Politik Islam: Tebar pengaruh para pendakwah Malaysia dan Indonesia ke jutaan pengikut di medsos
Dalam seri kedua dari lima seri tentang politik Islam di Asia Tenggara, CNA mengulas bagaimana para pemuka agama di Malaysia dan Indonesia merambah isu politik dan memengaruhi para jemaahnya.

Ustaz Haikal Hassan (kiri) dari Indonesia dan Ustaz Azhar Idrus dari Malaysia. (Foto: CNA/Danang Wisanggeni, Zamzahuri Abas)
KUALA TERENGGANU/JAKARTA: Dengan gaya ceramahnya yang santai dan disampaikan dengan cengkok Terengganu yang kental, tokoh agama asal Malaysia Ustaz Azhar Idrus kian populer di kalangan Muslim Asia Tenggara.
Pengikutnya di berbagai media sosial seperti Facebook, Instagram dan TikTok mencapai lebih dari 1,7 juta. Ustaz Azhar dikenal memiliki pengetahuan yang luas tentang hukum Islam dan kerap memberikan petuah tentang berbagai topik keagamaan, mulai dari keuangan, moral hingga masalah rumah tangga.
Namun, ada beberapa kalangan yang menuding Ustaz Ashar terkadang menyampaikan pesan-pesan politik. Menurut mereka, mencampuradukkan politik dan agama seharusnya tidak boleh, terutama karena sebagian besar jemaah ustaz adalah anak-anak muda yang gampang terpengaruh.

Tidak seperti Ustaz Azhar, pendakwah Haikal Hassan di Jakarta, Indonesia, jauh lebih terbuka dengan pandangan politiknya.
Ustaz Haikal telah menggunakan media sosial untuk menyampaikan nilai-nilai Islam dalam 15 tahun terakhir. Akun Instagramnya diikuti oleh lebih dari 2 juta follower. Sebelumnya, pengikutnya bahkan berjumlah sekitar 6,7 juta orang di IG, namun akun tersebut hilang.
Belakangan ini, postingannya di media sosial tidak banyak membahas pengajaran agama dan lebih kepada perkembangan politik di Indonesia. Pada 14 Februari lalu, Indonesia menggelar pemilihan presiden dan tidak sulit menerka siapa calon pilihan Ustaz Haikal.
Pilihannya jatuh kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bulan lalu.
Para pendakwah yang melek media sosial dan tidak malu-malu berbicara politik seperti dirinya tengah bermunculan. Hal ini boleh jadi adalah respons dari harapan jemaah akan pendakwah yang mampu lebih vokal menyuarakan isu-isu tertentu.

Hasil studi lembaga riset asal Amerika Serikat, Pew Research Centre, pada 2023 menunjukkan sekitar enam dari 10 responden di Malaysia dan Indonesia mengatakan bahwa pemuka agama harus berbicara secara terbuka soal partai politik atau politisi yang mereka dukung. Sekitar setengah dari responden bahkan mengatakan pemuka agama seharusnya terjun dalam politik.
Selain itu, lebih dari separuh responden di Malaysia dan Indonesia percaya bahwa para pemimpin agama harus ikut serta dalam aksi protes politik, sedikit lebih tinggi dari 50 persen responden di Kamboja dan melampaui 18 hingga 29 persen responden di Singapura, Sri Lanka, dan Thailand.
Studi Pew ini mensurvei 13.122 responden dewasa di enam negara Asia antara Juni dan September 2022.
Lektor kepala Dr Mohd Yusri Ibrahim, kepala peneliti untuk lembaga riset Ilham Centre, mengatakan kepada CNA bahwa banyak pemuda Muslim di Asia Tenggara ingin pendakwah yang mereka ikuti berbicara soal politik atau terlibat langsung dalam politik. Karena politik adalah ranah yang asing bagi anak-anak muda tersebut.
"Para pemuda, dalam hal ini, memiliki tingkat literasi politik yang rendah dan pemahaman mereka soal agama juga tidak terlalu dalam. Di saat yang sama, semangat dan keinginan mereka mendalami Islam sangat kuat dan beberapa dari mereka sangat fanatik dalam mengikuti pendakwah tertentu yang dapat menjelaskan konsep-konsep beragama dengan baik, diwarnai dengan humor dan cara lainnya," kata Mohd Yusri.
Yusri menambahkan, partai-partai juga mengakui kemampuan para pendakwah untuk memengaruhi para jemaahnya. Hal ini yang kemudian mendorong pendakwah untuk berceramah soal politik atau berpartisipasi langsung dalam kampanye partai.
"Saat masuk masa pemilu, banyak pendakwah yang punya pengaruh besar dan mampu menarik dukungan anak-anak ke partai politik akan dimintai bantuan. Itulah mengapa pendakwah ini digunakan parpol tertentu dalam kampanye, salah satu tujuannya untuk mendulang dukungan pemilih muda.
"Soal apakah ini perkembangan yang baik atau buruk, itu subjektif. Menurut saya, penting bagi pemilih muda untuk mengembangkan literasi politik agar bisa memutuskan dengan matang, tidak sekadar mendukung partai karena sedang menggandrungi dan terobsesi dengan pendakwah tertentu," kata Yusri.
PENDAKWAH YANG DEKAT DENGAN PARTAI ISLAM
Di Malaysia, media lokal menyebut Ustaz Azhar pro terhadap Partai Islam Se-Malaysia (PAS), sebuah partai sayap kanan konservatif yang memiliki dukungan kuat di daerah perdesaan Malaysia.
Saat ini PAS yang merupakan bagian dari koalisi Perikatan Nasional berada dalam kubu oposisi di pemerintahan federal.
Ketika ditemui CNA usai berceramah di salah satu masjid di Kuala Terengganu, Ustaz Azhar - yang dekat dengan pemerintahan negara bagian Terengganu pimpinan PAS - membantah konten dakwahnya bertujuan menguntungkan partai politik tertentu.
"Kami bekerja untuk dakwah, itu saja," kata dia.
"Saya dan tim tidak punya rahasia, kami seperti orang pada umumnya. Kami berceramah dan menyiarkannya secara langsung di laman media sosial - TikTok dan facebook. Kami tidak (politis)," tambah dia lagi.

Ustaz Azhar juga menekankan bahwa ia tidak terobsesi memperbanyak jumlah jemaah untuk membentuk sebuah gerakan politik.
"Kami tidak berambisi (atau) ingin sekali mendapatkan lebih banyak jemaah. Seumur hidup saya, saya tidak pernah meminta jemaah saya untuk menekan bel (notifikasi) atau berlangganan ke saluran Youtube saya. Jika Anda tidak menonton video saya, tidak apa-apa. Tetapi jika Anda menontonnya, terima kasih."
Ustaz Azhar sempat menjadi pemberitaan nasional pada 2023 ketika ia terlibat perselisihan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengenai penafsiran sebuah surah dalam Alquran.
Dalam salah satu ceramahnya, Ustaz Azhar ditanya tentang Anwar yang berkomentar bahwa "para penghuni gua" - kelompok yang disebut dalam sebuah surah dalam Alquran - adalah orang Kristen dan bukan Muslim.
Ustaz Azhar kemudian berkata: "Seperti inilah pemimpin yang jahil dan ingin pamer... Dia tidak memiliki pengetahuan agama. Ketika dia berbicara tanpa pengetahuan agama, pemimpin tersebut telah tersesat dan menyesatkan rakyatnya."
Menanggapi hal tersebut, Anwar mengatakan bahwa "ustaz dari Terengganu" - maksudnya Ustaz Azhar - telah menanggapi penafsirannya terhadap ayat Alquran di luar konteks.
"Sebagai seorang pendakwah, kita tidak boleh terburu-buru dan memainkan sentimen politik. Inilah masalahnya - jika dia ingin membahas masalah ini dari sudut pandang agama, dia seharusnya terlebih dulu memeriksa fakta-fakta," kata Anwar kepada para wartawan.
MENYEBARKAN ILMU DISELIPI HUMOR
Salah satu penggemar Ustaz Azhar adalah Aisya Johari. Pengusaha dari Ipoh ini sudah tinggal di Kuala Terengganu selama tiga bulan karena ingin "memperdalam pengetahuan Islam" dengan mengikuti rangkaian ceramah Ustaz Azhar.
Ibu dari putri berusia dua tahun ini mengatakan pengorbanannya sepadan, karena dia bisa belajar langsung dari "salah satu ulama paling berilmu di negara ini".

Aisya yang saat ini berusia 30 tahunan mengatakan: "Ceramah Ustaz Azhar Idrus mudah dipahami oleh anak muda. Saya sudah mengikutinya sejak masih remaja; dengan beliau, mudah sekali bagi anak muda untuk memahami konsep-konsep yang sulit.
"Ustaz yang lain serius sekali, ya kan? Tapi Ustaz Azhar Idrus menyampaikan ilmu kepada anak-anak muda dengan cara yang sederhana, diselipi dengan sedikit lelucon tapi pesannya jelas dan mengena," tambahnya.
Ustaz Azhar mengatakan bahwa ia menyisipkan humor ke dalam ceramahnya untuk mempertahankan fokus para jemaah agar ilmu yang ia sampaikan dapat terserap dengan baik.
"Karena ceramah saya panjang - paling singkat satu jam - dan penelitian menunjukkan bahwa jika tubuh manusia duduk diam selama 40 menit, mereka akan kelelahan dan mengantuk, tidak dapat mengingat poin-poin yang saya sampaikan," tambahnya.
Aisya mengakui bahwa pandangan serta pemikirannya tentang situasi politik Malaysia dibentuk oleh apa yang ia pelajari dari para pendakwah seperti Ustaz Azhar.
"Dalam ceramahnya, Ustaz Azhar mengatakan sendiri bahwa kondisi negara ini jalan di tempat," kata Aisya.
"Dia mengatakan tentang (kemungkinan) konser LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang diadakan di bulan Ramadan (jika diizinkan oleh pemerintah saat ini). Bagaimana pendapat kita jika para pemimpin kita mengizinkan konser LGBT diadakan di bulan suci?" tanyanya.
PENDAKWAH DI INDONESIA DAN MEDIA SOSIAL
Pemilu Indonesia baru-baru ini membuat Ustaz Haikal Hassan membagikan soal kecenderungan pilihan politiknya kepada pengikut di media sosial. Kepada CNA, dia mengatakan awalnya tidak ingin menggunakan media sosial untuk berceramah soal politik.
"Awalnya, konten-konten media sosial saya berisi motivasi, lalu ke dakwah," kata dia, sembari menambahkan bahwa tidak ada "pilihan lain" selain terlibat secara politik, terutama dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif Februari lalu.
Ustaz Haikal menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan dukungannya terhadap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang akhirnya memenangi pilpres setelah tiga kali mengikuti pemilu.
Ustaz Haikal menjadi sangat vokal terhadap politik di media sosial saat pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017. Ketika itu masyarakat terpecah menjadi dua kubu: Pendukung mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan, seorang Muslim keturunan Arab, dan petahana Basuki Tjahaja Purnama, seorang Kristen keturunan Tionghoa.
"Ketika itu saya terpanggil dan membela Pak Anies Baswedan untuk menjadi Gubernur, ketimbang Pak Basuki.
"Pada 2019, saya melanjutkan pesan itu, bahwa Pak Prabowo paling tepat untuk memimpin (Indonesia)," kata Ustaz Haikal. Ketika itu, Prabowo kalah dari petahana Presiden Joko Widodo.
Menurut para pengamat, pemilu presiden dan legislatif 2019 serta pemilihan gubernur 2017 sarat akan politik identitas.
Sekarang, Prabowo menang pilpres dan akan menjadi presiden Indonesia berikutnya. Ustaz Haikal mengatakan dia tetap akan mengkritisi Prabowo jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pengajaran Islam.
"Jika saya cinta kepada beliau, saya akan mengkritik. Amar maruf nahi munkar, yang baik pertahankan, yang buruk kita kritik," kata dia.

Penceramah asal Jakarta lainnya, Ustaz Bachtiar Nasir, juga terbuka kepada para pengikutnya soal dukungan terhadap salah satu calon presiden. Di Instagram, dia memiliki 1,1 juta follower.
Ustaz Bachtiar mendukung Anies - mantan gubernur Jakarta. Menurut dia, konten politik Anies mengandung pesan moral yang sejalan dengan nilai-nilai keislaman.
Dia juga meyakini seorang pemimpin harus memiliki rasa adil dan keadilan.
"Pilihan saya jatuh kepada 01 (Anies dan pasangannya Muhaimin Iskandar).
"Dan (dukungan terhadap Anies) sudah terlihat sejak zaman (pemilihan)gubernur jakarta," kata Ustaz Bachtiar.
Dia menambahkan, konten politik yang dibagikannya di media sosial adalah untuk menjawab permintaan dan pertanyaan para followernya terkait nilai-nilai akhlak.
Tapi tidak semua pendakwah dengan jumlah follower yang besar tertarik membicarakan dunia politik.
Salah satunya Ammi Nur Baits dari Yogyakarta yang aktif berdakwah di media sosial sejak pandemi COVID-19 2020. Kepada CNA, dia mengaku tidak memanfaatkan medsos untuk membicarakan politik dan hanya fokus pada pengajaran Islam.
"Secara pribadi saya tidak berminat dengan politik. Saya kira ini tidak hanya sikap seorang da'i, masyarakat awam juga demikian, ada sebagian yang bosan dengan politik bahkan menghindar kalau diajak bicara politik.
"Saya tidak berminat untuk terlibat di dunia politik, sehingga saya tidak menggunakan medsos untuk menyinggung masalah politik," kata dia.
Menurut pengamat politik Adi Prayitno dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, ada banyak pendakwah yang masih mengajarkan Islam dengan cara tradisional di pesantren-pesantren seluruh Indonesia.

Menurut data Kementerian Agama RI tahun 2023, ada lebih dari 39.000 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Adi mengatakan, para penceramah yang menggunakan medsos biasanya mereka yang hidup di kota-kota besar dan yang pernah belajar di luar negeri.
"Kenapa? Karena mereka tidak menganggap dunia luar dan globalisasi sebagai ancaman," kata dia.
"Tapi ini bisa menjadi kesempatan untuk mengubah persepsi soal Islam, bahwa agama ini tidak eksklusif - bahwa Islam selaras dengan demokrasi dan globalisasi."
DAMPAK DARI PESAN POLITIK
Pengamat Ujang Komarudin dari Universitas Al Azhar Jakarta mengatakan ajaran dan pesan politik yang disampaikan para pendakwah di medsos cenderung mengincar semua orang yang aktif bermedsos.
Namun, karena para pendakwah ini biasanya bukan bagian dari partai politik, pesan-pesan mereka mungkin tidak akan terlalu berdampak, kata Ujang.
"Karena mereka tidak terkait dengan partai politik, afiliasi mereka tidak terlihat."
"Bahkan jika mereka secara pribadi mendukung kandidat nomor satu, dua atau tiga, mereka tidak (terlihat sebagai) pendukung partai politik," kata Ujang.
Tapi seorang tenaga kesehatan di Jakarta - yang hanya ingin dipanggil Ahmad - mengatakan pesan politik yang disampaikan oleh beberapa pendakwah telah memengaruhinya dalam menjatuhkan pilihan pada pemilu lalu.
"Saya jadi lebih yakin bahwa pilihan saya untuk calon presiden dan wakil presiden akan membawa kebaikan untuk semua," kata dia, tanpa mengungkapkan siapa pilihannya.
"Mereka yang paham agama saja mendukung pasangan itu. Jadi kenapa saya yang pemahaman agamanya saja masih kurang tidak mendukung dia?" ujar pria berusia 28 tahun ini.

Berbeda lagi dengan Dila Fitria, yang mengaku mengikuti beberapa penceramah di medsos untuk mendapatkan wawasan tentang Islam. Tapi dia tidak menganggapnya sebagai "sarana utama untuk memahami Islam, apalagi politik Islam".
"(Mencari tahu) soal Islam tidak di media sosial. Karena saya Muslim dari lahir, tentu saja saya diajari soal Islam dari kecil. Medsos cuma sebagai ilmu tambahan saja," kata Dila, 29.
Mahasiswa asal Bekasi, Davin Indra, yang mengikuti beberapa akun medsos pendakwah, mengaku terbantu dengan keberadaan mereka di dunia maya.
"Terutama karena kami anak-anak muda lebih senang bergaul dengan gawai ketimbang menghadiri ceramah agama," kata pemuda 18 tahun ini.
Pakar Politik Islam Norshahril Saat, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, mengatakan walau konten-konten di medsos tidak dapat difilter, namun para pemuda bebas memilih mau mendengarkan pendakwah seperti apa - yang konservatif, progresif atau liberal.
"Salah satu kritiknya adalah kita lebih terpana pada karisma para influencer ketimbang wacana intelektual, isi dari pengajaran agama itu sendiri," kata Norshahril.
"Saat ini, lembaga-lembaga keagamaan resmi (seperti MUI) tidak lagi memonopoli wacana keislaman... Di era sekarang ini, media sosial adalah sarana yang penting," tambahnya. "Jika ada (konten) yang melampaui batas-batas tertentu, seperti mempromosikan radikalisme, saya rasa (pemerintah) pasti akan menindaknya."