Dari Donald Trump hingga isu Taiwan: Sederet tantangan China di 2025 dan bagaimana mereka akan menghadapinya
Semua mata tertuju pada cara China menghadapi berbagai tantangan di 2025, mulai dari ekonomi hingga politik.

Tahun 2025 yang penuh tantangan menanti di depan mata bagi China karena negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri. (Ilustrasi: CNA/Clara Ho)
SINGAPURA: Tahun 2025 akan menjadi tahun yang penuh dengan tantangan bagi China.
Kesehatan ekonomi akan menjadi fokus utama bagi China. Pemerintah Beijing ingin agar mesin pertumbuhan tetap menyala, dengan cara mendorong konsumsi dalam negeri.
"Prioritas pemerintah China adalah pertumbuhan yang berkelanjutan di tengah berbagai rintangan, seperti lemahnya kepercayaan konsumen, meningkatnya pengangguran muda, dan ketegangan geopolitik,” Jing Qian, salah satu pendiri dan direktur pelaksana pada Asia Society Policy Institute di Center for China Analysis (CCA), mengatakan kepada CNA.
Perseteruan dengan AS akan semakin tidak menentu setelah Donald Trump kembali dilantik menjadi presiden pada 20 Januari nanti.
Di tengah bayang-bayang kenaikan tarif tinggi, semua pihak menantikan langkah apa yang sebenarnya akan dilakukan Trump, dan seperti apa reaksi China, atau apakah ada upaya untuk mencegahnya, ujar para pengamat.
Hubungan China dan Taiwan juga akan menyita perhatian kepresidenan periode kedua Trump akan berdampak pada rencana Beijing untuk merebut kembali Taiwan.
Di dalam negeri, para pengamat memperkirakan Presiden China Xi Jinping akan terus mengokohkan kekuasaannya di tahun yang baru ini. Mereka juga menduga daftar pejabat senior yang akan terjerat kasus korupsi akan bertambah panjang.
Dunia saat ini tengah memantau bagaimana cara China mengatasi berbagai tantangan yang berdampak secara global ini.
MENINGKATKAN KONSUMSI DALAM NEGERI
Meningkatkan konsumsi dan permintaan dalam negeri akan menjadi fokus utama China pada tahun ini.
Para pengamat mengatakan, China sebagai negara perekonomian terbesar kedua di dunia perlu menyeimbangkan lagi perekonomiannya, dengan cara melepaskan diri dari model ekspor dan investasi. China, kata mereka, mestinya mengutamakan pengeluaran rumah tangga sebagai sarana untuk pertumbuhan jangka panjang.
China memiliki 1,4 miliar penduduk. Artinya, dengan meningkatkan pengeluaran rumah tangga, China akan sukses membangkitkan kembali perekonomiannya.
Menstabilkan pasar properti yang bermasalah akan menjadi kuncinya, kata ekonom senior Gary Ng dari perusahaan perbankan investasi Natixis. Pasalnya, sebanyak 70 persen kekayaan rumah tangga di China terikat pada properti.
Ng mengatakan real estat sebagai "salah satu faktor terpenting bagi perekonomian China" di tahun 2025. Dia percaya bahwa harga rumah yang stabil dapat menciptakan berbagai efek berantai, seperti mendorong penjualan peralatan rumah tangga, furnitur, dan bahkan mobil.
"(Jika ada) perbaikan di sektor real estat, maka secara bertahap hal ini juga akan meningkatkan konsumsi secara umum atau bahkan memiliki efek positif lainnya dalam rantai pasokan," katanya kepada CNA. Namun menurut Ng "siklus positif" ini masih belum terlihat.
Pengamat juga mengatakan bahwa para pembuat kebijakan di China harus juga menjadikan perbaikan pasar tenaga kerja sebagai prioritas.
Ng mengatakan bahwa anak-anak muda di China kecewa dengan pasar tenaga kerja yang ada. Menurut dia, China perlu membuat solusi kebijakan untuk membuka lebih banyak peluang kerja bagi anak-anak muda.
Jing dari CCA mengatakan kepercayaan konsumen di China masih akan sangat rapuh di 2025. Di antara solusi yang bisa dilakukan China, kata Jing, adalah tunjangan yang lebih luas bagi pengangguran atau bantuan langung tunai bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

PERTUMBUHAN PDB
Target pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) untuk tahun yang baru biasanya diumumkan China pada awal pelaksanaan dua pertemuan tahunan besar, yaitu Kongres Rakyat Nasional (NPC) dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok (CPPCC) pada Maret di Beijing.
"Jika saya harus berspekulasi, China kemungkinan besar akan menetapkan target pertumbuhan sekitar 5 persen untuk tahun 2025, konsisten dengan dua tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan penekanan Beijing untuk menyeimbangkan stabilitas ekonomi dengan reformasi struktural sambil mengakui tantangan-tantangan domestik dan eksternal yang sedang berlangsung," kata Jing.
Pada saat yang sama, ia percaya bahwa Beijing tidak akan lagi memperlakukan target pertumbuhan PDB sebagai sesuatu yang kaku. "PDBisme menjadi kurang relevan di China, mengingat sinyal-sinyal politik dari Presiden Xi selama beberapa tahun terakhir," ujarnya.
Ng dari Natixis juga setuju bahwa target tersebut mungkin lebih bersifat simbolis daripada harfiah karena tantangan-tantangan ekonomi semakin banyak bagi China.
Jika Beijing benar-benar menginginkan pertumbuhan di atas 5 persen, maka akan ada "respon yang jauh lebih kuat dalam stimulus fiskal", ujar ekonom senior ini. Meski demikian, Ng percaya bahwa Beijing akan meningkatkan dukungan fiskal tahun ini, meskipun besarannya masih belum bisa dipastikan.
Pada Desember lalu, China mengumumkan perubahan kebijakan moneter pertamanya sejak 2010 untuk memacu pertumbuhan. Ketika itu, pemerintah China mengatakan bahwa mereka akan mengambil sikap yang lebih "longgar secara tepat" pada 2025, berbeda dengan sikap "hati-hati" yang diterapkan di tahun sebelumnya.
November lalu, pemerintah Beijing juga menyetujui rencana pembiayaan selama tiga tahun senilai 6 triliun yuan untuk membantu pemerintah-pemerintah daerah membayar utang mereka yang cukup besar.
PERDAGANGAN DAN TARIF
Para pengamat juga mengatakan China akan melakukan pergerakan di luar negeri. Pasalnya, China akan berhadapan kembali dengan Donald Trump yang kembali terpilih sebagai presiden Amerika Serikat untuk periode kedua.
Trump, pebisnis yang menjadi politisi, telah menjadikan tarif sebagai senjata andalannya.
Dia mengancam menaikkan tarif pada semua barang impor dari China. Dalam kampanye presiden tahun lalu, Trump mengancam akan menjatuhkan tarif 60 persen atau lebih. Namun dalam perintah eksekutif pertamanya, Trump mengatakan akan memberikan tambahan tarif 10 persen untuk China.
Para pengamat mengamati bagaimana China akan bereaksi atau bahkan membalas Trump.
Sebelumnya China telah berpengalaman dalam berurusan dengan Trump di periode pertama kepemimpinannya. Ketika itu, dunia menyaksikan perang dagang di antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini.
Jing mencatat bahwa pada 2025 di bawah kepemimpin Trump di AS, para produsen China berpotensi menghadapi tekanan laba, berkurangnya akses pasar, dan gangguan pada rantai pasokan dalam jangka pendek, meningkatkan tekanan pada industri yang bergantung pada ekspor China, terutama di bidang elektronik, tekstil, dan barang-barang konsumen lainnya.
Namun, Ng dari Natixis menggambarkan skenario yang lebih pahit jika bea masuk AS untuk barang-barang China meroket. Menurut dia, akan banyak perusahaan China yang "meninggalkan pasar AS" jika memang Trump memberlakukan tarif 60 persen.
"Karena margin keuntungan telah banyak tertekan di sektor manufaktur dalam beberapa tahun terakhir, maka tambahan 60 persen adalah sesuatu yang tidak dapat dihadapi oleh banyak perusahaan."

Menurut Ng, Trump juga akan mengincar barang-barang buatan China di luar negeri, seperti di Vietnam atau Meksiko. China mengalihkan produksi ke negara-negara itu untuk menghindari tarif.
"Jika pintu itu juga sudah tertutup ... maka kerugiannya akan lebih besar," kata dia.
Dalam menghadapi tarif yang lebih tinggi, para pengamat mengatakan bahwa Beijing mungkin akan membiarkan yuan terdepresiasi. Yuan yang lebih lemah dapat membuat ekspor China lebih murah, sehingga mengurangi dampak tarif.
China juga akan melakukan pembalasan atas tarif AS namun dengan cara yang selektif. Jing percaya bahwa China "kemungkinan akan mengadopsi berbagai strategi", termasuk mendiversifikasi pasar dan memperkenalkan lebih banyak stimulus domestik. China juga, kata dia, secara perlahan akan membalas kepada perusahaan-perusahaan AS yang bergantung pada pasar China.
Pengamat mengatakan China juga akan memperkuat hubungan dengan pemain global lainnya, seperti Uni Eropa atau ASEAN.
"Hubungan ini akan semakin erat seiring dengan semakin kuatnya kepentingan bersama dalam melawan proteksionisme AS dan mendorong integrasi perdagangan regional," ujar Jing.
PERSAINGAN CHINA-AS
Para pengamat mengatakan, dengan kembalinya Trump menjadi presiden, China akan semakin disibukkan dengan persaingan dengan AS.
"Pemerintahan Trump telah mengindikasikan rencana untuk meninjau kembali kemitraan yang sudah ada dengan China, untuk menentukan apakah kemitraan tersebut sejalan dengan kepentingan AS. Beijing dapat menafsirkan langkah-langkah ini sebagai upaya untuk menegosiasikan kesepakatan atau sebagai strategi yang bertujuan untuk menahan diri," kata Alejandro Reyes, peneliti senior di Centre on Contemporary China and the World, sebuah lembaga riset di University of Hong Kong (HKU).
Saat ini, pemerintah Beijing tampaknya siap untuk terus mengadvokasi "tatanan internasional yang lebih inklusif" bersama dengan para pemimpin Global South lainnya, kata Aparna Divya, kandidat PhD di bidang politik internasional di School of International Relations and Public Affairs di Fudan University, Shanghai, China.
"Tren ini (menantang) dinamika kekuatan yang sudah mapan, dan menekankan pengaruh yang semakin besar dari negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan global," katanya kepada CNA.
Dari sisi keamanan, Laut China Selatan masih akan menjadi titik panas utama dan bisa semakin memanas jika perseteruan China dan AS meningkat, kata Alfred Wu, pakar politik China dari Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP) di National University of Singapore.
"Pemerintahan Trump kemungkinan besar akan mempertahankan, bahkan meningkatkan, dukungannya terhadap Filipina di perairan sengketa itu, karena Indo-Pasifik diperkirakan akan tetap menjadi prioritas geopolitik," kata dia.
Dalam setahun terakhir, Filipina dan China terlibat ketegangan di laut sengketa tersebut. Salah satu yang terparah terjadi pada Juni tahun lalu, ketika seorang pelaut Filipina kehilangan jarinya dalam konfrontasi fisik dengan tentara China di Laut China selatan.
Klaim China terhadap hampir sebagian besar wilayah Laut China Selatan tumpang tindih dengan pengklaim lainnya, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Filipina.
"Pertanyaan kuncinya adalah apakah China akan meningkatkan klaimnya di wilayah tersebut - dan jika demikian, bagaimana China akan melakukannya di tengah kisruh ekonomi dan perang dagang. Ini akan menjadi sesuatu yang perlu dicermati dengan seksama," kata Wu.

MASALAH TAIWAN
Di tengah persaingan geopolitik antara China dan AS, isu Taiwan diperkirakan masih akan santer pada tahun 2025, kata para pengamat.
Pemerintah China memandang Taiwan sebagai bagian dari negara mereka, namun memisahkan diri dan memiliki pemerintahan sendiri. China telah bertekad akan kembali merebut Taiwan, dengan kekerasan jika perlu.
Sementara AS adalah pemasok utama senjata dan aset militer ke Taiwan meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik resmi.
Namun sifat transaksional Trump terhadap diplomasi dan kebijakan "America First"-nya telah menimbulkan keraguan tentang dukungan AS untuk Taiwan. Sebagai contoh, sebelumnya Trump telah meminta Taiwan untuk membayar kepada AS atas perlindungan yang mereka dapatkan.
Dengan latar belakang ini, pemerintah Taiwan telah mengubah pendekatan mereka, kini lebih memupuk kemandirian dan memperkuat persatuan sosial sebagai bagian dari strategi pertahanan mereka, ujar Reyes.
"Ada konsensus yang berkembang di Taiwan bahwa pulau itu tidak boleh terlalu bergantung pada AS untuk perlindungan," kata dia. "Justru banyak orang di Taiwan bisa menerima secara positif keputusan AS yang ingin lepas tangan."
Dalam pidato Tahun Baru pada 31 Desember lalu, Xi mengatakan tidak ada yang bisa menghentikan penyatuan kembali dengan Taiwan. "Orang-orang di kedua sisi Selat Taiwan adalah satu keluarga. Tidak ada yang bisa memutuskan ikatan keluarga kita, dan tidak ada yang bisa menghentikan tren historis reunifikasi nasional," katanya.
POLITIK DALAM NEGERI
Di dalam negeri China, para pengamat memperkirakan Xi akan semakin mengkonsolidasikan kekuasaannya di tahun ini.
"Saya tidak melihat Xi akan mengalah atau mengurangi kendalinya di pertengahan periode ketiganya sebagai pemimpin tertinggi China," kata Reyes dari HKU. Xi menjabat pemimpin China untuk periode ketiga pada Maret 2023, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya di negara itu.
"Terutama pada saat China berupaya keras untuk meningkatkan perekonomian yang melambat, maka pemerintah pusat membutuhkan kekuatan penuh dan dukungan rakyat."
Pada 10 Desember lalu, China menggelar latihan angkatan laut besar-besaran di dekat Taiwan. Otoritas Taiwan mengatakan ini adalah latihan yang terbesar dalam sedekade terakhir dan "ancaman besar" bagi mereka.
"Fakta bahwa latihan tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya menunjukkan bahwa China mungkin sekarang lebih memilih merahasiakan rencananya terhadap Taiwan," katanya.
"Kurangnya transparansi ini mengkhawatirkan, karena hal ini membuat komunitas internasional tidak bisa memprediksi tindakan Beijing, yang dapat menyebabkan adanya kesalahan perhitungan dalam skenario terburuk."

Menurut Reyes, satu-satunya cara untuk mencapai hal itu adalah dengan mempertahankan "kekusaan terpusat yang kuat" demi lancarnya implementasi kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mendorong dan mempertahankan momentum ekonomi.
Wu dari LKYSPP menambahkan bahwa pemerintahan Xi kemungkinan akan kian menggalakkan upaya pemberantasan korupsi yang telah dimulai sejak 2012.
Tahun lalu, sejumlah pejabat tinggi diinvestigasi dalam kasus korupsi. Menurut perhitungan South China Morning Post, ada 56 kader senior di tingkat wakil menteri atau lebih tinggi yang diselidiki, naik dari 45 orang pada 2023.
Selain itu, para pengamat juga mencermati betul setiap pertanda adanya pejabat tinggi China yang berpotensi digadang untuk menjadi penerus Xi.
Periode ketiga Xi selama lima tahun akan berakhir pada 2027. para pengamat kepada CNA sebelumnya melihat gelagat bahwa Xi mengincar menjadi presiden China untuk periode keempat.
"Jika kita mulai melihat tanda-tanda Xi mempersiapkan penggantinya, ini mengindikasikan bahwa ia mungkin tidak akan maju untuk masa jabatan periode keempat," kata Reyes.
"Namun jika tidak ada tanda-tanda tersebut ... saya kira konsensus saat ini adalah ia kemungkinan besar akan melanjutkan empat periode."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.