Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

FOKUS: Dibakar atau dikubur? Rencana Malaysia bangun insinerator sampah dirundung protes keras warga

Rencana pemerintah Malaysia membangun fasilitas insinerator baru menuai kekhawatiran dari warga dan para pegiat lingkungan. Namun menurut ahli, alat ini dibutuhkan untuk mengatasi masalah sampah yang kian menggunung.
 

FOKUS: Dibakar atau dikubur? Rencana Malaysia bangun insinerator sampah dirundung protes keras warga

Fasilitas pengolahan sampah-menjadi-energi (WTE) sedang dibangun di Jeram, Selangor. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

KUALA LUMPUR: Di kampung halamannya di Batu Arang, Selangor, Ravi Shankar menggelar aksi menentang rencana pemerintah.

Pria 65 tahun ini dan warga lainnya menolak rencana pembangunan insinerator, atau fasilitas pengolahan sampah-menjadi-energi (waste-to-energy/WTE) Sultan Idris Shah, di dekat permukiman mereka.

Aksi serupa dilancarkan warga di daerah sekitarnya, seperti Tasik Puteri, Kota Putri dan Rawang. Mereka memprotes penetapan lokasi insinerator itu berada.

Menurut rencananya, fasilitas itu akan dibangun dekat bekas kolam tambang yang sudah ditutup.

"Masih banyak rongga-rongga bawah tanah di sini, dan kami khawatir air akan dibutuhkan untuk mendinginkan insinerator, sehingga harus dipompa keluar dan menyebabkan tanahnya tidak stabil," kata Ravi.

"Kekhawatiran utama kami ada pada lokasinya, sangat dekat dengan area permukiman," tambah dia.

Sengketa di Batu Arang adalah gambaran akan krisis yang lebih luas di Malaysia dalam penanganan limbah padat yang volumenya terus meningkat.

Masalah ini menjadi semakin mendesak karena tempat pembuangan akhir (TPA) di Malaysia diperkirakan akan mencapai puncak kapasitasnya di tahun 2050.

Para ahli mengatakan bahwa insinerator WTE diperlukan untuk mengatasi masalah sampah di Malaysia. Namun pegiat lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyatakan kekhawatiran akan potensi masalah kesehatan yang muncul dan beberapa WTE disebut terlalu dekat dengan permukiman warga.

Bagi Ravi, aksi protesnya tidak hanya dipicu oleh kekhawatiran akan bahaya di masa depan, melainkan juga peristiwa di masa lampau.

Lebih dari tiga dekade lalu, kota Batu Arang di Selangor mengalami penurunan muka tanah dan amblas (sinkhole). Saat itu, Ravi adalah salah satu orang yang memprotes perusahaan semen yang dituduh jadi penyebab berbagai insiden tersebut.

Perusahaan Associated Pan Malaysia Cement Company diketahui memompa air dari bekas kolam tambang untuk operasionalnya, dan hal inilah yang diduga menjadi penyebab runtuhnya rongga-rongga yang berada di bawah tanah kota tersebut.

Pemerintah Selangor saat itu bahkan sempat memperingatkan warga bahwa kawasan tersebut tidak aman dan mereka mungkin harus direlokasi.

Serangkaian aksi protes membuat perusahaan akhirnya menghentikan kegiatan pemompaan air, dan sejak saat itu, tidak ada lagi laporan tanah amblas di Batu Arang — kota yang pada tahun 2011 ditetapkan sebagai kota warisan budaya oleh Pemerintah Negeri Selangor dan diakui sebagai bagian dari Geopark Gombak-Hulu Langat.

"Apa yang terjadi hari ini membawa kembali kenangan di masa lalu," kata Ravi, mantan petugas pengawas di pabrik amunisi, kepada CNA baru-baru ini, di tangannya dia memegang kliping koran tahun 1991 soal insiden tersebut.

Warga Batu Arang, Ravi Shankar, menunjukkan kepada CNA kliping koran yang memuat insiden di Batu Arang. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Ia bersama warga lainnya khawatir proyek patungan senilai RM4,5 miliar (sekitar Rp17 triliun) antara YTL Power dan perusahaan pengelola limbah KDEB itu akan mengulang kembali insiden di masa lalu.

Didorong oleh pola konsumsi yang terus berkembang, pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang pesat, peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta perubahan gaya hidup konsumen, Malaysia kini menghadapi beban yang makin berat akibat meningkatnya volume sampah.

Menurut Menteri Perumahan dan Pemerintah Daerah, Nga Kor Ming, timbunan sampah pada tahun lalu diperkirakan mencapai 15,2 juta ton—naik 20 persen dibandingkan 12,63 juta ton pada tahun 2012.

Dengan proyeksi kenaikan tahunan antara 0,9 hingga 1,2 persen, Nga menyampaikan dalam rapat dengan parlemen pada Desember lalu bahwa Malaysia bisa menghasilkan lebih dari 17 juta ton sampah per tahun pada 2035.

Meski para pegiat lingkungan dan LSM telah menyuarakan kekhawatiran terhadap keberadaan insinerator, para pakar pengelolaan limbah menyatakan bahwa fasilitas WTE bukanlah sekadar pilihan, melainkan kebutuhan jangka panjang.

“Pertanyaannya bukan apakah kita membutuhkannya atau tidak. Pertanyaannya adalah di mana kita akan membangunnya,” kata Agamuthu Pariatamby, pakar pengelolaan limbah dari Jeffrey Sachs Center on Sustainable Development di Malaysia, kepada CNA.

Fasilitas WTE yang diusulkan di Batu Arang akan mengelola limbah dari enam wilayah di Selangor, yaitu Petaling Jaya, Subang Jaya, Shah Alam, Ampang Jaya, Hulu Selangor, dan Selayang.

Pada 2022, KDEB melaporkan bahwa mereka mengumpulkan rata-rata 6.012 ton sampah per hari dari seluruh wilayah Selangor, di mana enam wilayah di atas menyumbang 3.526 ton — atau hampir 60 persen dari total sampah yang dikumpulkan.

Fasilitas ini disebut mampu mengolah 2.400 ton sampah per hari sekaligus menghasilkan 58 megawatt listrik, setara dengan konsumsi listrik sekitar 50.000 rumah tangga, menurut analisis dampak lingkungan (AMDAL) dari Departemen Energi Malaysia.

Lokasi fasilitas WTE yang diusulkan di Batu Arang, Selangor, berada di samping bekas kolam tambang. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

APA YANG SALAH DENGAN TPA?

Saat ini, Malaysia masih sangat bergantung pada TPA — baik yang bersanitasi maupun tidak — sebagai metode utama untuk membuang sampah.

Menurut Agamuthu, terdapat 142 TPA di Malaysia, namun hanya 21 di antaranya yang merupakan TPA bersanitasi. Sementara itu, lima lainnya adalah TPA khusus untuk limbah konstruksi dan pembongkaran bangunan.

TPA bersanitasi adalah tempat pembuangan yang dirancang khusus untuk memisahkan limbah dari lingkungan sekitarnya dengan menggunakan pelapis dasar, penutup, dan sistem pengumpulan lindi (air resapan), guna meminimalkan pencemaran serta risiko kesehatan. Namun, sistem ini jauh lebih mahal dibandingkan TPA biasa yang tidak bersanitasi.

TPA Bukit Tagar sering dijadikan contoh pendekatan pengelolaan limbah yang lebih maju di Malaysia. Fasilitas ini mampu menangkap gas metana yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah dan mengubahnya menjadi listrik untuk disalurkan ke jaringan listrik nasional.

Bukit Tagar EnviroParks (BTEP), yang mengoperasikan TPA Bersanitasi Bukit Tagar, sebuah contoh yang sering disebut-sebut sebagai kemajuan dalam pengelolaan sampah. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Koh Chee Yong, direktur pelaksana Berjaya Enviroparks Sdn Bhd — operator TPA Bukit Tagar — mengatakan kepada CNA bahwa TPA tersebut menerima sekitar 2.721 ton sampah per hari dari Kuala Lumpur, serta dari distrik Selayang dan Hulu Selangor di Selangor.

Agamuthu lebih menyoroti 116 TPA tidak bersanitasi yang masih aktif serta lokasi pembuangan sampah ilegal di seluruh Malaysia. Ia menyatakan bahwa tidak ada perlindungan lingkungan yang memadai di lokasi-lokasi tersebut.

Ia menyoroti lindi, cairan tercemar yang dihasilkan dari rembesan air yang melalui sampah di TPA, sebagai salah satu tantangan utama dari terus membuang sampah di TPA tidak bersanitasi.

Ia mengatakan bahwa lindi yang tidak tertampung dari TPA telah mencemari air tanah, air permukaan—merusak kehidupan akuatik dan ekosistem—serta mutu tanah, yang berdampak pada pertumbuhan tanaman.

“Tempat pembuangan sampah ini merusak lingkungan, hanya saja orang tidak melihatnya. TPA berada jauh dari kota… Kamu tidak melihat lindinya. Itu mengalir di bawah tanah,” ujarnya.

“Dan kamu tidak bisa melihat biogasnya, karena tidak berwarna. Tapi itu bukan berarti tidak ada kerusakan.”

Jabatan Pengurusan Sisa Pepejal Negara yang mengurus sistem pembuangan sampah di Malaysia tidak menanggapi pertanyaan CNA terkait hal ini.

Pakar pengelolaan limbah Agamuthu Pariatamby dari Jeffrey Sachs Center on Sustainable Development di Malaysia. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

INSINERASI SAMPAH

Agamuthu juga mengatakan bahwa TPA umumnya membutuhkan lahan yang besar. Karena harga tanah yang mahal, sebagian besar TPA terletak jauh dari wilayah perkotaan.

“Di mana sampah dihasilkan? Kebanyakan di kota besar. Dan kota besar tidak punya lahan.

“Itulah sebabnya mereka harus mencari tempat sekitar 40km atau 45km jauhnya untuk membuang sampah ke TPA,” katanya.

“Jadi ini menjadi masalah. Harga tanah di dalam kota sangat tinggi. Dan… begitu TPA diletakkan jauh, biaya transportasi ikut naik.”

Menteri Perumahan dan Pemerintah Daerah, Nga Kor Ming, mengatakan kepada parlemen Malaysia pada Juli tahun lalu bahwa kementeriannya berencana memodernisasi pengelolaan sampah nasional dengan membangun 18 fasilitas WTE pada 2040. Ia tidak menyebutkan perkiraan biayanya.

Lokasi-lokasi tersebut adalah:

  • Kedah: Jabi dan Padang Cina
  • Johor: Bukit Payung, Seelong, dan Sedili
  • Pahang: Jabor-Jerangau dan Belenggu
  • Melaka: Sungai Udang
  • Selangor: Batu Arang, Jeram, Tanjung Dua Belas dan Rawang Dua
  • Penang: Pulau Burung
  • Perak: Lahat, Taiping, dan Manjung
  • Terengganu: Tertak Batu
  • Kelantan: Jedok

Malaysia saat ini memiliki lima insinerator skala kecil yang berlokasi di Pulau Langkawi, Pulau Tioman, Cameron Highlands, Pulau Labuan, dan Pulau Pangkor, tetapi fasilitas-fasilitas ini bukanlah WTE.

Insinerator terbesar yang ada di pulau Langkawi telah mengalami berbagai masalah selama bertahun-tahun dan saat ini tidak beroperasi.
 

Fasilitas WTE menghasilkan energi dari sampah yang tidak dapat didaur ulang dengan menggunakan metode pembakaran terkendali. Sampah-sampah tersebut dicampurkan menggunakan crane dan diangkut ke ruang pembakaran.

Sampah itu kemudian dibakar pada suhu tinggi — antara 850°C hingga 1.450°C — lalu panas yang dihasilkan digunakan untuk merebus air menjadi uap.

Di masa lalu, Malaysia harus membatalkan rencana pembangunan fasilitas WTE di kota Broga di Selangor pada 2007 dan di daerah Jinjang di Kuala Lumpur pada 2021 setelah menuai protes dari warga setempat.

Para pengkritik fasilitas WTE, seperti Greenpeace, menyatakan bahwa tinggal di dekat insinerator menimbulkan banyak bahaya kesehatan, dan bahkan insinerator WTE berteknologi tinggi sekali pun tetap melepaskan dioksin dan polutan lainnya ke udara.

Namun, Agamuthu mengatakan bahwa teknologi insinerasi telah berkembang dan sistem pembersih gasnya kini jauh lebih canggih dibanding sepuluh tahun lalu.

"Jadi secara sistematis semua zat dari gas buang seperti partikel padat, biogas, dioksin, dan polutan lainnya telah dihilangkan. Jadi gas yang akhirnya keluar jauh lebih bersih daripada udara di Kuala Lumpur," katanya.

"Kita sudah terlalu lama mengatakan 'tidak' pada fasilitas WTE," tambahnya.

Pakar pengelolaan sampah Theng Lee Chong menyampaikan pandangan yang sama. Dia mengatakan bahwa memiliki fasilitas WTE sudah tidak bisa dihindari lagi, bahkan negara seperti Jepang sudah memiliki insinerator di tengah permukimannya.

Ia mengaku pernah melihat insinerator yang terletak di sebelah taman kanak-kanak dan panti jompo di Jepang, bahkan menghasilkan air panas untuk mandi para lansia.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, terdapat 1.004 insinerator di negara tersebut hingga Maret 2024, 411 di antaranya mampu menghasilkan listrik.

Truk-truk membuang sampah di TPA bersanitasi di Bukit Tagar, Selangor. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Theng mengatakan bahwa sampah-sampah di TPA dikubur, namun itu tidak sepenuhnya bisa menghilangkan masalah.

"Sampah itu ada di bawah tanah dan kita tidak melihatnya, tapi akan tetap ada di sana selama ribuan tahun. Dengan insinerator, akan ada abu sebagai hasil buangannya, tapi volumenya berkurang hingga 90 persen, tergantung dari teknologinya," kata dia, seraya mencontohkan Singapura yang memiliki empat fasilitas WTE, dengan yang pertama mulai beroperasi sejak 1979.

Fasilitas-fasilitas WTE di Singapura semuanya berada di kawasan industri, dengan tiga berlokasi di Tuas dan satu di Senoko.

Abu dan limbah yang tidak dapat dibakar seperti lumpur kemudian dibuang ke TPA Semakau, sekitar 8km di selatan Singapura dan diperkirakan akan mencapai kapasitas maksimum pada tahun 2035.

Pemerintah Singapura tengah mengupayakan perpanjangan masa pakai tempat pembuangan tersebut melewati tahun 2035, serta melakukan penelitian dan pengembangan untuk memanfaatkan kembali sisa limbah seperti abu insinerasi.

Misalnya, sedang dikaji apakah abu insinerasi dan limbah yang tidak dapat dibakar dari TPA Semakau dapat digunakan sebagai bahan reklamasi dalam proyek pelabuhan Tuas.

Sementara itu, Singapura juga telah mulai memanfaatkan sebagian abu insinerasi menjadi NewSand untuk konstruksi beton non-struktural seperti trotoar dan bangku taman.

Fasilitas WTE semakin diminati di Asia Tenggara. Pada Maret lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan akan membangun 30 fasilitas WTE di kota-kota besar pada tahun 2029.

Thailand juga berencana menambah lebih banyak fasilitas WTE di negaranya, dengan setidaknya 25 sudah beroperasi pada tahun 2022.

Meskipun ada protes terhadap fasilitas-fasilitas tersebut di negara-negara ini di masa lalu, namun pemerintahnya tetap melanjutkan rencana pembangunan WTE mengingat volume sampah terus meningkat, seperti yang dialami Malaysia.

Menurut Theng, jika tempat pembuangan sampah di Malaysia akan digunakan lagi untuk tujuan lain di masa depan, maka diperlukan biaya remediasi.

Melakukan remediasi terhadap bekas TPA berarti memulihkan lokasi tersebut ke kondisi yang dapat digunakan kembali setelah sebelumnya penuh dengan limbah dan tertutup.

Ia juga menyoroti penderitaan besar masyarakat yang tinggal di dekat TPA, yang sering kali harus menanggung bau busuk, peningkatan populasi hama dan serangga, penurunan nilai properti, serta penurunan kualitas lingkungan tempat tinggal mereka.

Beberapa minggu lalu, dilaporkan bahwa warga Kampung Desa Makmur di Kota Tinggi, Johor, telah memprotes TPA Batu Empat, yang dianggap telah menyebabkan pencemaran bau yang parah selama hampir 20 tahun.

Menanggapi hal ini, Komite Perumahan dan Pemerintah Daerah Johor, Mohd Jafni Md Shukor, dilaporkan mendesak pemerintah negara bagian untuk mempercepat pembangunan fasilitas WTE di TPA Bersanitasi Bukit Payong dekat Batu Pahat.

Theng mengatakan bahwa pengelolaan sampah dan penggunaan teknologi bisa berbeda-beda tergantung wilayah. Selain itu, untuk mengoperasikan WTE secara berkelanjutan, fasilitas tersebut harus mengolah setidaknya 500 ton sampah setiap hari.

Namun, ia berharap pemerintah menjelaskan model pembiayaan jangka panjang untuk pembangunan fasilitas WTE, khususnya apakah akan melibatkan kemitraan antara sektor publik dan swasta, mengingat biaya pembangunan yang cukup besar.

“Bagaimana pemerintah akan menutup kekurangan pendanaan? Apakah konsumen harus membayar lebih untuk pengelolaan sampah? Hal ini belum dijelaskan,” ujarnya.

Seeram Ramakrishna, profesor dari Departemen Teknik Mesin di National University of Singapore, mengatakan kepada CNA bahwa fasilitas WTE adalah “batu loncatan” untuk menangani seluruh persoalan limbah.

Menurut Seeram, dibandingkan dengan tempat pembuangan sampah konvensional, fasilitas WTE menciptakan nilai dari limbah dengan menghasilkan energi, dan infrastruktur WTE yang berkembang di Singapura awalnya merupakan kebutuhan karena keterbatasan lahan.

Ia menambahkan bahwa meskipun WTE digunakan untuk membangkitkan energi, namun tetap harus dilakukan kontrol emisi yang ketat.

“Fasilitas WTE harus menjamin bahwa emisinya tidak membahayakan kesehatan manusia dan bahwa udara yang dilepaskan berkualitas tinggi – ini adalah harapan dasar,” ujarnya.

Tempat pembuangan sampah ilegal di Batu Arang, Selangor. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

DI MANA LOKASINYA?

Pertanyaan pentingnya, menurut Agamuthu, adalah soal lokasi fasilitas WTE, mengingat sentimen masyarakat adalah “asal jangan di dekat permukiman saya".

Jaringan Rawang Tolak Insinerator adalah sebuah LSM yang secara aktif memprotes dan menyuarakan kekhawatirannya terhadap rencana pembangunan insinerator di Batu Arang, dengan mengajukan keberatan kepada otoritas setempat.

Juru bicaranya, Abdul Hanan Abd Mokti, mengatakan kepada CNA bahwa lokasi insinerator yang diusulkan sangat dekat dengan permukiman warga kurang mampu.

“Pemilihan Batu Arang telah mengikuti tren global untuk menempatkan insinerator di dekat komunitas marjinal dan kurang mampu,” katanya, seraya menambahkan bahwa ada sekitar 100.000 warga yang tinggal dalam radius 5km dari lokasi yang diusulkan.

Ia juga mempertanyakan dasar pemilihan Batu Arang dan Rawang — yang berjarak sekitar 17km satu sama lain — sebagai lokasi dua insinerator WTE yang diusulkan. Warga khawatir wilayah tersebut akan dibanjiri truk sampah yang melintasi jalanan menuju insinerator.

“Mengapa begitu banyak proyek berisiko tinggi dan sangat beracun dikonsentrasikan di distrik yang sama?” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ada kekhawatiran nilai properti di daerah tersebut akan merosot karena proyek-proyek tersebut.

Menurut laporan penilaian dampak lingkungan dari Departemen Energi Malaysia yang dirilis 7 Mei lalu, sebanyak 91,3 persen responden survei pada tahun 2025 menyatakan menolak atau sangat menolak proyek Sultan Idris Shah, dibandingkan hanya 18,8 persen responden dalam survei pada tahun 2023.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa penurunan drastis dukungan terhadap proyek tersebut disebabkan oleh meningkatnya kesadaran publik tentang proyek tersebut.

Selebaran yang ditempelkan di dinding oleh sebuah LSM tentang penolakan pembangunan insinerator di Jeram, pedalaman Selangor. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Sebuah fasilitas WTE sedang dibangun di TPA bersanitasi Jeram di Kuala Selangor. Namun, berbeda dengan proyek WTE lainnya, tidak banyak penolakan yang tercatat terhadap proyek ini.

Lokasinya sekitar 5 km dari area permukiman terdekat dan dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit. Menurut laporan media, fasilitas ini diperkirakan akan mulai beroperasi tahun depan.

Proyek ini merupakan kerja sama antara Worldwide Holdings Berhad, sebuah perusahaan milik negara bagian Selangor, dan Shanghai Electric Power Generation (M) Sdn Bhd (Shanghai Electric). Fasilitas ini dirancang untuk mengolah hingga 3.000 ton limbah padat setiap hari.

Aziah Parini, warga Kampung Bukit Kerayong 1 — yang berjarak sekitar 5km dari fasilitas tersebut — mengatakan kepada CNA bahwa beberapa LSM telah datang ke desanya untuk membicarakan bahaya dari insinerator.

Namun, perempuan 49 tahun pengelola warung makan itu mengatakan bahwa mereka tidak khawatir dengan fasilitas tersebut.

“Kami hanya bisa berharap yang terbaik dan semoga tidak berdampak pada masyarakat di sekitar sini,” ujar nenek dari satu orang cucu itu.
 

Fdz 3621

TINGKATKAN ANGKA DAUR ULANG

Meski terdapat perbedaan pendapat mengenai solusi spesifik dalam pengelolaan sampah, semua pakar dan LSM pengelolaan sampah sepakat pada satu hal mendasar: volume sampah yang dihasilkan warga Malaysia harus dikurangi secara signifikan dari sumbernya.

Wakil Menteri Perumahan dan Pemerintah Daerah, Aiman Athirah Sabu, mengatakan tingkat daur ulang nasional naik menjadi 37,9 persen pada 2024 dari 35,4 persen pada 2023, tetapi masih belum mencapai target 40 persen untuk tahun 2025.

Rata-rata produksi sampah per kapita pada 2022 diperkirakan sekitar 1,05kg per hari, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang berkisar antara 0,4 hingga 0,7kg per hari, kata Agamuthu.

Agamuthu percaya bahwa jumlah sampah meningkat karena kemakmuran masyarakat juga meningkat.

“Semakin makmur kita, semakin banyak sampah yang dihasilkan,” ujarnya.

Ia menambahkan, meski meningkatnya standar hidup berarti juga bertambahnya sampah, namun jumlah sampah per kapita di Jepang justru menurun selama bertahun-tahun karena kebijakan yang fokus dan kesadaran masyarakat.

“Mereka sudah cukup teredukasi untuk mengurangi sampah sendiri,” katanya, seraya menambahkan bahwa masyarakat umum harus diberi pendidikan tentang tanggung jawab memisahkan sampah dari sumbernya.

Seeram mengatakan bahwa pengelolaan sampah yang efektif harus fokus pada pemisahan dari sumber, karena praktik ini membuka potensi untuk “penambangan sampah” dan menciptakan sumber daya yang bernilai.

“Idealnya, inisiatif WTE — meskipun merupakan metode pengolahan — harus selaras dengan prinsip ekonomi sirkular, yaitu memandang sampah sebagai sumber daya.

“Ini memerlukan pengembangan dan penerapan proses yang kuat untuk pemisahan dan pembersihan sampah demi memfasilitasi pemulihan sumber daya, yang merupakan skenario jangka panjang yang paling diinginkan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa WTE tidak boleh dipandang sekadar sebagai langkah sementara dalam pengelolaan sampah, dan fokus utama harus tetap pada pengendalian dan pengurangan sampah dari sumbernya.

“Jepang, misalnya, unggul dalam pengelolaan sampah dibandingkan banyak negara lain, terutama karena nilai budaya mereka yang tertanam kuat,” katanya.

Tasha Sabapathy dari LSM Zero Waste Malaysia. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Tasha Sabapathy, petugas senior untuk program dan komunikasi di Zero Waste Malaysia — LSM yang mempromosikan gaya hidup bebas sampah — mengatakan kepada CNA bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan solusi berdasarkan kenyataan bahwa sampah makanan merupakan limbah terbesar.

Komposisi sampah rumah tangga di Malaysia pada 2022 didominasi oleh sampah makanan (30,6 persen), diikuti oleh plastik (21,9 persen) dan kertas (15,3 persen).

Sabapathy mengatakan ia ingin melihat peningkatan fasilitas kompos serta inisiatif kompos komunitas. Ia juga mendorong pelarangan plastik sekali pakai, mencatat bahwa saat ini bahkan ada restoran yang menyajikan minuman dalam kemasan plastik, bukan gelas.

Ia mengatakan bahwa masyarakat harus memahami apa yang terjadi pada sampah mereka.

“Apa yang terjadi setelah kita minum kopi (yang dibeli) dari toko. Ke mana perginya gelas itu? Kalau didaur ulang, orang tidak akan ambil pusing. Tapi kenyataannya tidak bisa didaur ulang karena cara pembuatannya. Ini berlaku untuk semua jenis sampah.

“Kita perlu tahu apa yang terjadi pada sampah itu dan siapa saja komunitas yang terdampak, lalu membawa pendidikan itu ke masyarakat sehari-hari. Baru kita akan paham kenapa kita harus bertanggung jawab atas sampah,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa insinerasi justru menghambat upaya daur ulang.

Fdz 1135

Yap Wan Ken, 53 tahun, warga Batu Arang, mengatakan bahwa meskipun masyarakat bisa menolak keberadaan insinerator, namun setiap individu juga memiliki peran untuk mengurangi sampah mereka sendiri.

Ia mendaur ulang sebanyak mungkin dan membuat kompos dari sampah basah rumah tangganya. Ia telah menggunakan kompos tersebut untuk menanam bunga, sayur, dan buah seperti nanas.

Yap, yang bekerja di bidang keuangan, mengatakan bahwa pemanasan global bukanlah hal yang bisa dianggap enteng dan ia berharap apa yang dilakukannya bisa berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan.

“Kita sendiri yang menghasilkan sampah. Sampah tidak datang dengan sendirinya. Saya selalu percaya bahwa solusi atas suatu masalah harus dimulai dari sumbernya, bukan di akhir, demi keberhasilan jangka panjang.

“Saya berharap pemerintah dan seluruh rakyat Malaysia bisa bekerja sama untuk mengurangi sampah dari sumbernya demi lingkungan, dan mengurangi kebutuhan akan insinerator,” ujarnya.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan