Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Setelah 15 tahun, kenapa baru sekarang Filipina meminta pengakuan klaim Laut China Selatan ke PBB?

Filipina meminta pengakuan PBB atas perluasan klaim mereka untuk landas kontinen di Laut China Selatan. Para ahli hukum mengatakan, jangankan diakui, bisa jadi permohonan tersebut tidak akan diproses oleh PBB. 

Setelah 15 tahun, kenapa baru sekarang Filipina meminta pengakuan klaim Laut China Selatan ke PBB?

Foto file kapal perang Filipina yang terdampar sejak tahun 1999 di Second Thomas Shoal yang disengketakan di Laut China Selatan. (Foto: Reuters/Erik De Castro)

SINGAPURA: Filipina memicu kontroversi setelah mereka meminta pengakuan resmi atas perluasan klaim landas kontinen di laut China Selatan. Tidak hanya China yang gerah dengan langkah Filipina, protes juga dilayangkan Malaysia dan Vietnam terkait klaim Manila di perairan sengketa ini.

Namun para pengamat meyakini, protes dari sesama negara ASEAN hanyalah sebatas kata, tidak akan berujung pada tindakan apa pun.

Menurut pengamat, Filipina pasti sudah memperhitungkan reaksi negara-negara tetangga ketika bulan lalu mereka mengajukan nota diplomatik berisi permohonan pengakuan klaim wilayah di Laut China Selatan ke PBB. Pengajuan ini disampaikan di tengah ketegangan di laut sengketa itu, terutama dengan China, namun Filipina siap mengambil risiko demi mengamankan kepentingan maritim mereka.

Dr Collin Koh, peneliti senior di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan saat ini adalah waktu yang tepat bagi Filipina untuk melayangkan permohonan tersebut setelah menggodoknya selama 15 tahun.

"Iklim dalam negeri yang ada saat ini mempermudah undang-undang baru ... selain itu, mungkin ini adalah salah satu jawaban dari Filipina atas tindak tanduk China," kata dia kepada CNA.

Namun di saat bersamaan, langkah Manila ini menjadi tantangan tersendiri bagi sekutu mereka sejak lama, Amerika Serikat, yang saat ini tengah berebut pengaruh dengan China di kawasan Asia Tenggara.

Para pengamat memperingatkan, jika AS tidak menyikapinya dengan baik, perebutan laut sengketa dapat berujung konflik. Pasalnya, China sudah semakin agresif di perairan sengketa tersebut. 

"AS tidak menginginkan terjadi sesuatu yang besar akibat pengajuan permohonan Filipina ini," kata Dr Koh.

FILIPINA LAYANGKAN NOTA DIPLOMATIK 

Nota diplomatik dari Filipina telah dilayangkan ke PBB pada 15 Juni lalu. Dalam nota tersebut, Filipina memohon pengakuan PBB untuk klaim atas perluasan landas kontinen di Laut China Selatan, tepatnya di lepas pantai barat pulau Palawan yang mencakup juga kepulauan Spratly yang tengah dipersengketakan.

Pemerintah Manila mengklaim, mereka berhak "menetapkan batasan terluar dari landas kontinen" hingga 350 mil laut, jarak maksimal yang diperbolehkan di bawah Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).

Pemerintah Beijing merespons pengajuan itu melalui nota diplomatik, meminta PBB untuk mempertimbangkan masak-masak permohonan Filipina yang menurut mereka adalah pelanggaran serius atas kedaulatan dan yurisdiksi China di Laut China Selatan.

Pemandangan udara menunjukkan Pulau Thitu yang diduduki Filipina, yang secara lokal dikenal sebagai Pag-asa, bagian dari Kepulauan Spratly di Laut China Selatan, 9 Maret 2023. (Foto: Reuters/Eloisa Lopez)

China mengklaim hampir seluruh perairan Laut China Selatan yang mereka tandai dengan sembilan garis putus-putus (nine-dash line). Klaim China ini tumpang tindih dengan klaim batas maritim beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam.

UNCLOS yang telah diratifikasi oleh seluruh negara pengeklaim Laut China Selatan, termasuk juga China, menyebutkan bahwa negara kepulauan memiliki "hak kedaulatan untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam" di landas kontinen mereka.

Dengan mengajukan permohonan pengakuan PBB, pemerintah Filipina berharap mendapatkan keuntungan ekonomi.

"Dasar laut dan tanah di bawahnya ... berpotensi memiliki sumber daya alam besar yang akan menguntungkan negara dan rakyat kami untuk beberapa generasi ke depan," kata juru bicara kementerian luar negeri Filipina untuk urusan laut dan kemaritiman, Marshall Louis Alferez, pada 15 Juni lalu. "Hari ini, kami mengamankan masa depan kami."  

Menurut lembaga riset Center for Strategic and International Studies (CSIS), Laut China Selatan diperkirakan memiliki cadangan  kandungan gas alam hingga 190 triliun kaki kubik dan minyak bumi 11 miliar barel.

WAKTU YANG TEPAT BAGI MANILA

Pertanyaannya adalah, mengapa harus sekarang Filipina melayangkan permohonan ke PBB?

Pejabat Filipina mengatakan mereka telah menggodok nota diplomatik untuk PBB itu selama "lebih dari satu setengah dekade", yang berarti sejak 2009 atau bahkan sebelum itu.

Itu adalah tahun ketika China mengajukan peta klaim sembilan garis putus-putus mereka ke PBB, sebagai respons atas pengajuan klaim bersama oleh Vietnam dan Malaysia atas landas kontinen di bagian selatan Laut China Selatan.

Langkah China itu memancing respons dari Filipina yang menegaskan bahwa mereka mengendalikan wilayah di Kelompok Pulau  Kalayaan beserta seluruh sumber daya kelautannya. 

Di tahun 2009 juga, Manila mengajukan klaim serupa kepada PBB untuk Benham Rise, dataran tinggi bawah laut di lepas pantai timur Filipina yang tidak terkait sengketa dengan China. Tiga tahun berselang, PBB baru memberikan pengakuan atas klaim itu.

Menurut para pengamat, keputusan Filipina untuk menyerahkannya kepada PBB sekarang bukanlah sebuah kebetulan.

Dr Koh dari RSIS mengatakan salah satu faktor kuncinya adalah sentimen di dalam negeri. Hubungan Filipina, kata dia, saat ini tengah menghangat dengan AS dan mendingin dengan China.

Survei regional ISEAS-Yusof Ishak tahun ini menunjukkan bahwa lebih dari 83 persen responden dari Filipina berpandangan bahwa jika memang harus memilih, ASEAN seharusnya lebih mendekatkan diri kepada AS ketimbang China.

Koh juga mengatakan bahwa pemerintah Filipina didesak untuk menelurkan undang-undang yang berisikan deklarasi atas hak kedaulatan dan pemanfaatan mereka di lautan.

Legislasi bernama Undang-undang Zona Maritim itu disetujui oleh Senat Filipina pada Maret lalu, yang langsung dikecam China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China ketika itu mengatakan bahwa Filipina telah "menggunakan undang-undang dalam negeri untuk menerapkan keputusan arbitrase yang ilegal di Laut China Selatan".

Juru bicara Kemlu China merujuk pada keputusan Pengadilan Permanen untuk Arbitrase di Den Haag, Belanda, pada 2016 yang menafikan sebagian besar klaim China atas Laut China Selatan. Pemerintah Beijing menolak untuk mengakui dan menerima keputusan itu dan tidak ambil bagian dalam sidang yang digelar atas gugatan Filipina tersebut.

Penasihat Keamanan Nasional Filipina Eduardo Ano pada 12 Juli menegaskan bahwa mereka tidak akan goyah dalam mengklaim hak kedaulatan di Laut China Selatan.

"Kami akan melawan pemaksaan, campur tangan, pengaruh buruk, dan taktik lain yang berusaha membahayakan keamanan dan stabilitas kami," kata Eduardo dalam peringatan delapan tahun keputusan arbitrase yang memenangkan Filipina.

Faktor lainnya menurut Koh adalah kian akrabnya hubungan Filipina dengan AS di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos Jr. Hubungan kedua negara sempat meregang setelah presiden sebelumnya Rodrigo Duterte ingin merapat ke China.

"Dari sudut pandang dalam negeri, faktor-faktor pendorongnya jelas ... sebelumnya hal ini (pengajuan ke PBB) tidak mungkin dilakukan, terutama ketika Duterte menjadi presiden," kata dia.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr dalam pertemuan bilateral dengan Presiden AS Joe Biden di Ruang Oval di Gedung Putih, Washington DC, 1 Mei 2023. (Foto: REUTERS/Leah Millis)

Koh juga mengatakan pengajuan klaim Filipina ke PBB kali ini juga terkait dengan rencana gugatan kedua mereka terhadap China, setelah sebelumnya Manila menang telak dalam pengadilan arbitrase tahun 2016.

September tahun lalu pemerintah Manila mengindikasikan akan menggugat China karena merusak terumbu karang di zona ekonomi eksklusif yang mereka klaim di Laut China Selatan. Pada akhir Mei tahun ini, Manila menyebutkan bahwa kemungkinan gugatan resmi akan diajukan dalam beberapa pekan ke depan, seperti yang dilaporkan oleh South China Morning Post (SCMP).

Pemerintah Manila juga menganggap China melakukan taktik yang abu-abu, salah satunya sengaja melanggar hukum di laut sengketa. Menurut Koh, pengajuan ke PBB kali ini adalah jawaban Filipina atas tindakan China selama ini.

Senada, Dr Andrea Chloe Wong, peneliti di Institute for Indo-Pacific Affairs, mengatakan bahwa langkah strategis kali ini diambil Filipina untuk menantang klaim maritim China yang dianggap "berlebihan".

"Ini juga merupakan langkah penting bagi Filipina untuk melindungi integritas wilayah dan hak maritim mereka, di tengah berbagai gangguan yang dilakukan China di lautan," kata dia.

RESPONS NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA

Langkah Filipina di PBB menuai respons yang beragam dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

Diberitakan SMCP pada 4 Juli lalu, Malaysia mengajukan nota protes ke PBB atas pengajuan Filipina tersebut. Menurut Malaysia, perluasan landas kontinen yang diklaim Filipina juga mencakup wilayah negara bagian Sabah.

Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan pada 7 Juli lalu mengonfirmasi soal nota diplomatik tersebut, sembari menegaskan kembali kedaulatan negara mereka.

"Nota diplomatik dari Filipina (ke PBB) menyatakan bahwa mereka mengklaim perbatasan lautnya melewati Sabah.

"Ini berarti mereka mengklaim bahwa Sabah adalah milik mereka ... jadi kami mengirim nota protes ke PBB karena pendirian Sabah, kemerdekaan Sabah dan Sarawak dan pembentukannya sebagai bagian dari Malaysia dilakukan secara sistematis dan terorganisir, dengan persetujuan semua pemimpin negara dan pengakuan dari PBB," katanya.

Sabah yang terletak di ujung utara pulau Kalimantan jadi sengketa antara Malaysia dan Filipina karena sebuah perjanjian di zaman penjajahan.

Kedua negara berbeda pendapat soal perjanjian tahun 1878 antara Kesultanan Sulu asal Filipina pemilik Sabah ketika itu dengan British North Borneo Company, perusahaan kongsi dagang Inggris. Filipina menganggap itu adalah perjanjian sewa sehingga Sabah harus diserahkan kepada mereka sebagai penerus Kesultanan Sulu. Sementara Malaysia menganggapnya sebagai perjanjian penyerahan wilayah.

Perselisihan terjadi selama bertahun-tahun, diwarnai oleh perang nota diplomatik, gugatan hukum hingga bentrok senjata.

Meski dalam klaim Filipina kali ini Malaysia juga melayangkan protes, namun menurut pengamat tidak akan berujung pada langkah hukum.

"Meski mereka masih mempertahankan sikap pada beberapa sengketa wilayah, termasuk di Laut China Selatan, namun kepentingan Malaysia saat ini adalah pembangunan dan pemulihan ekonomi," kata Koh.

"Saya kira pemerintahan Anwar tidak ingin ada konflik yang tidak perlu dengan Filipina ... karena itu hanya akan membuang waktu saja."

Seperti halnya Malaysia, Vietnam juga memprotesnya, namun dengan cara yang lebih bersahabat. Pemerintah Hanoi pada 21 Juni lalu mengatakan ingin berunding dengan Manila untuk mencari titik temu dari kepentingan masing-masing negara. Filipina menyambut baik seruan ini.

Vietnam juga sepertinya tidak ingin terlalu meributkan masalah ini, karena fokus mereka sama seperti Malaysia yaitu ekonomi. Meski nantinya ada ketidaksepahaman, pengamat menduga Vietnam akan menyuarakannya secara pribadi seperti yang selama ini mereka lakukan.

Koh mengatakan, pemerintah Hanoi tidak ingin ada perselisihan di antara negara ASEAN, sebuah organisasi regional yang keberadaannya menjadi acuan dalam kebijakan luar negeri Vietnam.

"Jika ada perselisihan di dalam ASEAN, hal ini tidak akan menguntungkan Vietnam dalam isu Laut China Selatan ... Vietnam juga menyadari bahwa China mengawasi bagaimana mereka berinteraksi dengan pihak-pihak lain," kata Koh.

Filipina telah mengatakan bahwa permohonan mereka ke PBB tidak akan menutup pintu dialog dengan negara-negara kepulauan yang juga memiliki klaim landas kontinen di bawah UNCLOS.

"Kami menganggap permohonan ini sebagai jalan masuk untuk dialog soal delimitasi dan bentuk kerja sama lain ke depannya. Yang terpenting adalah Filipina telah mencatatkan batas maksimum dari hak kami," kata Alferez pada 15 Juni lalu.

Pengamat mengatakan, Filipina pasti sudah memperhitungkan reaksi negara-negara tetangga atas permohonan mereka ke PBB. Koh menilai, negara-negara ASEAN tidak akan terlalu meributkan keputusan Filipina seperti yang terjadi pada 2012 dan 2013.

Pada 2012, China merebut Scarborough Shoal yang terletak di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina usai ketegangan dengan pemerintah Manila. Sejak saat itu, China kerap mengirimkan kapal patroli laut dan kapal pencari ikan ke perairan tersebut. Pada 2013, Filipina kemudian menggugat klaim China di pengadilan arbitrase.

China merebut kendali atas Scarborough Shoal dari Filipina pada 2012. (Foto: AFP/Ted Aljibe)

"Ketika Filipina berani melawan China, tidak ada anggota ASEAN yang bersuara. Vietnam hanya mengeluarkan pernyataan normatif, tapi tidak menyebutkan China," kata Koh terkait insiden di tahun 2012 itu.

Setahun kemudian, ASEAN bersikap sama. "ASEAN tidak mengeluarkan pernyataan apa pun, bahkan ada pihak di ASEAN yang menganggap Filipina melakukan tindakan ceroboh dengan menggugat China."

Tapi pada akhirnya, putusan pengadilan arbitrase pada 2016 justru turut menguntungkan negara-negara ASEAN lainnya, bukan hanya Filipina. Hal ini, kata Koh, terlihat saat terjadi insiden di Laut China Selatan pada 2020 dan 2021.

"Ada Indonesia, Malaysia, Vietnam yang mengeluarkan nota verbal kepada PBB dan mengutip keputusan arbitrase terhadap China itu," kata Koh. Nota verbal adalah salah satu jenis komunikasi diplomatik yang ditulis dengan sudut pandang orang ketiga dan tidak bertandatangan.

"Jadi coba dibayangkan bagaimana rasanya jadi Filipina? 2013, Anda tidak didukung. Lalu ketika keputusan arbitrase keluar, itu tidak hanya menguntungkan Filipina. Sementara yang lainnya - hanya duduk dan menikmati buah dari kerja keras mereka."

"HUBUNGAN SEGITIGA YANG KOMPLEKS"

Langkah terbaru Filipina juga akan menyeret Amerika Serikat yang tengah bersaing pengaruh dengan China di kawasan Asia Tenggara.

Pengamat mengatakan, AS sudah pasti akan mendukung Filipina, mengingat adanya kesepakatan aliansi kedua negara. Di bawah Perjanjian Pertahanan Bersama pada 1951, AS dan Filipina sepakat mendukung satu sama lain jika terjadi serangan. Serangan terhadap salah satu negara, dianggap juga serangan untuk kedua negara.

Tapi menurut Koh dari RSIS, AS tidak ingin situasi di Laut China Selatan memanas sampai berujung konflik. Salah satunya seperti yang terjadi pada 17 Juni lalu di wilayah sengketa Second Thomas Shoal.

Ketika itu, terjadi perkelahian antara pasukan penjaga pantai China dengan tentara Filipina. Pasukan China menyerang dengan pisau dan senjata lainnya, menyebabkan seorang tentara Filipina kehilangan ibu jarinya. Ini adalah konfrontasi terparah dalam misi tentara Filipina mengisi ulang pasokan di kapal perang terdampar di wilayah sengketa.

Cuplikan gambar video perkelahian antara pasukan China dan Filipina di lepas pantai Second Thomas Shoal di Laut Cina Selatan. (Foto: Handout/Angkatan Bersenjata Filipina-Kantor Urusan Publik/AFP)

Usai insiden tersebut, kata Koh, banyak orang di Filipina berpendapat bahwa AS harus menunjukkan bahwa mereka adalah sekutu yang bisa diandalkan.

"Beberapa dari mereka berharap AS akan memberikan dukungan yang nyata, termasuk aksi militer terhadap China. Tidak perlu sampai harus menyerang China, tapi setidaknya harus lebih dari sekadar latihan militer gabungan. Jadi karena itulah, saya kira AS kini berada dalam tekanan."

Pengamat mengatakan, AS menyadari betul bahwa China akan benar-benar bertindak jika Filipina terus mendesak soal klaim batas kontinen di Laut China Selatan.

"Bagi pemerintah China, tindakan itu adalah tantangan langsung bagi klaim sembilan garis putus yang mereka dasarkan pada sejarah," kata Wong dari Institute for Indo-Pacific Affairs.

Koh menambahkan, ada anggapan yang muncul bahwa China menggunakan insiden pada 17 Juni lalu untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap langkah Filipina. Pasalnya, insiden terjadi hanya selang dua hari setelah Filipina mengajukan permohonan ke PBB.

"Jadi ini adalah isu yang pelik bagi AS, karena di sisi lain AS harus menunjukkan dirinya adalah sekutu yang berguna dengan mendukung upaya legal ini. Tapi sisi lain, AS harus meredam situasi.

"Ini adalah hubungan segitiga yang sangat rumit antara AS, Filipina dan China."

RINTANGAN BAGI KLAIM FILIPINA

Betapa pun kerasnya usaha Filipina, para ahli hukum kelautan mengatakan bahwa PBB kemungkinan tidak akan memproses pengajuan pengakuan klaim atas perluasan landas kontinen di laut sengketa, apalagi sampai mengakuinya.

Penghalangnya adalah karena ada beberapa negara - yaitu China dan Malaysia - yang meminta PBB untuk tidak mengabulkannya.

"Karena CLCS tidak mengeluarkan rekomendasi tentang pengajuan terkait wilayah sengketa, maka CLCS sepertinya tidak akan merekomendasikan pembatasan (landas kontinen) yang diajukan Filipina," kata Dr Christian Schultheiss, peneliti senior di Max Planck Institute for Comparative Public Law and International Law.

Schultheiss mengatakan, Filipina bisa saja menggunakan keputusan arbitrase 2016 untuk menghadapi penolakan China. Namun penolakan dari Malaysia-lah yang akan menyulitkan, karena Filipina menjadikan wilayah Sabah sebagai titik acuannya.

"Pengakuan atas klaim Filipina bisa diartikan bahwa Filipina berdaulat di Sabah," kata Schultheiss.

"Oleh karena itu, pertanyaan apakah putusan arbitrase 2016 memuluskan jalan bagi CLCS untuk mempertimbangkan pengajuan perluasan landas kontinen Filipina, sepertinya hal itu tidak akan masuk agenda atau pertimbangan CLCS.

"Inilah contoh bagaimana sengketa yang belum tuntas antar negara anggota ASEAN akan menghambat penyelesaian masalah mereka dengan China terkait Laut China Selatan."

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan