Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Target China merajai AI pada 2030 sudah setengah jalan, mengapa AS jadi penghambatnya?

Dari teks-ke-video hingga chatbot, China telah menghasilkan tool AI sendiri sebagai pesaing ChatGPT dan AI produksi AS lainnya.

Target China merajai AI pada 2030 sudah setengah jalan, mengapa AS jadi penghambatnya?

Penggambaran ambisi AI China. (Ilustrasi: CNA/Rafa Estrada)

SINGAPURA: Tiga puluh lima detik. Itu adalah waktu yang diperlukan untuk membuat video berdurasi empat detik, menampilkan jalanan kota Tokyo di musim dingin yang ramai lalu lalang pejalan kaki, mereka jajan di kedai kaki lima atau sekadar menikmati salju.    

Menariknya, semua yang tampil dalam video itu dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) dengan Vidu, tool teks-ke-video buatan startup asal China, Shengshu AI.

Di Wuhan, 500 robotaxi bertenaga AI seliweran di jalanan, pemandangan yang beberapa waktu silam hanya bisa dilihat pada film fiksi ilmiah. Langkah serupa juga sedang diambil di beberapa kota di China.

Bulan lalu pada Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia (WAIC) di Shanghai, diputar trailer lima episode baru film seri fantasi buatan AI. Film ini terinspirasi dari karya sastra China berjudul "shanhaijing" atau Kisah Gunung dan Laut.

China memang tengah berinvestasi jor-joran pada teknologi AI untuk penggunaannya di masa depan. Menurut pengamat, kemajuan AI China semakin jelas keunggulannya dibanding teknologi serupa milik Barat, seperti ChatGPT atau pembuat video Sora. 

Cuplikan trailer serial fantasi pertama di Tiongkok yang dihasilkan oleh AI dari Kuaishou Technology. (Gambar: Kuaishou/@Kuaishouxingmang)

China telah menargetkan untuk memimpin di bidang AI pada 2030 dan menjadi pusat inovasi dalam riset dan penerapan teknologi ini. Dukungan dan investasi besar telah disalurkan untuk mewujudkan ambisi Tiongkok.

Target ini ditetapkan pada 2017 ketika China memperkenalkan "Rencana Pengembangan Kecerdasan Buatan Generasi Berikutnya". Dalam rencana ini, China berharap negara mereka akan menjadi pemimpin dalam bidang teori, teknologi dan penerapan AI pada 2030.

Dengan kemajuan di China saat ini, apa lagi yang mereka butuhkan untuk bisa menjadi yang terdepan dalam perlombaan inovasi AI?

Meski ada beberapa kemajuan, tapi pengamat melihat akan adanya hambatan bagi China, salah satunya adalah ketegangan geopolitik dengan Barat. 

"Tantangan utama bagi perkembangan AI China saat ini terletak di piranti lunaknya, terutama pada rancangan dan produksi cip AI," kata Dr James Pang, lektor kepala di Fakultas Bisnis, National University of Singapore (NUS).

"Karena ketegangan geopolitik, China menghadapi pelarangan pembelian cip canggih dari AS, yang kemudian menghambat perkembangan."

Namun di saat yang sama, kata pengamat, kondisi ini bisa mendorong China memproduksi cip sendiri dan meningkatkan kemampuan AI mereka.

Seorang peserta pameran mendemonstrasikan program asisten AI kepada pengunjung di stan pameran Baidu AI selama Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia 2024 di Shanghai, 4 Juli 2024. (Foto: AP/Andy Wong)

DUKUNGAN NEGARA UNTUK KEMAJUAN AI

Untuk meningkatkan kemampuan AI, pemerintah China telah memberikan insentif yang luar biasa besar serta menetapkan strategi untuk kemajuannya. Upaya ini telah dilakukan China sejak bertahun-tahun lampau. 

Pada kebijakan "Made in China 2025" yang cetak birunya digulirkan pada 2015, pemerintah China menjadikan AI sebagai unsur penting dalam meningkatkan kekuatan perekonomian negara.

Dalam rencana yang kemudian ditetapkan pada 2017 itu, China memiliki mimpi memimpin teknologi AI global dengan tiga langkah. Pertama, menguasai teknologi AI pada 2020. Kedua, melakukan terobosan besar dalam bidang AI pada 2025. Ketiga, menjadikan China sebagai pemain utama AI pada 2030.

Industri AI di China bernilai total hingga 578,4 miliar yuan (Rp1.200 triliun) pada akhir tahun lalu, dengan rata-rata perkembangan per tahun di 13,9 persen, berdasarkan berbagai laporan.

Pengamat mengatakan, dorongan untuk meningkatkan AI sejalan dengan maraknya penggunaan teknologi canggih dalam mendongkrak produktivitas dan memajukan perekonomian China ke tahapan selanjutnya.

Menurut proyeksi Akademi Teknologi Informasi dan Komunikasi China, nilai ekonomi digital yang dipicu oleh AI dapat mencapai 70,8 triliun yuan pada 2025.

Di masa lalu, perekonomian China selalu ditentukan oleh kemajuan di bidang pertanian, industri dan pelayanan. Namun menurut Dr Li Haizhou, profesor ketua presidensial XQ Deng dari The Chinese University of Hong Kong, Shenzhen (CUHK-Shenzhen), pemerintah China tengah menjadikan ekonomi digital sebagai kontributor utama PDB mereka dalam satu dekade ke dapn.

"Jadi, dengan bergerak di jalur AI ini, tentu saja ini akan menjadi kekuatan pendorongnya, pemerintah selalu berinvestasi untuk pertumbuhan... ekonomi digital akan menjadi kontributor terbesar bagi PDB China," ujarnya.

MENINGKATKAN KEMAMPUAN

Kemajuan AI China ditandai dengan bermunculannya tool buatan dalam negeri yang kemampuannya telah mengejutkan dunia. 

Salah satu sektor yang paling dilirik publik adalah model teks-ke-video. Teknologi ini berpotensi membawa perubahan besar dalam industri kreatif, namun menyimpan risiko akan penyebaran disinformasi.

Pada Februari lalu, perusahaan AI asal Amerika Serikat OpenAI - pembuat ChatGPT - merilis Sora, tool AI terbaru mereka untuk mengubah teks menjadi video. Sora mengejutkan dunia dengan hasil video AI yang ciamik.

Enam bulan berselang, China berhasil menyainginya. Setidaknya tiga perusahaan teknologi China telah memiliki tool video AI yang sudah digunakan di seluruh dunia.

Tool itu adalah Vidu buatan perusahaan rintisan China Shengshu AI yang dirilis pada 30 Juli. Sebelumnya telah lebih dulu rilis Zhipu AI dan Kuaishou.

Diluncurkan pada akhir April, Vidu disebut-sebut sebagai alat AI teks-ke-video China pertama dengan kemampuan yang setara dengan Sora. Tidak heran para reviewer di China menjulukinya "Sora Made in China".

Selain AI generatif, penerapan AI secara industri juga bermunculan di China.

Taksi tanpa sopir atau robotaxi juga menjamur di kota-kota China, seiring semakin banyaknya perusahaan di negara itu yang meningkatkan teknologi dan pemasarannya.

Di Wuhan misalnya, ada 500 robotaxi buatan Baidu yang sudah mengaspal. Rencananya pada akhir tahun ini, akan ada 1.000 di jalanan Wuhan.

Sebuah mobil dari layanan robotaxi tanpa sopir Baidu, Apollo Go, terlihat di sebuah jalan di Wuhan, provinsi Hubei, Cina pada 24 Februari 2023. (Foto: REUTERS/Josh Arslan

HAMBATAN YANG MENGADANG

Meski China telah melakukan segala cara untuk mendominasi bidang AI, namun para pengamat mengatakan ada berbagai hambatan yang mengadang. Di antaranya adalah hambatan dari luar, yaitu ketegangan geopolitik dengan AS.

Unit pemrosesan grafis (GPU) sangat penting dalam mendukung hal ini, terutama yang termutakhir.

Dalam dua tahun terakhir, AS telah menerapkan larangan ekspor terhadap cip canggih dan perangkat pembuat cip ke China. Langkah AS ini bertujuan untuk menghambat perkembangan teknologi AI dan superkomputer yang dianggap akan menguntungkan militer China.

Salah satu yang terkena imbasnya adalah ekspor cip buatan perusahaan raksasa teknologi AS,  Nvidia, ke China. Sebelum pelarangan, Nvidia menguasai 90 persen pangsa pasar cip AI di China.

Para pengamat yang dihubungi CNA sepakat bahwa pelarangan AS ini adalah hambatan besar dalam ambisi AI China.

Wai Kin Kong, Lektor kepala dari Sekolah Tinggi Ilmu Komputer dan Ilmu Data Nanyang Technological University (NTU), mengatakan China juga masih kesulitan memproduksi cip sendiri. Hal ini pada akhirnya menjegal perkembangan AI mereka.

Kendati demikian, Dr Pang dari NUS mengatakan beberapa perusahaan China telah membuat terobosan, salah satunya cip AI terbaru yang diluncurkan Huawei.

Ascend 910B buatan Huawei telah dianggap sebagai cip AI non-Nvidia paling kompetitif yang tersedia di China. Cip ini telah menunjukkan performa yang mendekati A100 Nvidia dalam beberapa pengujian, bahkan beberapa kali unggul sekitar 20 persen, menurut Wang Tao, COO Jiangsu Kunpeng Ecosystem Innovation Centre.

Ilustrasi logo Nvidia. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)

Pengamat mengatakan, hambatan ini hanya bersifat sementara. Larangan AS, kata pengamat, malah justru akan mendorong China memproduksi cip sendiri dan menghilangkan ketergantungan terhadap pasokan dari luar.

Selain cip, ChatGPT juga tidak bisa diakses di China karena sensor internet yang dikenal dengan "Great Firewall". 

Warga China memang masih bisa menggunakan VPN untuk bisa membukanya, namun pada 9 Juli lalu, OpenAI memblokir pengguna dari China. Tidak diketahui alasannya, tapi ini dilakukan di tengah memburuknya hubungan AS dengan China.

Hal ini yang kemudian mendorong para pemain industri AI di China saling membantu satu sama lain dalam menciptakan AI mereka sendiri.

Perusahaan SenseTime, misalnya, pada WAIC mengumumkan telah meningkatkan kemampuan tool AI mereka, SenseNova 5.5 untuk membantu pengguna bermigrasi dari OpenAI.

Perusahaan lainnya Zhipu AI, juga telah memiliki rencana khusus untuk menjadi pengganti OpenAI.

Zhou Hongyi, pendiri dan CEO perusahaan keamanan siber Qihoo 360, menyatakan dalam sebuah postingan di Weibo pada 26 Juni bahwa "Ditutupnya akses pasar China oleh OpenAI hanya akan mempercepat pertumbuhan industri model bahasa besar di Tiongkok".

Pengunjung menyentuh robot humanoid yang dipamerkan di stan pameran AI selama Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia 2024 di Shanghai. (Foto: AP/Andy Wong)

MASIH TERTINGGAL DARI AS

Untuk menjadi pemimpin di bidang AI, China harus unggul setidaknya satu tingkat di AS.

Menurut pengamat, AS dan China memang sudah berada di podium juara dalam kompetisi AI global. Namun China masih sedikit tertinggal di belakang.

Salah satunya dalam soal investasi swasta untuk AI. Laporan terbaru Stanford University menunjukkan bahwa startup AI China mendapatkan investasi US$104 miliar antara 2013 dan 2023.

Sebagai perbandingan, pada periode yang sama perusahaan-perusahaan di AS berinvestasi US$335 miliar untuk AI, lebih dari tiga kali lipat dari China.

AS juga memimpin dalam jumlah startup AI, sebanyak 5.509 selama 10 tahun terakhir. Sementara China di urutan kedua dengan 1.446 startup.

Selain itu, AS juga unggul dalam jumlah model AI. Tahun lalu, sebanyak 61 model AI berasal dari perusahaan AS, sementara China hanya 15, Eropa kedua terbanyak dengan 21.

Dr Pang mengatakan, jika dalam urusan kemampuan AI secara keseluruhan, AS memimpin dari China dalam berbagai dimensi, seperti penelitian, penerapan, piranti keras, piranti lunak, dan talenta.

"China tertinggal dari AS sekitar satu sampai tiga tahun," kata dia.

Namun menurut Dr Kong, data tersebut tidak memberikan gambaran yang menyeluruh, tidak membahas soal bagaimana AI menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

"AI bisa diterapkan di berbagai area, seperti penelitian obat-obatan, mobil tanpa sopir, robotika, keamanan, manajemen energi ramah lingkungan dan kemiliteran," kata dia.

"Banyak perusahaan juga menggunakan AI untuk meningkatkan produktivitas. Model-model AI yang ternama hanyalah sebagian kecil dari pasar (secara keseluruhan)."

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan