Daya beli menurun, resto-resto di China perang harga beri diskon jor-joran. Apa dampaknya bagi bisnis?
Dari hotpot sampai kopi, berbagai jenama F&B di China memangkas harga demi memikat pelanggan di tengah penurunan daya beli. Pengamat mempertanyakan apakah cara ini efektif, apa risikonya?
Antre empat jam di restoran hotpot saat akhir pekan adalah hal biasa di Guangzhou, kota kuliner-nya China.
Tapi meski lama menunggu, pelanggan seperti Sammy Chen tidak kehilangan selera makannya. Paling tidak seminggu sekali mahasiswa 22 tahun ini bersantap di Song Hotpot Factory, sebuah restoran yang dikelola perusahaan makanan besar Jiumaojiu.
Bukan hanya soal makanannya, yang membuat Chen rela datang adalah potongan harga yang ditawarkan resto hotpot ala-Chongqing itu. Diskon semacam ini banyak dilakukan oleh jenama makanan dan minuman (F&B) di China, yang menurut para pengamat menunjukkan sengitnya perang harga antar resto.
Song Hotpot Factory telah memangkas harga mereka sejak Juni. Harga minimal untuk kuah kaldu, menu daging dan sayuran didiskon hingga masing-masing menjadi 8 yuan, 9,9 yuan dan 6,6 yuan.
"Harganya turun menjadi sekitar setengah dari sebelumnya. Saat saya makan di sana pada 2022, harga rata-rata per orang sekitar 150 yuan. Namun tahun ini, setelah didiskon, setiap orang hanya perlu mengeluarkan kurang dari 100 yuan sampai kenyang," kata Chen kepada CNA.
"Harga baru ini jelas berhasil menarik banyak pengunjung. Saat jam makan yang ramai, restorannya penuh, daftar tunggu bisa puluhan hingga ratusan meja," kata dia.
Perlambatan ekonomi dan naiknya harga-harga di China membuat warganya melakukan penghematan. Menurut para pengamat, hal ini yang kemudian menciptakan lingkungan kompetitif di antara restoran dengan menawarkan potongan harga.
Namun pengamat juga mengatakan, potongan harga yang terus menerus tidak realistis dari sudut pandang bisnis. Resto juga harus memastikan standar pelayanan dan kualitas makanan tetap terjaga, jika tidak reputasi mereka bisa hancur.
"Pemenangnya adalah mereka yang bisa dengan cepat beradaptasi ke tren industri baru dan responsif pada permintaan konsumen sembari tetap menjaga kualitas pelayanan," kata Daniel Zipser, konsultan retail dan konsumen Asia di McKinsey.
PENCARIAN RESTO YANG TERJANGKAU
Pemotongan harga untuk menarik pengunjung telah dilakukan oleh berbagai jenama F&B di tengah persaingan yang kian ketat, mulai dari menu hotpot hingga kopi.
Di antaranya adalah cabang restoran kelas-atas Hefu Noodle yang mengumumkan diskon pada Juni. Menurut laporan Beijing Business Today, semangkuk mie di restoran ini harganya antara 16 hingga 29 yuan untuk member, hampir setengah dari harga 40 hingga 50 yuan saat gerai mereka pertama kali buka pada 2012.
Sementara itu, jaringan hotpot ala Taiwan yang populer, Xiabu Xiabu, pada Mei lalu mengumumkan bahwa harga menu baru mereka akan "kembali seperti dulu".
Situs berita lokal Guangzhou Daily melaporkan, rata-rata harga menu di restoran ini turun lebih dari 10 persen, dengan harga seporsinya rata-rata 58 yuan, sementara harga makanan dua porsi 130 yuan.
Perkembangan ini telah memicu diskusi di platform media sosial Tiongkok. "Harga hotpot turun lebih cepat daripada panas kuahnya," kata seorang netizen.
Langkah ini juga diikuti oleh jenama cepat saji asing. Perusahaan makanan raksasa asal AS Burger King membanderol seporsi burger khas mereka dengan harga 9,9 yuan, hampir sepertiga dari harga aslinya, seperti dilaporkan Global Times pada 4 Agustus lalu.
Perang harga juga sengit pada sektor sajian kopi di China. Reuters melaporkan Mei lalu bahwa Starbucks menambah jumlah kupon diskon mereka di negara itu. Padahal sebelumnya pada Januari, CEO Starbucks China Belinda Wong telah mengatakan bahwa mereka "tidak tertarik terlibat perang harga".
Menurut pengamat, potongan harga makanan dan minuman ini dipicu oleh konsumen yang menahan diri untuk tidak berbelanja di tengah perekonomian yang melandai di China, negara dengan perekonomian kedua terbesar dunia.
Menurut laporan hasil survei Daxue Consulting April lalu, tren saat ini di Tiongkok adalah konsumen mencari harga yang termurah.
Dari survei yang melibatkan 1.000 responden, 32,6 persen di antaranya mengatakan prioritas utama mereka dalam memilih restoran adalah harga yang terjangkau. Ketersediaan menu adalah prioritas kedua, disusul oleh suasana restoran.
Ashley Dudarenok, pendiri konsultan digital yang berfokus pada China, ChoZan, memprediksi tren penghematan saat ini bukanlah fase yang sebentar dan merupakan respons dari perubahan pasar.
Selain itu, dia juga mencatat bahwa preferensi konsumen di pasar F&B China bervariasi tergantung individu dan kelompok usia.
Survei perusahaan konsultan McKinsey & Company pada akhir 2023 menemukan bahwa perilaku konsumen berbeda secara signifikan di antara kelompok usia yang berbeda di perkotaan China.
Masyarakat GenZ yang berusia antara 18 hingga 25 tahun memperlihatkan pandangan yang lebih optimistis terkait masa depan keuangan mereka. Hal ini membuat mereka rela merogoh kocek lebih dalam untuk pelayanan berkualitas yang menawarkan nilai sosial dan emosional.
Sebaliknya, kelas menengah yang jumlahnya meningkat di kota lapis pertama dan kedua, terutama di usia 26 hingga 41 tahun, cenderung pikir panjang dalam hal pengeluaran, terutama untuk belanja makan dan minum.
Hal ini diakibatkan adanya komitmen keuangan mereka, seperti pendidikan anak atau membayar cicilan, kata Zipser.
AKANKAH STRATEGI INI BERTAHAN LAMA?
Para ahli mengatakan, langkah pemberian diskon oleh restoran di China ini tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Kepada CNA, Zipser mengatakan bahwa dampak diskon terhadap loyalitas pelanggan dan keuntungan jangka panjangnya masih belum jelas, apalagi jika potongan harga berdampak pada operasional.
"Konsumen mencari pilihan yang paling menguntungkan, tetapi jika mengorbankan kualitas layanan maka akan dengan cepat merusak citra sebuah restoran," katanya.
Hal ini diakui oleh Chen yang sudah langganan hotpot di Guangzhou. Dia mengatakan, restoran yang memotong harga jarang mempertahankan takaran porsi menu meski kualitasnya tetap sama.
"Misalnya, setelah Tai Er (restoran yang terkenal dengan asinan ikan khas China) menurunkan harga, ukuran porsi hidangan asinan ikan khasnya menjadi lebih kecil," katanya.
Jiumaojiu mengakui bahwa menurunkan harga tidak akan berkelanjutan bagi bisnis mereka. Dilaporkan koran The Securities Times pada 19 Juli lalu, perusahaan F&B ini mengatakan mereka akan "terus menyeimbangkan antara rasio harga dengan kualitas".
Hal yang sama disampaikan oleh perusahaan F&B Haidilao, yang mengatakan bahwa penurunan harga bukanlah faktor utama meningkatkan bisnis karena akan berdampak pada naiknya pengeluaran.
"Saya rasa kita harus beralih dari pandangan bahwa menurunkan harga akan secara otomatis menarik lebih banyak pelanggan. Saya merasa pandangan itu cacat, karena bersantap di resto adalah soal mendapatkan pengalaman yang menyeluruh," kata sumber Haidilao yang tidak ingin disebut namanya kepada CNA.
Dia mengatakan, banyak unsur yang membuat seseorang ingin bersantap di sebuah restoran bukan sekadar harganya yang murah.
"Pelayanan adalah sebuah konsep yang luas. Termasuk misalnya memakai cara tradisional seperti pelayan menuangkan teh ke gelas Anda, atau menyanyikan lagu ulang tahun, itu akan membuat Anda senang secara emosional."
BERTAHAN LEWAT INOVASI
Para pengamat mengatakan bahwa inovasi adalah faktor kunci bagi industri F&B untuk bisa bertahan, atau bahkan berjaya di tengah pasar yang lesu.
Menurut data Biro Statistik Nasional China, sepanjang 2023 ada 1,36 juta restoran yang tutup dan dicabut izinnya.
Pada kuartal pertama 2024, sekitar 460.000 restoran telah dicabut lisensinya, dengan peningkatan sekitar 230 persen dari tahun ke tahun dalam hal penutupan restoran. Pada Maret saja, 180.000 restoran telah tutup.
Menurut Dudarenok, yang paling terpuruk sejak 2023 adalah restoran kelas-atas di China. Hal ini, kata dia, disebabkan berkurangnya jamuan makan pebisnis, penurunan kunjungan ke mal dan penghematan untuk pengeluaran hiburan.
Akibatnya beberapa restoran kelas-atas terpaksa tutup, seperti Refer dan TIAGO di Beijing. Restoran Italia berbintang Michelin di Beijing, Opera Bombana, juga tutup pada April lalu. Belakangan diketahui, resto ini tidak mampu membayar sewa tempat.
Kendati demikian, industri F&B di China secara umum masih terus hidup dan bertumbuh. Menurut data, pendapatan nasional di sektor ini pada bulan Juni saja mencapai 460,9 miliar yuan, naik 5,4 persen. Dari Januari ke Juni, sektor ini menghasilkan total 2,62 triliun yuan, naik 7,9 persen.
Usaha-usaha baru juga bermunculan. Di antara hampir 15,73 juta perusahaan makanan di seluruh China, lebih dari 4,1 juta-nya adalah perusahaan baru yang terdaftar pada 2023, lebih dari 80 persen di antaranya adalah perusahaan swasta.
"Para pendatang baru menghadapi hambatan yang lebih tinggi, mereka harus unggul dalam hal produk, harga, rantai pasokan, dan manajemen untuk bisa berhasil. Hal ini memunculkan kondisi 'yang kuat yang bertahan', yaitu ketika perusahaan yang kuat kian memperkuat posisinya, sementara yang lemah susah payah berjuang," kata Dudarenok.
Sebagai contoh, peritel makanan cepat saji yang berbasis di Shanghai, Yum China - yang mengoperasikan KFC dan Pizza Hut di China - membukukan rekor pendapatan tertinggi di kuartal kedua sebesar US$2,68 miliar, naik 1 persen tahun sebelumnya di tengah dinamika ekonomi yang ada saat ini.
"Fokus kami yang tajam pada value-for-money dan produk-produk baru yang inovatif telah berjalan dengan baik, mendorong pertumbuhan transaksi di toko yang sama," kata CEO Yum China, Joey Wat, dalam laporan keuangannya.
Yum China berhasil melakukan terobosan pada model bisnis mereka, termasuk konsep gerai Pizza Hut WOW yang menarik perhatian para pengunjung yang datang sendirian, anak-anak muda, dan pelanggan yang tengah berhemat.
Sementara pemain lainnya di industri ini menyikapi tantangan dengan membuka model waralaba atau ekspansi keluar negeri untuk mencari pasar baru.
MENCARI PELANGGAN SETIA
Restoran-restoran di China akan sangat bergantung pada pelanggan setia yang berulang kali datang, kata Dudarenok.
"Sebelum memancing datangnya pelanggan dengan potongan harga, terlebih dulu restoran harus memberikan mereka pengalaman bersantap yang melebihi ekspektasi, membuat mereka merasa tidak rugi keluar uang sehingga menjadi pelanggan setia," kata dia.
"Bahkan jika pun nantinya tidak akan ada lagi harga diskon, konsumen seperti ini tetap akan datang untuk makanan berkualitas dan pengalaman bersantap."
Pengalaman berkualitas inilah yang coba ditawarkan oleh BASTARD, retoran China modern di Shanghai. Muncul di masa pandemi, restoran ini menawarkan harga yang cukup mahal, sekitar 280 yuan (Rp600 ribu) hingga 350 yuan (Rp750 ribu) per orangnya.
"Ekonomi menurun di China saat ini sehingga perang harga semakin sengit. Kami banyak dengar konsumen menggunakan kata 'hemat' ketika mencari restoran," kata pemiliknya, Jiro Hsu.
Namun, kepada CNA dia mengatakan bahwa mereka tetap mempertahankan harga.
"Kami tidak mampu (memangkas harga) seperti merek-merek resto besar, jadi memberikan diskon hanya akan membuat resto kami lebih buruk."
"Kami meyakini akan konsep dan produk yang berkualitas."
Tidak semua konsumen mencari harga yang murah sebagai patokan menentukan restoran, salah satunya Damien Cabral.
"Saya memilih berdasarkan rating dan komentar, lalu menu andalannya. Saya suka mencoba menu baru dan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya," kata warga Australia berusia 30 tahun yang pindah ke Shanghai enam tahun lalu ini.
Meski banyak pilihan untuk itu di Shanghai, namun Cabral mengatakan tidak semua orang memiliki pandangan seperti dirinya.
"Mereka tidak punya cukup uang lebih untuk melakukannya," kata dia.
Chen, mahasiswa dan penggemar hotpot, sependapat.
"Pengalaman baru lebih penting. Saya pilih restoran yang belum pernah saya coba. Lalu kedua, adalah kebersihan restorannya dan penilaian menu dari pelanggan lain.
"Setelah itu saya menilai dari pelayanan staf restoran terhadap tamu dan musik yang dimainkan. Lalu pertimbangan terakhir apakah harganya masuk akal," kata dia.
"Tapi tentu saja, yang saya pedulikan adalah kesepadanan itu semua dengan harga yang harus dibayar - apakah harganya sesuai dengan pelayanannya.
"Di China ada pepatah mengatakan 'makanan adalah kebutuhan tertinggi manusia'. Bagi saya makanan tidak hanya memberikan energi fisik, tapi juga energi spiritual. Makanan yang lezat membuat saya bahagia."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.