Rapat Dua Sesi China: Upaya mendorong konsumsi, harapan bagi para pencari kerja dan PKL
Beberapa warga China berharap akan ada jaminan sosial yang lebih baik dan tunjangan bagi pengangguran, sementara para pengamat mengatakan para pembuat kebijakan akan meningkatkan dukungan fiskal dengan memprioritaskan konsumsi rumah tangga.

Pekerja konstruksi He Chuan (kiri) dan pedagang kaki lima Yang Menglu (kanan) menemukan cara mereka sendiri untuk tetap bertahan di masa-masa yang tidak menentu. (Foto: Xiaohongshu/农民工川哥/小鹿新派黄油芝士烤吐司)
BEIJING: Niu, warga Hangzhou, tidak henti-hentinya mencemaskan kondisi keuangan keluarganya.
Setelah di-PHK dari pekerjaannya di bidang real-estate tahun lalu, Niu kini bergantung pada penghasilan yang kecil dan tidak stabil dari memposting cuplikan kehidupannya pasca-PHK di medsos.
"Kompensasi yang saya dapatkan (dari media sosial) cukup memberikan saya banyak waktu luang (untuk menjajaki peluang lainnya)," kata Niu yang menolak menyebutkan nominal pendapatannya dari medsos.
Suaminya yang merupakan pencari nafkah utama mendapatkan gaji bulanan sekitar 41.000 yuan (Rp92 juta). Namun gaji itu pas-pasan karena pengeluaran bulanan mereka mencapai hingga 40.000 yuan - kebanyakan untuk membayar kredit rumah dan kebutuhan dua anak mereka yang masih kecil.
"Pengeluaran kami besar saat ini, tapi setidaknya saya masih punya suami (yang bekerja). Beberapa pasangan dua-duanya menganggur, kondisinya buruk sekali," kata dia kepada CNA, mengeluhkan dukungan dari pemerintah yang dirasa kurang.

Untuk pedagang kaki lima (PKL) seperti Yang Menglu, ketidakpastian keuangan juga makanan sehari-hari.
Startup restorannya bangkrut pada Maret 2023, meninggalkan utang sebesar 3,82 juta yuan.
"Saat itu, saya kebingungan - saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, tidak punya penghasilan, dan tidak punya modal," kenangnya.
Wanita berusia 33 tahun asal Qingdao ini kemudian berdagang makanan untuk memulai awal yang baru pada Februari 2024. Dia memulai dari yang kecil, menjual sosis panggang sebelum beralih ke roti bakar mentega ala Korea.
"Berjualan di pinggir jalan bisa menghasilkan sekitar 10.000 yuan (Rp22 juta) per bulan," ujarnya. Sebagian besar uang tersebut digunakannya untuk membayar iuran sekolah kedua anaknya, makan keluarga, dan melunasi utang.
Bantuan lebih lanjut kepada Yang, Niu dan masyarakat China lainnya yang senasib diperkirakan akan menjadi salah satu pembahasan di pertemuan Dua Sesi, atau lianghui dalam bahasa Mandarin. Ini adalah pertemuan tahunan badan legislatif dan badan penasihat politik tertinggi Tiongkok yang akan dimulai pada Selasa (4 Maret).
Menjelang Dua Sesi, Politbiro Partai Komunis China bertemu pada 28 Februari, menegaskan kembali prioritas untuk tahun 2025, yaitu reformasi lebih mendalam, inovasi, dan fokus baru untuk mendorong konsumsi domestik demi pertumbuhan jangka panjang.

Para analis memperkirakan, para pembuat kebijakan akan mengumumkan langkah-langkah baru yang berpusat pada pendekatan fiskal yang lebih agresif dan berfokus pada rumah tangga. Pasalnya, pemerintah melihat bahwa perekonomian negara akan meningkat seiring dengan bertambahnya pengeluaran masyarakat di dalam negeri.
Pengamat mengatakan, kepemimpinan periode kedua Donald Trump di Amerika Serikat dan ancaman tarif yang dilayangkannya memaksa China untuk mendorong peningkatan konsumsi dalam negeri.
Pada saat yang sama, para pengamat memperingatkan bahwa detailnya sangat penting. Sejauh mana janji-janji pemerintah yang diharapkan terwujud dapat diawasi dengan cermat, dan bisa diimplementasikan dengan cepat dan setara.
"Saya khawatir pemimpin nantinya akan terlalu banyak mengumbar janji, tapi akhirnya tidak terealisasi semuanya. Entah oleh mereka langsung atau birokrat pada level di bawahnya yang tidak mampu merealisasikannya," ujar Huang Tianlei, seorang peneliti di Peterson Institute for International Economics (PIIE), kepada CNA.
MENEMPUH JALUR EKSPANSIF
Para analis yang diwawancarai CNA setuju bahwa China akan memetakan jalur fiskal yang lebih ekspansif, melanjutkan arah yang telah diambil sejak berakhirnya pandemi COVID-19.
Langkah yang baru-baru ini diambil para pembuat kebijakan China telah mengisyaratkan hal tersebut.
Pertemuan Politbiro pada Desember 2024 menghasilkan komitmen pemerintah Beijing untuk mengadopsi kebijakan moneter yang "cukup longgar" tahun ini - setelah sebelumnya menerapkan kehati-hatian pada 2010 usai krisis keuangan global.
Menurut laporan Reuters Desember tahun lalu yang mengutip sumber anonim, para pemimpin China tengah merencanakan rekor defisit anggaran sebesar 4 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini, yang sebagian didanai oleh obligasi khusus di luar anggaran.
Meskipun China telah menggembar-gemborkan langkah-langkah ekspansif dalam beberapa tahun terakhir, hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya terjadi—dan justru, menurut Huang, lebih bersifat "kontraktif". Ia menekankan bahwa belanja fiskal negara sebagai bagian dari PDB telah menurun sejak tahun 2021.
Menurut data kementerian keuangan, China mencatat total pengeluaran tambahan sebesar 38,6 triliun yuan pada tahun 2024—lima persen lebih rendah dari anggaran yang direncanakan untuk tahun tersebut.
Pengeluaran aktual oleh pemerintah pusat dan daerah dalam anggaran masing-masing meningkat kurang dari satu persen dibandingkan tahun 2023, tidak mencapai target yang ditetapkan.
Pengeluaran tambahan mencakup total pengeluaran resmi pemerintah ditambah dengan semua dana ekstra yang disuntikkan ke dalam perekonomian melalui jalur tidak langsung. Ini termasuk dana yang dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang didukung pemerintah, yang tidak tercatat dalam angka resmi anggaran.
Huang mengaitkan tren kontraktif ini dengan gejolak di sektor properti lokal, yang mengurangi sumber pendapatan utama pemerintah daerah, serta pendekatan konservatif pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan utang.
"Saya rasa mereka mulai menyadari bahwa konservatisme fiskal yang sudah berlangsung lama bermasalah, dan mereka harus benar-benar membuat kebijakan fiskal lebih berguna, membuatnya lebih ekspansif," kata Huang.
Sependapat, ekonom senior Xu Tianchen dari Economist Intelligence Unit (EIU) mengatakan bahwa lianghui tahun ini akan didominasi pembicaraan mengenai pengeluaran, yang berpotensi menghasilkan lebih banyak rencana aksi.
Xu juga mencatat bahwa China berencana meningkatkan pendanaan dari obligasi khusus pemerintah tahun ini. “(Meskipun) itu tidak termasuk dalam anggaran utama, obligasi tersebut memberikan tambahan kekuatan fiskal," ujarnya kepada CNA.
Reuters melaporkan pada Desember tahun lalu, mengutip beberapa sumber, bahwa pihak berwenang China telah setuju menerbitkan obligasi negara khusus senilai 3 triliun yuan pada 2025. Jumlah tersebut akan menjadi yang tertinggi selama ini, menandai peningkatan tajam dari penerbitan 1 triliun yuan pada 2024.
Perencana negara China belum mengungkapkan nilai yang direncanakan, hanya menyatakan bahwa penerbitan tersebut akan digunakan untuk mendorong investasi bisnis dan inisiatif peningkatan konsumsi.
"PENEKANAN LEBIH BESAR PADA RUMAH TANGGA"
Para pengamat mencatat bahwa langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh belanja rumah tangga. Hal ini semakin menjadi prioritas di China seiring dengan tantangan eksternal—terutama ancaman tarif AS dari Trump—yang berpotensi menghambat keunggulan ekspornya.
Xu dari EIU menyoroti bahwa kebijakan China sebelumnya sangat berfokus pada investasi di sektor manufaktur.
"Tetapi kita mulai melihat pergeseran bertahap menuju penekanan yang lebih besar pada rumah tangga, pada masyarakat. Ini kemungkinan besar sangat penting bagi pertumbuhan berkelanjutan China," kata Xu.
Pejabat China secara terang-terangan mendorong peningkatan konsumsi domestik.
Salah satu seruan terbaru datang dari Perdana Menteri Li Qiang dalam sesi studi Dewan Negara pada akhir Februari lalu. Dia menekankan bahwa "konsumsi harus ditempatkan pada posisi yang lebih menonjol", dengan diperlukannya upaya yang lebih besar dan langkah-langkah yang lebih terarah.

"Meningkatkan konsumsi bukan hanya cara penting untuk mendongkrak permintaan domestik dan menstabilkan pertumbuhan, tetapi juga langkah utama untuk mentransformasikan model pembangunan dalam jangka menengah hingga panjang," kata Li, seperti dikutip oleh media pemerintah CCTV.
Dalam beberapa bulan terakhir, media lokal menyoroti berbagai sub-ekonomi dan bagaimana mereka mendorong mesin konsumsi. Contohnya termasuk ekonomi salju dan es, ekonomi debut, serta ekonomi malam hari.
Yang, seorang pedagang kaki lima, berharap ekonomi lapak jalanan atau "ditan jingji" akan menjadi topik pembahasan dalam Dua Sesi dan mendorong dukungan lebih besar dari pemerintah.
"Akan ideal jika waktu dan lokasi yang ditentukan bisa ditetapkan, sehingga tidak mengganggu tampilan kota dan lalu lintas, serta mendorong kewirausahaan berbiaya rendah," ujarnya.
Pada tahun 2020, Perdana Menteri saat itu, Li Keqiang, mendukung kebangkitan kembali lapak jalanan, dengan menyebutnya sebagai sumber lapangan kerja penting yang dapat mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi.
Namun, gagasan ini dengan cepat ditolak. Beijing Daily —surat kabar kota yang berafiliasi dengan Partai Komunis China— mengecam perdagangan tradisional tersebut karena "tidak higienis dan tidak beradab".

Kios-kios pinggir jalan telah kembali marak pasca-COVID di China. Namun, peraturan kota tetap menjadi rintangan, meskipun beberapa kota besar seperti Shenzhen, Shanghai, dan Hangzhou telah melonggarkan pembatasan.
"Di masa lalu, manajemen kota sangat ketat," kata Yang. "Meskipun sekarang mereka masih memberlakukan peraturan, mereka tidak lagi menyita barang-barang kami; mereka hanya meminta kami untuk berkemas dan pergi."
Sementara itu, untuk mendorong pengeluaran rumah tangga, pihak berwenang juga mengandalkan skema tukar tambah nasional yang mencakup segala sesuatu mulai dari mobil dan peralatan rumah tangga hingga elektronik.
Pemerintah pusat telah mengalokasikan 81 miliar yuan untuk mempertahankan dan mungkin memperluas cakupan inisiatif tukar tambah barang-barang konsumen tahun ini, juga seorang pejabat kementerian keuangan dikutip oleh Global Times - media yang dikelola pemerintah - pada bulan Januari.
MELONGGARKAN TEKANAN FINANSIAL?
Meskipun China berupaya mendukung 1,4 miliar penduduknya untuk meningkatkan konsumsi, Niu, pekerja lepas di Hangzhou, merasa tidak yakin apakah bantuan tersebut benar-benar akan berdampak signifikan.
"Saya bahkan tidak yakin apakah saya harus mengatakan ini, tetapi saya merasa bahwa dukungan (pemerintah) hanyalah setetes air di lautan bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar," katanya.

"Saya menerima (bantuan sekali saja) sebesar 2.000 yuan (Rp4,5 juta) dalam bentuk tunjangan pengangguran, tetapi iuran asuransi sosial saya sendiri saja lebih dari 900 yuan (Rp2 juta). Tinggal di kota tier satu, (sisa) 1.000 yuan benar-benar tidak cukup untuk menutupi biaya hidup selama sebulan.
"Adapun bantuan yang lebih substansial, saya belum melihatnya di sekitar saya. Mereka yang di-PHK pada waktu yang sama dengan saya—bahkan yang lebih dulu diberhentikan—masih menganggur sampai saat ini," ujar Niu.
Ia menambahkan bahwa kondisi industri real estate saat ini membuatnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan baru di bidang yang sama.
"Jadi, ketika saya diberhentikan, saya bahkan tidak benar-benar mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan lain."
Di luar pekerja perkotaan, kebijakan fiskal pemerintah juga berdampak besar bagi sekitar 400 juta pekerja kerah biru di China.
He Chuan, pekerja konstruksi berusia 55 tahun dari Sichuan, yang telah menghabiskan hampir empat dekade di industri ini, menyaksikan pasang surut sektor tersebut.
Masalah yang terjadi saat ini di sektor properti membuatnya khawatir. "Pasar real estate lesu dalam dua tahun terakhir, menyebabkan proyek konstruksi semakin sedikit, yang membuat pencarian pekerjaan lebih sulit," jelasnya.

Selain menerima upah harian sekitar 400 hingga 500 yuan, ia mengatakan bahwa lokasi konstruksi biasanya menyediakan tunjangan hidup sebesar 2.000 hingga 4.000 yuan per bulan.
Ia juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan mendokumentasikan pekerjaannya di media sosial. Saat ini, ia memiliki hampir 309.000 pengikut di Xiaohongshu, di mana ia dikenal sebagai "Brother Chuan".
Namun, ia sangat sadar bahwa keberuntungannya bisa berubah sewaktu-waktu, mengingat pengalamannya ketika pernah mengalami cedera saat bekerja.
"Saya tidak bekerja selama setengah tahun, membuat saya cemas. Selama periode itu, saya hanya membuat video," katanya kepada CNA.
Banyak rekan kerja He Chuan di sektor konstruksi tidak memiliki pilihan untuk beristirahat. Menurutnya, banyak yang bekerja sebagai kontraktor tanpa gaji tetap maupun jaring pengaman finansial.
Penundaan pembayaran—masalah umum dalam industri ini—juga semakin memperburuk ketidakpastian finansial mereka.
"Banyak pekerja berada dalam status pekerjaan fleksibel tanpa jaminan sosial, dan ini adalah aspek yang perlu diperbaiki," katanya, seraya menambahkan bahwa ia dan istrinya juga tidak memiliki jaminan sosial.
Ia mengakui bahwa pemerintah menyediakan dukungan dalam bentuk rekrutmen kerja dan bantuan kewirausahaan bagi pekerja migran, yang cukup membantu. Namun, ia tetap khawatir tentang masa depannya.
"Masalah akan muncul ketika pensiun nanti," ujarnya kepada CNA.
Huang dari PIIE mengatakan bahwa pengalaman seperti yang dialami He Chuan menegaskan urgensi bagi pemerintah China untuk menerapkan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif guna mendukung pekerja dan meningkatkan permintaan domestik.
"(Pemerintah) mengatakan mereka akan meningkatkan pembayaran pensiun dan tunjangan medis bagi masyarakat perdesaan, tetapi mereka belum menyebutkan berapa besar kenaikannya," ujar Huang, seraya menekankan bahwa kenaikan yang berkelanjutan dan signifikan diperlukan.
"Jika hanya dinaikkan 10 yuan per bulan, misalnya ... itu bukan kenaikan yang berarti," tambahnya.
APA YANG AKAN DIHASILKAN DARI DUA SESI?
Dua Sesi akan jadi sorotan untuk melihat sinyal atau pengumuman pasti mengenai strategi fiskal China, serta apakah strategi tersebut dapat secara efektif menjaga stabilitas makroekonomi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indikator pertama yang perlu diperhatikan adalah apakah anggaran atau langkah fiskal lain yang diumumkan akan sesuai dengan ekspektasi pasar, kata Xu dari EIU.
China dijadwalkan mengumumkan target pertumbuhan PDB tahun ini pada pembukaan Kongres Rakyat Nasional, Rabu (5 Maret). Target tahun lalu adalah sekitar 5 persen.
Xu mengatakan bahwa poin kritis kedua yang perlu diamati adalah bagaimana dana pemerintah akan digunakan. Ia menyoroti kemungkinan kebijakan seperti subsidi kelahiran nasional untuk mendukung persalinan dan pengasuhan anak, serta peningkatan sistem jaminan sosial agar cakupannya lebih luas dan mendalam.
Ia juga mencatat bahwa sinyal utama ketiga adalah sejauh mana pemerintah menggunakan instrumen fiskalnya untuk mendukung inovasi.
China tengah mempercepat pengembangan teknologi tinggi atau yang disebut pemerintah sebagai "kekuatan produktif baru", guna merevitalisasi ekonomi dan meningkatkan produktivitas.
Kecerdasan buatan (AI), terutama dalam aspek generatifnya, telah muncul sebagai sektor utama, terutama setelah startup teknologi lokal DeepSeek menarik perhatian dunia dengan model terbarunya.

Para analis sepakat bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah apakah Dua Sesi akan mengeluarkan hasil yang terukur.
Huang dari PIIE menyoroti konsumsi domestik sebagai contoh. “Apa yang sebenarnya akan mereka lakukan, selain program tukar tambah produk konsumen dan program peningkatan perangkat industri?” tanyanya.
“Tindakan konkret apa lagi yang akan mereka ambil untuk merangsang konsumsi dan investasi swasta secara berkelanjutan?”
Huang juga memperingatkan bahwa meskipun ada ekspektasi luas terhadap stimulus fiskal yang lebih besar, ia khawatir para pemimpin China akan terlalu banyak berjanji tetapi gagal memenuhi, suatu pola yang menurutnya juga terjadi di negara-negara Asia Timur lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan.
“Saya pikir ini adalah hal nomor satu yang akan saya awasi sekarang—apakah mereka benar-benar akan melaksanakan stimulus fiskal seperti yang telah mereka isyaratkan,” katanya.
Pengamat juga akan mencermati jalannya Dua Sesi untuk mencari sinyal terkait tekanan eksternal, terutama kebijakan AS yang dipimpin Trump dalam menekan investasi dan impor dari China.
“Apakah mereka akan mengisyaratkan sesuatu terkait AS? AS masih mengeluhkan kelebihan kapasitas di China, tetapi bukan hanya AS—banyak negara di dunia juga masih khawatir tentang kelebihan kapasitas China,” ujar Huang.
Ia menjelaskan bahwa seiring waktu, China mulai memahami bahwa strategi lama mereka yang mengandalkan ekspor murah sebagai keunggulan kompetitif, kini tidak lagi dapat diterima secara politik di banyak negara.
“Tidak banyak negara yang memiliki industri otomotif, tetapi banyak negara memiliki sektor manufaktur lainnya. Mereka semua harus bertahan, dan mereka tidak bisa bersaing dengan ekspor China. Jadi ini adalah isu politik,” kata Huang.

MENJEMBATANI KEBIJAKAN DAN REALITAS
Meskipun China berupaya mempercepat reformasi ekonomi dan semakin berfokus pada rumah tangga untuk mendorong pertumbuhan, para analis memperingatkan adanya berbagai tantangan di depan.
Salah satu hambatan utama adalah mengurangi utang pemerintah daerah.
Pada Desember tahun lalu, China mengumumkan paket stimulus senilai 10 triliun yuan yang bertujuan memangkas utang tersembunyi pemerintah daerah dari 14,3 triliun yuan menjadi sekitar 2,3 triliun yuan pada tahun 2028.
Utang tersembunyi ini umumnya merujuk pada pinjaman yang dilakukan melalui Local Government Financing Vehicles (LGFVs), yaitu perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah untuk mendanai proyek infrastruktur dan investasi lainnya.
Obligasi yang diterbitkan oleh LGFVs memungkinkan pemerintah provinsi untuk mengumpulkan dana dan meningkatkan pengeluaran tanpa mencatatnya secara resmi di neraca keuangan mereka—sehingga mereka dapat menghindari batasan pinjaman yang telah ditetapkan.
Rencana ambisius untuk memangkas utang pemerintah daerah mencakup langkah-langkah seperti pertukaran utang (debt swaps), yang memungkinkan pemerintah daerah mengganti utang berbunga tinggi dan berjangka pendek dengan obligasi khusus berjangka panjang dan berbunga lebih rendah.
Secara teori, langkah ini akan mengurangi beban keuangan pemerintah daerah sekaligus memberikan lebih banyak ruang bagi mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin kesejahteraan masyarakat.
Namun, menurut Huang, jumlah utang pemerintah daerah yang sangat besar membuat pertukaran utang ini hanya memiliki dampak terbatas dalam merangsang perekonomian.
Program tukar tambah nasional juga menghadapi berbagai tantangan, meskipun telah menunjukkan beberapa hasil positif.
Menurut laporan kantor berita Xinhua, total nilai penjualan produk yang memenuhi syarat dalam program ini mencapai 1,3 triliun yuan tahun lalu. Lebih dari 6,8 juta kendaraan telah ditukar, sementara lebih dari 56 juta peralatan rumah tangga, seperti kulkas dan mesin cuci, berhasil terjual melalui inisiatif ini.
Namun, Huang dari PIIE memperingatkan bahwa langkah-langkah sementara seperti ini hanya mempercepat konsumsi di awal, tanpa benar-benar mengatasi masalah mendasar yang memengaruhi permintaan domestik.
"Diperlukan langkah-langkah struktural yang lebih kuat, pendapatan masyarakat harus meningkat, dan mereka harus merasa nyaman untuk berbelanja," ujar Huang.
"Hal itu membutuhkan penguatan jaring pengaman sosial."
Sementara itu, Xu dari EIU percaya bahwa skema ini dapat memberikan perbaikan nyata dalam kehidupan masyarakat, tetapi ia meragukan apakah itu cukup efektif.
"Semuanya tergantung pada cakupan dan besarnya langkah-langkah yang diambil pemerintah... Subsidi ini hanya ditargetkan pada kelompok tertentu yang membutuhkannya. Kemungkinan besar tidak akan cukup luas untuk mendukung semua lapisan masyarakat," katanya.
Selain itu, Xu menyoroti bahwa program tukar tambah lebih menguntungkan produsen besar dan platform e-commerce seperti JD.com, Pinduoduo, dan Alibaba, dibandingkan dengan usaha kecil.
"Saya rasa pedagang kecil tidak mendapatkan manfaat dari program ini... karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam skema seperti ini," ujarnya.
"Pada akhirnya, manfaat dari program ini mungkin tidak tersebar merata di berbagai sektor ekonomi. Dan ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah."
Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.