal Azumu, merespons kritikan terhadap insiden tersebut. Dia mengatakan bahwa Perak telah mengesahkan sekitar 14.500 hektare lahan untuk permukiman bagi hampir 100 warga Orang Asli. Ini adalah wilayah perlindungan Orang Asli paling luas di seluruh Malaysia.

"Saya ingin menegaskan bahwa seluruh izin penebangan ada di kawasan cagar alam Perak, yang tidak termasuk wilayah permukiman Orang Asli," kata dia dalam tulisannya untuk media Malaysiakini.

"Singkatnya, tidak ada insiden warga Orang Asli yang diusir atau digusur untuk penebangan pohon."

Salah satu blokade oleh Orang Asli Temiar untuk mencegah para penebang memasuki hutan adat mereka. (Foto: Pusat Peduli Orang Asli)

Sebelumnya pengadilan telah memutuskan bahwa hak-hak adat Orang Asli tidak dihapuskan oleh penetapan negara atas tanah Orang Asli sebagai cagar alam.

"Namun pemerintah negara bagian terus mengabaikan implikasi dari keputusan pengadilan tersebut," ujar laporan LSM, menyatakan bahwa pemerintah gagal mengamandemen kebijakan dan statuta terkait keputusan itu.

"Pemerintah masih terus menerjemahkan hak tanah adat bagi warga pribumi yang tidak memiliki sertifikat sebagai bentuk terbatas dari hak guna pakai (mengambil manfaat dari properti yang dimiliki orang lain)."

Juru bicara JAKOA mengatakan bahwa Orang Asli diperbolehkan tinggal di hutan cagar alam.

"Karena itulah, JAKOA berupaya untuk mengupayakan pengesahan tanah perlindungan Orang Asli melalui Kanun Tanah Negara, meski sudah berstatus hutan cagar alam untuk memastikan hak-hak Orang Asli terpenuhi," ujar juru bicara JAKOA.

Mimi Angah (kiri) dan Zaleha Pam, dua warga suku Temiar yang mendirikan blokade untuk mencegah para penebang merambah hutan leluhur mereka di Perak pada 2018. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Amran menyadari bahwa kemungkinan dia akan kalah di pengadilan. Namun dia merasa jalur pengadilan tetap harus ditempuh karena warga sukunya merasa "pemerintah telah membuat kesalahan".

"Kami kecewa karena mereka tidak memberi tahu kami lebih dulu. Tanah itu milik nenek moyang kami, jadi kami harus menjaganya meski kami telah pindah jauh," kata dia.

"Mereka ingin memberi kami uang, tapi kami tidak mau. Bahkan jika mereka memberi kami jutaan ringgit, tidak akan kami ambil. Uang tidak penting, tanah yang terpenting. Karena tanah bisa menopang kami dari generasi ke generasi."

Dr Nicholas mengatakan bahwa perambahan di tanah adat Orang Asli dapat menyebabkan "kerugian besar" pada mata pencaharian dan merendahkan martabat mereka.

"Pukulan terbesar bagi Orang Asli adalah seakan pemerintah berkata: 'Kalian bukan siapa-siapa. Tanah kalian tidak bisa dimiliki. Jika kami mau, kami bisa mengambilnya,'" kata Nicholas.

Ramon Shari telah bersumpah untuk terus berjuang agar desa-desa dan lahan pertanian Mah Meri diakui oleh pemerintah negara bagian. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Ramon mengatakan bahwa warga desa suku Mah Meri kerap mengeluhkan ketakutan akan penggusuran. Ramon tidak tahu harus menjawab apa, hanya mengatakan bahwa dia tengah mengupayakan agar ketakutan itu tidak terjadi.

"Mereka khawatir desanya akan digusur. Jika pemerintah negara bagian mendapatkan proyek dan (meminta kami pergi), kami memang masih akan mendapatkan tempat dan rumah lain," kata dia.

"Tapi orang-orang kami yang tidak berpendidikan tinggi bergantung pada pertanian. Jadi jika mereka dapat rumah baru tapi tidak dengan tanah, bagaimana mereka (bisa menghidupi diri)? Jika rumah barunya besar, mereka takut tagihan listriknya mahal.

"Ancamannya sekarang tidak terlalu besar, tapi kami harus waspada sedari awal ... kami merasa ancaman masih mengintai."  

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan