Pengamat: ISIS bisa bangkit di tengah gejolak politik Suriah, Asia Tenggara dan China harus tetap waspada
JAKARTA/KUALA LUMPUR/SINGAPURA: Negara-negara Asia Tenggara harus waspada menyusul direbutnya Suriah dari tangan rezim Bashar al-Assad oleh pasukan pemberontak, ujar para pengamat.
Beberapa pengamat memperingatkan masa transisi dan kekosongan kepemimpinan di Suriah ini dapat dimanfaatkan oleh kelompok terorisme di Suriah, memberikan ancaman keamanan di Asia Tenggara.
"Situasi di Suriah masih tidak stabil dan bisa kapan saja terjadi konflik dan kekerasan, dan inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh kelompok teroris di masa lalu untuk mendapatkan pengikut dan dukungan," kata Adhe Bhakti, direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) kepada CNA.
Perang sipil Suriah yang dimulai lebih dari satu dekade lalu telah menjadi lahan terbentuknya kelompok ISIS dan Al-Nusra yang berafiliasi dengan Al-Qaeda.
Kedua kelompok tersebut berhasil menarik ratusan pengikut dari negara-negara Asia Tenggara, dan paham ekstrem mereka telah meradikalisasi Muslim di Malaysia, Indonesia dan Filipina, serta menginspirasi berbagai serangan teroris di negara-negara Asia Tenggara itu.
Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok pemberontak yang berhasil merebut Suriah dari rezim Assad bulan lalu, terbentuk pada 2017.Â
Pada 17 Desember, media Suriah melaporkan bahwa Ahmed al-Sharaa, kepala koalisi pemberontak mengatakan bahwa seluruh kelompok bersenjata di negara itu akan dibubarkan. Para tentara pemberontak akan berada di bawah Kementerian Pertahanan Suriah seiring dibentuknya pemerintahan baru.
ISIS sendiri telah menyatakan mengakhiri klaim kekhalifahan mereka di Suriah pada 2019, usai kematian pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi. Namun ISIS masih bercokol di negara itu, meski sudah melemah.
Menurut para pengamat, ISIS berpotensi muncul kembali. Meski mereka mengatakan bahwa risiko penyebaran paham ekstremisme di Asia Tenggara sangat kecil, namun ada kemungkinan aksi kekerasan di Suriah meluas ke kawasan ini.
"Jika terjadi ketidakstabilan, konflik dan pemerintahan yang lemah di Suriah, maka pengaruh ISIS mungkin tidak terbendung," kata Aizat Shamsuddin, pendiri Initiate.my - sebuah organisasi yang mempromosikan toleransi dan mencegah kekerasan di Malaysia.
ADA POTENSI ANCAMAN JUGA BAGI CHINA
Meski secara geografis China jauh dari wilayah konflik, namun para pengamat mengatakan seharusnya apa yang terjadi di Suriah harus memicu sinyal waspada juga di Beijing.
Pakar studi China dari Bond University, Jonathan Ping, mengatakan perkembangan di Suriah "bisa jadi sebab kekhawatiran" bagi China. Dia mengutip laporan yang menyebutkan bahwa Partai Islam Turkistan (PIT) telah ikut berperang bersama HTS.
"Penguasaan wilayah (oleh para militan) dan pengaruh mereka yang luas bisa membawa kemampuan berperang, memicu pemberontakan, mengancam stabilitas dan menjadi tantangan bagi investasi dan keamanan China di regional," kata dia.
PIT, yang juga dikenal sebagai Gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM), adalah kelompok separatis Uighur yang berasal dari provinsi Xinjiang, China. Kelompok ini memiliki hubungan yang sudah berlangsung lama dengan al-Qaeda dan kelompok-kelompok ekstremis lainnya.
PIT, yang berusaha mendirikan negara Islam merdeka di Xinjiang, telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh China dan PBB.
Beijing menuduh PIT mendalangi beberapa serangan teroris di China antara 2008 dan 2015. Di antara serangan yang dilakukan adalah penabrakan mobil terhadap pejalan kaki, penikaman massal, serangan bom mobil, dan bom bunuh diri.
Ping memperingatkan bahwa ekstremisme dan radikalisasi di Suriah dapat meningkat dan menyebar ke seluruh Timur Tengah dan Asia Tengah, yang pada akhirnya mengancam wilayah Xinjiang di bagian barat China.
“Mengingat kepentingan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) China di kawasan tersebut, meningkatnya risiko terorisme di Asia Tengah memerlukan perhatian yang serius dan langkah-langkah proaktif,” katanya.
Pada 8 Desember, hari ketika rezim Suriah runtuh, PIT merilis video yang menampilkan para pejuangnya yang bersenjatakan senapan mesin dan mengenakan seragam militer, mengeluarkan ancaman langsung kepada Beijing.
Meskipun potensi penyebaran ekstremisme ke wilayah Xinjiang menjadi perhatian, Raffaello Pantucci, peneliti di International Centre for Political Violence and Terrorism Research di S Rajaratnam School of International Studies, mengatakan bahwa saat ini bukti yang menunjukkan terealisasinya ancaman PIT itu sangat sedikit.
"PIT telah ada sejak 2008, (tetapi) Anda bisa menghitung dengan jari jumlah serangan mereka di China,” kata Pantucci.
Pantucci mengatakan bahwa pemerintah Beijing kemungkinan akan mengadopsi pendekatan serupa dengan yang digunakan terhadap Afghanistan ketika Taliban kembali berkuasa pada 2021.
“Pendekatan itu adalah mencoba untuk merangkul Taliban, mendekati mereka, dan dengan cara itu membangun hubungan untuk diharapkan dapat menetralisir ancaman.
“Dan kami belum melihat adanya serangan (terhadap China sejak itu), jadi mungkin pendekatan itu berhasil,” katanya, seraya menambahkan bahwa China juga kemungkinan akan menawarkan dukungan finansial dan membangun struktur ekonomi untuk rezim baru di Suriah.
GELOMBANG BARU EKSTREMISME?
Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump telah mengatakan bahwa negaranya tidak akan terlibat lagi dalam perang Suriah setelah dia dilantik tahun depan.Â
Trump juga menegaskan akan menarik sekitar 1.000 tentara AS di Suriah. Selama ini, pasukan AS melakukan serangan darat dan udara terhadap markas-markas ISIS di Suriah. Bulan ini saja, AS melancarkan serangan udara terhadap lebih dari 75 target ISIS di negara itu.
Namun menurut Al Chaidar, pakar terorisme dari Universitas Malikussaleh, serangan AS tidak akan meredam serangan ISIS terhadap warga sipil.
"Mereka kemungkinan akan melancarkan serangan bom bunuh diri atau serangan-serangan kecil di Suriah, untuk sekadar mengirim pesan bahwa mereka masih ada," kata Chaidar kepada CNA, seraya menambahkan bahwa ISIS akan mencoba menggalang kekuatan lagi di Suriah.
Meski melemah, ISIS telah melancarkan 259 serangan di seluruh Suriah pada tahun ini, naik dari 121 serangan pada tahun sebelumnya, berdasarkan data lembaga riset AS, Hudson Institute.
Serangan-serangan mereka mengincar kamp-kamp dan penjara yang menahan sekitar 50.000 pasukan ISIS, mayoritas adalah orang asing dan keluarga mereka.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT), ada sekitar 300 warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah pada 2023, termasuk perempuan dan anak-anak.Â
Beberapa pakar meyakini konflik antara ISIS dan pasukan pemberontak di Suriah bisa membuat ISIS kembali menggalang dukungan dari para simpatisannya di Asia Tenggara.
"Meski tidak sebesar dulu, tapi ISIS masih punya banyak pengikut di Asia Tenggara," kata Adhe dari PAKAR.
Ada juga potensi kekerasan di Suriah merembet hingga ke Asia Tenggara, kata para pakar.
Dalam riwayatnya, simpatisan ISIS di Asia Tenggara kerap terlibat dalam serangan mematikan. Di antaranya adalah penyerbuan kota Marawi di Filipina selatan pada 2017 yang menewaskan lebih dari 1.000 militan ISIS, aparat dan warga sipil. Pada 2018, terjadi ledakan yang dilakukan oleh simpatisan ISIS di Surabaya, Indonesia, menewaskan 15 orang.
"ISIS iri dengan kesuksesan HTS (dalam menggulingkan Assad). Mereka ingin mengklaim kemenangan itu sendiri, karena merekalah yang melawan Assad sedari awal," kata Adhe. "Mereka akan termotivasi untuk melakukan sesuatu. Jika bukan di Suriah, maka di tempat lain."
Noor Huda Ismail, peneliti tamu di S Rajaratnam School of International Studies mengatakan merembetnya konflik di Suriah ke Asia Tenggara bisa melalui berbagai platform online. ISIS, kata dia, dikenal telah menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda, merekrut dan menggalang dukungan.
"Mesin propaganda ISIS, terutama melalui platform online, akan memperkuat mereka, terutama dengan menggunakan gambar-gambar penderitaan atau penindasan untuk membangkitkan solidaritas," kata Noor Huda, yang mengatakan target mereka kebanyakan adalah anak-anak muda.
"Kebangkitan (ISIS) bisa menginspirasi simpatisan lokal atau individu, mendorong mereka melakukan serangan atau bergabung dengan militan di luar negeri," kata Noor Huda lagi kepada CNA.
SERUAN UNTUK WASPADA
Meski instabilitas dan kekerasan yang terjadi di Suriah bisa jadi bahan bakar propaganda ISIS dan kebangkitan kelompok teroris ini, namun Noor Huda mengatakan potensi adanya gelombang baru ekstremisme di Asia Tenggara saat ini relatif kecil.
"Meningkatnya pemahaman soal peliknya konflik di Timur Tengah dan trauma yang disebabkan janji palsu ISIS, telah daya tarik narasi ekstremisme berkurang," kata dia kepada CNA.
Munira Mustaffa, pendiri lembaga konsultan keamanan Chasseur Group di Malaysia menyampaikan pandangan yang sama. Dia mengatakan kemungkinan kondisi Suriah memicu ekstremisme di Asia Tenggara sangat rendah.
"Ideologi ISIS telah kehilangan daya tariknya di Asia Tenggara dan tidak menunjukkan tanda-tanda mendapat pengikut baru. Penangkapan belakangan ini, termasuk pada 2024, mengungkapkan bahwa kebanyakan tersangka adalah residivis atau anggota lama yang masih berpaham ideologi lama, bukan orang baru. Pola ini menunjukkan gerakan (ISIS) stagnan, tidak berkembang," kata dia.
Munira juga mengatakan, HTS di Suriah sendiri aktif melakukan pemberantasan terorisme untuk melawan ISIS dan anggota Al-Qaeda dalam empat tahun terakhir.
Kendati demikian, beberapa pengamat meyakini ISIS tetap bisa memanfaatkan kekosongan kepemimpinan di Suriah untuk muncul lagi.
"Dengan adanya ketidakpastian ini, Singapura perlu memantau situasi dengan seksama dan berbagi informasi dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya," kata Faizal Rahman, peneliti RSIS, kepada CNA.
Faizal mengatakan bahwa ASEAN harus memanfaatkan Our Eyes Initiative, sebuah inisiatif yang diadopsi pada Rapat Menteri Pertahanan ASEAN tahun 2018, mengatur strategi berbagi informasi untuk ancaman non-tradisional seperti terorisme, radikalisme dan kekerasan ekstremisme.
Direktur BNPT, Irfan Idris, mengatakan bahwa Indonesia memantau situasi di Suriah, begitu pula dengan potensi ancaman bagi stabilitas Asia Tenggara.
"Kami tetap akan waspada. Sudah merupakan tugas BNPT untuk melakukan tindak pencegahan dengan meningkatkan ketahanan nasional terhadap radikalisasi dan ekstremisme," kata Irfan kepada CNA.
Irfan mengatakan bahwa BNPT bekerja sama dengan berbagai kementerian di Indonesia dan mitra di negara-negara tetangga untuk memonitor dan menghentikan propaganda ISIS, sekaligus menyetop pergerakan orang dan uang antara Asia Tenggara dan Suriah.
“Sangat penting bagi semua orang untuk bekerja sama,” katanya.
Laporan tambahan oleh Izzah Aqilah Norman.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya. ​​​​​