Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Pro-kontra naturalisasi pesepak bola di Asia Tenggara: Bikin ketergantungan di Timnas Indonesia?

Negara-negara anggota ASEAN semakin menaruh harapan besar kepada pesepak bola kelahiran asing yang jumlahnya kian meningkat. Namun, apakah strategi ini hanya sekadar solusi instan yang bikin ketergantungan?

Pro-kontra naturalisasi pesepak bola di Asia Tenggara: Bikin ketergantungan di Timnas Indonesia?

Dari kiri ke kanan: Nguyen Xuan Son dari Vietnam, Kyoga Nakamura dari Singapura, dan Ragnar Oratmangoen dari Indonesia. (Foto: Wallace Woon, Asosiasi Sepak Bola Singapura, Reuters/Willy Kurniawan)

SINGAPURA: Atlet yang satu ini telah mencuri perhatian penonton pada Kejuaraan Perbara, turnamen sepak bola internasional utama di kawasan ASEAN, yang baru saja usai.

Ia mencetak tujuh gol hanya dalam lima penampilan, membuat barisan pertahanan lawan kewalahan dengan perpaduan fisik, kecepatan, dan penyelesaian akhir yang klinis.

Meski mengalami cedera serius pada final putaran kedua – hingga harus ditandu keluar lapangan dan menjalani operasi – Nguyen Xuan Son menjadi kunci kesuksesan Vietnam meraih gelar regional ketiganya.

Di turnamen debutnya, pemain berusia 27 tahun ini menyabet penghargaan pemain paling berharga (MVP) dan pencetak gol terbanyak.

Namun, Xuan Son tidak lahir di Vietnam, dan tidak pun memiliki hubungan keluarga dengan negara tersebut.

Ia lahir dengan nama Rafaelson Bezerra Fernandes di Brasil.

Setelah bermain untuk klub-klub di Jepang dan Denmark, ia pindah ke liga teratas Vietnam dan pada Desember 2024 ia memenuhi persyaratan tinggal lima tahun untuk membela negara angkatnya. Dengan itu, ia pun mengadopsi nama baru.

Pemain Vietnam Nguyen Xuan Son (kiri) melepaskan diri dari pertahanan Singapura dalam pertandingan semifinal Kejuaraan Perbara di Stadion Jalan Besar pada 26 Desember 2024. (Foto: CNA/Wallace Woon)

Sosok Xuan Son bisa dibilang merupakan representasi wajah baru persepakbolaan Asia Tenggara.

Selain dirinya, pemain-pemain yang lahir di Jepang, Kolombia, Afrika Selatan, Argentina, Swedia, Norwegia, dan Pantai Gading turut bermain pada Kejuaraan Perbara yang berakhir Januari lalu.

Naturalisasi pemain kelahiran asing seperti ini “mengubah persaingan sepak bola di Asia”, kata Paul Williams, seorang penulis sepak bola lepas.

“Dan ini akan terus berlanjut dengan negara-negara yang terus menempuh jalur serupa.”

MENGUBAH PERMAINAN

Pada 2004, badan sepak bola dunia FIFA memperkenalkan aturan di mana setiap pemain yang mengambil kewarganegaraan baru tanpa “koneksi jelas” dengan negara tersebut harus tinggal di sana minimal dua tahun, atau memiliki orang tua atau kakek-nenek yang lahir di negara itu, agar bisa bermain untuk negara yang bersangkutan.

“Koneksi jelas” ini bisa berupa kelahiran atau garis keturunan.

Pada 2008, persyaratan masa tinggal diperpanjang menjadi lima tahun.

Singapura merupakan salah satu pelopor awal naturalisasi atlet, melalui Skema Talenta Olahraga Asing yang awalnya diperkenalkan oleh asosiasi tenis meja, kemudian diadopsi oleh Asosiasi Sepak Bola Singapura (FAS).

Melalui skema ini, sejumlah pemain seperti Agu Casmir (kelahiran Nigeria), Mustafic Fahrudin (kelahiran Serbia), dan Shi Jiayi (kelahiran Tiongkok) mendapatkan kewarganegaraan Singapura.

Para pemain naturalisasi ini berperan penting saat Singapura meraih gelar Kejuaraan Perbara pada 2004, 2007, dan 2012.

Mantan pelatih kepala Singapura, Radojko “Raddy” Avramovic, yang sukses memimpin timnya meraih tiga gelar tersebut mengatakan: “Kalau kamu punya peluang atau hak untuk mendatangkan (pemain kelahiran asing) yang bisa memperkuat tim nasional, kenapa tidak?”

Kini, negara-negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia juga memanggil pemain-pemain yang memenuhi syarat residensi FIFA, meski tidak punya koneksi kelahiran maupun keturunan dari negara tersebut.

Patrik Gustavsson merayakan gol pembuka Thailand dalam pertandingan melawan Singapura di Kejuaraan Perbara pada 17 Desember 2024. (Foto CNA/Matthew Mohan)

Sementara itu, negara lain memanfaatkan kumpulan “pemain keturunan” (heritage) yang sedikitnya memiliki ayah atau ibu atau kakek-nenek yang lahir di negara itu.

“Dunia kini terhubung dengan koneksi yang belum ada dua, tiga, empat generasi yang lalu ... Hal ini melahirkan generasi baru talenta yang memiliki keturunan campuran,” ujar Williams.

“Itu mengubah permainan … Banyak tim di Eropa memiliki pemain yang tidak lahir di negara tersebut, jadi wajar jika hal itu juga terjadi di Asia.”

Salah satu contohnya adalah Thailand, di mana skuad Kejuaraan Perbara mereka berisi sejumlah pemain berdarah campuran – termasuk Nicholas Mickelson (ayah Norwegia, ibu Thailand) dan Patrik Gustavsson (ayah Swedia, ibu Thailand).

Menurut seorang penulis sepak bola lepas lain yang bernama Paul Murphy, otoritas sepak bola Thailand dan klub-klub setempat aktif mencari pemain semacam ini.

Namun, nyaris tidak pernah ada pembicaraan soal menaturalisasi pemain asing yang sama sekali tidak punya ikatan dengan Thailand.

“Konsep itu tidak ada, baik dalam sepak bola maupun masyarakat Thailand secara umum,” kata Murphy, yang menulis buku tentang pesepak bola Charyl Chappuis, salah satu pemain berdarah campuran pertama yang membela Tim Gajah Perang.

INISIATIF INDONESIA

Belakangan, salah satu negara di Asia Tenggara yang meningkatkan upaya untuk merekrut pemain kelahiran asing adalah Indonesia.

Pemain naturalisasi pertama di Indonesia sebenarnya adalah striker asal Uruguay, Christian Gonzales, yang memperoleh kewarganegaraan pada 2010.

Namun, pada 2023 – ketika pengusaha dan politisi Erick Thohir mulai memimpin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) – kebijakan naturalisasi Indonesia meningkat pesat.

Ketua umum baru Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir. (Foto: Facebook/Erick Thohir)

Pada tahun yang sama, lima pemain kelahiran asing yang memiliki garis keturunan Indonesia dinaturalisasi.

Di antaranya adalah bek Wolverhampton Wanderers (Liga Premier Inggris), Justin Hubner, dan bek Venezia (Serie A Italia), Jay Idzes.

PSSI menargetkan Belanda sebagai fokus utama, karena negara tersebut memiliki diaspora Indonesia yang cukup besar dan reputasi sebagai salah satu penghasil pesepak bola terbaik dunia.

Kecuali Jordi Amat (Spanyol) dan Sandy Walsh (Belgia), sebagian besar pemain naturalisasi Indonesia yang baru lahir di Belanda, termasuk kiper Maarten Paes yang bermain di Amerika Serikat dan bek Kevin Diks yang bermain di Denmark.

Dalam sebuah podcast Agustus lalu, Hamdan Hamedan, penasihat di Kementerian Pemuda dan Olahraga Indonesia, menyebut adanya basis data setidaknya 100 pesepak bola dengan darah Indonesia.

Ia mengatakan Indonesia bekerja sama dengan agen dan pencari bakat di Eropa untuk menganalisis dan mendekati para pemain terkait kemungkinan membela timnas.

“Saat ini, bukan hal aneh melihat 90 persen susunan utama Indonesia terdiri dari pemain naturalisasi,” kata jurnalis yang beralih menjadi komentator sepak bola, Kesit Handoyo, kepada CNA.

“Jelas (kualitas pemain naturalisasi ini) berada di level berbeda dibandingkan pemain lokal, karena kebanyakan bermain di Eropa.”

TAKTIK MENGUBAH PERUNTUNGAN

Saat Thohir menjadi ketua PSSI, ia berjanji membawa Indonesia masuk peringkat 100 besar FIFA.

“Untuk mencapai ini, Indonesia bisa memperbaiki liga dan meningkatkan kualitas pemain lokal, yang mungkin butuh waktu lima hingga sepuluh tahun,” kata mantan pelatih yang kini menjadi komentator olahraga, Justinus Lhaksana.

“Atau Indonesia bisa melakukannya secara instan lewat naturalisasi.”

Marselino Ferdinan dari Indonesia merayakan gol kedua mereka bersama rekan setimnya. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Williams menambahkan bahwa seiring dengan semakin profesionalnya dunia persepakbolaan, setiap tim nasional akan mencari segala cara untuk mendapatkan keuntungan.

“Dan jika mereka punya akses, seperti Indonesia, ke sekumpulan pemain yang bermain di level lebih tinggi daripada pemain domestik, itu jelas merupakan keuntungan. Jika tidak dimanfaatkan, mereka akan rugi sendiri.”

Alhasil, Indonesia dengan wajah barunya sejauh ini terbilang cukup impresif.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia lolos ke babak gugur Piala Asia 2023, sebelum kalah dari Australia yang merupakan kekuatan besar di Asia.

Pada kualifikasi Piala Dunia baru-baru ini, Indonesia menahan imbang Australia 0-0 dan secara mengejutkan mengalahkan Arab Saudi 2-0. Mereka masih memiliki empat pertandingan tersisa dan masih berpeluang lolos langsung ke Piala Dunia 2026.

“Kita melihat peningkatan signifikan dalam penampilan timnas (Indonesia), dan hal ini tidak mungkin terjadi tanpa para pemain naturalisasi,” ujar Kesit.

Penyiar olahraga sekaligus mantan pesepak bola profesional, Rhysh Roshan Rai, menyamakan naturalisasi dengan “outsourcing” pengembangan pemain ke negara lain.

“Kamu bisa membiarkan negara lain yang mengembangkan mereka, kemudian merekrut pemain-pemain itu untuk membela (negara kita),” katanya. “Semua orang membicarakan pengembangan (pemain) yang memakan waktu 10 hingga 15 tahun. Dengan cara ini, kamu bisa mendapatkannya sekarang juga.”

Pelatih veteran Steve Darby mengatakan, jumlah naturalisasi meningkat seiring waktu karena dianggap sebagai cara memperbaiki performa tim nasional.

“Hitung-hitungan manfaatnya sederhana – ini bisa meningkatkan peluang sebuah negara memenangkan pertandingan.”

Akibatnya, pelatih yang “hidup dan mati berdasarkan hasil kinerja” cenderung mendukung naturalisasi, ujar pelatih asal Inggris itu.

Dengan Piala Dunia yang akan diperluas dari 32 menjadi 48 tim pada 2026, negara-negara Asia pun memasang target tinggi, tambah Williams.

“Sekarang, tiba-tiba semua negara ini bisa bermimpi dan berpikir, ‘Oke, sekarang kami mungkin bisa ke Piala Dunia. Bagaimana caranya agar tim kami lebih kuat?’ Dan naturalisasi adalah salah satu jalannya.”

Bagi kawasan Asia Tenggara, ada pula faktor kefrustrasian karena tak pernah mendekati prestasi global atau memberi dampak di Piala Dunia, kata Murphy.

“Dari sudut pandang itu, bisa dimengerti jika mereka berpikir … ‘mungkin inilah caranya’.”

Thom Haye dari Indonesia merayakan gol pertamanya bersama Asnawi Mangkualam. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

MERINTIS PEMAIN MUDA TETAP DIPERLUKAN

Di Indonesia, sebagian besar suporter tampaknya mendukung naturalisasi. Sebuah survei pada November oleh lembaga riset menunjukkan 71,5 persen responden berpendapat bahwa tempat kelahiran pemain tidak terlalu penting.

“Yang penting mereka berdarah Indonesia dan bersumpah setia pada bangsa,” kata Rizky Adrian, 35 tahun.

“Diaspora benar-benar mengangkat kualitas permainan kita. Saya berharap mereka bisa menularkan keterampilan, pengetahuan, dan semangat ke rekan-rekan lain, sehingga pemain lokal juga termotivasi untuk meningkatkan permainan mereka.”

Meski begitu, ada pula yang menilai perlu ada batasan, setidaknya pada jumlah pemain yang dinaturalisasi.

“Olahraga semestinya menjadi ajang membina bakat dan memberi kesempatan untuk berkembang,” ujar Widi Mahendra, 43 tahun.

“Pasti sangat mengecewakan bagi pemain lokal jika posisi mereka di tim nasional dan kesempatan untuk mewakili negara di level internasional diambil oleh pemain yang didatangkan dari luar negeri.”

“Bahkan jika menang, kebahagiaan menonton timnas menang jadi sedikit berkurang,” tambahnya.

“Saya khawatir kita jadi terlalu bergantung pada pemain naturalisasi, sementara pemain lokal hanya duduk di bangku cadangan.”

Naturalisasi juga bisa memicu “ketidakselarasan internal”, tegas Darby yang pernah melatih di berbagai negara Asia.

Misalnya, pemain yang seharusnya sudah 50 kali membela timnas mungkin hanya memiliki 20 caps karena posisinya diambil pemain asing. Ada pula dampak pada keuntungan ekonomi atau sponsor, perpanjangan kontrak di level klub, atau sekadar soal “kebanggaan”, tambah Darby.

Komentator sepak bola dan mantan pemain Shasi Kumar menekankan bahwa meski seorang pemain mendatangkan kualitas bagi tim, ia juga harus memiliki “alasan yang tepat” untuk bermain.

Ia menambahkan pemain tersebut juga harus memberi kontribusi setelah pensiun, misalnya seperti Mustafic Fahrudin yang kini menjadi asisten pelatih BG Tampines Rovers di Liga Premier Singapura.

“Kita harus sangat berhati-hati bagaimana melakukannya. Kita harus benar-benar memberikan (kesempatan) kepada pemain yang tepat,” kata Shasi.

Isu ketergantungan berlebihan pada pemain naturalisasi mencuat di Kejuaraan Perbara baru-baru ini, ketika Indonesia tersingkir di babak grup.

Karena turnamen tersebut tidak masuk kalender FIFA, banyak pemain naturalisasi Indonesia yang tidak dilepas klub Eropa mereka. Indonesia akhirnya mengirimkan tim U-22 dengan hanya satu pemain naturalisasi, Rafael Struick dari Brisbane Roar.

Alhasil, Tim Garuda gagal melaju ke babak gugur setelah kalah dari Vietnam (0-1) dan Filipina (0-1); seri 3-3 melawan Laos; serta menang 1-0 atas Myanmar.

“Ini menunjukkan bahwa pemain lokal Indonesia masih perlu banyak berkembang dan ini tugas yang harus ditangani PSSI,” ujar Kesit.

Pada akhirnya, Indonesia harus menghadapi pertanyaan mengenai apa yang akan terjadi jika, atau ketika kumpulan pemain keturunan berbakat di Belanda habis, kata Williams.

“Generasi pemain yang punya hubungan ke Belanda lewat orang tua atau kakek-nenek akan berkurang, karena hubungan kolonial antara kedua negara sudah lama berakhir,” jelasnya.

“Ini mungkin menjadi salah satu generasi terakhir yang punya koneksi itu.”

Pengembangan pemain muda harus berjalan beriringan dengan naturalisasi, menurut para narasumber CNA.

“Kamu juga tetap harus fokus pada upaya memastikan sumber daya untuk mengembangkan talenta lokal, karena itulah yang paling dekat di hati suporter,” kata Williams.

“Suporter sangat terhubung dengan pahlawan lokal, dan itu sesuatu yang perlu diperhatikan federasi dan negara. Gagasan utamanya adalah menginspirasi generasi berikutnya, namun jika ada jarak dan kita tidak menginspirasi pemain lokal, maka ini akan menimbulkan masalah pada generasi selanjutnya.”

Rai menambahkan bahwa para suporter akan lebih merasa terhubung dengan pemain yang tumbuh bersama mereka atau melewati perjuangan yang sama, dan kini mewakili mereka.

“Bagi saya, ada rasa bangga yang jauh lebih besar dalam hal itu.”

Seorang ayah pemain muda yang pernah dipanggil Timnas Indonesia mengatakan putranya justru senang mendapat tantangan bersaing dengan para pemain kelahiran asing.

“Kalau kamu bisa bersaing dengan semua pemain itu, berarti kamu cukup bagus untuk bermain di level yang lebih tinggi,” kata pria yang tidak mau namanya maupun identitas putranya dipublikasikan.

Ia berkata demikian memandang bagaimana para pemain naturalisasi itu datang dari akademi dan klub ternama di Eropa.

“(Anak saya) merasa selalu ada hal yang bisa dipelajari dari mereka.”

Pria tersebut mendukung pendekatan naturalisasi Indonesia saat ini, selama pemain-pemain itu masih memiliki garis keturunan Indonesia.

Namun, ia mengakui ini bisa saja membuat peluang pemain muda menembus tim nasional semakin menipis.

Pada September lalu, Menteri Kebudayaan, Masyarakat, dan Pemuda Singapura, Edwin Tong, juga menekankan pentingnya memiliki pemain yang “bisa berhubungan dengan Singapura dan warga Singapura”.

“Saya tidak mau tim yang terdiri dari orang-orang yang memakai baju seragam kita, bendera kita; tapi saya tidak mengenal mereka,” katanya dalam program Talking Point CNA.

Tong menekankan bahwa ketergantungan Singapura pada pemain naturalisasi dalam meraih sukses regional sebelumnya “menutupi kelemahan” yang ada.

“Masalah fundamentalnya adalah kita tidak membangun jalur bagi pemain muda. Begitu kita berhenti menaturalisasi pemain, kelemahan itu langsung terbuka.”

PERSPEKTIF PEMAIN

Kapten Kamboja, Kan Mo, yang lahir di Afrika Selatan, mengatakan bahwa ini bukan hanya soal pemain naturalisasi yang datang untuk memperkuat tim.

“Ini juga tentang membantu pemain lokal memacu diri mereka lebih keras lagi, sehingga kita menjadi tim yang lebih kuat sebagai kesatuan,” ujarnya.

Bagi pemain naturalisasi terbaru Singapura, Kyoga Nakamura, keputusannya mengambil kewarganegaraan didorong keinginan untuk membalas budi dan berkontribusi pada negara.

“Singapura telah memberikan banyak momen istimewa buat saya,” ujar gelandang asal Jepang ini.

Istrinya dan putrinya juga “sangat menyukai tinggal di Singapura”, tambahnya.

Pemain sepak bola Singapura Song Ui-young beraksi pada kualifikasi Piala Dunia melawan Korea Selatan di Stadion Piala Dunia Seoul. (Foto: FAS/Stefanus Ian)

Bagi Song Ui-young, yang lahir di Korea Selatan dan dinaturalisasi pada 2021, bisa mewakili Singapura adalah sesuatu yang “membanggakan” dan “bermakna”.

“Saya memulai karier profesional di sini … Saya bahagia di sini. Selama bermain di sini, saya juga bisa menghidupi keluarga,” ia berujar, lalu menambahkan bahwa pemain naturalisasi harus berusaha memahami budaya setempat.

Meskipun sekarang fasih berbahasa Inggris, pada awalnya Song dan Nakamura sama-sama menghadapi kendala bahasa. Mereka mengapresiasi klub dan rekan setim yang berusaha merangkul dan membuat mereka merasa diterima.

Penggemar sepak bola Singapura, Eddy Hirono, mengatakan pemain seperti Song dan Nakamura membawa nilai tambah bagi tim Singapura. Keduanya telah tinggal di Singapura selama beberapa tahun dan berupaya menjalin keterikatan dengan penggemar, tambahnya.

“Bagi saya, itu pertanda bahwa mereka peduli dengan masyarakat setempat,” kata Hirono. “Setiap kali mereka mengenakan seragam, terlihat bahwa mereka benar-benar peduli.”

Gelandang Tampines Rovers Nakamura bersama keluarganya. (Foto: Kyoga Nakamura)

Presiden FAS Bernard Tan mengatakan kepada CNA bahwa membangun “ekosistem sepak bola yang kokoh dan berkelanjutan” merupakan “jalur paling berkelanjutan dan mudah dipahami” untuk kesuksesan jangka panjang bagi Singapura.

“Kami fokus untuk memperluas basis pemain dan memprioritaskan pengembangan pemain lokal sejak usia muda,” ujarnya.

“Pada saat yang sama, kami juga menyambut talenta yang ingin menjadi bagian dari kami. Naturalisasi, apabila dilakukan dengan selektif, dapat melengkapi upaya kami dalam mengembangkan pemain lokal dan bakat dalam negeri, namun bukanlah kebijakan inti yang diandalkan oleh ekosistem sepak bola kami,” kata Tan.

“Para atlet yang dipertimbangkan untuk naturalisasi tak hanya harus memiliki kemampuan olahraga luar biasa yang dapat meningkatkan dan melengkapi bakat lokal yang sudah ada, namun juga harus menunjukkan keterikatan mendalam dengan Singapura, baik di lapangan maupun di luarnya.”

BERLAGA MENUJU MASA DEPAN

Untuk saat ini, Indonesia tetap melaju dengan kebijakan naturalisasinya.

Awal bulan ini, PSSI mengejutkan banyak pihak dengan mengganti pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong, dengan Patrick Kluivert, mantan penyerang Timnas Belanda.

“Tingkat pemain diaspora kita makin tinggi dan mereka butuh pelatih yang akan didengar mereka … seseorang yang disegani di Eropa, di Belanda,” kata anggota Komite Eksekutif PSSI, Arya Sinulingga, kepada jurnalis Indonesia pada 8 Januari.

Arya menambahkan bahwa Kluivert juga akan bertugas untuk mencari dan mendekati kandidat lain yang berpotensi dinaturalisasi.

Para pejabat PSSI kemudian mengatakan Indonesia akan terus melanjutkan program naturalisasi.

“Orang-orang yang mengkritik pemain naturalisasi kita hanya iri dengan pencapaian kita,” ujar Arya dalam wawancara dengan media Indonesia Kumparan pada 10 Januari.

“Kami sedang membenahi timnas dulu. Setelahnya, kita akan melakukan perbaikan di bidang lain.”

Pelatih kepala Timnas Indonesia Patrick Kluivert berjabat tangan dengan Ketua Umum PSSI Erick Thohir di Jakarta, Indonesia, 12 Januari 2025. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Jurnalis olahraga Indonesia sekaligus komentator sepak bola, Firzie Idris, juga mendukung naturalisasi.

“Selama aturan dan regulasi FIFA mengizinkan, negara mana pun seharusnya boleh menaturalisasi sebanyak mungkin pemain yang mampu mereka lakukan, bukan cuma Indonesia,” katanya.

“Dan ini sudah jadi praktik umum bukan hanya di sepak bola, tapi di cabang olahraga lain, karena dunia semakin lama semakin tak berbatas.”

Sebagian besar pengamat yang diwawancarai CNA menilai jalan tengah bagi negara-negara adalah membangun model hibrida, yakni menaturalisasi pemain asing sambil terus berinvestasi pada pemain lokal.

Contohnya adalah Vietnam yang memiliki rekam jejak baik di level usia muda dan menaturalisasi Xuan Son asal Brasil untuk menambah kualitas di lini depan.

“Kita sudah melihat betapa besarnya perbedaan yang dibawanya. Vietnam sebenarnya sudah merupakan tim yang bagus. Kebanyakan pemainnya dikembangkan di dalam negeri, tapi lini depannya memang membutuhkan bantuan eksternal,” kata Rai.

Mantan pesepak bola itu mengatakan naturalisasi tidak akan hilang dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan dan justru mungkin akan “kian intensif”.

Williams menambahkan dirinya tidak mempermasalahkan negara yang menggunakan naturalisasi sebagai “alat” selama hal itu dilakukan sesuai aturan.

Namun, naturalisasi bukan jawaban segalanya, tegasnya lagi.

“Itu sebenarnya solusi sementara … Indonesia yang paling banyak memanfaatkannya, tapi secara umum negara-negara lain menggunakannya untuk menutup kelemahan di posisi tertentu,” katanya.

“Tapi kalau kamu tidak mengembangkan pemain lokal, kamu akan terus kesulitan, tidak peduli berapa banyak pemain yang kamu naturalisasi.”

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA IndonesiaMenangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: CNA/jt

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan