Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Ketika pekerja migran terpikat ke Asia Timur, akankah nasib lebih baik dibanding di Timur Tengah?

Negara dan wilayah di Asia Timur seperti Korea Selatan dan Taiwan kini menjadi tempat tujuan para pekerja migran asal Filipina dan Indonesia. Kesejahteraan yang lebih baik membuat Asia Timur kian dilirik, ketimbang ke negara-negara Timur Tengah yang punya riwayat buruk perlakuan terhadap pekerja asing.

Ketika pekerja migran terpikat ke Asia Timur, akankah nasib lebih baik dibanding di Timur Tengah?

Dulu asisten rumah tangga dari Indonesia dan Filipina berbondong-bondong bekerja ke Timur Tengah. Kini mereka lebih tertarik ke Asia Timur. (CNA/Rafa Estrada)

SRAGEN, Indonesia: Ketika kesempatan untuk bekerja sebagai perawat lansia di Taiwan datang pada 2024, butuh waktu lama bagi Wahyuni untuk mempertimbangkannya.

Sudah empat tahun dia berada di kampung halamannya di Jawa Tengah, setelah sebelumnya bekerja di Arab Saudi sebagai pekerja rumah tangga selama 10 tahun. Awalnya, perempuan 40 tahun ini mengaku enggan bekerja di luar negeri lagi.

"Di rumah, saya bebas melakukan apa pun dan pergi kemana pun yang saya mau. Kalau bekerja di rumah orang lain, itu nggak bisa," kata Wahyuni kepada CNA.

Terlebih lagi, Wahyuni masih trauma dengan majikan terakhir tempat dia bekerja dari 2018 hingga 2020: Seorang ibu warga Saudi berusia 50 tahun dengan tiga anak dewasa.

Mantan majikannya itu, kata dia, memaksanya bekerja hingga 19 jam per hari dengan istirahat yang sedikit, atau bahkan tidak ada sama sekali. Majikannya kerap membentak jika Wahyuni dirasa terlalu lambat bekerja atau melakukan kesalahan kecil. Wahyuni juga dilarang menggunakan WiFi setiap kali ingin melakukan panggilan video dengan keluarga di tanah air.

Tapi peluang mendapatkan gaji hingga NT$20,000 (Rp9,6 juta) per bulan sebagai perawat lansia di Taiwan sangat menggiurkan.

Gaji itu bak bumi dan langit jika dibandingkan Rp50 ribu per hari yang didapat Wahyuni dari berdagang sayur di pasar kampungnya.

Gaji itu juga lebih tinggi dari rata-rata gaji bulanan pekerja rumah tangga di Arab Saudi (Rp8.246.000), Uni Emirat Arab (Rp9.083.000), dan Qatar (Rp8.478.500). 

Akhirnya pada Mei 2024, Wahyuni pergi bekerja di Taipei. Dia kini menjadi perawat seorang janda lansia berusia 80 tahun dan putra dewasanya yang menyandang disabilitas. Tidak seperti ketika di Saudi, majikan barunya kali ini sangat baik, kata Wahyuni.

Wahyuni, seorang perawat lansia di Taiwan, berbincang dengan keluarganya di Indonesia melalui panggilan video. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Pada 2017, Bank Indonesia melaporkan ada sekitar 208.000 pekerja migran Indonesia (PMI) di Taiwan. Pada paruh pertama tahun 2024, jumlahnya bertambah pesat hingga 447.000 orang.

Peningkatan jumlah PMI di Taiwan adalah bagian dari tren peralihan tujuan kerja dari negara-negara Timur Tengah ke Asia Timur.

Menurut Bank Indonesia, tujuh tahun lalu jumlah PMI di Timur Tengah mencapai 1,08 juta orang. Pada 2024, jumlahnya menyusut menjadi 946.000 orang.

Sebaliknya dalam rentang waktu yang sama, jumlah PMI di negara-negara dan teritori Asia Timur seperti Taiwan dan Korea Selatan meningkat dua kali lipat, dari 450.000 pada 2017 menjadi 965.000 tahun ini.

"Saya dengar banyak cerita buruk soal bekerja di Timur Tengah, mulai dari kekerasan, kurang bebas, sampai majikan yang galak," kata Siti Nabila, pelayan toko berusia 25 tahun di Jawa Barat yang melamar kerja sebagai pekerja rumah tangga, entah di Hong Kong atau Taiwan.

"Banyak tetangga saya bekerja di Hong Kong atau Taiwan. Mereka mengaku senang bekerja di sana. Mereka bilang banyak liburnya, gajinya juga besar dan orang ramah-ramah."

Selain gaji yang menarik, menurut para pengamat kepada CNA, bergesernya minat tujuan PMI juga disebabkan oleh mekanisme perlindungan dan hak-hak yang lebih baik di Asia Timur ketimbang Timur Tengah. Selain itu, semakin banyak permintaan yang muncul dari Asia Timur, perubahan kebijakan terkait tenaga kerja, serta eratnya hubungan diplomatik dengan Indonesia. 

Pada Agustus lalu, Korea Selatan meluncurkan program percontohan untuk menyambut para pekerja rumah tangga Filipina ke negara mereka. Para pengamat mengatakan, ini menjadi sinyal meluasnya tren mendatangkan pekerja migran ke Asia Timur.

PERUBAHAN LANSKAP DI TIMUR TENGAH

Selama puluhan tahun, tujuan utama PMI adalah negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Kebutuhan mulai banyak setelah perekonomian di negara Teluk meningkat pesat usai meroketnya harga minyak pada tahun 1970-an.

Namun Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO mencatat bahwa negara-negara Teluk terkenal karena tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi para pekerja rumah tangga. Mereka seringkali tidak tercakup dalam undang-undang ketenagakerjaan di negara Teluk. Selain itu, ILO menyebut, para pekerja juga terpaksa terikat dengan majikan mereka lantaran berlakunya sistem sponsor atau kafala.

Dengan Kafala, para pekerja terikat dengan majikan mereka selama tinggal di negara tersebut. Sistem ini membuat majikan memiliki terlalu banyak kuasa terhadap kondisi kerja dan kehidupan para pekerjanya.

Di bawah sistem ini juga, para pekerja dilarang berpindah kerja. Mereka terancam penjara jika kabur dari majikan atau mencoba meninggalkan negara itu tanpa izin majikan.

Berbagai organisasi pembela HAM mengatakan sistem kafala telah membuka jalan kekebalan hukum bagi para majikan yang kejam. Pasalnya, para pekerja rumah tangga tidak bisa meninggalkan majikan mereka atau bahkan melaporkan apa yang mereka alami.

"Karena sistem sponsor ini, banyak pekerja yang tidak punya pilihan lain selain tinggal bersama majikan mereka meski mengalami kekerasan fisik, kondisi tempat tinggal yang buruk atau bekerja lebih dari 18 jam (per hari)," kata Anis Hidayah, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kepada CNA.

Anis Hidayah, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Dalam puluhan tahun terakhir, banyak terjadi kasus pelecehan seksual dan kekerasan fisik yang menimpa para pekerja rumah tangga asing, puluhan di antaranya dialami PMI. Terkadang, kasus ini berujung pada kematian atau cacat fisik, memicu aksi protes sebagai bentuk kemarahan publik di tanah air.

Surani, yang bekerja di Arab Saudi dari 1995 hingga 2020, mengatakan majikan terakhirnya awalnya baik ketika dia mulai bekerja di rumahnya pada 2016.

Tapi sikapnya itu berubah ketika suaminya meninggalkannya demi perempuan lain pada 2018. Setahun kemudian, majikannya terlibat cekcok dengan saudara-saudaranya terkait warisan.

"Dia jadi gampang marah. Pernah dia melempar saya dengan piring dan mengancam membunuh saya tanpa alasan," kata Surani.

Pada 2020, Surani mengaku dikunci di kamarnya selama dua bulan. Dia hanya boleh keluar jika majikannya membutuhkannya untuk membersihkan rumah.

"Saya cuma dikasih makan dua potong roti per hari," kata perempuan 49 tahun itu kepada CNA.

Mantan pekerja migran Indonesia, Surani, 49 tahun, mengaku pernah dikurung di kamarnya selama dua bulan oleh majikannya di Arab Saudi pada 2020. (Foto: CNA/Wisnu Agung Pras

Setelah dua bulan dikunci di kamarnya, Surani meminta bantuan kepada Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah yang langsung melapor ke aparat. KJRI kemudian membantu pemulangan Surani ke tanah air.

"Saya dibawa ke wisma penampungan KJRI. Di sana saya bertemu para pekerja Indonesia yang dipukuli. Dua dari mereka lumpuh total. Satu orang wajahnya disiram cairan pemutih, matanya rusak," kata dia.

"Dan kasus-kasus ini cuma di Jeddah saja."

Pada 2015, rakyat Indonesia dibuat marah oleh eksekusi mati beberapa PMI asal Indonesia yang dituduh membunuh majikan mereka di Arab Saudi. Diduga, tindakan itu dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri karena mereka disiksa. 

Perlakuan buruk pekerja berujung ketegangan diplomatik

Selama bertahun-tahun, perlakuan buruk terhadap pekerja rumah tangga di Timur Tengah telah memicu ketegangan diplomatik antara negara-negara pengirim seperti Indonesia dan Filipina, dengan negara-negara penerima, seperti Arab Saudi dan Kuwait. 

Kasus-kasus kekerasan dan ketidakadilan yang menimpa para pekerja dari Asia Tenggara terkadang memicu kemarahan publik dalam negeri. Kasus-kasus ini biasanya berujung nota protes resmi yang dilayangkan Indonesia atau Filipina.

Pada 2011 Indonesia mengambil langkah lebih jauh dengan memanggil pulang duta besarnya di Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, sebagai tanggapan atas eksekusi mati pekerja rumah tangga Ruyati binti Satubi yang dituduh membunuh majikannya. 

Indonesia mengatakan bahwa mereka baru diberitahu soal eksekusi itu setelah Ruyati dieksekusi pancung. Hal ini membuat para diplomat Indonesia tidak dapat melindungi Ruyati.

Hubungan Indonesia-Saudi normal kembali dan duta besar Indonesia kembali ke Riyadh beberapa hari kemudian setelah Saudi mengeluarkan permohonan maaf resmi dan berjanji meninjau kembali kasus 12 pekerja rumah tangga Indonesia yang juga terancam hukuman mati. 

Namun, PMI yang dieksekusi mati di Arab Saudi karena membunuh majikan terus berlanjut setelah normalisasi. Pemerintah di Jakarta merasa bahwa mereka seharusnya tidak mendapat hukuman mati, dengan alasan pembunuhan tersebut adalah pembelaan diri karena dianiaya majikan.

Indonesia kemudian memberlakukan moratorium pengiriman pekerja rumah tangga ke Arab Saudi dan 18 negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2015.

Sementara itu, ketegangan diplomatik antara Filipina dan Kuwait pada 2018 terjadi setelah pekerja rumah tangga Filipina, Joanna Demafelis, ditemukan sudah menjadi mayat di dalam lemari pendingin apartemen majikannya usai dilaporkan hilang lebih dari setahun. Kematian tersebut memicu protes publik yang meluas di Filipina.

Presiden Rodrigo Duterte langsung melarang pengiriman pekerja rumah tangga lagi ke Kuwait pada Februari 2018.

Perselisihan ini berubah menjadi krisis diplomatik besar pada Mei setelah kedutaan besar Filipina di Kuwait membantu pelarian tiga warganya yang disiksa dan disekap oleh majikan mereka.

Pemerintah Manila mengakui bahwa operasi penyelamatan tersebut tidak dikoordinasikan dengan pihak berwenang Kuwait. Mereka berargumen bahwa nyawa para pekerja rumah tangga itu terancam dan permintaan tolong mereka harus segera ditindaklanjuti.

Kuwait menanggapi dengan mengusir Duta Besar Filipina untuk Kuwait Renato Villa dan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap beberapa personel kedutaan atas pelanggaran kedaulatannya. 

Kedua belah pihak memutuskan menormalkan hubungan beberapa minggu kemudian setelah Filipina setuju mencabut larangannya dan Kuwait sepakat memberikan hak dan manfaat lebih besar bagi pekerja rumah tangga seperti asuransi kesehatan dan hari libur mingguan. 

Terlepas dari perselisihan tersebut, hubungan antara Asia Tenggara dan negara-negara Timur Tengah di sektor-sektor lain sebagian besar tidak terpengaruh. 

Indonesia dan Arab Saudi, misalnya, tetap bermitra erat dalam perdagangan dan investasi bahkan ketika Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman pekerja ke negara Teluk tersebut selama delapan tahun. 

Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, juga terus mengirimkan lebih banyak jamaah untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah di Arab Saudi.

Sementara itu, Filipina dan Kuwait terus menjadi mitra dagang di sektor minyak dan gas, pakaian jadi, dan buah-buahan, terlepas dari krisis diplomatik yang menimpa kedua negara.

Collapse

Menanggapi eksekusi itu, pemerintah Indonesia langsung menerapkan moratorium pengiriman PMI baru - termasuk pekerja rumah tangga dan perawat lansia - ke majikan individu di 19 negara Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA).

Namun moratorium tersebut tidak berlaku bagi PMI yang sudah berada dan bekerja di negara-negara itu, seperti Surani.

"Kami berharap dengan moratorium ini, negara-negara penerima bisa meningkatkan perlindungan (terhadap pekerja Indonesia)," kata Judha Nugraha, direktur perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, kepada CNA.

Jumlah PMI anjlok hingga sekitar 150.000 orang dalam delapan tahun pelaksanaan moratorium. Pada 2023, moratorium dicabut sebagian. Namun para pakar dan aktivis mengatakan selama moratorium diterapkan, masih banyak terjadi pelanggaran.

"Jumlah pekerja migran yang tak terdokumentasi (di Timur Tengah) meroket," kata Anis Hidayah. "Status itu (tak terdokumentasi) membuat mereka lebih rentan perlakuan buruk, penganiayaan dan eksploitasi."

Seorang aktivis memegang spanduk bertuliskan "Arab Saudi adalah penjahat kemanusiaan" dalam sebuah protes menentang eksekusi terhadap buruh migran Indonesia, Mdm Ruyati, di luar kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta, 21 Juni 2011. (Foto: AFP/Adek Berry)

Moratorium memaksa negara-negara Teluk mencari pekerja dari negara lain, dan Filipina adalah salah satu yang memanfaatkan peluang ini.

Arab Saudi dan UEA selalu menjadi dua tujuan utama dari para pekerja asal Filipina. Namun jumlah mereka naik drastis dalam 20 tahun terakhir, berdasarkan data yang dirilis Badan Statistik Filipina (PSA).

Pada 2004, PSA memperkirakan ada sekitar 282.000 pekerja Filipina di Arab Saudi dan 104.000 di Uni Emirat Arab. Tahun lalu, angka ini meningkat menjadi masing-masing 432.000 dan 293.000.

Sementara posisi Singapura dan Jepang digeser oleh Kuwait dan Qatar dalam lima besar negara tujuan pekerja Filipina dalam empat tahun terakhir. Data PSA menunjukkan, tahun lalu ada 140.000 pekerja Filipina di Kuwait dan 134.000 di Qatar, sementara ada 97.000 di Jepang dan 84.000 di Singapura.

KASUS PENGANIAYAAN MERAJALELA

Gelombang kedatangan pekerja Filipina ke Timur Tengah bukannya tanpa konsekuensi.

Media Daily Inquirer mengutip angka dari Kantor Pekerja Luar Negeri Filipina yang menyebutkan pada 2020 ada hampir 5.000 kasus penganiayaan terhadap pekerja Filipina, 4.300 di antaranya terjadi di negara-negara Teluk.

Data 2020 yang dibahas dalam rapat senat Filipina itu adalah satu-satunya data yang pernah diungkapkan ke publik. Namun, berbagai laporan media soal kasus-kasus di Timur Tengah menunjukan bahwa gelombang perlakuan buruk terhadap pekerja Filipina terus terjadi di tahun-tahun ke depan.

Joy Rama, 31, mengaku sering dibentak oleh majikan karena alasan yang tidak jelas ketika menjadi pekerja rumah tangga di Jeddah antara Oktober 2023 dan Juni 2024.

"Mereka menuduh saya tidak bekerja dengan benar. Ketika saya mau menjelaskan, saya dibentak karena dianggap berbicara balik. Madam saya bahkan melempari saya dengan barang-barang. Satu kali dia memelintir tangan saya," kata perempuan Filipina ini kepada CNA.

Mantan pekerja rumah tangga, Joy Rama, 31, duduk di rumahnya di Rodriguez, Provinsi Rizal, Filipina. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)

Selama berbulan-bulan, Rama berkali-kali memohon kepada majikannya agar membiarkannya pulang.

"Ketika dia akhirnya memutuskan melepaskan saya, keluarganya mengelilingi saya dan meminta saya tanda tangan di secarik kertas bertuliskan Arab. Saya takut sekali dan sangat ini pulang, jadi saya tanda tangan," kata dia.

"Saya masih punya gaji dua setengah bulan yang belum dibayar. Mungkin, dokumen itu tentang gaji."

Angelo Jimenez, presiden University of the Philippines sekaligus penasihat pemerintah urusan pekerja migran, mengatakan bahwa Filipina telah berusaha menghentikan gelombang kekerasan terhadap warga mereka.

"Dari setiap kasus, pusatnya adalah ketimpangan kekuatan," kata Jimenez kepada CNA. "Kami kemudian berpikir: Bagaimana memberdayakan orang-orang yang tidak berdaya?"

Akhirnya Filipina mengambil beberapa langkah, salah satunya menerapkan moratorium pengiriman pekerja rumah tangga ke Kuwait pada 2018 dan Arab Saudi antara tahun 2021 dan 2022. 

Moratorium dicabut setelah kedua negara Arab itu setuju meningkatkan perlindungan bagi pekerja Filipina, di antaranya diperbolehkannya pekerja memutus kontrak jika menerima perlakuan tidak menyenangkan atau tidak mendapat gaji.

Kerabat pekerja migran Joanna Demafelis, yang jasadnya ditemukan di dalam lemari pendingin di Kuwait, memegang spanduk sambil menunggu kedatangan jenazahnya di Bandara Internasional Iloilo di provinsi Iloilo, Filipina tengah, pada 17 Februari 2018. (Foto:)

Menanggapi banyaknya kasus penganiayaan terhadap pekerja migran di negaranya, juru bicara pemerintah UEA kepada The Guardian tahun 2023 mengatakan: "UEA memiliki kebijakan tidak menoleransi kekerasan di tempat kerja."

Dia juga mengatakan bahwa negaranya telah menyelenggarakan lokakarya bagi para pekerja rumah tangga agar mereka tahu apa hak-hak mereka dan bagaimana melapor jika diperlakukan buruk.

Juru bicara pemerintah Qatar pada The Guardian April lalu juga mengatakan hal yang sama, bahwa mereka telah melakukan beberapa reformasi hukum dalam satu dekade terakhir. Di antaranya memperbolehkan pekerja migran pindah pekerjaan tanpa perlu izin majikan dan menaikkan upah minimum bulanan menjadi QAR1.000 (Rp4,2 juta) pada 2020, dari sebelumnya QAR906 (Rp3,8 juta).

Indonesia tahun lalu juga menghapus sebagian moratorium setelah ada peningkatan hak-hak pekerja di beberapa negara Teluk yang menuai pujian dari para aktivis. Salah satunya adalah keputusan Arab Saudi pada 2022 yang memperbolehkan pekerja rumah tangga pindah majikan jika mendapat kekerasan atau gaji ditahan.

Tahun berikutnya, Saudi menyetujui undang-undang yang mewajibkan majikan memberikan delapan jam waktu istirahat tanpa diganggu setiap harinya dan setidaknya libur pekanan yang kurang dari 24 jam. Undang-undang ini baru berlaku pada 21 September 2024.

Sementara itu, UEA berjanji akan memasukkan seluruh pekerja rumah tangga dalam skema asuransi kesehatan wajib negara itu tahun depan.

Meski ada beberapa kemajuan, namun Indonesia masih menahan diri untuk tidak mencabut moratorium sepenuhnya dan masih melarang agen penyalur swasta mengirim pekerja ke Timur Tengah sendiri. Saat ini, penyaluran PMI diatur oleh pemerintah.

"Ada pilot project antara Indonesia dan Saudi di mana sponsor kafala bukan individu tapi entitas legal. Kami telah mengevaluasinya dan secara umum sistem perlindungannya lebih baik," kata Judha dari Kemlu.

Judha tidak menjawab ketika ditanya kapan Indonesia akan mencabut moratorium sepenuhnya.

Wahyu Susilo, direktur eksekutif Migrant Care, mengatakan Indonesia seharusnya tidak perlu tergesa-gesa mengakhiri moratorium.

"Peraturan yang baru (di negara-negara Timur Tengah) sudah benar arahnya, tapi kita masih harus melihat apakah peraturan ini akan ditegakkan," kata dia kepada CNA.

PERGESERAN KE ASIA TIMUR

Bersamaan dengan moratorium pengiriman pekerja Indonesia ke Timur Tengah, Taiwan mulai membuka perekrutan pekerja migran untuk merawat warga lansia mereka yang jumlahnya semakin membengkak.

Berdasarkan Dewan Pembangunan Nasional Taiwan, jumlah warga mereka yang berusia 65 tahun ke atas meningkat dua kali lipat menjadi 4,2 juta dalam 22 tahun terakhir. Taiwan yang populasinya lebih dari 23 juta orang diprediksi akan menjadi "masyarakat super-lansia" pada 2025.

Pada 2015, Taiwan melonggarkan persyaratan bagi warganya yang ingin mempekerjakan pekerja migran yang tinggal di rumah untuk merawat lansia di atas 80 tahun. Sebelumnya, perlu surat izin dokter sebelum seseorang di Taiwan boleh menyewa perawat asing.

Foto yang diambil pada tanggal 9 Januari 2024 ini menunjukkan para lansia yang sedang bermain tenis meja di pusat layanan sosial kota Kaohsiung. (Foto: AFP/Yasuyoshi Chiba)

Tahun lalu, persyaratannya dilonggarkan lagi. Kini, mereka yang menderita kondisi tertentu seperti demensia dan gangguan fisik dan mental juga boleh mempekerjakan perawat asing.

Indonesia sebagai salah satu mitra dagang terbesar Taiwan dapat memanfaatkan peraturan baru ini. Saat ini, 65 persen dari sekitar 250 ribu pekerja sosial di Taiwan, termasuk di dalamnya pekerja rumah tangga dan perawat lansia, berasal dari Indonesia.

Namun para pakar mengatakan bahwa pekerja migran di Taiwan rentan eksploitasi seperti jam kerja yang panjang, beban terlalu berat dan juga kekerasan serta pelecehan. Pasalnya, mereka bekerja di sektor informal yang belum terlindungi di bawah undang-undang tenaga kerja Taiwan.

Satu-satunya perlindungan bagi mereka termaktub dalam kontrak kerja dengan majikan yang isinya bisa berbeda satu sama lain.

"Saya cuma dapat libur satu hari per bulan, sementara teman-teman saya dapat seminggu sekali," kata pekerja Indonesia di Taiwan, Suparni.

Perempuan 40 tahun ini mengatakan kurangnya hari libur mulai memengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya setelah dia bekerja empat bulan.

Lalu ada masalah soal tempat tidurnya. Karena ruang tinggal sangat terbatas di Taipei, Suparni terpaksa tidur menggunakan kasur udara di gudang yang penuh kecoak. Ruang lain tempat Suparni bisa mendapatkan privasi adalah balkon apartemen tempat dia menjemur baju.

Saat ini Taiwan tengah menggodok "Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga" yang akan memberikan pekerja domestik setidaknya satu hari libur dalam sepekan. Undang-undang itu juga akan mencakup soal standar gaji, waktu istirahat, cuti dan asuransi.

Menurut media setempat, rancangan undang-undang yang dibuat pada 2011 itu masih maju-mundur di kalangan instansi pemerintah lantaran masih ada kekhawatiran soal implementasinya kelak.

Karena sifat pekerjaan mereka yang informal dan terisolasi, para pekerja rumah tangga dan perawat lansia masih sangat rentan perlakuan tidak adil dan pelecehan di negara-negara berkembang.

"Bahkan undang-undang tenaga kerja paling ketat pun tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di dalam rumah majikan," kata Anis dari Komnas HAM.

Warga Filipina juga semakin banyak yang bekerja di Asia Timur.

Agustus lalu Korea Selatan kedatangan 100 pekerja Filipina setelah menjalankan program percontohan yang untuk pertama kalinya memperbolehkan pekerja asing menjadi pekerja rumah tangga dan perawat lansia di rumah.

100 pekerja domestik asal Filipina pertama tiba di Seoul pada Agustus dan akan bekerja pada 3 September. (Foto: Pemerintah Metropolitan Seoul)

Jika program percontohan selama enam bulan ini berhasil, maka Pemerintah Metropolitan Seoul berencana akan mendatangkan lagi 500 perawat lansia dari Filipina tahun depan, dengan target 1.000 orang pada 2028.

Para pekerja itu mendapatkan gaji minimum 9.860 won (Rp115 ribu) per jamnya. Jika hitungannya 40 jam kerja per minggu, maka mereka akan mendapatkan hingga senilai Rp28 juta per bulan, termasuk asuransi kesehatan wajib.

The Korea Times melaporkan bahwa para pekerja Filipina akan bekerja paruh-waktu di beberapa rumah tangga. Hal ini sesuai dengan survei Kementerian Tenaga Kerja dan Perburuhan Korsel yang menunjukkan bahwa permintaan pekerja paruh-waktu sekitar empat jam per hari dan tiga atau empat jam per minggu lebih banyak ketimbang penuh-waktu yang tinggal di rumah majikan.

Kementerian itu menawarkan fasilitas asrama untuk para pekerja migran, bekerja sama dengan Pemerintah Metropolitan Seoul.

Sama halnya seperti Taiwan, Korea Selatan juga diproyeksi akan menjadi "masyarakat super-lansia" tahun depan, dengan 20 persen dari 51 juta populasinya berusia 65 tahun ke atas.

Korsel juga mengalami penurunan angka kelahiran dengan hanya 0.72 kelahiran per perempuan pada tahun lalu. Para pekerja asing diharapkan dapat meringankan beban dalam mengasuh anak sehingga mendorong perempuan di Korsel untuk mau mengandung.

Tapi inisiatif ini mendapatkan penentangan dari para aktivis dan politisi yang menganggap para pekerja asing akan menyingkirkan tenaga kerja dalam negeri di sektor ini yang mencapai 107.000 orang berdasarkan Badan Statistik Korea.

Jepang juga mulai tertarik mendatangkan perawat lansia dari negara lain untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di bidang ini.

Untuk saat ini di Jepang, perawat asing hanya boleh bekerja di panti jompo dan dilarang memberikan perawatan di rumah. Keterbatasan bahasa, pemahaman budaya dan tradisi menjadi dasar larangan tersebut.

Marvin Rimas, sekretaris jenderal lembaga advokasi Migrante Philippines, mengatakan meningkatnya permintaan dari Asia Timur akan jadi pembuka tren bergesernya minat pekerja Filipina dari Timur Tengah ke Asia Timur.

"Satu-satunya alasan mengapa Timur Tengah sangat populer di kalangan pekerja Filipina adalah karena mencari kerja di sana sangat mudah. Persyaratan pendidikan dan sertifikasi atau pengalaman juga sangat sedikit. Tapi memang di sana banyak terjadi pelanggaran," kata dia kepada CNA.

Filipina, kata dia, tengah meningkatkan kemampuan tenaga kerjanya untuk memenuhi persyaratan kerja di Taiwan dan Korea Selatan.

"Permintaan pekerja asing di negara-negara ini sepertinya akan terus tumbuh. Dan minat warga Filipina untuk bekerja di negara-negara itu juga sangat tinggi," kata dia.

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan