Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Siapa pun pemenang pilpres AS, China tetap dimusuhi dan perusahaan di Asia Tenggara yang kena getahnya

Asia Tenggara jadi tempat berlabuh perusahaan-perusahaan China yang menghindari tarif dagang AS. Tapi AS masih akan mengincar mereka, terutama jika Donald Trump menang pilpres.

Siapa pun pemenang pilpres AS, China tetap dimusuhi dan perusahaan di Asia Tenggara yang kena getahnya

Mantan presiden Donald Trump dan Wakil Presiden Kamala Harris berkampanye untuk pemilihan presiden November 2024. (ReutersUmit Bektas/Elizabeth Frantz)

JOHOR BAHRU: Dalam beberapa tahun terakhir, Malaysia telah kedatangan investasi besar-besaran dari perusahaan semikonduktor, operator pusat data dan beberapa perusahaan teknologi lainnya.

Namun perusahaan-perusahaan itu kini tengah ketar-ketir menghadapi kemungkinan diterapkannya tarif impor lebih besar oleh Amerika Serikat, sebagai dampak dari persaingan dagang dan kecerdasan buatan (AI) dengan China.

Para pakar mengatakan, siapa pun yang memenangi pemilihan presiden AS tahun ini, negara itu memang masih tetap akan menerapkan proteksionisme. Namun, para pakar mengatakan, Donald Trump akan menerapkan tarif dagang yang lebih tinggi jika dia terpilih presiden.

Jika Trump menjadi presiden AS, maka Malaysia dan tiga negara Asia Tenggara lainnya yaitu Kamboja, Thailand, dan Vietnam harus bersiap-siap.

Keempat negara Asia Tenggara di atas adalah yang paling diuntungkan oleh China Plus Satu, sebuah strategi diversifikasi rantai pasokan demi menghindari tarif dagang AS untuk barang-barang asal China. Perang dagang AS-China ini sudah berlangsung sejak 2018, ketika Amerika menuding China melakukan praktik dagang yang tidak adil.

Fenomena ini kemudian memunculkan istilah “Southeast Asia-washing”, merujuk pada praktik perusahaan-perusahaan China yang memindahkan operasional mereka ke negara-negara Asia Tenggara untuk menyamarkan sumber produksi barang.

Namun cara ini tercium oleh AS. Bulan ini, AS mulai menerapkan tarif bea masuk terhadap impor panel tenaga surya dari keempat negara yang menjadi tuan rumah bagi produsen teknologi tenaga surya asal China itu, seperti Jinko Solar dan Trina Solar.

Di bawah kebijakan tarif yang baru ini, perangkat panel surya yang diekspor oleh Malaysia ke AS akan dikenakan bea masuk sebesar 9,13 persen. Produk yang sama dari Thailand dikenakan bea 23,06 persen, Vietnam 2,85 persen dan Kamboja 8,25 persen.

Besaran bea masuk itu - yang ternyata lebih kecil dari perkiraan para pakar - adalah hasil perhitungan Departemen Perdagangan AS untuk subsidi China dalam memproduksi barang-barang tersebut.

Menurut para pelaku industri ini, penerapan tarif tersebut telah membuat produsen di Malaysia muram. Akhir Agustus lalu, Bloomberg menuliskan setidaknya tiga perusahaan panel surya China telah mengurangi operasional mereka di Thailand, Vietnam dan Malaysia.

Para pekerja sedang merakit produk di sebuah pabrik di Johor. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Ken Ong, direktur pelaksana perusahaan panel tenaga surya Helios Photovoltaic Malaysia, kepada CNA mengatakan bahwa beberapa perusahaan China di Malaysia menangguhkan sementara rencana perluasan bisnis mereka menyusul penerapan tarif AS.

Pejabat setempat di Kulim Hi-Tech Park - sebuah kawasan industri di Kedah, Malaysia - mengatakan perusahaan panel surya Risen Tehnology "telah mengurangi angka produksi dengan menangguhkan sementara salah satu lini produksi".

Pejabat yang menolak disebut namanya itu juga mengatakan, perusahaan tersebut juga tengah "mencari pasar baru" untuk mengirimkan barang mereka. CNA telah menghubungi Risen tapi belum mendapatkan tanggapan.

Jinko Solar dilaporkan telah menutup fasilitas mereka di Penang dan memecat para pekerjanya. Sementara pendiri Longi Green Energy Technology Co kepada media pada Juni lalu mengaku khawatir akan masa depan industri ini di Asia Tenggara.

APAKAH PUSAT DATA DAN CIP AKAN DIKENAKAN TARIF AS JUGA?

Ada kekhawatiran tarif dagang AS juga akan menimpa industri semikonduktor di Malaysia dan mengganggu kemajuan industri pusat data yang tengah berkembang di negara itu.

Pada 29 Oktober lalu, pemerintah Washington telah merampungkan pelarangan bagi individu dan perusahaan AS yang ingin berinvestasi di industri teknologi maju China, termasuk semikonduktor, komputer quantum dan AI.

Bukan hanya pelarangan, peraturan AS juga mewajibkan warga negara melaporkan kepada pemerintah jika mendapati pelanggaran. AS beralasan, pelarangan diberlakukan agar China tidak dapat mengakses cip kelas-atas dan teknologi maju lainnya untuk meningkatkan kemampuan teknologi militer mereka.

Industri semikonduktor Malaysia telah diuntungkan dengan strategi China Plus Satu yang diterapkan banyak perusahaan. Dalam beberapa tahun terakhir, investasi miliaran dolar untuk industri ini berdatangan ke Malaysia dari perusahaan-perusahaan besar seperti Intel dan Infineon.

Pada April lalu, perusahaan-perusahaan China juga membangun fasilitas di Malaysia, yaitu China Wafer Level CSP, Ningbo SJ Electronics dan Wuxi AMTE Inc, yang mengumumkan nilai investasi total US$100 juta untuk membangun fasilitas di bagian utara negara bagian Penang, sebuah kawasan yang disebut sebagai Silicon Valley-nya Timur.

Saat ini 13 persen pengujian dan pengemasan cip global berpusat di Malaysia.

Namun Wong Siew Hai, presiden Asosiasi Industri Semikonduktor Malaysia, khawatir sektor ini bisa mandek akibat pembatasan dan penerapan tarif dagang oleh AS.

Mei lalu, AS mengumumkan akan meningkatkan tarif bagi semikonduktor asal China dari 25 persen menjadi 50 persen pada 2025 untuk mendorong produksi dan kapasitas semikonduktor dalam negeri.

"Perusahaan-perusahaan China ini ingin agar produk-produk mereka bisa terjual di seluruh dunia ... tapi sekarang ada 'fobia-China' (di AS), dan ini tidak ada lagi hubungannya dengan keamanan nasional," kata Wong.

"Kami harus mulai terbiasa dengan ini - pelarangan dan tarif AS. Ini sudah dimulai, dan tidak bisa dihentikan."

Namun menurut Wong, langkah AS tidak akan sampai mematikan perusahaan semikonduktor China di Malaysia, seperti TF AMD Microelectronics yang sudah membangun fasilitas senilai RM2 miliar atau lebih dari Rp6,6 triliun di Penang.

"Saya ragu mereka akan menahan diri dan memindahkan operasional karena adanya 'fobia-China'," kata dia.

Masih banyak lahan kosong di Malaysia, ditambah lagi tarif listriknya yang murah, salah satunya di negara bagian Johor. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan pusat data seperti Nvidia, AirTrunk, GDS Internasional, YTL Power dan Princeton Digital Group tertarik membuka fasilitas mereka di Johor. Microsoft baru-baru ini juga dilaporkan telah membeli sebidang lahan di bagian selatan Malaysia itu untuk membangun pusat data.

Pakar pusat data Gary Goh mengatakan kepada CNA bahwa calon investor, baik dari China maupun Barat, akan mencermati hasil pemilihan umum AS dan memantau sanksi apa pun yang terkait dengan komputasi dan AI.

"Jika ada tanda-tanda ekspor cip canggih ke negara ketiga seperti Malaysia juga dibatasi, perusahaan pusat data akan lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi... pendekatan 'lihat dan tunggu' yang hati-hati adalah langkah yang wajar," ujar Goh.

Fasilitas pusat data yang sedang dibangun di Johor. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Di tengah keresahan para pelaku industri, pemerintah Malaysia telah meminta Departemen Perdagangan AS untuk menunda penerapan tarif dan memberikan dukungan bagi perusahaan-perusahaan yang terdampak.

Berbicara kepada CNA di sela konferensi pers pada Selasa lalu, Menteri Investasi, Perdagangan dan Industri Malaysia Tengku Zafrul Abdul Aziz mengatakan: "Kami tengah membantu perusahaan-perusahaan yang terdampak dengan mendapatkan informasi lebih banyak dan meminta penundaan waktu, sekaligus juga bekerja sama dengan Departemen Perdagangan AS untuk melihat bagaimana kami bisa mendukung perusahaan-perusahaan ini."

PROTEKSIONISME AS KIAN KETAT JIKA TRUMP MENANG

Siapa pun presiden AS nantinya, para pakar meyakini AS tetap akan memusuhi China di sektor perdagangan. Namun jika Trump yang terpilih presiden, pakar menilai, AS akan lebih agresif dan melakukan langkah yang semakin tidak terduga.

Chim Lee, analis senior di Economist Intelligence Unit, mengatakan AS akan meningkatkan pengawasan hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara, siapa pun yang jadi presiden nantinya.

"Dengan kata lain, ketika rantai pasokan menjadi 'China+one', maka tarifnya juga akan menjadi 'China+one'," kata dia.

"Di bawah Trump, AS mungkin akan meningkatkan tarif impor dari Asia Tenggara dengan lebih agresif dan tak terduga. Trump kemungkinan akan mengadopsi pendekatan yang lebih transaksional dengan negara-negara di kawasan, kemungkinan dia akan menuntut pemerintah Asia Tenggara untuk selaras dengan AS dalam isu-isu geopolitik dan keamanan dengan imbalan pembebasan tarif," kata Lee.

Dalam laporan yang dirilis pada Rabu pekan lalu, bank OCBC di Singapura, memprediksi bahwa enam negara Asia Tenggara akan terdampak jika Trump menepati janji kampanyenya untuk mematok tarif impor lebih tinggi. Keenam negara itu adalah Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Donald Trump saat berkampanye pemilihan presiden di Grand Rapids, Michigan, AS, 20 Juli 2024. (Foto: Reuters/Tom Brenner)

Steven Okun, penasihat senior lembaga konsultan APAC Advisors di Singapura, mengatakan kepada CNA bahwa pemerintah AS akan berusaha keras untuk memastikan China tidak memiliki teknologi, barang atau investasi AS yang bisa merugikan kepentingan nasionalnya.

"Karena itulah, jika berurusan dengan dengan China, baik secara langsung atau melalui negara ketiga, pemerintahan AS baik di bawah (Kamala) Harris atau Trump akan terus berupaya melindungi keamanan nasional mereka," kata Okun yang pernah menjabat sebagai wakil penasihat jenderal Departemen Transportasi AS di bawah pemerintahan Bill Clinton.

Kendati demikian, lanjut Okun, Harris dan Trump akan memiliki pendekatan yang berbeda dalam urusan ini.

Harris sepertinya akan melanjutkan cara Presiden Joe Biden dalam merangkul negara mitra dan sahabat dalam memajukan kepentingan nasional AS melalui hubungan di Asia-Pasifik.

Sebaliknya, pemerintahan Trump yang mengedepankan pendekatan "America First" sepertinya akan memandang isu ini dari kacamata hubungan bilateral. Trump, kata Okun, akan mempertimbangkan kebijakannya berdasarkan apakah sebuah negara mengalami surplus atau defisit perdagangan dengan AS.

"Untuk negara yang memiliki surplus perdagangan besar dengan AS seperti Malaysia atau Vietnam, Trump akan lebih menggencarkan pendekatan dagang AS ketimbang Harris," kata dia.

Calon presiden dari Partai Demokrat dan Wakil Presiden AS Kamala Harris naik panggung pada Hari ke-4 Konvensi Nasional Demokrat (DNC) di United Center di Chicago, Illinois, AS, 22 Agustus 2024. (REUTERS/Kevin Lamarque)

Data pemerintah AS menunjukkan bahwa mereka mengalami defisit perdagangan sebesar US$14 miliar dengan Malaysia selama delapan bulan pertama tahun ini, dan defisit US$77 miliar dengan Vietnam pada periode yang sama. Sementara dengan Thailand, AS mengalami defisit perdagangan sekitar US$28 miliar.

Pakar perdagangan dari lembaga Asian Trade Centre, Deborah Elms, mengatakan bahwa Vietnam berhasil meyakinkan perusahaan-perusahaan untuk memindahkan sebagian atau seluruh proses produksi ke negara mereka.

"Karena Vietnam terhubung dengan baik dengan pasar-pasar utama melalui perjanjian perdagangan bebas, hal ini menjadi faktor penting bagi masuknya investasi baru," kata Elms.

Beberapa investasi datang dari perusahaan-perusahaan China yang ingin mendiversifikasi risiko, menurunkan ongkos produksi atau menghindari tarif tinggi AS bagi produk-produk yang dikirimkan langsung dari China.

"Secara umum, seharusnya hal ini tidak jadi masalah. Tentu saja, Vietnam harus memberikan edukasi kepada perusahaan-perusahaan mengenai aturan ini agar mereka bisa mengambil langkah yang tepat untuk secara sah menyatakan negara asal barang," kata Elms. 

"Namun jika Trump terpilih kembali, Vietnam (dan negara lain) akan menghadapi masalah. Pasalnya Trump terobsesi dengan jumlah defisit perdagangan bilateral. Vietnam mengirimkan produk ke AS lebih banyak ketimbang sebaliknya, dan Trump sepertinya ingin menghentikan itu," lanjut dia.

Namun hal ini masih bisa diakali oleh perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki pengaruh dan kepentingan bisnis yang besar di dalam atau dengan China, kata Dr Oh Ei Sun, peneliti senior di lembaga riset Singapore Institute of International Affairs.

Jika Trump memimpin AS, kata Oh, perusahaan-perusahaan seperti ini bisa melakukan lobi ketat untuk mendapatkan pembebasan tarif dari pemerintah.

"Masih belum diketahui apakah pemerintahan Trump yang kedua akan menegakkan dengan serius langkah-langkah permusuhan dengan China, dan memperluas penerapan tarif ke negara-negara Asia Tenggara yang menjadi destinasi penghindaran sanksi," kata Oh.

📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!

Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya 👀

🔗 Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan