Skip to main content
Iklan

Asia

Reverse brain drain: Mengapa para ilmuwan China di AS ramai-ramai pulang kampung?

Para pengamat mencermati adanya peningkatan kepulangan para ilmuwan China dari AS tahun ini akibat diperketatnya visa dan pendanaan riset. Selain itu, China juga meluncurkan visa K untuk menarik ilmuwan dan talenta teknologi asing datang. 

Reverse brain drain: Mengapa para ilmuwan China di AS ramai-ramai pulang kampung?

Dua ilmuwan top, Liu Jun (paling kiri) dan Zhang Yitang (paling kanan), menerima penugasan baru di universitas China setelah lama berkarier di Amerika Serikat. (Foto: Universitas Tsinghua, Universitas Sun Yat-sen)

SINGAPURA: Para talenta top China, termasuk ilmuwan, akademisi dan peneliti di Amerika Serikat ramai-ramai pulang kampung. Menurut para pengamat, fenomena reverse brain drain ini terjadi setelah China memberikan penawaran yang lebih menarik dan peluang karier di start-up dan universitas.

Pengamat mengatakan ada peningkatan kepulangan para peneliti dari AS ke China sepanjang 2025. Selain itu, China juga meluncurkan kategori visa baru, K, pada 1 Oktober lalu untuk menarik para ilmuwan dan pakar teknologi asing.

Sejumlah tokoh, di antaranya pakar matematika Harvard Liu Jun, ilmuwan komputer peraih penghargaan sekaligus ahli blockchain Chen Jing, serta bintang baru di bidang kecerdasan buatan (AI) Fu Tianfan, telah meninggalkan Amerika Serikat dan pulang ke China untuk menempati posisi di lembaga-lembaga bergengsi di Beijing, Nanjing, dan Shenzhen.

Menurut Lizzi Lee, peneliti di Center for China Analysis, Asia Society Policy Institute di New York, tren kepulangan ini tidak terjadi secara mendadak, melainkan sesuatu yang telah berkembang selama beberapa waktu.

Lee menambahkan, fenomena ini paling menonjol di kalangan “ilmuwan China yang berkarier di tahap awal dan menengah". Sebelumnya mereka memiliki posisi tetap di universitas atau pengalaman industri di AS, namun kini tergoda oleh peluang karier yang lebih menjanjikan di tanah air.

Ada sejumlah faktor yang mendorong kepulangan mereka, kata Lee kepada CNA.

"Di AS, pembatasan visa, naiknya biaya pengajuan visa H-1B, dan pemangkasan pendanaan riset oleh pemerintah telah menjadikan situasinya tidak bersahabat bagi kebanyakan ilmuwan kelahiran China," kata Lee, seraya mengatakan bahwa berbagai faktor tersebut telah membatasi peluang karier mereka di AS.

Selain itu, kata Lee, peningkatan investasi China di bidang sains dan teknologi juga jadi faktor yang membuat mereka pulang.

“Pemerintah China secara terbuka menegaskan bahwa sains dan teknologi merupakan prioritas nasional. Dukungan itu diwujudkan melalui pendanaan besar untuk laboratorium riset, modal pemerintah yang melimpah, hingga subsidi perumahan dan bantuan relokasi bagi keluarga,” ujarnya.

“Selain lebih muda dan berorientasi pada pengembangan karier, para peneliti asal China yang kembali dari AS juga melihat potensi besar dalam ekosistem yang banyak melahirkan terobosan, seperti kemajuan AI melalui DeepSeek,” ujarnya.

Ia menambahkan, sektor-sektor seperti kecerdasan buatan, robotika, dan bioteknologi adalah bidang yang paling diuntungkan dari kembalinya para talenta tersebut.

“Pergerakan tahun ini terasa berbeda… dengan kebijakan Beijing yang menawarkan jauh lebih banyak insentif dan peluang. Para perantau yang pulang kini memandang langkah mereka sebagai percepatan karier, bukan pelarian dari situasi tidak bersahabat,” kata Lee.

Lee membandingkan tren ini dengan gelombang kepulangan ilmuwan semasa program "China Initiative" pada 2018 di masa pemerintahan Presiden AS Donald Trump periode pertama. Ketika itu, AS memburu orang-orang China yang dituduh mata-mata dan pencuri kekayaan intelektual, termasuk mencecar para akademisi soal hubungan mereka dengan pemerintah Beijing.

Para pengkritik mengatakan program Trump itu memicu sentimen rasialisme dan memicu ketakutan yang menghambat kemajuan sains. Akhirnya program itu dihentikan di pemerintahan Joe Biden.

“Banyak dari mereka yang pulang saat ini bukan karena tekanan langsung atau diskriminasi yang mereka alami — seperti yang sering terjadi pada puncak pelaksanaan China Initiative — melainkan karena mereka menilai China kini semakin kompetitif, baik dari sisi sumber daya maupun peluang,” ujar Lee.

Data resmi mengenai jumlah warga yang kembali belum tersedia karena keterbatasan informasi.

“Beberapa ilmuwan China memang telah meninggalkan sistem akademik Amerika, namun sejauh ini hal itu masih bersifat anekdotal,” kata Alwyn Lim, lektor kepala bidang sosiologi di Singapore Management University (SMU).

“Kita belum melihat adanya eksodus besar-besaran kaum intelektual ke bagian dunia lain,” tambahnya.

BERBAKTI KEPADA NEGERI

Para ilmuwan China yang meninggalkan AS mengatakan mereka ingin membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada generasi berikutnya di tanah air.

Ilmuwan komputer ternama asal China, Chen Jing, menghabiskan 15 tahun di Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan tinggi, termasuk meraih gelar doktor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2012 di bawah bimbingan peraih Hadiah Turing, Silvio Micali.

“Saya hanya ingin melakukan riset terbaik, dan saat itu, riset terbaik di bidang ilmu komputer memang ada di AS,” kata Chen mengenang masa studinya di Amerika.

Pada Januari lalu, Chen mengumumkan bergabung dengan Universitas Tsinghua di Beijing sebagai profesor penuh waktu.

Dalam sebuah video yang diunggah di laman resmi WeChat universitas tersebut, Chen menyatakan dirinya “berkomitmen membimbing peneliti muda di bidang ekonomi komputasional, membekali mereka kemampuan untuk mengenali dan memecahkan masalah sosial di dunia nyata.”

Chen mengatakan, motivasinya kembali ke China juga untuk menutup kesenjangan dalam riset teknologi blockchain di negara itu, yang menurutnya masih “kurang memiliki dukungan teoretis yang kuat.”

Chen jing

“Sekarang saatnya saya membagikan pengalaman yang saya peroleh di dunia akademik dan industri kepada para mahasiswa di China, serta memanfaatkan pengaruh internasional saya untuk mendukung Universitas Tsinghua dan departemen ilmu komputernya,” ujar Chen.

Di Universitas Tsinghua juga bergabung mantan ahli matematika Harvard, Liu Jun, yang memutuskan kembali ke China pada usia 60 tahun karena kecintaannya pada pendidikan dan sains, sekaligus dorongan rasa patriotisme.

Ia menerima posisi kehormatan bergengsi di universitas tersebut pada Agustus lalu dan diangkat sebagai “Profesor Tamu Istimewa Xinghua Universitas Tsinghua”, gelar akademik tertinggi di kampus itu.

Dalam wawancara dengan South China Morning Post (SCMP), Liu mengatakan keputusannya meninggalkan Amerika Serikat “tidak ada kaitannya” dengan Donald Trump, dan bahwa ia sempat mempertimbangkan tawaran lain termasuk dari Wharton School, sekolah bisnis Universitas Pennsylvania, namun akhirnya memilih bergabung dengan Universitas Tsinghua.

Dari kiri: Sekretaris Komite Partai Komunis China Universitas Tsinghua Qiu Yong, istri Liu Jun, Liu Jun, dan Rektor Universitas Tsinghua Li Luming dalam upacara penyerahan jabatan untuk menyambut Liu. (Foto: Universitas Tsinghua)

Ahli matematika China lainnya, Zhang Yitang, meninggalkan University of California, Santa Barbara (UC Santa Barbara), untuk bergabung dengan Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou.

Zhang secara terbuka mengaku kembali ke tanah air karena “pertimbangan situasi politik internasional belakangan ini yang membuat hubungan China–AS tegang.”

“Banyak akademisi dan profesor China di AS yang sudah kembali, dan masih banyak yang mempertimbangkannya,” kata Zhang dalam wawancara dengan stasiun televisi China, Phoenix TV, menyebut fenomena itu sebagai “tren yang positif.”

“Bidang saya (matematika) tidak terlalu terpengaruh, tetapi para peneliti China di bidang komputer, semikonduktor, atau yang berkaitan dengan militer harus sangat berhati-hati,” ujar Liu, seraya menambahkan bahwa AS kini “sangat ketat terhadap bidang-bidang tersebut.”

Ahli kecerdasan buatan asal China, Fu Tianfan, yang menempuh studi dan bekerja di Amerika Serikat selama beberapa tahun, mengumumkan bahwa ia meninggalkan karier akademik yang menjanjikan di Troy, New York, untuk kembali ke China.

Fu bergabung dengan Sekolah Ilmu Komputer bergengsi di Universitas Nanjing pada Desember 2024.

“Universitas Nanjing memadukan warisan budaya yang kaya dengan kepemimpinan kuat di bidang ilmu alam. Keunggulannya dalam ilmu dasar menjadi lahan subur bagi riset saya dalam penerapan kecerdasan buatan untuk mempercepat penemuan ilmiah,” ujarnya kepada SCMP setelah kembali ke China.

REVERSE BRAIN DRAIN

Sejak Donald Trump kembali terpilih menjadi presiden, para akademisi dan mahasiswa China di AS diawasi lebih ketat serta menghadapi berbagai hambatan baru, termasuk rencana pencabutan visa pelajar. Kebijakan itu memicu ketakutan dan kecemasan di kalangan mahasiswa China di berbagai kampus AS, membuat mereka berpikir ulang soal di mana akan berkarier.

Para intelektual China yang pulang “tidak hanya membawa serta teknologi dan keahlian, tetapi juga kredibilitas serta jejaring internasional yang berpotensi memperkuat ambisi China untuk memimpin di bidang teknologi,” ujar Lee dari Asia Society.

Ia juga mencatat bahwa China kini “memposisikan diri sebagai laboratorium terbesar di dunia bagi pengembangan teknologi baru.”

“Skala inisiatif dan investasi riset serta pengembangan yang dipimpin pemerintah, kecepatan implementasi, dan kemajuan terutama dalam riset terapan” menjadi daya tarik besar bagi mereka yang ingin meninggalkan AS, kata Lee.

Dengan pulangnya para ilmuwan China, AS justru yang akan menanggung kerugian. Lee mengatakan, kerugian bagi AS akan paling terasa di sektor ilmu komputer, ilmu hayati, dan manufaktur, bidang-bidang yang selama ini didominasi oleh peneliti dan pakar kelahiran China.

Para pengamat juga menilai Singapura dan sejumlah negara Asia lainnya juga berpotensi diuntungkan dari fenomena reverse brain drain ini.

“Lembaga-lembaga riset di kawasan ini sudah termasuk jajaran universitas terbaik dunia, dan konteks nasional mereka umumnya netral atau setidaknya tidak sepolaris di Barat, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penelitian dan kemajuan ilmiah,” kata Lim dari SMU.

Dalam tulisan opini di CNA pada 1 Oktober, Chua Yeow Hwee, asisten profesor ekonomi di Nanyang Technological University (NTU) sekaligus wakil direktur Economic Growth Centre NTU, menyoroti bagaimana perubahan aturan dan kondisi global kini “mengubah pilihan perusahaan dan tenaga profesional.”

“Bagi para profesional, hal ini mengubah pandangan tentang negara mana yang menawarkan keamanan dan peluang jangka panjang,” ujar Chua, seraya menambahkan bahwa “persaingan sebenarnya bukan soal siapa yang memberi gaji tertinggi atau pasar terbesar, tetapi tentang kepercayaan.”

Chua juga mencatat bahwa berbagai negara kini “berinovasi lewat proses perizinan yang lebih cepat dan jalur imigrasi baru,” sementara “persaingan global untuk menarik talenta semakin ketat.”

Namun, Lim mengingatkan agar tidak berlebihan menafsirkan gelombang kepulangan akademisi dan ilmuwan China itu.

“Memang ada gangguan pada pendanaan riset, tetapi tidak cukup besar atau sistematis sampai memicu brain drain dari sistem akademik Amerika,” ujarnya, sambil menilai dampak keluarnya para ahli asal China dari AS sejauh ini masih “terbatas.”

Ia menambahkan, belum jelas apakah gangguan pendanaan riset itu akan berdampak pada “proyek-proyek penelitian berkualitas tinggi.”

“Lembaga-lembaga riset di AS masih sangat tangguh,” kata Lim, mengutip tradisi panjang keunggulan riset dan konsentrasi talenta terbaik di sana.

“Komitmen mereka terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik juga merupakan keunggulan yang sulit ditiru di kawasan lain, yang mungkin lebih mengutamakan tujuan nasional dibanding kebebasan riset,” ujarnya.

Lee dari Asia Society juga menyoroti sikap China yang “rumit” terhadap warga yang pulang dari luar negeri.

“Dalam banyak kasus, China masih memandang dari kacamata keamanan nasional, dan ada sejumlah cerita tentang rasa tidak percaya terhadap para perantau yang kembali,” katanya.

Selain itu, pendanaan dari negara cenderung “kurang sabar” dan enggan mengambil risiko, sehingga tetap menjadi kendala bagi berbagai riset terdepan di China.

“Masalah struktural semacam ini membuat jalur inovasi China menjadi kompleks: negara itu memang bisa menarik talenta kelas dunia — setidaknya kasat mata — tetapi mempertahankan kreativitas jangka panjang jauh lebih sulit,” ujar Lee.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan