Singapura ingin percepat ekstradisi buronan kasus e-KTP Paulus Tannos ke Indonesia
Proses ekstradisi ini dapat memakan waktu hingga dua tahun jika Paulus Tannos mengajukan banding di pengadilan Singapura.

Profil Paulus Tannos. (Tangkapan layar: KPK)
SINGAPURA: Singapura sedang berupaya untuk mempercepat permintaan ekstradisi Indonesia terhadap Paulus Tannos, seorang pengusaha yang menjadi aktor utama kasus korupsi proyek e-KTP, kata Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura K Shanmugam pada Senin (10/3).
Ini adalah kasus pertama di bawah perjanjian ekstradisi baru antara Singapura dan Indonesia, yang ditandatangani pada Januari 2022 dan mulai berlaku pada Maret 2024.
Paulus pada 2019 dijadikan tersangka dalam kasus korupsi terkait proyek e-KTP, yang menyebabkan negara merugi sekitar Rp2,3 triliun rupiah.
Pengusaha ini, yang juga dikenal sebagai Tjhin Thian Po, telah bermukim di Singapura sejak 2017. Ia adalah penduduk tetap Negeri Singa.
Saat ini, Tannos sedang ditahan tanpa jaminan setelah ditangkap oleh Biro Penyidikan Praktik Korupsi (CPIB) Singapura pada 17 Januari. Kasus ekstradisinya tengah diproses di pengadilan Singapura, kata Shanmugam.
“Itu semua tergantung pada dokumen yang kami terima, seberapa jelas dokumen tersebut dari Indonesia, dan apa saja argumen yang diajukan Tannos, serta bagaimana pengadilan menanggapinya,” ujar menteri tersebut dalam konferensi pers mengenai hal ini.
“Dari sudut pandang pemerintah Singapura, kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk mempercepat proses.”
Menanggapi pertanyaan dari CNA tentang bagaimana respons Indonesia terhadap jadwal proses hukum di Singapura, Shanmugam mengatakan Kejaksaan Agung (AGC) Singapura terus berkomunikasi dengan rekan mereka di Indonesia.
Ia mengatakan kecepatan proses kasus ini tergantung pada argumen dari pihak Tannos dan kuasa hukumnya, serta faktor-faktor seperti ketersediaan jadwal sidang di pengadilan.
“Saya rasa sejauh ini kami fokus pada pengajuan permohonan di pengadilan, dan mereka (pihak Indonesia) memahami proses tersebut,” katanya.
PERMINTAAN PERTAMA
Singapura menerima permintaan pertama dari Indonesia untuk menangkap Tannos pada 19 Desember tahun lalu, kata Shanmugam.
Pengusaha ini diduga membantu perusahaannya, PT Sandipala Arthaputra, memenangkan tender yang telah diatur untuk proyek pemerintah tersebut, dan menggelapkan sekitar Rp140 miliar dari proyek tersebut antara 2011 dan 2013.
Ia tidak menanggapi upaya penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia, sehingga pada 2021 ia dimasukkan ke dalam daftar buronan paling dicari di tanah air.
“Singapura menanggapi permintaan dari Indonesia ini dengan sangat serius. Ini adalah kasus pertama di bawah perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia,” ujar Shanmugam.
Ekstradisi mengacu pada penyerahan individu yang dicari karena tindak kejahatan di negara lain.
“Lembaga-lembaga kami diwajibkan untuk menilai apakah permintaan tersebut berada dalam kerangka perjanjian ekstradisi, jadi CPIB diminta melakukan penilaian tersebut bersama Kejaksaan Agung,” kata Shanmugam.
“Mereka melakukan penilaian dan menyimpulkan bahwa permintaan tersebut sesuai dengan perjanjian.”

Pada 17 Januari, CPIB mengajukan permohonan dan mendapatkan surat perintah penangkapan untuk Tannos, dan ia ditahan pada hari yang sama, kata Shanmugam.
Setelah penangkapannya, Tannos ditahan tanpa jaminan, sambil menunggu penyerahan permintaan resmi untuk ekstradisinya.
Meskipun Tannos menunjukkan paspor diplomatik dari negara Guinea-Bissau di Afrika Barat, Kejaksaan Agung Singapura berpendapat bahwa paspor tersebut tidak memberinya kekebalan diplomatik karena ia tidak terakreditasi di Kementerian Luar Negeri.
“Ia tidak memiliki kekebalan diplomatik yang bisa mencegah penangkapan dan ekstradisi. Itulah posisi pemerintah,” kata Shanmugam.
Meskipun Tannos dan kuasa hukumnya berhak untuk mengangkat hal ini di pengadilan dan telah menyatakan akan menindaklanjuti, hingga saat ini mereka belum melakukannya, ujar menteri itu.
PENINJAUAN DOKUMEN
Singapura menerima permintaan resmi untuk ekstradisi Tannos beserta dokumen-dokumen terkait dari Indonesia pada 24 Februari, kata Shanmugam.
Kejaksaan Agung saat ini tengah meninjau permintaan dan seluruh dokumen tersebut bersama lembaga terkait seperti CPIB. Setelah semua persyaratan ekstradisi dipenuhi, prosesnya akan kembali ke pengadilan dan akan memulai perintah ekstradisi resmi, kata Shanmugam.
“Jika Tannos tidak menentang ekstradisinya, ia bisa diekstradisi dalam waktu enam bulan, bahkan mungkin lebih cepat. Namun ia telah memberi tahu pengadilan bahwa ia tidak akan menyetujui ekstradisi, dan ia akan menentang ekstradisi tersebut, jadi prosesnya jelas akan memakan waktu lebih lama,” ujarnya.
Pengadilan sekarang harus mencari jadwal untuk mendengarkan argumen dari kedua belah pihak, sebelum mengambil keputusan, kata Shanmugam.
Tannos juga akan meminta lebih banyak waktu agar kuasa hukumnya dapat menyiapkan pembelaan, dan jika pengadilan pada akhirnya menyetujui ekstradisi, ia masih berhak mengajukan banding, ujar menteri itu.
“Sidang dapat bervariasi dari satu kasus ke kasus lain. Proses hukum penuh, jika ditentang di setiap tahap dan ternyata rumit, bahkan bisa memakan waktu hingga dua tahun,” kata Shanmugam.
“Kami tidak bisa semena-mena langsung menaikkannya ke pesawat dan mengirimnya kembali. Ada prosedur resmi yang harus dilalui.”
Ketika seseorang memasuki Singapura dengan alasan palsu atau paspor palsu, pemerintah bisa langsung memulangkannya ke negara asal, namun kondisi Tannos di Singapura berbeda, kata Shanmugam.
“Ia harus melalui proses resmi karena ia memiliki paspor yang sah, berada di Singapura secara sah, dan ia dituduh melakukan sesuatu,” ujarnya.
“Kejaksaan Agung sangat menaruh perhatian pada hal ini. Kami memandang ini sangat serius, dan Kejaksaan Agung akan berupaya mempercepat seluruh proses.”
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.