Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Politik Islam: Dari pakaian hingga segregasi - bagaimana agama mengubah norma sosial di Malaysia dan Indonesia

Tulisan ini merupakan bagian dari lima seri tulisan politik Islam di Asia Tenggara. Kali ini, CNA mencoba menelusuri apakah regulasi terhadap "pakaian tidak senonoh", perjudian dan masalah sosial lainnya di Malaysia dan Indonesia mengusik keragaman atas nama agama dan politik.

Politik Islam: Dari pakaian hingga segregasi - bagaimana agama mengubah norma sosial di Malaysia dan Indonesia

Sekelompok siswa SD Negeri di Bukittinggi, Sumatera Barat, sedang bersiap-siap mengikuti kelas pendidikan jasmani di stadion setempat. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

KUALA LUMPUR/PADANG: Hari itu seharusnya menjadi hari yang menggembirakan bagi Jenny Hia. Usai enam bulan lamanya belajar dari rumah karena pandemi COVID-19, remaja tersebut akhirnya menginjakkan kakinya di Sekolah Menengah kejuruan (SMK) Negeri 2 Kota Padang pada Januari 2021 lalu. 

Tadinya, ia berharap ia bisa bertemu dengan teman-teman baru. Namun, yang ia dapatkan justru tatapan yang canggung dari teman-teman sekolah dan guru-gurunya.

Remaja Kristen tersebut, saat itu masih 16 tahun, adalah satu-satunya perempuan di sekolah itu yang tidak mengenakan jilbab, atau kerudung untuk menutupi rambut dan leher wanita Muslimah dan menjadi atribut wajib bagi setiap siswi di sekolah tersebut.

Hari-hari berikutnya, Hia dipanggil pegawai sekolah untuk membahas penolakannya mengenakan atribut tersebut. Satu guru bahkan sempat membawa empat pelajar Kristen, yang sepakat mematuhi peraturan sekolah negeri tersebut, untuk mendesaknya agar mau mengenakannya juga.

Namun Hia tetap bersikukuh.

"Sekolah negeri semestinya bersikap terbuka dengan semua orang tanpa memandang agama. Cara kita berpakaian harusnya tidak dipatok pada satu agama saja. Setiap orang harus bisa berpakaian sesuai keinginan mereka," katanya.

Jenny Hia, 19 tahun, dipaksa mengenakan jilbab pada 2021 meskipun dia beragama Kristen. Kasusnya memicu perdebatan nasional mengenai keberadaan Perda Syariah, yang dikeluarkan oleh beberapa pemerintah provinsi, kabupaten, hingga kota di Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Keluarganya membawa kasus ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan berhasil menarik perhatian publik terhadap musibah yang menimpa kelompok agama minoritas di Sumatera Barat.

Kasus ini memicu perdebatan di tengah masyarakat Indonesia. Saking hangatnya, tiga kementerian Indonesia – Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri – mengeluarkan surat keputusan bersama pada 3 Februari 2021. Dengan surat ini, pemerintah pusat melarang sekolah dan pemerintah daerah mewajibkan siswa dan gurunya untuk mengenakan "atribut agama tertentu."

Namun tiga bulan usai keputusan itu keluar, Mahkamah Agung (MA) mencabut keputusan tersebut di tengah tekanan yang datang dari kelompok Muslim konservatif dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, kelompok suku terbesar di Sumatera Barat.

Selang tiga tahun kemudian, kasus Hia redup begitu saja. Keputusan Mahkamah Agung menegaskan bahwa aturan yang mewajibkan semua pelajar untuk mengenakan jilbab di Sumatera Barat, serta provinsi-provinsi di Indonesia lainnya, tetap berlaku.

SMK Negeri 2 di Padang, Sumatera Barat, Indonesia, menyulut perhatian publik pada tahun 2021 karena mewajibkan semua siswi perempuan untuk berhijab tanpa memandang agama mereka. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Kasusnya menjadi satu contoh bagaimana meningkatnya larangan atas nama agama mengubah norma dan kebebasan sosial di Indonesia dan negara tetangganya, Malaysia. 

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama kian meningkat di beberapa provinsi homogen di Indonesia seperti Sumatera Barat. Di provinsi satu ini, 97 persen dari 5,5 juta penduduknya memeluk agama Islam.

"Sumatera Barat telah menjadi ikon konservatisme," jelas Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua organisasi nirlaba Setara Institute for Democracy and Peace, kepada CNA.

Untuk membujuk pemilih Muslim, politisi dan pejabat publik mengeluarkan peraturan daerah (perda) dan ketetapan yang mengikuti prinsip Syariah serta kebijakan dan program yang diskriminatif.

Di tahun 2005, Walikota Padang, yang saat itu dijabat oleh Fauzi Bahar, mengeluarkan surat keputusan yang mewajibkan semua pelajar Muslim di sekolah negeri untuk mengenakan pakaian Islami. Surat keputusan yang sama juga mewajibkan mereka yang non-Muslim untuk "menyesuaikan pakaian mereka" dengan peraturan tersebut tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Semua keputusan diserahkan kepada sekolah untuk menentukan apakah ketetapan itu juga berlaku untuk pelajar non-Muslim atau tidak. Hampir semua sekolah negeri di Padang menafsirkan bahwa putusan itu juga berlaku pada semua pelajar perempuan, terlepas dari keyakinan mereka, untuk mengenakan jilbab.

"Ruang bagi mereka yang non-Muslim untuk mengekspresikan identitas non-Muslimnya secara tidak langsung menjadi terbatas," ujar Sudarto, pendiri kelompok antar-agama asal Sumatera Barat, Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka). Ia menambahkan bahwa fenomena ini telah terjadi secara bertahap selama puluhan tahun.

Sudarto, pendiri kelompok antar-agama asal Sumatera Barat, Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka). (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Masalah ini bukanlah hal yang baru di Sumatera Barat.

Menurut Human Rights Watch, kelompok advokasi hak asasi manusia asal New York, setidaknya ada 120 perda dan surat keputusan yang mewajibkan pemakaian jilbab, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Sementara itu, ada hampir 150.000 sekolah di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini, yang mewajibkan pelajar mengenakan "atribut agama tertentu."

Setelah insiden itu, Hia mengatakan bahwa sekolahnya tidak lagi memaksanya atau siswi Kristen lainnya untuk mengenakan jilbab. Dia sudah lulus tahun lalu.

Namun, yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang tidak berlaku di sekolah-sekolah lainnya.

Para aktivis juga mengingatkan bahwa meski sekolah itu sudah memutuskan untuk tidak lagi menjalankan kebijakan yang sejatinya belum mereka cabut, hal itu tampaknya tidak akan bertahan lama, mengingat kasus Hia telah menghilang dari ingatan publik. 

Kota Bharu juga dikenal sebagai Kota Islam. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

MARAKNYA "POLISI MORAL"

Di Malaysia, kebijakan tentang pakaian santun, pemeriksaan terhadap pasangan yang belum menikah, penutupan warung judi 4D, dan "pengawasan moral" agama oleh pihak berwenang membuat Siti Kasim khawatir dengan masa depan negaranya. 

Pengacara tersebut cemas bahwa jalan "Islamisasi" yang ditempuh para politisi di negaranya perlahan tapi pasti akan mengubah cara hidup masyarakat Malaysia. 

Siti Kasim, seorang tokoh yang berani mengkritik keras otoritas agama Islam di Malaysia, mengatakan bahwa pemaksaan agama semakin merajalela di negaranya, dilakukan dan didorong oleh para politisi.

"Masalahnya, orang-orang ini ingin membuat banyak undang-undang supaya bisa mengontrol kita. Para politisilah yang membiarkan moralitas agama semacam ini dipaksakan kepada kita dan kita harus mengikutinya. Pemerintah sekarang sedang menyiapkan undang-undang ini. Jadi, ini bagian dari politik Islam," katanya.

Saat ini, negara bagian Kelantan dan Terengganu menjadi perbincangan publik terkait kebijakan-kebijakan sosial mereka. Kedua negara bagian ini dikenal sangat mendukung Partai Islam Se-Malaysia (PAS) selama puluhan tahun. Para pengkritik menyebut kebijakan itu sama saja seperti pemolisian moral.

Di negara bagian seperti Kelantan dan Terengganu, lebih dari 95 persen penduduknya adalah Muslim. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional di Malaysia, yang hanya 63,5 persen.

Di bulan Juli 2023 misalnya, ada seorang pemilik salon di Kota Bharu - ibu kota Kelantan - yang dikenai denda sebesar RM100 (Rp335.000) karena membiarkan pekerja wanita memotong rambut pelanggan pria yang ternyata seorang Muslim.

Peristiwa ini terjadi sebulan setelah pemilik butik non-Muslim diberi surat panggilan karena telah melanggar peraturan daerah majelis tentang "pakaian tidak senonoh" dengan mengenakan celana pendek di tokonya. 

Wanita itu digambarkan mengenakan kaus longgar yang panjang hingga menutupi celana pendeknya.  

Dengan demikian, ia telah melanggar Peraturan Daerah Pasal 34 (2)(b) tahun 2019 tentang Bisnis dan Perdagangan Industri. Dalam pasal tersebut, pemilik usaha non-Muslim dan karyawan non-Muslim wajib mengenakan "pakaian yang santun."  

Usai insiden tersebut disorot media, Menteri Perumahan dan Pemerintah Daerah Malaysia Nga Kor Ming menyatakan bahwa pemanggilan tersebut sudah dibatalkan setelah berdiskusi dengan DPRD setempat.    

Peraturan daerah yang konon menekankan nilai-nilai Islam tersebut diberlakukan dan diterapkan oleh DPRD Kota Bharu. Peraturan ini juga melarang iklan yang tidak menutup aurat modelnya.

Bioskop di Kelantan juga dilarang sejak 1990, saat PAS meraih suara terbanyak di negara bagian tersebut. Selama bertahun-tahun, sejumlah perwakilan pemerintah menyatakan bahwa bioskop dapat menimbulkan penyakit sosial di masyarakat.

Simpatisan perempuan PAS menghadiri kampanye di Stadion Sultan Muhamad IV di Kota Bharu Kelantan pada 21 Juli 2023. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Sementara, di Terengganu, wanita dilarang untuk mengikuti ajang kompetisi gimnastik karena pakaiannya tidak sesuai dengan prinsip Syariah. Sebaliknya, beberapa atlet gimnastik wanita Muslim ditawari untuk bertanding di ajang seni bela diri wushu China di Malaysia Games 2024.

"Polisi moral berupaya mendorong batas-batas yang ada sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mayoritas orang Melayu, terutama yang muda-muda, didoktrin pemikiran tertentu," kata Siti Kasim.  

Anggota parlemen Permatang Pauh, Muhammad Fawwaz, yang juga bagian dari PAS, menyuarakan protesnya terhadap penjualan alkohol secara terang-terangan di sebuah mal di daerah pemilihannya saat perayaan Tahun Baru Imlek, tahun lalu.

Selama bertahun-tahun, politisi dari PAS dan kelompok agama lainnya telah menjadi sorotan di media massa atas pernyataannya yang menolak Hari Valentine dan Halloween.  

Di tahun 2016, ketua Pemuda PAS, yang saat itu dijabat oleh Nik Mohamad Abduh Nik Abdul Aziz, mengatakan bahwa remaja Muslim tidak sebaiknya merayakan Hari Valentine karena itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. 

Bahkan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) bertahun-tahun mengingatkan warga Muslimnya untuk tidak merayakan hari tersebut karena itu bukan bagian dari budaya Islam.

Belum lama ini, konser Coldplay, Billie Eilish dan Blackpink di Malaysia juga mendapat reaksi dari banyak politisi, yang menyatakan bahwa mereka mempromosikan penyakit sosial seperti budaya LGBT (lesbi, gay, biseksual, transgender).

Mei tahun lalu, Nasrudin Hassan – anggota komite kerja pusat PAS – menyerukan pembatalan konser Coldplay dalam postingan Facebook-nya.

Nasrudin bertanya, "Apakah pemerintah ingin memupuk budaya hedonisme dan penyimpangan di negeri ini?" Ia menambahkan bahwa konser tersebut tidak memberikan manfaat bagi "agama, ras dan negara."

Postingan Facebook tersebut disertai dengan gambar vokalis utama Chris Martin yang memegang bendera pelangi – bendera yang melambangkan komunitas LGBT – saat konser berlangsung. 

KONSEKUENSI DARI BERSUARA

Kebijakan diskriminatif di kedua negara tidak hanya pada tren pakaian atau budayanya saja. 

Beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Barat, Indonesia juga menempatkan kemampuan membaca Alquran sebagai syarat untuk lulus sekolah dasar atau masuk sekolah menengah pertama.

Belvan Sihombing, seorang Kristen yang pindah ke Sumatera Barat pada 2022, mengaku kaget ketika putranya pulang membawa pekerjaan rumah (PR) mata pelajaran agama Islam dari sekolah dasarnya.

"Putra saya dipaksa untuk belajar fiqih," cerita ibu dua anak itu kepada CNA mengenai mata pelajaran yang mempelajari ajaran dan hukum Islam tersebut. "Saya datangi (sekolah putra saya) dan ajak bicara dengan gurunya. Syukurnya mereka mau dengar."

Tetapi tidak semua orang bersedia mendengar dan reaksi keras yang kerap muncul ketika seseorang angkat bicara bisa mengancam kehidupannya.

Ayah Hia, Elianu Hia, mengaku sudah banyak ancaman pembunuhan yang ia terima hingga tak terhitung jumlahnya di Facebook dan WhatsApp semenjak kasus putrinya menjadi sorotan nasional.

"Ada yang mau bunuh saya-lah. Ada yang mau usir saya dari Kota Padang-lah. Saya khawatir (soal keselamatan keluarga saya). Itu sebabnya saya kepikiran untuk pindah (dari Sumatera Barat," kata ayah enam anak yang sudah menginjak 54 tahun itu. Ia menambahkan bahwa kasus tersebut juga berdampak pada bengkel AC-nya (air conditioner). Banyak pelanggan tetapnya yang ketakutan untuk berbisnis dengannya.

Hia mengatakan bahwa dia mengurungkan niat untuk pindah setelah beberapa pejabat pemerintah dan penegak hukum datang mengunjungi kediamannya dan memastikan keselamatan keluarganya.

Elianu Hia menerima ancaman pembunuhan setelah dia angkat bicara, menentang diskriminasi yang dialami putrinya Jenny yang dipaksa mengenakan jilbab di sekolah negeri meskipun dia seorang Kristen. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Zubaidah Djohar, asal Sumatera Barat dan kini menetap di Jakarta, juga menjadi sasaran ancaman pembunuhan.

Penyair dan penulis berusia 50 tahun itu bercerita dalam sebuah diskusi daring pada tahun 2021, yang mana dia mengkritik sekolah, universitas, dan lembaga publik di Sumatera Barat karena menawarkan beasiswa dan program pendaftaran khusus bagi orang-orang yang mampu menghafal Alquran saja.

Menurutnya, program-program ini diskriminatif terhadap calon pelajar non-Muslim yang mungkin lebih terampil dan kompeten daripada pelajar yang bisa menghafal Alquran atau hafiz.

Dalam diskusi tersebut, Zubaidah berdebat sengit dengan ulama setempat dan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi Islam paling berpengaruh di negara tersebut.

"Orang-orang yang merasa diri mereka paling suci dan paling benar tersinggung dengan kritikan saya. Mereka juga tersinggung ketika saya memakai jilbab tapi rambut dan leher saya masih kelihatan," cerita Zubaidah kepada CNA.

Penyair itu mengatakan bahwa sudah tak terhitung lagi jumlah ancaman pembunuhan yang ia terima setelah menghadiri diskusi tersebut. Bahkan ada beberapa Muslim konservatif yang membuat grup Facebook untuk membahas bagaimana cara membunuhnya.

"Saya tidak mau kembali ke Sumatera Barat. Orang-orang di sana hanya mau mendengar kata segelintir elite. Kata-kata mereka dipuja sementara pendapat yang berbeda dikesampingkan atau bahkan dikecam," katanya.

Jamaah berkumpul untuk salat Jumat di sebuah masjid di Sungai Tarab, Sumatera Barat, Indonesia. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

MENINGKATNYA INTOLERANSI DI SUMATERA BARAT

Kabupaten Solok, Sumatera Barat menjadi wilayah pertama di Indonesia yang mengeluarkan peraturan Syariah pada tahun 2001. Peraturan tersebut mewajibkan pelajar di sana untuk bisa membaca Alquran jika ingin lulus sekolah.

Setahun kemudian, kabupaten yang sama mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan jilbab di sekolah, kantor publik, dan acara pemerintahan.

Kedua peraturan tersebut tidak mencantumkan pengecualian untuk mereka yang non-Muslim.

Human Rights Watch mencatat bahwa sejak tahun 2001, lebih dari 700 perda dan kebijakan yang berlandaskan prinsip Syariah telah disahkan di seluruh Indonesia. Dalam beberapa kasus, peraturan tersebut hanya menyalin kata demi kata peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Solok.

Hardi Siswan, politikus dan anggota Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, mengatakan bahwa perda dan kebijakan tersebut hanyalah cerminan dari norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Sumatera Barat dan mengimbau mereka yang beragama non-Muslim dan pendatang untuk mematuhinya.

"Kami punya pepatah, 'di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung.' Di mana pun kita tinggal, kita harus mengikuti hukum dan kebiasaan masyarakat setempat," jelasnya.

Namun Sudarto dari organisasi Pusaka tidak sependapat dengannya. Menurutnya, pejabat publik dan peraturan-peraturan yang mereka keluarkan harus bersifat inklusif dan mampu mengakomodasi semua orang tanpa memandang agama dan latar belakang mereka.

"Apa bisa pejabat publik, yang hidup dari uang pajak rakyat, terlepas dari agamanya, menjamin keadilan bagi semuanya?" ucapnya.

"Ciri dasar demokrasi kan keberagaman. Apa mereka bisa mengelola keberagaman ini dengan prinsip kesetaraan dan keadilan?"

Tempat duduk bioskop di Terengganu dipisahkan berdasarkan gendernya. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

PENGAMAT: ISU-ISU YANG DIANGKAT BERKISAR PADA MORALITAS

Demikian pula, pengamat politik dan salah satu pendiri lembaga jajak pendapat Merdeka Center di Malaysia, Ibrahim Suffian, melihat bahwa peraturan daerah telah membentuk persepsi moral publik terhadap perihal-perihal yang dianggap berdosa dalam ajaran Islam, seperti perjudian, meminum minuman beralkohol, dan khalwat (berdua-duaan dengan yang bukan muhrim).

Dia menjelaskan bahwa, secara teknis, masalah-masalah tersebut tidak termasuk tindak pidana. Namun, menurut hukum Syariah, masalah tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum pidana. 

"Saya pikir selama masih ada persaingan antara partai-partai Melayu utama untuk memperebutkan suara pemilih Melayu, mereka akan terus menggunakan agama Islam untuk mencoba mendapatkan dukungan politik.

"Sebagian besar orang Melayu beragama Islam dan itu bagian penting dari identitas mereka. Ketika isu-isu konservatif yang melibatkan Islam muncul, mereka berupaya menunjukkan diri mereka sebagai partai yang dapat dipercaya," ujarnya sembari menambahkan bahwa PAS adalah partai yang selalu berada di garis depan politik Islam. 

Tempat-tempat perjudian yang berada dalam wilayah yurisdiksi PAS tidak diizinkan untuk beroperasi. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Empat negara bagian yang berada di bawah pemerintahan PAS telah menghentikan operasi tempat-tempat perjudian.

Negara bagian utara Perlis menutup gerai 4D terakhirnya pada awal Maret. Sebelumnya, negara bagian tersebut berada di bawah pemerintahan Barisan Nasional (BN) hingga akhirnya Perikatan Nasional (PN) memenangi pemilu pada November 2022 lalu.

Koalisi PN terdiri dari PAS, Partai Pribumi Bersatu Malaysia (Bersatu), dan Partai Gerakan Malaysia (Gerakan), walaupun yang terakhir tidak berhasil mendapatkan kursi di negara bagian tersebut.

Menurut laporan berita, ada enam tempat perjudian di Perlis tetapi semuanya ditutup setelah pemerintah yang dipimpin oleh PAS memutuskan untuk tidak memperpanjang izin operasional gerai-gerai tersebut.

Media lokal Malaysia melansir pernyataan dari Ketua Komite Perumahan dan Pemerintah Daerah Perlis Fakhrul Anwar Ismail, bahwa pemerintah negara bagian memandang langkah itu perlu untuk mencapai "keharmonisan sosial", meskipun pemerintah harus rela melepaskan pendapatan tahunan sebesar RM2.544 dari izin operasional perjudian.

Perlis menjadi negara bagian keempat di bawah pemerintahan PAS setelah Kelantan, Terengganu dan Kedah, yang turut menghentikan pengeluaran izin operasi gerai permainan.

Sebanyak 45 tempat permainan di Kedah ditutup pada tahun 2023 setelah pemerintah di negara bagian itu memilih untuk tidak memperpanjang izin operasional tempat-tempat tersebut. Menurut laporan media setempat, Menteri Besar Sanusi Md menyatakan bahwa jika masyarakat ingin tempat-tempat tersebut dibuka kembali, maka masyarakat harus memilih antara BN atau Pakatan Harapan (PH).

Kelantan dan Terengganu telah melarang tempat-tempat semacam ini beroperasi di negara bagian mereka. Masing-masing memberlakukan larangan tersebut pada tahun 1990 dan 2020.

Beberapa pengamat politik merasa konservatisme yang tumbuh di negara itu menjadi salah satu faktor yang membuat PAS menjadi pemenang terbesar dalam pemilihan umum Malaysia 2022. Partai ini berhasil memenangi jumlah kursi terbanyak dengan 43 kursi.

Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dari perolehan mereka saat pemilu 2018, yaitu sebanyak 18 kursi.

Partai tersebut kembali menorehkan pencapaian yang luar biasa saat pemilu di enam negara bagian Malaysia pada Agustus 2023 lalu. Mereka sukses merebut 117 dari 127 kursi. Kemenangan mereka tidak hanya menjangkau negara bagian Malaysia yang sebelumnya berhasil mereka kuasai seperti Kelantan, Terengganu dan Kedah. Mereka juga berjaya di negara-negara bagian seperti Penang dan Selangor.

TIDAK INGIN HIDUP DENGAN LARANGAN

Masyarakat Tionghoa lanjut usia di negara bagian seperti Kelantan dan Terengganu telah menerima kenyataan bahwa mereka adalah minoritas. Mereka rela hidup berdampingan dengan larangan-larangan, selama mereka diizinkan untuk menjalankan keyakinan dan perayaan mereka secara tertutup, kata James Chin, Profesor Departemen Asian Studies dari University of Tasmania.

"Tapi yang muda-muda, saya melihat jelas bahwa mereka tidak mau hidup dengan larangan yang semakin ketat. Banyak dari mereka berdalih karena peluang ekonomi, tapi saya kira sebenarnya, masalah terbesarnya ada di pembatasan sosial dan kekhawatiran akan keadaan yang semakin memburuk bagi masyarakat non-Muslim," ucapnya.

Saat diwawancarai oleh CNA, kebanyakan masyarakat non-Muslim dari kedua negara bagian tersebut merasa tidak ada yang perlu ditakutkan dengan keberadaan PAS, walaupun mereka masih mengharapkan peraturan yang lebih longgar.

Si Kaycee, 61 tahun, pemilik minimarket di Kampung China, Kuala Trengganu, merasa sangat disayangkan bahwa berbagai larangan diberlakukan bagi semua orang di negara bagian itu. 

Dia menceritakan bahwa kedua putrinya pindah ke Singapura dan Lembang Klang, di mana mereka menemukan kehidupan yang lebih baik.

"Memang tidak adil tapi kami bisa menyesuaikan diri, mereka yang kesulitan beradaptasi biasanya anak generasi muda ... Mereka tak setuju hidup dengan larangan-larangan ini ... Saya masih bisa berjumpa dengan mereka tapi sayang sekali mereka terpaksa pergi dari kampung halamannya untuk mencari kehidupan yang lebih baik," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa ada beberapa aturan, seperti bioskop dan kolam renang terpisah berdasarkan gender, yang meskipun belum diberlakukan, tetap membuatnya gelisah.

"Saat kami semua pergi ke bioskop, kami biasanya duduk bersama. Memang aturan ini meresahkan tapi kami lama-lama juga terbiasa," tuturnya.

Dia, bagaimanapun, bersikeras bahwa penduduk tidak takut pada PAS karena mereka bukan Taliban, kelompok fundamentalis di Afghanistan.

Jennifer Ang berbicara dengan CNA dalam wawancaranya di Kuala Terengganu. (Foto: CNA/Zamzahuri Abas)

Jennifer Ang, Ketua Asosiasi Kopitiam dan Restoran di Terengganu, menyatakan bahwa banyak masyarakat non-Muslim menemukan cara untuk berjudi, termasuk pergi ke negara bagian lain seperti Pahang.  

Pemilik T-Homemade café - kopitiam di Kampung China, Kuala Terengganu - tersebut mengungkap bahwa ada juga yang melakukannya secara ilegal. 

Namun demikian, dia berharap pemerintah negara bagian dapat merancang sejumlah program untuk menarik lebih banyak wisatawan. Baru-baru ini ada acara festival Cap Go Meh, atau Hari Valentine-nya masyarakat China, di kota tersebut.

"Orang Melayu dan India juga turut merayakannya dengan kami. Tapi, hanya satu malam saja dan itu jarang sekali. Saya harap kita bisa melakukannya sekali sebulan, merayakan festival Tionghoa. Seharusnya (diperbanyak kegiatan-kegiatan seperti ini) untuk mendorong pariwisata ... buat seperti Jonker Street di Melaka," jelasnya merujuk pada jalan pecinan yang ramai dikunjungi di negara bagian selatan tersebut.

Bhavin, penjual barang antik di Kelantan berusia 73 tahun, menceritakan bahwa dia tidak terdampak oleh larangan perjudian karena ia bukan penjudi. Meski begitu, setiap kali dia ingin berpergian keluar dari negara bagian dan menonton film di bioskop, dia harus menabung uang terlebih dahulu.

"Sayang sekali mereka tidak punya bioskop di sini. Mereka juga tidak mengizinkan pengamen dan musik," katanya. 

Kendati ia tidak pernah kepikiran untuk pindah karena keluarga dan usahanya ada di sana semua. Dia mengatakan, dia bisa mencari nafkah yang cukup di sana.

"Kami harap PAS bisa mengurangi larangan bagi non-Muslim, dan hanya melarang umat Islam saja karena hukum (Syariah) seharusnya tidak berlaku untuk kami," jelasnya.  

KEPALA INFORMASI PAS: PERATURANNYA SESUAI KEINGINAN MASYARAKAT

Kepala Informasi PAS Ahmad Fadhli Shaari mengatakan kepada CNA bahwa peraturan tertentu dibuat karena penduduk setempat menginginkannya.

"Itu tergantung pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai seperti itu. Jika PAS menjadi bagian dari pemerintah, akan dipertimbangkan bagaimana penerimaan penduduk setempat terhadap masalah ini," ucapnya.

Dia mengatakan bahwa ketika PAS menjadi bagian dari pemerintahan Selangor dari tahun 2008 hingga 2015, PAS tidak berupaya memberlakukan peraturan konservatif apa pun.

Ahmad Fadhli juga menyampaikan adanya persepsi bahwa PAS hanya menitikberatkan pada akhlak dan agama saja. "Beberapa pernyataan kami tentang isu-isu ini mendapat perhatian tapi ketika kami berbicara tentang isu-isu seperti ekonomi, hal tersebut kerap kali diabaikan," tuturnya.

"Jadi seolah-olah PAS hanya membahas hal-hal keagamaan atau pengawasan moral saja. PAS lebih dari itu dan Kelantan jadi bukti terbaiknya. Di Kelantan, masyarakat non-Muslim tidak diganggu atau dipaksa (untuk mengikuti kebiasaan hidup tertentu)."

Kepala informasi PAS Ahmad Fadhli Shaari di Parlemen Malaysia. (Foto: CNA/Rashvinjeet S Bedi)

PAS merupakan bagian dari koalisi Pakatan Rakyat dengan Partai Keadilan Rakyat (PKR) dan Partai Aksi Demokratik (DAP) sebelum akhirnya koalisi tersebut dibubarkan pada tahun 2015.   

"Di Kelantan, masyarakatnya berbeda. Jika kita dikasih kesempatan untuk memerintah Malaysia, bukan berarti kita akan jadikan Kelantan sebagai patokan. Patokannya adalah seberapa nyaman masyarakat setempat dengan situasi di sana.

"Meski demikian, akan ada peraturan tertentu yang harus dipatuhi. Bahkan kebebasan (berpakaian) pun tidak mutlak ... ketika Pakatan Harapan (PH) dan Barisan Nasional (BN) berkuasa, ada juga batasannya.

"Misalnya, bolehkah Anda memakai celana pendek di parlemen? Anda tidak bisa. Bolehkah Anda memakai rok? Tidak bisa. Artinya, ada batasan tertentu yang telah diperkenalkan. Itu tugas pemerintah untuk mengevaluasi," katanya.

Laporan tambahan oleh Amir Yusof

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan