Rencana Malaysia merombak sistem rekrutmen pekerja migran yang bermasalah menuai penentangan
Pemerintahan Anwar Ibrahim ingin merombak platform rekrutmen pekerja migran yang dianggap bermasalah. Namun menurut sumber CNA, rencana tersebut mendapat penolakan keras dari perusahaan IT pembuatnya.
KUALA LUMPUR: Rencana ambisius pemerintahan Anwar Ibrahim merombak kebijakan perekrutan tenaga asing, terutama untuk pekerja asal Bangladesh, mendapat penolakan dari perusahaan IT dan para pejabat yang menentang perubahan.
Menurut sumber pemerintah kepada CNA, penolakan reformasi tenaga kerja migran datang dari Bestinet Sdn Bhd, perusahaan swasta yang ditengarai punya hubungan erat dengan politisi papan atas Malaysia.
Kisruh ini terjadi terkait rencana Kementerian dalam Negeri Malaysia mengganti sistem teknologi informasi milik Bestinet yang mengelola pergerakan pekerja asing masuk Malaysia. Dalam tinjauan pemerintah, sistem itu disebut salah urus dan kerap disalahgunakan.
Bestinet mengelola Sistem Manajemen Pekerja Asing Terpusat (FWCMS), sebuah platform tunggal yang digunakan Departemen Imigrasi untuk pengajuan visa bagi 15 negara pengekspor tenaga kerja ke Malaysia. Sumber CNA mengatakan, kontrak Bestinet dengan pemerintah untuk sistem ini akan berakhir pada akhir Mei.
Sumber mengatakan, manajemen perusahaan tersebut, termasuk pendirinya Mohamed Amin Abdul Nor, dan agen-agen penyalur tenaga kerja tengah aktif melobi pemerintahan Anwar. Salah satunya dengan cara mendekati koneksi mereka di jajaran elite politik Malaysia agar mendapatkan FWCMS mendapatkan perpanjangan kontrak.
Menurut para aktivis buruh dan pejabat pemerintah yang mengetahui masalah ini, Bestinet hendak menggagalkan rencana pemerintah yang ingin memperkenalkan mekanisme baru rekrutmen tenaga asing.
Pemerintah Malaysia dalam setahun terakhir tengah mengembangkan sistem baru berupa portal IT yang akan membuat proses rekrutmen tenaga kerja migran lebih murah, transparan, dan mengurangi keterlibatan pihak ketiga.
Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail tidak merespons pertanyaan CNA, tapi penasihat senior di kementeriannya mengatakan masalah ini akan dibicarakan pada rapat kabinet mingguan sebelum Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengambil keputusan.
Para petinggi Bestinet juga menolak mengomentari artikel ini.
PERTARUHAN YANG BESAR BAGI BESTINET DAN ANWAR
Bestinet adalah pemain penting dalam sektor rekrutmen tenaga kerja asing. Dengan nilai keuntungan mencapai miliaran ringgit untuk rekrutmen tenaga kerja asing di Malaysia, mengamankan perpanjangan kontrak FWCMS menjadi sangat krusial bagi Bestinet.
Berdasarkan data Komisi Perusahaan Malaysia, pada akhir 2022 Bestinet mengumumkan laba bersih mereka mencapai RM85,04 juta (hampir Rp300 miliar), meningkat jauh dari RM704.432 pada tahun sebelumnya.
Sama seperti Bestinet, reformasi di sektor tenaga kerja asing juga sama pentingnya bagi pemerintahan Anwar.
Malaysia, sebagai negara yang perekonomiannya bergantung pada ekspor dan masuk daftar 30 negara dengan nilai perdagangan terbesar, telah merekrut pekerja asing sejak awal 1990-an. Ada total 14,5 juta tenaga kerja di Malaysia, dan sekitar 30 persennya adalah pekerja migran.
Jika termasuk para pekerja migran yang tak tercatat, jumlah totalnya bisa mencapai 38 persen, atau sekitar 5,5 juta berdasarkan perhitungan tidak resmi.
Industri perekrutan pekerja migran di Malaysia telah lama menuai kecaman dari dalam dan luar negeri, karena dianggap sarat kolusi antara politisi, agen penyalur, perusahaan perekrutan, calo dan majikan yang eksploitatif.
Akibatnya, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan Malaysia sebagai negara dengan kemajuan yang buruk dalam menuntaskan masalah perdagangan manusia, seperti halnya China dan Korea Utara.
Sejak Desember tahun lalu, Malaysia juga kedatangan gelombang pekerja asal Bangladesh yang termakan penipuan pekerjaan palsu. Kelompok HAM memperkirakan jumlah mereka mencapai puluhan ribu orang.
Bulan lalu, para pakar dari PBB mengecam pemerintah Malaysia atas derita yang dialami para pekerja asal Bangladesh.
Para pakar PBB mengatakan, jaringan kriminal yang beroperasi antara Malaysia dan Bangladesh telah menghasilkan uang dalam jumlah besar dari rekrutmen palsu yang memakan korban para pekerja migran.
Mereka ditipu dengan diiming-imingi bekerja di perusahaan yang ternyata fiktif. Para calon pekerja dipaksa membayar ongkos perekrutan dengan harga mahal, yang akhirnya membuat mereka terjerat utang, kata para pakar.
"Kondisi para pekerja migran yang tinggal di Malaysia selama beberapa bulan atau lebih, tidak jelas dan tidak manusiawi," kata para pakar. "Malaysia harus segera mengambil langkah untuk mengatasi situasi kemanusiaan yang mengenaskan ini dan melindungi mereka dari eksploitasi, kriminalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya."Â
Beberapa hari setelahnya, Bestinet mengeluarkan pernyataan yang membela sistem FWCMS mereka. CEO Bestinet, Ismail Mohd Noor, mengatakan bahwa kasus-kasus yang menimpa pekerja Bangladesh "dapat dihindari dengan penggunaan sistem FWCMS yang tepat."
Dia melanjutkan, FWCMS bekerja dengan mendigitalisasi dan memusatkan proses perekrutan dan manajemen pekerja migran. Sistem ini, kata dia, memberikan visibilitas dan ketertelusuran sehingga dapat memitigasi eksploitasi dan pelanggaran.
DIGERUDUK PADA 2023
Bestinet memang dikenal sarat dengan kontroversi.
Pada 2018, perusahaan ini dituduh mengambil untung hingga RM185 juta (Rp636 miliar) dari para warga Nepal yang ingin bekerja di Malaysia. Pemerintah Malaysia langsung menangguhkan operasional Bestinet, namun membebaskannya dari semua tuduhan setahun kemudian.
Pada Mei 2023, Komisi Antikorupsi Malaysia (MACC) meringkus beberapa pejabat dari Kementerian Sumber Daya Manusia yang dituduh terlibat dalam korupsi terkait rekrutmen pekerja migran Bangladesh. Beberapa pekan kemudian, MACC menggeruduk Bestinet dan menginterogasi beberapa petingginya, termasuk salah satu pemegang saham utamanya, Mohamed Amin.
Sejauh ini belum ada hasil dari penyelidikan MACC tersebut, namun pemerintah Anwar telah mengalihkan pengelolaan ekosistem pengadaan pekerja migran dari Kementerian Sumber Daya Manusia menjadi di bawah pengawasan langsung Menteri Dalam Negeri Saifuddin.
Petinggi Bestinet Mohamed Amin merupakan warga negara Bangladesh yang mengambil kewarganegaraan Malaysia. Dia disebut-sebut dekat dengan pejabat tinggi negara dan politisi Malaysia, termasuk Wakil Perdana Menteri Ahmad Zahid Hamidi. Ketika Ahmad Zahid menjabat menteri dalam negeri di bawah pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, Bestinet berhasil mendapatkan kontrak pengelolaan platform FWCMS.
Namun hubungan antara Bestinet dengan Kementerian Dalam Negeri di bawah Saifuddin jauh dari kata nyaman.
Saifuddin blak-blakan akan ketidakpuasannya terhadap sistem rekrutmen pekerja migran yang ada saat ini. Pada kunjungan resmi ke Bangladesh pada Februari tahun lalu, Saifuddin bertemu dengan anggota Asosiasi Agen Rekrutmen Internasional Bangladesh (BAIRA) di Dhaka. Dia mengaku tidak puas dengan sistem rekrutmen yang ada saat ini dan akan menghapuskan unsur-unsur yang rentan korupsi di dalamnya.
BAIRA memiliki lebih dari 1.500 anggota di Bangladesh, namun hanya ada 100 agen yang dekat dengan Bestinet dan terakreditasi oleh pemerintah Malaysia. Ke-100 agen ini yang melakukan perekrutan pekerja dari Bangladesh ke Malaysia.
Ketua BAIRA Mohammed Abul Basher kepada CNA mengatakan bahwa pemerintahnya bernegosiasi langsung dengan Malaysia terkait perombakan proses rekrutmen. Namun dia menolak menjelaskannya lebih lanjut.
ULAH AGEN DAN CALO NAKAL
Sistem rekrutmen pekerja asing di Malaysia sudah lama menjadi sarang bagi agen-agen dan calo nakal yang bekerja sama dengan oknum di negara-negara penyedia.
Untuk menertibkan sektor rekrutmen tenaga kerja, pada 2013 pemerintahan PM Najib - yang kini dipenjara karena korupsi - memberikan kontrak kepada Bestinet untuk membantu Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sumber Daya Manusia untuk merekrut pekerja migran bagi perusahaan-perusahaan Malaysia.
Di bawah platform FWCMS, perusahaan dari berbagai sektor bisa mengajukan permohonan tenaga kerja asing, dan Bestinet akan membantu penyalurannya dari 15 negara, dia antaranya Indonesia, Bangladesh, Nepal, Filipina, Myanmar, India dan Vietnam.
Tapi FWCMS disebut salah kelola, menyebabkan terjadinya eksploitasi tenaga kerja asing oleh para oknum di negara pengirim maupun penerima.
Aktivis buruh mengatakan, masalah ini terbanyak menimpa para pekerja dari Bangladesh.
Diperkirakan ada sekitar 400 ribu warga Bangladesh yang dipekerjakan di berbagai sektor di Malaysia. Jumlah ini bisa empat kali lipat lebih banyak jika pekerja ilegal juga dihitung, kata para aktivis.
Modus yang biasa digunakan, calon pekerja Bangladesh harus membayar RM20.000 (Rp98 juta) kepada beberapa oknum untuk bisa bekerja di Malaysia. Biasanya uang dalam jumlah besar ini mereka dapatkan dengan cara meminjam dari agen lain.
Pinjaman ini yang kemudian membuat para pekerja Bangladesh terjerat utang selama bertahun-tahun. Mereka harus rela menempuh jam kerja panjang dan tinggal di kondisi yang buruk untuk bisa membayarnya.
Meski Bestinet diwarnai kontroversi, namun di bawah pemerintahan Najib ketika itu, kontrak perusahaan itu untuk mengelola FWCMS diperpanjang pada Januari 2018 untuk enam tahun.
Kontrak tersebut memicu pertanyaan setelah terjadi pergantian pemerintahan usai pemilu Mei 2018.
Pemerintah yang baru lantas membentuk satuan tugas untuk meninjau protokol pengelolaan pekerja asing. Hasilnya, seluruh sistem rekrutmen untuk pekerja Bangladesh penuh dengan salah manajemen dan korupsi. Satgas tersebut juga merekomendasikan platform yang dioperasikan oleh Bestinet direformasi.
Namun gejolak politik di Malaysia yang diwarnai tiga kali pergantian pemimpin sampai kepada Anwar Ibrahim pada 2022, membuat Bestinet bisa melenggang.
Pejabat pemerintah yang terlibat dalam rencana reformasi tenaga kerja mengatakan bahwa Menteri Dalam Negeri Saifuddin condong memilih sistem yang baru.
Sistem baru nantinya dirancang untuk membatasi keterlibatan pihak ketiga dan menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja di berbagai sektor, seperti konstruksi, perkebunan dan jasa perawatan. Kebutuhannya nanti juga akan disesuaikan dengan penawaran dari negara-negara pengirim.
Para pendukung skema yang baru ini mengatakan bahwa jika sistem ini diterapkan maka ongkos rekrutmen pekerja dari Bangladesh bisa turun hingga di bawah RM10.000 per orangnya.
MALAYSIA DALAM SITUASI GENTING?
Charles Santiago, mantan anggota parlemen Malaysia yang terlibat dalam rencana perombakan sistem rekrutmen pekerja migran, mengatakan Malaysia dalam situasi yang sangat genting dan pemerintah perlu segera mereformasi sektor ini dan menghilangkan dominasi Bestinet.
"Pernyataan dari badan PBB adalah sinyal jelas bahwa negara ini sudah kelewat batas dalam masalah kerja paksa terhadap para pekerja migran," kata Santiago kepada CNA.
Andy Hall, aktivis buruh asal Nepal yang memperjuangkan nasib pekerja negaranya di Malaysia mengamininya. Dia mengatakan, "Sistemnya sudah rusak dan situasi di Malaysia bukan (sekadar) masalah hak asasi manusia, tapi sudah bersinggungan dengan perbudakan."
Santiago mendorong pemerintah Malaysia untuk menangguhkan penerimaan pekerja dari negara Asia Selatan sampai masalah rekrutmen terselesaikan.
"Bukan hanya sistem rekrutmen pekerja Bangladesh di sini (Malaysia) yang jadi masalah, sistem di sana (Bangladesh) juga sangat busuk karena terlalu banyak lapisan agen pengirim dan calo yang mengeksploitasi pekerja," kata dia.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat rencananya akan segera merilis laporan tahunan perdagangan manusia (TIP), yang akan membuat nama Malaysia semakin buruk dalam masalah rekrutmen.
Hall mengatakan, Malaysia telah gagal dalam mengatasi masalah serius pada proses rekrutmen pekerja migran, meski berulangkali sudah diberi peringatan oleh para pakar PBB dan lembaga internasional lainnya.Â
Hal ini, kata Hall, akan membuat Malaysia turun ke tingkat 3 dalam daftar pengawasan TIP dari yang saat ini tingkat 2. Berada di tingkat 3, Malaysia terancam dijatuhi sanksi internasional.
Laporan TIP memberikan penilaian terhadap evaluasi tren perdagangan manusia global dan fokus pada upaya pemerintah sebuah negara dalam mengadili pelakunya, serta mencegah dan melindungi pekerja migran.
Malaysia sempat turun ke tingkat 3 dalam laporan itu pada 2021 dan 2022, menyebabkan lima perusahaan diganjar larangan ekspor ke AS.
Perusahaan tersebut di antaranya produsen sarung tangan karet Glove and Supermax, dan perusahaan perkebunan Sime Darby dan FGV Holdings Bhd. Larangan ekspor terhadap perusahaan-perusahaan itu telah dicabut.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.Â