'Generasi ini tidak mau lagi kerja di pabrik kaos': Mengapa sarjana muda banyak menganggur di China
Dengan prediksi lebih dari 12 juta lulusan baru pada 2025, kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan peluang yang ada di China terus melebar.
Pintu masuk bursa kerja yang diadakan di sebuah pasar barang antik di utara Beijing, 7 Maret 2025. (Foto: CNA/Hu Chushi)
BEIJING: Pada Jumat pagi yang dingin, Li Mengqi, 26, sudah berada di lobi yang padat pengunjung di Bursa Kerja Beijing, China.
Mengapit erat-erat resume-nya, Li berjalan dari satu booth ke booth lainnya, berhenti sejenak untuk berbicara dengan perekrut di tengah bisingnya suara para pencari kerja muda.
Li harap-harap cemas. "Persaingan dalam wawancara kerja sangat ketat, karena banyak kandidat yang bagus, terutama di Beijing," kata dia kepada CNA.
Setelah lulus dari Institut Teknologi Shanghai delapan bulan lalu, Li pindah ke ibu kota untuk mencari pekerjaan, namun ternyata sulit.
Dia ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya di teknik kimia, di kota yang dia senangi, Beijing, yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampung halamannya di Hebei.
"Saya cukup dekat dengan keluarga - jadi saya memilih berada tidak jauh dari orangtua agar saya bisa pulang di akhir pekan dan merawat mereka."
Ada lebih dari 30 booth perusahaan di bursa kerja Lishuiqiao yang didatangi Li, tapi kebanyakan mencari tenaga pemasaran dan asuransi. Posisi khusus yang sesuai dengan keahlian Li di bidang kimia sangat jarang. Inilah yang terjadi kepada para lulusan muda di China, bekerja tidak sesuai dengan jurusan mereka.
"Gaji tinggi tapi pekerjaannya tidak berat - Saya mau itu," seloroh Hu Die, pencari kerja berusia 22 tahun kepada CNA di bursa kerja tersebut pada 7 Maret lalu.
Sarjana desain dari Harbin University of Science and Technology ini juga mengaku sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya.
"Saya tidak tertarik menjadi sales karena tidak ingin menyia-nyiakan kemampuan saya, tapi sepertinya saya harus menurunkan ekspektasi," kata Hu.
Dia mengakui bahwa mencari pekerjaan setelah lulus delapan bulan lalu sangat berbeda dengan apa yang dibayangkannya.
"Saya khawatir bertemu dengan penipu," kata Hu. "Saya melihat peluangnya cukup suram, pasar tenaga kerja sepi, akhirnya saya mengurungkan niat mengejar posisi tertentu."
SARJANA SEMAKIN BANYAK, PELUANG KERJA SEDIKIT
Perjuangan Li dan Hu menjadi gambaran krisis tenaga kerja yang dialami oleh para pemuda di China, ketika harapan para pencari kerja tidak berjodoh dengan lowongan yang ada.
"Salah satu masalah terbesar saat ini adalah ketimpangan antara kerja keras yang mereka lakukan saat kuliah dan pekerjaan yang menanti ketika lulus," kata Zak Dychtwald, pendiri Young China Group, lembaga pemikir di Shanghai.
Tahun ini jumlah lulusan universitas di China akan mencapai rekornya, 12,22 juta orang, naik dari 9 juta orang pada 2021. Pemerintah China sendiri juga mengakui solusi untuk mengatasi tantangan lapangan pekerjaan di negara itu sangat mendesak.
"Ketidakcocokan antara pasokan dan permintaan sumber daya manusia semakin mencolok," kata Menteri Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial China, Wang Xiaoping, dalam konferensi pers pada 9 Maret lalu di sela-sela pertemuan tahunan Dua Sesi.
Catatan Biro Statistik Nasional China menunjukkan, tingkat pengangguran di kalangan pemuda berusia 16 hingga 24 tahun menurun menjadi 15,7 persen pada Desember tahun lalu, setelah mencapai puncaknya di angka 18,8 persen pada Agustus akibat lonjakan lulusan baru.
Kendati demikian, kenyataan di lapangan masih banyak tantangan.
Zhou Yun, asisten profesor Sosiologi di University of Michigan, mengamati bahwa meskipun lulusan dari sekolah-sekolah elite dan jurusan automasi dan AI banyak dicari, namun para sarjana masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka akibat meningkatnya persaingan di bursa kerja.
Keadaan kian sulit karena peluang kerja di sektor tradisional juga semakin berkurang.
“Industri yang secara tradisional menjadi penyerap utama lulusan perguruan tinggi, seperti startup internet dan pendidikan, juga mengalami penyusutan dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, ada alasan struktural yang mendalam di baliknya,” katanya kepada CNA.
Chen Yuyan, 26 tahun, mengalami langsung permasalahan ini.
Setelah lulus dari Guangdong Food and Drug Vocational College pada 2022, ia akhirnya bekerja di bidang yang tidak terduga— petugas sortir paket di sebuah cabang agen kurir.
“Banyak perusahaan mencari kandidat yang sudah berpengalaman—orang-orang yang bisa langsung bekerja. Sebagai lulusan baru, kami tidak punya cukup pengalaman. Mereka sering mengatakan tidak memiliki sumber daya untuk melatih karyawan baru, dan gaji yang ditawarkan sangat rendah.”
PENGANGGURAN VS SETENGAH PENGANGGURAN
Para analis mengatakan, pengangguran di kalangan pemuda China memiliki dampak yang luas, tidak hanya terhadap lanskap ekonomi tetapi juga struktur sosial negara.
Istilah "anak dengan ekor-busuk" muncul di China sebagai gambaran sarjana muda yang terpaksa bekerja dengan gaji rendah dan bergantung pada orang tua, lantaran tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka. Istilah ini diambil dari "gedung ekor-busuk"—proyek perumahan yang mangkrak dan menjadi beban ekonomi China sejak 2021.
Dychtwald mengatakan bahwa setengah pengangguran - ketika sarjana mengambil pekerjaan yang tidak sesuai keahlian mereka - adalah sebuah masalah besar.
“Ada kesenjangan yang semakin besar antara ekspektasi lulusan dan pekerjaan yang tersedia.”
Disparitas ini bukan hanya mempengaruhi pendapatan, tetapi juga mengubah cara pandang anak-anak muda, meredam semangat dan ambisi mereka.
“Pengangguran jelas merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas politik,” kata Dychtwald. “Namun, setengah pengangguran juga sama buruknya, terutama jika melihat pengaruhnya terhadap semangat dan ambisi generasi muda.”
Dampak psikologis akibat pengangguran ini semakin terasa sejak pandemi.
"Momen COVID, yang berlangsung lebih lama di China dibandingkan di tempat lain, benar-benar mengguncang ekonomi generasi ini. Dan mereka belum pulih," kata Dychtwald.
"Yang mereka cari adalah harapan."
Eli Friedman, profesor Global Labor and Work di Cornell University, menyoroti adanya pergeseran budaya yang memengaruhi sikap generasi muda terhadap pekerjaan.
Berbeda dengan generasi orangtua mereka, sarjana muda saat ini lebih enggan menerima pekerjaan berkualitas rendah atau tidak stabil, bahkan di tengah tekanan ekonomi.
"Saat ini jika Anda berusia 22 atau 23 tahun dan baru lulus universitas di China, saya rasa Anda tidak akan mau berjualan barang-barang kecil di jalanan, lalu menabung dan menggunakannya untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Secara budaya, saya rasa itu bukan lagi jalan yang dipilih kebanyakan orang," kata Friedman.
Pergeseran sikap ini telah melahirkan istilah "merunduk" atau tangping dalam bahasa Mandarin, ketika kaum muda memilih mundur dari persaingan kerja yang hiperkompetitif.
Beberapa anak muda enggan "menerima pekerjaan apa pun yang tersedia" karena semakin kecewa dengan model tradisional pengembangan karier, jelas Friedman.
Lai Jiawen, perempuan 32 tahun dengan gelar Master dari Universitas Peking, adalah salah satunya. Setelah bekerja selama beberapa tahun, kini ia merasa benar-benar kelelahan secara emosional.
"Sejujurnya, saat ini saya tidak memiliki rencana yang pasti. Fokus utama saya sekarang hanyalah beristirahat dan 'merunduk'. Tujuh atau delapan tahun terakhir bekerja telah membuat saya lelah secara fisik dan mental, hingga saya kehilangan tujuan hidup — bahkan tujuan untuk bekerja."
Namun, "merunduk" bukanlah solusi jangka panjang.
Zhou dari University of Michigan menyoroti dampak psikologis mendalam akibat pengangguran berkepanjangan, terutama di kalangan lulusan yang sebelumnya dijanjikan masa depan yang stabil.
"Ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan tidak hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menghilangkan martabat dan tujuan hidup. Bagi para lulusan, hal ini meruntuhkan narasi yang selama ini mereka yakini — bahwa pendidikan akan memberikan kehidupan yang lebih baik," ujarnya.
Friedman percaya bahwa banyak lulusan pada akhirnya akan terdorong ke pekerjaan kasar yang sifatnya sementara.
"Saya rasa, secara umum, kebanyakan orang di China tidak punya pilihan. Mereka butuh pekerjaan untuk bertahan hidup."
"Namun, menurut saya, ini bukan strategi yang baik untuk pembangunan ekonomi jangka panjang. Diperlukan sesuatu yang lebih berkelanjutan."
"GENERASI INI TIDAK MAU LAGI KERJA DI PABRIK KAOS"
Laporan Kerja Pemerintah China 2025 merinci rencana untuk mengatasi pengangguran kaum muda, dengan menekankan perluasan peluang kerja, bantuan keuangan yang lebih terarah, dan dukungan baru bagi kewirausahaan.
Langkah-langkah spesifik yang diusulkan meliputi pengembalian premi asuransi pengangguran, pemotongan pajak dan biaya, subsidi pekerjaan, serta dukungan langsung bagi industri padat karya.
"Langkah-langkah ini pasti akan membantu. Saya rasa kebijakan seperti subsidi pekerjaan dan keringanan pajak seharusnya tidak dianggap remeh," kata Dychtwald.
Namun, Dychtwald segera meredam optimisme tersebut dengan mencatat bahwa inisiatif-inisiatif ini bersifat sementara, ia mengibaratkannya dengan "kupon makanan".
"Orang-orang menggunakannya, tetapi itu tidak serta-merta mengubah sikap mereka terhadap konsumsi. Begitu juga dengan perusahaan — jika mereka terlalu bergantung pada langkah-langkah ini, saat insentif tersebut dihentikan, orang-orang mungkin kembali kehilangan pekerjaan."
Meskipun subsidi dan keringanan pajak kemungkinan akan mendorong perekrutan dalam jangka pendek, Dychtwald memperingatkan bahwa kebijakan ini tidak cukup untuk mengatasi ketidaksesuaian struktural yang lebih dalam di pasar tenaga kerja.
"Subsidi dan pemotongan pajak memang akan mendorong perusahaan merekrut lebih banyak lulusan, tetapi itu tidak menjamin stabilitas jangka panjang atau perkembangan karier mereka."
"Banyak lulusan masih kesulitan menemukan pekerjaan yang stabil, bergaji layak, dan sesuai dengan kualifikasi mereka."
Di sisi positif, Dychtwald menyoroti pergeseran strategis China ke sektor teknologi, kecerdasan buatan (AI), dan manufaktur canggih sebagai peluang yang menjanjikan bagi para lulusan.
"Inisiatif yang paling menjanjikan ada di sektor teknologi, AI, dan ekspansi industri. DeepSeek adalah kemenangan global yang nyata dan memberikan dorongan moral yang signifikan bagi China."
Dychtwald juga mengakui pentingnya program pelatihan kejuruan, terutama yang menekankan keterampilan digital serta STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), karena sejalan dengan ambisi besar China.
"Pelatihan kejuruan dan keterampilan itu menarik, terutama ekspansi keterampilan digital, pemrograman, dan pelatihan STEM, karena itulah jenis pekerjaan yang lebih dibutuhkan China," ujar Dychtwald.
Namun, Friedman menyoroti paradoks dalam kemajuan China di sektor manufaktur canggih, kecerdasan buatan (AI), dan teknologi hijau — yang justru memberikan dampak yang sedikit terhadap pertumbuhan lapangan kerja.
Khususnya, ia menyoroti tren otomatisasi: "Kebijakan industri, menurut saya, secara eksplisit tidak mencakup kebijakan tenaga kerja. Fokusnya benar-benar pada membuat industri-industri ini unggul tanpa banyak mempertimbangkan dampaknya terhadap lapangan kerja."
"Banyak dari industri ini ... justru tidak ramah terhadap penciptaan pekerjaan karena mereka juga mengutamakan otomatisasi."
Sektor otomotif contohnya, Friedman menjelaskan bahwa transformasi industri mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja, bahkan di sektor yang secara tradisional padat karya.
"Pemahaman saya adalah bahwa pabrik mobil baru di China jauh lebih otomatis ... sehingga membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja."
China telah menetapkan target untuk menciptakan lebih dari 12 juta pekerjaan baru di daerah perkotaan tahun ini, sebagaimana dirinci dalam Laporan Kerja Pemerintah pada Dua Sesi.
Namun, yang terpenting adalah apakah pekerjaan tersebut sesuai dengan aspirasi lulusan muda dan berpendidikan, kata Dychtwald.
"Generasi ini tidak mau lagi kerja di pabrik kaos untuk dijual di seluruh dunia."
Meskipun jumlah lulusan yang memasuki pasar kerja tahun ini mencapai rekor tertinggi, China masih menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil, terutama di sektor manufaktur.
Menurut laporan China Daily Juli lalu, yang mengutip panduan pengembangan tenaga kerja manufaktur dari Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi serta departemen terkait, China diperkirakan akan mengalami kekurangan sekitar 30 juta pekerja terampil di 10 sektor manufaktur utama pada tahun 2025.
"Ketidaksesuaian antara pekerjaan yang tersedia dan pekerjaan yang diinginkan generasi muda ini terjadi dalam skala China ... pekerjaan itu tidak hanya berada di rantai nilai rendah, tetapi juga di industri baru yang terampil dan sedang berkembang," ujar Dychtwald.
Sementara itu, Friedman menyoroti satu aspek kebijakan lain yang perlu diperhatikan: meningkatkan mobilitas tenaga kerja secara geografis. Ia mencatat bahwa sistem "hukou" di China masih jadi penghalang bagi lulusan muda yang ingin berpindah ke daerah dengan lebih banyak lapangan kerja.
"Geografi ekonomi China masih sangat tidak merata," jelas Friedman.
"Pertumbuhan kekayaan dan penciptaan lapangan kerja masih sangat terkonsentrasi, terutama di kota-kota besar kelas satu ... masih ada ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja yang menghambat aliran tenaga kerja yang lebih bebas."
Zhou dari University of Michigan menyoroti keterbatasan perencanaan kebijakan yang terpusat dalam menangani tantangan yang beragam di kalangan lulusan China.
"Dinamika ekonomi, dinamika populasi, dan peluang hidup masyarakat sering kali memiliki pola pasang surutnya sendiri, yang sangat sulit diatasi dengan perencanaan terpusat yang terlalu kaku," kata Zhou.
MASA DEPAN YANG TIDAK PASTI
Meski menghadapi tantangan, Dychtwald tetap optimistis tentang keunggulan unik China dalam beradaptasi dengan cepat terhadap krisis pengangguran pemuda.
"Ini adalah masalah global. Ini bukan lagi hanya masalah China," katanya.
"Dalam banyak hal, saya pikir China jauh lebih siap menghadapinya karena populasi yang sangat adaptif."
Ia menekankan pentingnya menyelaraskan pendidikan universitas dengan kebutuhan industri melalui kolaborasi langsung, magang, dan pelatihan kejuruan — langkah-langkah praktis yang benar-benar membangun keterampilan.
Chen, pekerja kurir berusia 26 tahun dari Guangdong, menatap masa depan dengan optimisme yang realistis.
"Saya melihat pekerjaan menyortir paket ini sebagai fase transisi—pekerjaan yang lokasinya dekat dengan rumah dan memberikan penghasilan yang cukup baik, memberi saya waktu untuk mempertimbangkan arah karier saya ke depan."
"Harapan saya untuk masa depan," ujar Chen, "adalah pertama-tama menghidupi diri sendiri, lalu mengejar impian saya di dunia fotografi."
Sementara itu, Xiao Duo berbicara soal ketidakpastian yang dihadapi oleh banyak rekan seangkatannya, termasuk dirinya sendiri.
"Menghadapi persaingan kerja yang begitu ketat, saya merasa tak berdaya karena semakin banyak orang lulus dan masuk ke dunia kerja."
"Terlalu banyak lulusan, sementara jumlah pekerjaan yang tersedia tetap terbatas. Banyak perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja, dan gaji yang ditawarkan rendah — pekerjaan yang seharusnya dibayar 5.000 yuan, hanya dihargai 2.000 yuan."
"Sepertinya China tidak akan kekurangan lulusan perguruan tinggi, dan kondisi itu membuat saya merasa kehilangan arah."
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. Pastikan fungsi notifikasi telah dinyalakan dengan menekan tombol lonceng.