Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

'Saya hanya mau bebas': Upaya legalkan perceraian hadirkan asa bagi korban KDRT di Filipina

Jika Undang-undang Perceraian Absolut disahkan, maka status Filipina sebagai satu-satunya negara di luar Vatikan yang mengharamkan perceraian akan berakhir. Namun UU ini ramai ditentang, mengancam sirnanya harapan para korban kekerasan dalam rumah tangga.

'Saya hanya mau bebas': Upaya legalkan perceraian hadirkan asa bagi korban KDRT di Filipina

Spanduk bertuliskan "Katakan tidak untuk Perceraian" terpampang di pagar salah satu gereja paling populer di Manila, Gereja Quiapo. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

LAS PINAS, Filipina: Sesaat setelah suaminya masuk ke rumah pada suatu malam di pertengahan tahun 2023, Jessica sudah bersiap untuk yang terburuk.

Jessica tahu suaminya baru saja minum-minum dengan kawan-kawannya. Selama 15 tahun pernikahan mereka, kebiasaan itu kerap berujung penyiksaan terhadap Jessica dan perusakan barang-barang di rumah mereka. Semua itu dilakukan suaminya karena alasan yang tidak jelas.

Malam itu juga tidak berbeda. Suaminya yang mabuk berat mengamuk karena alasan yang Jessica sendiri tidak ingat. Rambut Jessica direnggut dan kepalanya dibenturkan ke tembok.

Tapi tidak seperti peristiwa sebelumnya, kali ini putri mereka yang berusia 12 tahun keluar dari kamar dan berusaha melerai.

"Jangan sakiti ibuku!" kata Jessica - yang meminta CNA menyebutnya dengan nama samaran demi keselamatannya - menirukan kata-kata putrinya ketika itu. "Saya akan bakar rumah ini kalau kamu sakiti ibuku!"

Keberanian putrinya menjadi titik balik bagi perempuan berusia 31 tahun dengan dua orang anak ini.

Keesokan paginya ketika suaminya masih terlelap setelah mabuk berat, Jessica dan kedua putrinya kabur dari rumah. Ketiganya menempuh perjalanan 12 jam dari kota pesisir kecil tempat mereka tinggal untuk menuju Manila.

Meski telah pergi ke kota nun jauh, namun sulit bagi Jessica untuk melepaskan diri dari bayang-bayang suaminya dan melanjutkan hidup.

Jessica tidak pernah melaporkan suaminya ke polisi atas kejahatan yang dia dilakukan.

Di kebanyakan negara, apa yang Jessica alami bisa menjadi dasar hukum mengajukan cerai dan mendapat hak asuh penuh bagi kedua putrinya. Tapi Filipina adalah satu-satunya negara di luar Vatikan di mana perceraian adalah tindakan ilegal.

Artinya meski Jessica mampu menyeret suaminya ke penjara karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sederet ancaman pembunuhan yang diterimanya setelah dia minggat, namun di mata hukum lelaki itu masih suaminya.

Jessica, bukan nama sebenarnya, takut akan keselamatan diri dan kedua putrinya setelah mereka kabur dari suaminya yang kerap melakukan kekerasan. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Tapi sepertinya, sebentar lagi akan ada titik terang bagi penderitaan Jessica. 

Pada 22 Mei lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Filipina menyetujui Rancangan Undang-undang Perceraian Absolut dan telah meneruskannya ke Senat untuk disahkan menjadi undang-undang. RUU tersebut mendapatkan banyak dukungan di majelis tinggi parlemen, dan jika disahkan, maka perceraian di Filipina akan menjadi legal.

Setidaknya sudah lima dari 24 anggota Senat Filipina yang menyatakan dukungan mereka atas RUU ini dan menyerukan agar disahkan menjadi UU.

Edcel Lagman, anggota DPR dan salah satu perancang utama RUU tersebut, mengatakan bahwa ini adalah tahapan terjauh yang pernah dicapai oleh RUU perceraian di Filipina. Pada 2018, RUU itu juga sempat diloloskan majelis rendah parlemen, namun tidak dimasukkan dalam daftar RUU prioritas oleh Senat.

Tapi untuk kali ini, kata Lagman, ada beberapa senator yang mengatakan akan memastikan RUU itu diloloskan. RUU itu bahkan telah mendapat dukungan dari presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. Semenjak terpilih pada 2022, Ferdinand beberapa kali dikutip media mengatakan ada beberapa kasus rumah tangga yang menurutnya layak menjadi dasar perceraian.

"Saya optimistis sebelum akhir 2025, Filipina akan bergabung dengan negara-negara yang melegalkan perceraian," kata Lagman kepada CNA.

Edcel Lagman, senator Filipina dan perancang utama Undang-Undang Perceraian Absolut. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

RUU ini akan menjadi jalan keluar bagi para perempuan Filipina yang merasa dirugikan secara finansial, emosional dan psikologis karena tidak bisa bercerai dari pasangannya. 

Namun sulit untuk melegalkan perceraian di Filipina, negara yang 78 persen dari 115 juta warganya adalah penganut Katolik Roma. Di antara penolaknya adalah gereja Katolik dan politisi anti-perceraian yang gencar mencegah laju RUU tersebut menjadi UU.

PROSES HUKUM YANG RUMIT

Filipina telah melarang perceraian sejak abad ke-16 ketika masih berada di bawah pemerintahan kolonial Spanyol. Ketika Amerika Serikat menganeksasi Filipina pada 1898, perceraian fault-based atau pisah berdasarkan kesalahan diakui.

Pada 1950 perceraian kembali ilegal di Filipina, empat tahun setelah negara itu memproklamasikan kemerdekaan. Pasal soal perceraian ketika itu dihapuskan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun pada 1977, presiden Filipina ketika itu Ferdinand Marcos Sr mengeluarkan peraturan presiden soal Undang-undang Pribadi Muslim, mencakup legalitas perceraian bagi umat Islam di negara itu.

Kendati demikian, perceraian masih tetap ilegal bagi penganut agama lainnya di negara tersebut, termasuk warga Protestan, Buddha dan yang lainnya.

Berdasarkan UU Pribadi Muslim, satu-satunya jalan bagi pasutri Muslim untuk bercerai adalah melalui pembatalan pernikahan.

Artinya, mereka harus membuktikan bahwa pernikahan tersebut memang tidak sah sejak awal, seperti adanya pernikahan di bawah umur tanpa restu orang tua, pernikahan sedarah (inses) atau pernikahan siri yang tidak disahkan oleh otoritas berwenang.

Sebuah pernikahan juga dianggap batal jika salah satu pihak telah menikah sebelumnya atau dianggap "tidak layak secara psikologis" yang menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai suami atau istri.

Kekerasan fisik, perzinahan dan penelantaran bukanlah dasar dari pembatalan pernikahan tersebut.

Akan tetapi, para korban dalam kasus-kasus di atas masih bisa menuntut pemisahan secara hukum. Namun secara teknis mereka masih dianggap menikah dengan pelaku, meski sudah hidup terpisah dan mandiri.

Untuk kasus pembatalan dan pemisahan pasutri secara hukum, perkara hak asuh anak, tunjangan anak dan harta gono-gini ditentukan oleh pengadilan.

Cheryl Estoya, 36, telah mengajukan pemisahan pernikahan secara hukum dari suaminya yang selingkuh agar mendapat hak asuh untuk kedua putrinya.

"Pengacara mengatakan bahwa argumen saya lemah. Saya harus menemukan bukti seperti di mana mantan suami dan selingkuhannya tinggal, atau apakah dia punya anak dari selingkuhannya tersebut. Ini adalah bukti yang mereka cari," kata dia kepada CNA.

Cheryl Estoya, 36 tahun, giat mengkampanyekan legalisasi perceraian di Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Ujung-ujungnya Estoya batal menggugat suaminya. Dia tidak ingin membuka luka lama dan enggan membuat luka baru dengan mengorek perselingkuhan tersebut.

Lagipula, walau pemisahan dikabulkan, secara teknis dia masih dianggap menikahi lelaki tersebut. Karena status ini, dia masih membutuhkan tanda tangan suaminya untuk berbagai hal, seperti membuka usaha atau membeli properti.

"Bagaimana melakukan itu jika saya bahkan tidak tahu dia di mana," kata Estoya. "Sulit sekali jika tanpa perceraian atau pembatalan pernikahan."

Menempuh jalur pembatalan akan menjadi proses yang panjang dan mahal, karena artinya dia harus membuktikan bahwa pernikahannya tidak sah sejak awal. Peluangnya untuk berhasil juga sangat kecil.

Stella Sebonga, 47, mengaku telah menghabiskan uang hingga 300.000 peso (Rp84 juta) untuk membayar biaya administrasi dan persidangan untuk membatalkan pernikahan dengan suaminya yang kasar dan tukang selingkuh. Suaminya itu juga tidak pernah memberikan dukungan finansial bagi ketiga anak mereka.

Karena perzinahan dan penelantaran tidak bisa jadi dasar pembatalan pernikahan, maka butuh 12 tahun dan puluhan sidang bagi Sebonga untuk membuktikan suaminya secara psikologis tidak layak menjalankan kewajiban pernikahan. Dia juga harus membuktikan bahwa masalah ini telah terjadi jauh sejak mereka menikah 29 tahun yang lalu.

Pada akhirnya, gugatan Sebonga ditolak oleh pengadilan. Sebenarnya Sebonga masih bisa mengajukan banding, tapi dia sudah kehabisan uang atau tenaga untuk melakukannya.

"Anak-anak saya diminta bersaksi melawan ayah mereka di pengadilan dan itu sangat berat bagi mereka. Saya tidak bisa membuat mereka melaluinya lagi," kata dia.

"Hukum di Filipina terkadang memperlakukanmu seperti penjahat, padahal kamu yang jadi korban. Bahkan penjahat bisa mendapat pembebasan bersyarat dan dibebaskan. Lalu bagaimana dengan kami?"

Stella Sebonga, 47, telah menghabiskan 300.000 peso untuk biaya persidangan dan administrasi demi membatalkan pernikahannya dengan suaminya yang kasar dan tukang selingkuh. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

"SEBUAH SIKLUS KEKERASAN"

RUU perceraian yang tengah diajukan akan memperluas sebab-sebab diperbolehkannya pembatalan pernikahan. Di antaranya adalah adanya kekerasan fisik terhadap penggugat atau anak-anak mereka, pemaksaan terlibat prostitusi, perselingkuhan, penelantaran atau dasar lainnya.

Melarang pembatalan pernikahan karena sebab-sebab tersebut yang akhirnya memunculkan budaya KDRT di Filipina, ujar Mavi Millora, sekretaris jenderal lembaga advokasi Koalisi Perceraian Pilipinas.

Dengan sedikitnya sarana bagi para korban untuk melaporkan kejahatan pasangannya, pelaku bebas mengulangi tindakannya lagi dan lagi.

"Di masyarakat kami, hanya sedikit yang berani bersuara dan mengatakan mereka dianiaya dan ditelantarkan," kata Millora kepada CNA. "Anak-anak tumbuh dengan menyaksikan penganiayaan ini di rumah mereka, jadi mereka dewasa dengan merasa bahwa ini normal dan tidak apa apa, sehingga menciptakan sebuah siklus kekerasan."

Mavi Millora, sekretaris jenderal kelompok advokasi Koalisi Perceraian Pilipinas. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Berdasarkan survei demografi dan kesehatan 2022 oleh Badan Statistik Filipina, 17,5 persen perempuan Filipina usia 15-49 tahun pernah mengalami kekerasan fisik, seksual dan emosional dari pasangan mereka.

Kekerasan yang menjadi sebuah siklus dan kecilnya peluang untuk bisa melepaskan diri darinya menjadi salah satu penyebab banyaknya orang Filipina yang depresi.

Dalam Mind Health Report oleh penyedia asuransi AXA, ditemukan 22 persen perempuan Filipina pada 2023 menderita stres, 16 persen depresi dan enam persen keresahan. Angkanya hampir dua kali lipat dibanding penderita dari kalangan lelaki.

Di antara sebab merosotnya kesehatan mental perempuan di Filipina adalah penerimaan diri yang rendah dan diskriminasi gender.

Meski belum ada penelitian mengenai hal ini, namun laporan bunuh diri oleh perempuan yang bertahun-tahun disiksa suaminya kerap mewarnai pemberitaan di Filipina. Ramai juga diberitakan soal istri yang membunuh atau mencoba menghabisi suaminya.

Kondisi ini memicu mereka yang pernikahannya bermasalah untuk melakukan migrasi massal, menjauhi pasangan mereka dengan mencari kehidupan yang baru jauh di kota atau bahkan negara lain, seperti halnya Jessica. Setelah meninggalkan suaminya, Jessica bekerja menjadi pekerja rumah tangga di Arab Saudi, sementara anak-anaknya dititipkan kepada adiknya di Manila.

Berdasarkan data Migration Policy Institute, diperkirakan ada 10 juta warga Filipina yang pindah dan tinggal di lebih dari 200 negara. sekitar 60 persen pekerja dari Filipina adalah perempuan, demikian yang diungkapkan data Bank Dunia.

Berbagai permasalahan itu membuat dukungan terhadap legalisasi pernikahan semakin besar di Filipina. Survei oleh lembaga riset Social Weather Stations Maret lalu menunjukkan bahwa 50 persen warga Filipina dewasa mendukung RUU perceraian, 31 persen menolak, sementara sisanya belum memutuskan.

Ketika survei pertama dilakukan pada Mei 2005, sebanyak 43 persen responden mengatakan perceraian seharusnya diperbolehkan di Filipina, 45 persen mendukung perceraian tetap ilegal.

Meski RUU perceraian menuai banyak dukungan, namun penentangan masih santer disuarakan oleh banyak orang di negara mayoritas Katolik itu.

Penentangan RUU perceraian tak terlepas dari lobi kuat para politisi Katolik yang punya pengaruh besar. Penentangan juga datang dari gereja-gereja yang melarang jemaah mereka bercerai.

"Perceraian bertentangan dengan ajaran Kristus," ujar Pastor Jerome Secillano, juru bicara Konferensi Waligereja Filipina kepada CNA. "Mengapa tidak membuat proses pembatalan pernikahan lebih cepat dan tidak mahal?"

Para pemuka agama di Filipina mengatakan membolehkan perceraian bukan solusi mengatasi kekerasan rumah tangga, perzinahan dan penelantaran. Menurut mereka, gereja seharusnya diberikan peran lebih besar untuk mempererat jalinan rumah tangga.

"Anda tidak bisa menyelesaikan kekerasan dengan perceraian. Anda hanya memperbolehkan mereka berpisah. Dan sekarang Anda membiarkan pria kasar itu untuk menikahi perempuan lainnya, dan perempuan itu akan menjadi sasaran tinjunya nanti," kata Secillano.

"Dengan begitu, Anda tidak membenahi pasangan yang bermasalah. Gereja harus proaktif. Jika ada pernikahan yang bermasalah, mengapa kami, Gereja, tidak turun tangan ... agar kami bisa membantu pasangan ini mengatasi problematika rumah tangga mereka."

Pastor Jerome Secillano, juru bicara Konferensi Waligereja Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Secillano mengatakan, ada beberapa kasus di mana pasangan berhasil mengatasi masalah mereka dan kembali akur, ini semua karena perceraian tidak dilegalkan. RUU perceraian, kata dia, hanya akan dimanfaatkan oleh orang yang materialistis untuk menikah berulang kali demi harta dan aset.

Lagman, anggota DPR Filipina, mengatakan RUU perceraian telah memiliki jaring pengaman agar tidak ada orang yang bisa menyalahgunakan legalisasi perceraian ini.

Di antaranya adalah ketatnya persyaratan pengajuan cerai untuk seseorang yang mengaku mengalami KDRT, diselingkuhi atau ditelantarkan. Selain itu, diatur masa tunggu sampai seseorang yang telah bercerai diperkenankan menikah lagi. Soal masa tunggu ini masih belum ditentukan berapa lamanya.

"Ini bukanlah perceraian no-fault. Kami tidak ingin perceraian model Las Vegas. Kami tidak menyetujui perceraian gaya notaris, yaitu pasangan mendatangi notaris dan mengatakan ingin bercerai, dan berakhir begitu saja. Kami membuat RUU ini sangat ketat untuk mencegah penyalahgunaan hukum," kata dia.

"SAYA HANYA MAU BEBAS"

Dengan perceraian yang berpeluang besar dilegalkan, mereka yang anti-perceraian kian meningkatkan kampanye mereka.

Beberapa gereja di Filipina memasang spanduk besar di pagar-pagar mereka bertuliskan "katakan tidak untuk perceraian" dan "Apa yang dipersatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan manusia". Sementara khotbah pada ibadah kebaktian berisikan peringatan kepada para jemaah, bahwa melegalkan pernikahan akan mengancam kesucian pernikahan dan memicu azab Tuhan.

Para pendukung RUU ini juga merasakan nuansa ketegangannya. Beberapa aktivis kepada CNA mengaku menerima ancaman, kritikan, dan hujatan di akun media sosial mereka.

"Setiap kali saya memposting sesuatu tentang perceraian, saya akan menerima banyak komentar yang mengatakan itu adalah dosa besar, kalau mati masuk neraka, cerai cuma alasan untuk kawin lagi dan lagi," kata Estoya yang menjadi admin media sosial bagi Koalisi Perceraian Pilipinas.

"Kadang kami terlibat perdebatan panas. Kami katakan kepada mereka 'bagaimana dengan mereka yang ditelantarkan dan diabaikan? Bagaimana mereka yang dianiaya? Kalian suka kami menderita dan diam saja sampai mati?"

Tekanan bagi para aktivis pro-perceraian untuk menghentikan perjuangan mereka bahkan datang dari keluarga dan sahabat sendiri.

"Bahkan ibu saya, yang bergabung di organisasi Katolik, mengatakan 'jangan terlibat dalam kelompok perceraian lagi. (Legalisasi perceraian) tidak akan pernah terjadi. Tinggalkan mereka'," kata Mary Bravo, ibu berusia 54 tahun dengan tiga anak kepada CNA. Bravo telah berpisah secara tidak resmi dengan suaminya pada 2009 karena perselisihan yang tak bisa didamaikan lagi.

"Sungguh mengecewakan. Tapi saya tidak akan berhenti. Saya punya tiga anak perempuan dan semoga mereka tidak mengalami apa yang saya alami. (Dengan melegalkan perceraian) mereka tidak akan terjebak. Mereka punya jalan keluar. Itu yang saya inginkan. Ini untuk generasi masa depan. Bukan untuk diri saya sendiri."

Senat masih harus membahas RUU tersebut sebelum disahkan sebagai undang-undang, dan ada beberapa wakil rakyat yang telah menyatakan akan menjegalnya. Lagman mengatakan akan terus melobi anggota anggota Senat agar menyetujui Undang-undang Perceraian Absolut itu.

Jika nantinya RUU ini disahkan oleh Senat dan menjadi UU, Lagman berharap berbagai organisasi yang menentang bisa mengajukan keberatan mereka ke Mahkamah Agung dan menggugatnya secara konstitusional.

"Inilah mengapa kami tengah dalam pembicaraan dengan Mahkamah Agung untuk menjelaskan mengenai RUU ini," kata Lagman.

Lagman juga mengatakan, jika nantinya disahkan maka akan ada masa jeda untuk sistem peradilan di Filipina melakukan penyesuaian sebelum bisa mulai menyidangkan kasus perceraian.

"Tapi seharusnya waktunya tidak lama karena (kasus perceraian) tidak ada bedanya dengan kasus perdata lainnya," kata dia.

Jessica mengaku tidak sabar menanti hari ketika dia akhirnya bisa bercerai dari suaminya yang kasar.

"Saya tidak seharusnya terjebak dalam pernikahan seperti ini seumur hidup. Saya hanya ingin keadilan atas apa yang saya alami," kata dia. "Saya hanya mau bebas."

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan