Skip to main content
Iklan

Asia

FOKUS: Permintaan daging dunia menggila, mengapa lahan pertanian di Thailand yang nelangsa?

Thailand adalah produsen protein terbesar di Asia Tenggara. Seiring meningkatnya permintaan akan daging, hutan-hutan dan lahan pertanian campuran di utara Thailand telah menjelma menjadi ladang jagung skala besar untuk memasok pakan ternak. Para pakar mengatakan, kondisi ini mesti berubah.

FOKUS: Permintaan daging dunia menggila, mengapa lahan pertanian di Thailand yang nelangsa?

Suthat Thepin telah bekerja di bukit-bukit di Chiang Mai selama beberapa dekade. (Foto: CNA/Jack Board)

CHIANG MAI, Thailand: Jalanan aspal di punggungan gunung tertinggi Thailand, Doi Inthanon, tinggi dan berkelok seakan hampir menyentuh awan.

Ketika aspalnya kembali menyentuh dataran rendah, medannya melandai, membentuk lembah-lembah subur yang cocok untuk menumbuhkan tanaman padi dan sayur-sayuran seperti labu atau cabai.

Namun dalam kurun waktu satu generasi terakhir, wilayah itu telah menjelma menjadi zona industri pertanian yang hanya menanam satu jenis tanaman: Jagung.

"Waktu saya muda, ini semua hutan. Orang-orang memelihara kerbau, beberapa lainnya mengumpulkan jamur dan rebung. Kami biasanya bermain dan memetik sayur lalu memakannya seperti camilan. Kami tidak perlu membeli apa pun," kata Suthat Thephin yang telah bertani selama 30 tahunan.

"Tapi sekarang, semuanya berubah. Tempat kami dulu bermain sudah hilang dan menjadi ladang milik orang."

Para petani di Thailand utara semakin banyak yang beralih menanam jagung daripada tanaman tradisional. (Foto: CNA/Jack Board)

Di distrik Mae Chaem, sekitar 125km sebelah barat Chiang Mai, tanahnya kini kering kerontang, gemeretak ketika terinjak.

Lereng-lereng bukit dipenuhi cekungan erosi menyerupai garis kontur pada peta.

Tongkol-tongkol jagung yang menghitam menjadi bukti tanaman itu pernah ditanam di tempat ini berbulan-bulan lalu.

Jagung adalah tanaman paling banyak ditanam di Thailand, terutama di beberapa bagian utara dan timur laut. Jagung juga telah menjadi tanaman monokultur yang dominan di kawasan sekitarnya, seperti Negara Bagian Shan di Myanmar atau di bagian utara Laos.

Dari pemantauan citra satelit, organisasi lingkungan Greenpeace menemukan bahwa 1,88 juta hektare hutan di Lembah Sungai Mekong telah dialihfungsikan sebagai tempat budidaya jagung antara 2015 dan 2023 pada tiga kawasan di atas.

Perkebunan jagung di kawasan-kawasan itu diperuntukkan bagi industri pakan ternak dengan jaringan langsung atau tidak langsung ke Thailand.

Suthat ikut membentuk lanskap perkebunan di salah satu kawasan tersebut, namun dia bukanlah perencananya. Perubahan pertanian ke skala-industri yang merambah sebagian besar Thailand utara adalah bagian dari upaya negara itu mengembangkan perekonomian di sektor daging.

Produksi pakan, yang sebagian besarnya untuk ayam dan sisanya untuk babi, dipicu oleh meningkatnya permintaan akan daging dari negara-negara di Asia Tenggara dan belahan bumi lainnya.

Menurut data perusahaan konsultan independen Asia Research and Engagement pada 2018, konsumsi daging di Asia akan naik hingga 78 persen di pertengahan abad ini.

Belakangan muncul seruan dari para peneliti, aktivis udara bersih dan organisasi lingkungan kepada perusahaan-perusahaan Thailand yang terlibat dalam rantai-makanan modern ini untuk meningkatkan keberlanjutan industri jagung serta mengatasi dampaknya terhadap kesehatan, tanah, kualitas udara, air dan kehidupan petani.

"Apa yang kita lihat sekarang di seluruh bagian utara Thailand, dan jelas di beberapa bagian Asia Tenggara, adalah perambahan terhadap pertanian komoditas secara bertahap," Mark Simmerman, peneliti dan aktivis hutan dan pertanian yang berbasis di Chiang Mai.

"Ini soal memproduksi satu jenis produk dalam skala besar, yaitu jagung. Hampir seluruh jagung itu akan digiling dan dijadikan pakan hewan. Dan industri ini sangat besar dan berkembang pesat karena masyarakat semakin banyak yang makan daging."

Mark Simmerman menghabiskan waktu berjalan-jalan di ladang dan hutan di sekitar Chiang Mai. (Foto: CNA/Jack Board)

THAILAND PEMAIN DAGING GLOBAL

Thailand adalah produsen protein terbesar di Asia Tenggara – satu-satunya pengekspor bersih produk daging di Asia dan produsen utama pakan ternak, daging babi, dan makanan laut.

Thailand juga merupakan pengekspor ayam olahan terbesar di dunia.

Dari supermarket di Hungaria, pom bensin di Inggris, pasar di Malaysia dan izakaya di Jepang, ada kemungkinan ayam-ayam yang dijual di sana berasal dari Thailand.

Ekspor ayam Thailand melonjak dalam beberapa tahun terakhir, meningkat sekitar tiga kali lipat sejak 2009, di masa ketika negara itu mulai pulih dari wabah flu burung H5N1 pada 2004.

Pada 2023, Thailand mengekspor lebih dari satu juta ton ayam, dengan nilai perdagangan sekitar US$4.1 miliar (Rp66,83 triliun), menjadikan Negeri Gajah Putih pemain terbesar di bidang ini di Asia.

Konglomerat multinasional Thailand, Charoen Pokphand (CP), adalah produsen ayam terbesar di Asia.

Pada 2022, CP merupakan produsen pakan ternak terbesar di dunia dan, pada tahun 2024, menempati peringkat kelima — penurunan peringkat ini sebagian disebabkan oleh restrukturisasi peternakan broiler-nya di China.

Konglomerat besar lainnya di sektor daging Thailand yang memiliki pendapatan operasional besar antara lain Betagro Group, GFPT, Cargill Meats, Thai Foods Group, dan Thai Union Group.

Perbukitan di distrik Mae Chaem, Chiang Mai, tampak gundul setelah panen jagung. (Foto: CNA/Jack Board)

Selama bertahun-tahun, perusahaan-perusahaan raksasa di Thailand telah memperluas pengaruh pasar mereka ke Asia Tenggara serta negara-negara maju di Asia Timur dan Eropa, dengan menjajaki peluang di sektor ayam matang dan olahan yang bernilai tinggi.

CP, misalnya, pada tahun 2023 beroperasi dan berinvestasi di 17 negara berbeda, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Brasil, Rusia, dan Turki. Betagro mengekspor ke lebih dari 20 negara di seluruh dunia.

Perkembangan sektor ini terjadi seiring perubahan selera konsumen yang kini lebih banyak makan daging, pesatnya pertumbuhan perkotaan dan peningkatan kesejahteraan di Asia.

Pada 1990, rata-rata setiap orang di Thailand memakan 16,6kg daging per tahun. Pada 2022, angkanya naik mencapai 28,1kg berdasarkan analisis data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). 

Data itu menyebutkan, pada 2050 angkanya diprediksi naik hingga 41,6kg.

Tren serupa bisa dilihat di seantero kawasan Asia Tenggara dan seluruh dunia.

Konsumsi daging di Vietnam, misalnya, meningkat empat kali lipat selama tiga dekade terakhir. Di China, konsumsi daging per kapita naik tiga kali lipat sejak akhir 1980-an dan sekarang telah menyumbang lebih dari seperempat konsumsi daging global.

Konsumsi daging dan makanan laut di Indonesia diproyeksi meningkat tiga kali lipat dari 2018 ke 2050, berdasarkan laporan Asia Research and Engagement.

Industri ini memerlukan pasokan pakan yang luar biasa besar dan stabil, dan produksi jagung secara geografis akan mengikuti di mana permintaan daging datang.

Pada 2020, sekitar 1,15 juta hektare lahan subur di Thailand dijadikan ladang jagung untuk pakan ternak. Thailand juga telah mengimpor 60 persen dari kebutuhan jagung mereka yang sebagian besarnya untuk pakan.

Budi daya jagung di Thailand melonjak pada beberapa periode yang berbeda ketika kondisi pasar menguntungkan bagi petani, terutama di tahun 1980-an ketika banyak lahan yang didedikasikan untuk ladang jagung dan pada 2010-an ketika produksinya meningkat.

Budi daya ini juga meluas hingga ke negara-negara seperti Myanmar karena biayanya yang lebih murah dan untuk memenuhi permintaan masyarakat kelas menengah di China, kata Kevin Wood, peneliti di lembaga edukasi nirlaba East-West Center yang meneliti perkembangan budidaya jagung.

Menurut analisis Madre Brava, organisasi konsultan iklim internasional, total penggunaan lahan di dalam dan luar negeri yang terkait dengan produksi daging dan makanan laut Thailand mencapai 4,3 juta hektare pada 2020, naik hampir dua kali lipat dibanding tahun 1990.

Organisasi ini juga memproyeksikan bahwa dengan skenario saat ini, penggunaan lahan akan meningkat hingga 42 persen pada 2050 menjadi 6,15 juta hektare atau sekitar 84 kali luas Singapura.

Dengan peningkatan itu, artinya hutan akan lebih banyak hilang. Para peneliti mengatakan, banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan keberlanjutan dari industri ini.

"Saya rasa kita tidak punya lahan yang cukup untuk menumbuhkan pakan hewan. Konsekuensi lingkungannya akan sangat buruk. Kita harus segera bertindak sekarang," kata Wich Piromsan, direktur Madre Brava di Thailand.

Masyarakat Thailand mengonsumsi lebih banyak daging dalam menu makanan mereka daripada sebelumnya. (Foto: CNA/Jack Board)

SULIT BERNAPAS

Salah satu dampak langsung dari tumbuhnya industri pertanian di utara Thailand dan negara tetangganya adalah kabut asap lintas batas yang rutin terjadi dari Januari hingga April.

Polusi udara ini terjadi karena para petani - termasuk Suthat - membakar ladang untuk membersihkan sisa-sisa tanaman setelah dipanen. 

Seperti kebanyakan petani lainnya, Suthat mengatakan hampir tidak ada cara lain untuk membersihkannya.

Setelah panen, para petani kemudian menyiapkan lahan lagi untuk bercocok tanam, pohon-pohon kecil ditebang dan rumput dicabuti. Jika lahannya datar, mereka bisa langsung membajaknya, namun jika di perbukitan atau lereng curam seperti kebanyakan wilayah di utara Thailand, maka mereka akan membakarnya.

Karena lokasinya yang dekat dengan hutan, api dari pembakaran bisa merambat tak terkendali.

Setelah pembakaran selesai, petani akan menyemprotkan bahan kimia herbisida pra-tumbuh untuk mencegah rumput-rumput tumbuh kembali.

Langkah-langkah ini bisa diulangi hingga beberapa kali, membuat tanahnya menjadi kering dan tandus. Jika semua sudah siap, mereka akan mulai menanam bibit lagi, lalu membubuhkan beberapa lapis pupuk kimia.

Chanoknan Nanthawan, pendiri Somdul Chiang Mai. (Foto: CNA/Jack Board)

Berbagai studi menunjukkan adanya kaitan antara wilayah pertanian jagung dengan titik-titik panas di sekitar Lembah Sungai Mekong. Greenpeace mengamati, antara Desember 2022 hingga Mei 2023 titik panas ditemukan di 41 persen wilayah pertanian jagung di sekitar Mekong Raya.

Selain itu, polusi PM2,5 - partikel mikro yang bisa menyebabkan masalah kesehatan serius - di Thailand juga disebabkan oleh budi daya tanaman lain seperti tebu dan juga emisi kendaraan serta industri.

Karena budi daya jagung tersebar di daerah-daerah sepanjang perbatasan Thailand, maka mengatasi polusi akibat pembakaran lahan akan sulit dan "harus dilakukan di seluruh kawasan... termasuk di negara lain dan harus bekerja sama," kata Sompron Chantara, kepala Environmental Science Research Center di Chiang Mai University.

Menurut riset Madre Brava, emisi akibat pertanian ini diperkirakan telah menyebabkan lebih dari 34.000 kematian dini setiap tahunnya di Thailand. Lembaga ini memprediksi bahwa kematian total bisa mencapai 361.000 pada 2050 jika permintaan akan daging terus tumbuh.

Alih fungsi lahan hutan menjadi ladang jagung juga menyebabkan peningkatan risiko banjir dan longsor di Chiang Mai dan provinsi Chiang Rai.

Pada akhir 2024, kawasan itu mengalami banjir terburuk dalam puluhan tahun terakhir, termasuk longsor lumpur dan aliran deras yang merendam permukiman warga. Greenpeace mengatakan, wilayah industri jagung memang lebih rentan bencana.

“Cukup traumatis, ketika Anda melihatnya dengan mata kepala sendiri dan berjalan melewati hutan yang masih utuh, atau area yang dulunya hutan satu, dua, atau lima tahun lalu dan kini telah berubah secara drastis,” kata Simmerman, peneliti.

“Sejujurnya, menyakitkan melihat kehancuran itu.”

Luas hutan di Thailand perlahan tapi pasti terus menyusut - dari yang sebelumnya mencakup tiga perempat wilayah negara itu pada awal abad ke-20, kini turun menjadi sekitar sepertiga.

Penebangan kayu secara komersial memang telah dilarang sejak tahun 1989 di Thailand, tapi lahan yang kini tersisa juga terancam.

"Mereka (petani) benar-benar menebang pepohonan sampai ke batas taman nasional. Di satu sisi, hutannya lebat dan indah. Sementara di sisi lain, seperti gurun," kata Simmerman yang sudah tinggal di Thailand selama puluhan tahun.

Bahkan pada hari yang relatif cerah di bulan April 2023 di Chiang Mai, kota tersebut tetap diselimuti kabut asap. (Foto: Jack Board/CNA)

PETANI THAILAND: MISKIN, TERJERAT UTANG

Selain lingkungan, pertumbuhan pertanian jagung juga berdampak pada mata pencaharian petani.

Chanoknan Nanthawan, aktivis lingkungan dan pendiri Somdul Chiang Mai — organisasi yang berdedikasi meningkatkan kesadaran akan isu polusi di Thailand utara — mengatakan bahwa masyarakat setempat dulunya hanya menanam sayuran untuk dikonsumsi sendiri atau dibagikan ke tetangga.

“Namun, ketika budi daya jagung mulai dipromosikan, penggunaan lahan pertanian pun berubah, dari yang awalnya hanya memakai lahan kecil kini menjadi jauh lebih luas, yang berarti lebih banyak hutan diubah menjadi ladang jagung,” katanya.

“Awalnya kelihatannya bagus, jadi cara alternatif mendapat pemasukan tambahan. Itulah mengapa hal ini menjadi populer,” ujar Chanoknan.

"Pertanian jagung membantu petani mendapatkan nafkah. Anak-anak mereka bisa bersekolah. Mereka bisa beli TV, kulkas, motor, mobil atau bahkan merenovasi rumah menjadi rumah beton. Hal-hal seperti ini membangkitkan harapan."

Tetapi ketika lahan yang sama digunakan berkali-kali tanpa henti, tanahnya menjadi rusak dan hasil panen menurun.

Chanoknan mengatakan para petani kini terlalu bergantung pada teknologi pertanian seperti benih tahan kekeringan, herbisida, pembasmi gulma, insektisida dan pupuk kimia, yang pada akhirnya meningkatkan ongkos mereka.

"Kini menjadi kontradiktif - investasi tinggi tapi untung yang sedikit. Hal ini membuat utang bertambah."

Petani mengalami tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan warga Thailand pada umumnya. (Foto: CNA/Jack Board)

Petani Thailand, yang merupakan kelompok masyarakat yang semakin menua, menghadapi tingkat utang dan kemiskinan yang tinggi. Sekitar 37,5 persen lansia di daerah pedesaan Thailand hidup di bawah garis kemiskinan.

Mayoritas penduduk miskin di negara tersebut, sekitar 79 persen, tinggal di pedesaan, terutama dalam rumah tangga pertanian, menurut laporan Bank Dunia tahun 2022. Laporan itu menemukan bahwa selama sedekade terakhir pendapatan pertanian terus menurun.

Karena petani tidak menjual langsung ke perusahaan yang mereka pasok, maka dukungan kepada mereka sangat kecil, tidak seperti halnya karyawan biasa. Para petani biasanya menjual hasil panen jagung mereka ke perantara atau tengkulak, jarang langsung ke perusahaan besar.

"Dalam beberapa tahun, para petani menjual jagung mereka dengan merugi, di tahun lain hanya impas. Kemungkinan mendapatkan harga tinggi yang benar-benar bisa mencukupi kehidupan sangatlah kecil," kata Somkiat Meetham, peneliti masyarakat sipil di Mae Chaem.

Terjebak dalam sistem monokultur yang berulang dan dililit utang membuat banyak petani tidak dapat membayangkan masa depan yang lebih baik, ujar Sayamol Charoenratana, Direktur Center for Excellence for Human Security and Equity di Universitas Chulalongkorn.

Sayamol mengaku sedih ketika berbicara dengan para petani soal usaha mereka dalam menghidupi diri ke depannya.

"Mereka berkata kepada saya, kami tidak bisa membayangkan hidup lima atau 10 tahun ke depan, hanya tahun ini saja, soal bagaimana kami bisa bertahan hidup," kata dia.

Mayoritas penduduk miskin di Thailand, 79 persen, tinggal di daerah pedesaan, terutama dalam rumah tangga pertanian. (Foto: CNA/Jack Board)

Suthat, petani, mengatakan bahwa dia akan meninggalkan siklus bertani jagung yang seakan tak berujung jika dia memang bisa.

"Saya sudah tua. Saya akan mencobanya mungkin lima tahun lagi. Atau sampai saya sudah tidak sanggup lagi. Kalau saya tidak dapat pinjaman, saya tidak bisa melanjutkannya. Itu satu-satunya alasan," kata dia.

Berdasarkan catatan PBB, pada tahun 2024, 88 persen produksi jagung resmi Myanmar diekspor ke Thailand.

Di Myanmar, pertanian jagung awalnya merupakan skema pemerintah Amerika Serikat bernama American 101, yang bertujuan mengalihkan petani dari menanam opium. Pada pertengahan 2000-an skema ini meluas lintas-batas menjadi pertanian kontrak dan diatur dalam kebijakan pemerintah Thailand yang ketika itu dipimpin Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Penelitian oleh Woods dari East-West Center menemukan bahwa para petani Myanmar awalnya diberikan harga murah untuk benih CP dan berbagai perangkat tanam lainnya agar mereka bisa beralih dari pertanian subsisten ke kontrak jagung.

Pertanian kontrak adalah perjanjian antara dua pihak yang menetapkan jumlah dan kualitas hasil panen yang harus diserahkan, harga yang akan diterima petani, dan waktu penyerahannya.

Pada saat yang sama, impor jagung dari Myanmar ke Thailand dibebaskan dari tarif bea masuk.

Namun, ketika tanaman jagung mulai mendominasi dan subsidi dari perusahaan mulai menghilang, petani Myanmar yang sudah tidak lagi menanam makanan sendiri menjadi rentan terhadap gejolak pasar.

Woods menemukan kehidupan para petani di pedesaan menjadi sengsara karena mereka kehilangan lahan lantaran harus dijual untuk membayar utang yang menumpuk.

“Saya sudah melakukan penelitian semacam ini selama 25 tahun. Saya belum pernah menyaksikan sesuatu yang sedramatis ini,” kata dia, menceritakan soal bagaimana pemilik lahan kecil terpaksa menjadi pekerja bagi orang yang membeli lahan mereka.

“Kami jadi pembantu di rumah kami sendiri. Itu yang dikatakan seorang petani kepada saya, dan saya rasa itu adalah penggambaran yang sangat tepat.”

Ladang jagung sering kali dibakar setelah panen di Thailand dan Myanmar. (Foto: CNA/Jack Board)

PERUBAHAN LANSKAP

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dan para aktivis di Thailand telah mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan mengatasi polusi udara.

Pada April 2023, pemerintah Thailand digugat setelah langit Chiang Mai menggelap dan kota itu mencatatkan kualitas udara terburuk di dunia pada 6 April di tahun itu, dengan tingkat PM2,5 mencapai 15 kali lipat dari batas aman yang ditetapkan WHO.

Sekitar 1.700 warga, termasuk akademisi, aktivis dan tenaga medis, mengajukan gugatan kelompok (class action) terhadap perdana menteri ketika itu Prayut Chan-o-cha dan lembaga lainnya seperti Dewan Lingkungan Nasional (NEB) serta Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand.

Kurang dari setahun kemudian, Pengadilan Administratif Chiang Mai memutuskan bahwa perdana menteri dan NEB lalai dalam menjalankan tugasnya, dan memerintahkan pihak berwenang mengambil tindakan nyata mengatasi polusi udara.

Salah satu pengacara penggugat dalam kasus ini adalah Watchalawalee Kumboonreung, seorang pengacara lingkungan dari EnLAW, LSM yang memberikan dukungan hukum dan hak asasi manusia kepada masyarakat.

Ia mengatakan bahwa pemerintahan saat ini belum melakukan banyak perubahan berarti terhadap masalah polusi.

“Mereka berjanji akan menjadikan polusi PM2,5 sebagai agenda nasional dan menyelesaikannya segera. Tapi kami belum melihat rencana baru. Kami hanya melihat rancangan saja,” ujarnya.

Sebuah RUU udara bersih memang telah didukung oleh kabinet nasional, namun belum ada undang-undang yang disahkan—yang seharusnya mencakup pembentukan badan penetapan standar kualitas udara serta regulasi terhadap sumber polusi, termasuk pembakaran di ruang terbuka dan masalah lintas batas.

Peneliti di Chiang Mai mengatakan kabut asap lintas batas adalah penyebab utama polusi di Thailand utara. (Foto: CNA/Jack Board)

Pejabat pemerintah Thailand menyadari perlunya “mencegah perluasan budi daya jagung” di daerah dataran tinggi di Thailand utara, kata Jongrak Imchai, direktur Kantor Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Departemen Pertanian di Chiang Mai.

Dia mengakui bahwa lahan memang biasanya dibakar untuk keperluan produksi pakan ternak.

Jongrak mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada pemulihan lahan ke kondisi aslinya sebagai daerah tangkapan air dengan pohon-pohon besar, serta memastikan keberlanjutan ekosistem hutan.

Pemerintah Thailand juga sedang mendorong pembatasan impor jagung yang berasal dari lahan yang telah dibakar. Mereka telah menyetujui secara prinsip larangan impor tersebut dan diharapkan akan mengesahkan undang-undang udara bersih sebelum akhir tahun ini.

Namun larangan ini bisa jadi sulit untuk ditegakkan dan dipantau, terutama dari Myanmar, dan akan memerlukan sertifikasi yang dikeluarkan oleh otoritas terkait di negara-negara tersebut, kata para ahli.

Tidak ada undang-undang yang akan segera diberlakukan untuk melarang pembakaran jagung di dalam negeri. Importir juga akan diwajibkan menunjukkan peta asal jagung mereka.

Kendati demikian, pemerintah Thailand masih terus mendorong dan melindungi industri jagung melalui kebijakannya. 

Mulai 2023, pemerintah mulai menerapkan batas harga minimum untuk melindungi petani jagung dari fluktuasi harga. Program ini juga mengharuskan pabrik pakan memprioritaskan pembelian jagung lokal.

Berbagai kebijakan ini pada akhirnya semakin mendorong budi daya jagung untuk memenuhi pasokan yang dibutuhkan industri Thailand, dan membuat petani semakin enggan mengambil risiko beralih ke tanaman alternatif, kata Itthirit Wongchai, peneliti industri pertanian dari School of Economics and Investment di Universitas Bangkok.

Hal ini semakin mengukuhkan peran industri jagung di pedesaan Thailand, lanjut dia. “Jika kita masih memiliki kebijakan perlindungan seperti ini untuk petani, tentu saja mereka tidak akan beralih dari kebiasaan sekarang.”

Para ahli mengatakan penggunaan bahan kimia dalam jangka panjang berdampak buruk pada tanah. (Foto: CNA/Jack Board)

Pada saat yang sama, pemerintah Thailand juga sedang mempromosikan program tanaman alternatif di wilayah-wilayah yang mengalami pembakaran lahan setiap tahun, yang digambarkan oleh Jongrak sebagai pendekatan tiga arah di wilayah Chiang Mai.

Pendekatan pertama adalah mengubah kebiasaan petani membakar lahan dengan mengembangkan dan memperkenalkan mikroorganisme untuk mengurai limbah tanaman.

Mengganti jagung di daerah dataran tinggi dengan tanaman bernilai tinggi seperti kopi, makadamia, dan alpukat akan “mengarah pada sistem yang lebih berkelanjutan”, katanya, dan menanam tanaman alternatif seperti kedelai.

Stephen Elliot, direktur riset di Forest Restoration Research Unit Universitas Chiang Mai, memiliki solusi lainnya.

Ia ingin mendorong petani untuk melindungi ladang mereka sendiri dan mengembalikannya menjadi hutan. Solusi dari unit risetnya adalah memonetisasi karbon yang diserap dan disimpan di hutan berhasil yang dipulihkan. Cara ini akan mendorong petani menanam pohon alih-alih jagung.

Hal ini dapat memberikan manfaat tambahan berupa peningkatan pendapatan petani, pengurangan masalah kesehatan masyarakat akibat asap, perlindungan daerah aliran sungai, dan pelestarian keanekaragaman hayati, menurut sebuah makalah penelitian yang ia tulis bersama.

Untuk mewujudkan solusi ini, Thailand harus membentuk pasar karbon yang menjadi tempat bagi perusahaan-perusahaan membeli kredit karbon. Pasar karbon sendiri sedang dijajaki oleh pemerintah Thailand.

“Kami memiliki data yang menunjukkan bahwa ini akan sangat menguntungkan. Menurut saya, ketika ada beberapa petani yang menghasilkan banyak uang dari ini, semua akan melihatnya dan ingin melakukan hal yang sama,” katanya.

Daging babi dipajang di pasar di Chiang Mai, Thailand. (Foto: CNA/Jack Board)

JANJI PERUSAHAAN

Beberapa perusahaan telah berjanji untuk menjaga lingkungan, dan prosesnya masih terus berlangsung.

CP Foods misalnya, memiliki kebijakan “tidak membeli dan mengimpor produk jagung dari wilayah yang mengalami deforestasi dan pembakaran lahan.”

Perusahaan ini juga menargetkan nol deforestasi untuk empat bahan baku pertanian utama, yakni jagung, kedelai, minyak sawit, dan singkong, di seluruh operasi globalnya pada tahun 2025.

Dalam laporan keberlanjutannya, CP Foods menyatakan bahwa mereka menggunakan teknologi blockchain dan citra satelit canggih untuk menentukan secara presisi di mana pembakaran lahan terjadi, dan tidak akan dengan sengaja membeli jagung dari produsen tersebut.

“Ketika ditemukan titik panas di lahan terdaftar, perusahaan akan melakukan investigasi dan mengeluarkan surat peringatan kepada petani disertai edukasi tentang bagaimana mengelola sisa panen dengan benar tanpa membakar,” demikian isi laporan tersebut.

Sepanjang tahun 2023, ditemukan 98 titik panas yang diselidiki dan diberikan surat peringatan, menurut laporan tersebut.

Pendekatan CP Foods terhadap sumber bahan baku yang bebas deforestasi didasarkan pada sertifikat hak milik tanah atau dokumen resmi yang menyatakan bahwa area perkebunan tersebut diizinkan sebagai lahan pertanian.

Perusahaan ini menargetkan agar 100 persen bahan baku utamanya dapat ditelusuri asal-usulnya pada tahun 2030. Saat ini, kurang dari setengah dari keseluruhan bahan bakunya dapat dilacak, sementara 61,2 persen area perkebunan jagungnya sudah mencapai target tersebut.

Kurang dari seperempat jagung dari perkebunan luar negeri CP Foods pada 2023 sudah dapat dilacak, yaitu di Kamboja, Filipina, Malaysia, Laos, Vietnam, dan India, namun tidak termasuk Myanmar.

Betagro Group, yang memiliki operasi pakan ternak di Kamboja, Laos, dan Myanmar, menyatakan dalam laporan keberlanjutan tahun 2023 bahwa 100 persen jagung pakan ternaknya dapat dilacak ke penjual dan negara asalnya.

“Selain itu, perusahaan memperluas Sistem Pelacakan untuk mencakup beberapa area budi daya,” demikian tertulis. Perusahaan ini juga menjalankan proyek untuk mempromosikan penanaman jagung berkelanjutan “tanpa merambah hutan” di beberapa provinsi di Thailand.

CNA telah mengajukan beberapa permintaan wawancara kepada CP Foods dan Betagro, namun tidak mendapatkan respons.

Suthat Thepin mencari jagung yang hangus di lahan yang sebelumnya dibakar setelah panen. (Foto: CNA/Jack Board)

Rattanasiri Kittikongnapang, aktivis pangan dan hutan dari Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan bahwa perusahaan harus lebih transparan agar konsumen benar-benar tahu dari mana makanan mereka berasal.

“Konsumen punya hak untuk tahu. Dan jika perusahaan atau industri produksi daging yakin bahwa mereka tidak terkait dengan polusi asap atau deforestasi, mereka seharusnya mengunggah data tersebut secara online dan membuatnya lebih transparan agar publik bisa mengaksesnya,” ujarnya.

Peneliti sektor pertanian, Suwanna Sayruamyat dari Departemen Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya di Universitas Kasetsart, mengatakan bahwa mengembangkan hubungan kerja dan kondisi pasar yang lebih baik antara petani dan perusahaan sangat penting ke depannya.

Suwanna menyarankan, alih-alih membeli melalui tengkulak dan membuat petani harus menanggung utang yang menumpuk, perusahaan besar dapat membantu secara langsung dengan transfer pengetahuan teknis, teknologi, dan kestabilan harga.

“Sebaliknya, seluruh sistem harus bekerja sama untuk mencapai keseimbangan yang adil dan berkelanjutan – agar konsumen juga merasa aman,” katanya.

Tanpa hal tersebut, di tempat seperti Mae Chaem, perubahan tren di perbukitan sangat terasa. Pekerja migran dari luar negeri menggantikan generasi petani yang menua, sementara anak-anak mereka kini mencari pendidikan dan peluang di kota-kota, dibiayai oleh utang yang terus menumpuk.

Saat praktik budaya memudar dan ikatan antar warga perlahan terputus, Somkiat — peneliti masyarakat sipil lokal — merasa sedih karena petani adalah satu-satunya pihak yang terus disalahkan atas kerusakan lingkungan dan polusi yang terjadi.

“Beberapa tahun lalu, seseorang bercanda bahwa masyarakat Mae Chaem kuat sekali; mereka bisa menebang semua pohon di gunung. Saya sedih mendengarnya,” katanya.

“Kami berharap bisa melihat perubahan ke arah yang lebih positif.”

Laporan tambahan oleh Jarupat Karunyaprasit dan Jiratchaya Chaichumkhun.

Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan