Pekerja migran Asia Tenggara digaji tinggi tapi dompet tetap tipis, kenapa?
Meskipun gaji di negara tujuan meningkat, ekspektasi keluarga, pengaruh media sosial, dan kurangnya keterampilan finansial menjadi batu sandungan bagi para pekerja migran Asia Tenggara.
JAKARTA/KUALA LUMPUR: Setiap malam, suara serak Rosa Angelina nyaring menembus hiruk pikuk pusat Kota Penang, Malaysia.
Saat kerumunan turis melewati restorannya, ia mengajak mereka dalam bahasa Melayu, Inggris, dan Mandarin untuk menikmati mi goreng khas restoran itu.
Pekerja Migran Indonesia (PMI) berusia 32 tahun ini telah bekerja sebagai pelayan di Malaysia selama sembilan tahun dengan penghasilan sekitar RM2.000 (Rp7,3 juta) per bulan atau sekitar 3,5 kali lipat gaji pelayan di kampung halamannya di Sumatera Utara.
Sebab Rosa fasih berbagai bahasa, gaji yang diterimanya juga terbilang lebih tinggi daripada rekan-rekannya di Malaysia yang menerima upah minimum bulanan sebesar RM1.500.
Meski begitu, mirisnya kesulitan keuangan terus membebani hidup Rosa.
Setengah dari gajinya digunakan untuk menghidupi orang tuanya. Sisanya cukup untuk membeli makanan, membayar transportasi umum, dan berbagi kamar kos seluas 18 meter persegi dengan PMI lainnya di sebuah properti di seberang pulau, sekitar satu jam perjalanan bus dari tempat kerjanya.
“Dulu saya bisa menyewa tempat di dekat pusat kota. Sekarang, saya hanya mampu menyewa tempat yang jauh,” katanya.
“Perjalanan bus bisa bikin lelah, terutama setelah hari yang sibuk seperti di akhir pekan atau selama musim liburan. Tapi enggak apa-apa, yang penting ingat ini semua untuk keluarga.”
Sementara itu, di pinggiran kota Kuala Lumpur, seorang pekerja migran dari Myanmar yang hanya ingin dikenal sebagai Kyaw membersihkan meja dan menyapu lantai restoran nasi campur Tionghoa sementara pelanggan datang dan pergi dari makan siang hingga makan malam.
Meskipun tidak memiliki izin, pekerja umum tersebut dapat memperoleh sekitar RM2.000 sebulan. Dia hanya mendapat satu hari libur dalam sebulan. Walaupun ia mendapatkan makanan gratis di toko majikannya, ia masih membutuhkan sekitar RM1.000 per bulan untuk biaya lain, termasuk biaya kos di sebuah toko kecil dengan rekan-rekan migran dekat tempat kerjanya.
Ia mengirim RM1.000 ke keluarganya setiap bulan meskipun terkadang hanya dapat mengirim beberapa ratus ringgit karena ada "biaya" tambahan seperti suap yang harus ia berikan kepada pihak berwenang karena statusnya yang tidak berizin.
Kyaw mengatakan kepada CNA bahwa ia datang ke Malaysia secara legal pada tahun 2017 dari Yangon untuk bekerja tetapi sekarang telah melewati batas izin kerjanya. Jika ketahuan oleh pihak berwenang, ia dapat dipenjara dan dideportasi.
Karena situasi politik dan ekonomi di negaranya, Kyaw merasa tidak punya pilihan selain tetap tinggal di Malaysia setidaknya untuk beberapa tahun ke depan.
“Saya melakukan ini hanya untuk keluarga saya. Mereka tidak benar-benar tahu kesulitan yang saya alami, tetapi saya tidak punya banyak pilihan. Tidak ada pekerjaan di tanah air,” katanya dengan air mata berlinang.
Jutaan orang dari negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan Myanmar mencari pekerjaan di luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka dan keluarga mereka.
Di luar negeri, para pekerja migran ini dapat memperoleh penghasilan tiga hingga lima kali lebih banyak daripada melakukan pekerjaan yang sama di negara asal mereka.
Namun, hidup sendirian di negeri asing, jauh dari dukungan keluarga dan teman, dapat menjadi hal yang menakutkan.
Makanan dan kos jauh lebih mahal daripada biaya hidup di kampung halaman. Banyak pekerja yang mengirimkan sebagian besar gaji mereka untuk menghidupi keluarga di kampung halaman.
Sekalipun tidak perlu mengirim uang, mereka yang tidak berkeluarga terkadang tetap kesulitan untuk bertahan hidup karena harus membayar utang yang telah terkumpul dari pembayaran tiket atau kursus pelatihan, hingga biaya administrasi pemerintah, sebelum mereka menerima gaji pertama.
Lalu ada juga yang menghambur-hamburkan uang mereka karena rendahnya literasi keuangan serta tekanan dari teman sebaya dan keluarga, ekspektasi sosial yang dipengaruhi media sosial, dan godaan untuk meniru gaya hidup selangit penduduk setempat yang kaya raya.
BIAYA HIDUP YANG MENINGKAT
Meskipun upah pekerja migran telah meningkat dalam dekade terakhir di negara-negara tujuan di Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara, gaji tersebut terkadang tidak mampu mengimbangi kenaikan harga.
Di Hong Kong, upah minimum naik dari HK$30 per jam pada tahun 2013 menjadi HK$40 (Rp84 ribu) per jam tahun ini, atau sebesar 33,3 persen. Namun, harga properti juga naik sebesar 33 persen selama periode yang sama sementara harga pangan naik antara 2,5 dan 3 persen setiap tahunnya.
Di Uni Emirat Arab, yang merupakan tujuan utama pekerja migran dari Asia Tenggara, pekerja kasar saat ini dibayar sedikitnya 1.500 dirham (Rp6,6 juta) per bulan, naik 36 persen dari gaji minimum 1.100 dirham per bulan yang mereka terima pada tahun 2013.
Namun, harga pangan telah meningkat antara 3 dan 7 persen per tahun sementara sewa di negara Teluk tersebut telah naik antara 5 dan 10 persen per tahun selama 11 tahun terakhir.
Sementara itu, upah minimum bulanan di Semenanjung Malaysia telah meningkat dari RM900 ketika negara tersebut pertama kali memperkenalkan Perintah Gaji Minimum pada tahun 2013 menjadi RM1.500 saat ini. Pemerintah Malaysia telah setuju untuk menaikkan upah minimum menjadi RM1.700 per bulan mulai Februari tahun depan.
Namun, sewa rumah hampir dua kali lipat dibandingkan dengan satu dekade lalu sementara harga pangan rata-rata naik sekitar 3 persen per tahun.
Alhasil, para pekerja migran merasa tertekan.
Ketika Rosa pertama kali tiba di Penang sembilan tahun lalu, ia dibayar sekitar RM1.100 per bulan, sedikit di atas upah minimum, karena pengalamannya bekerja di restoran serupa di Indonesia.
Meskipun gajinya hampir dua kali lipat sejak saat itu, biaya hidup di pulau wisata tersebut serta di kampung halamannya juga ikut naik.
“Saya harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk kontrakan dan saya harus mengirim lebih banyak uang ke keluarga karena di Indonesia, tagihan listrik, minyak goreng, beras, semuanya sekarang mahal. Jadi bahkan dengan kenaikan gaji saya masih berjuang untuk bertahan hidup,” katanya.
Mandor bangunan Kurnia Adi asal Madura mengatakan kepada CNA bahwa gaji di sektor konstruksi secara umum telah turun karena kesempatan kerja lembur lebih sedikit dari sebelumnya. Banyak pekerja migran bergantung pada kerja lembur untuk menambah upah mereka.
“Namun, banyak orang Indonesia masih tidak punya pilihan karena tidak ada pekerjaan di tanah air,” katanya, seraya menambahkan gaji yang diperolehnya tiga kali lipat dari yang ditawarkan di Indonesia.
Kurnia, yang telah menetap di Malaysia selama sekitar 30 tahun dan memiliki visa kerja profesional, mengatakan bahwa jumlah penghasilan yang dikirim para pekerja migran ke negara asal semakin berkurang karena biaya hidup yang lebih tinggi.
“Ini menjadi semakin sulit. Banyak yang harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan mereka,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia berharap dapat membuka bisnis di Indonesia suatu hari nanti untuk membuka lapangan kerja bagi sesama warga negaranya.
Meningkatnya biaya hidup dapat menjadi beban yang sangat berat bagi pekerja ilegal yang sering kali tidak berdaya ketika pemberi kerja membayar mereka jauh di bawah upah minimum atau menahan gaji mereka selama berbulan-bulan.
“Saya pernah tidak makan apa-apa kecuali mi instan karena tidak punya uang. Kadang-kadang, saya tidak makan sama sekali,” kata Ari Yulianto, seorang WNI berusia 40 tahun yang bekerja serabutan di Malaysia dari tahun 2002 hingga 2020.
Ari, yang memiliki total tujuh majikan selama bertahun-tahun bekerja di Malaysia, mengatakan bahwa salah satu majikan hanya membayarnya RM25 sehari untuk melakukan pekerjaan konstruksi, setelah dijanjikan upah RM100. Selain itu, seorang majikan lainnya berutang tiga bulan upah memanen kelapa sawit kepadanya.
Para pekerja migran enggan melaporkan perlakuan tidak adil kepada pihak berwenang karena tidak mau status mereka sebagai pekerja ilegal terungkap. Oleh karena itu, mereka juga lebih rentan terhadap pelecehan dan kondisi kerja yang keras dibandingkan dengan mereka yang memiliki izin untuk bekerja secara legal di negara tersebut.
GAYA HIDUP YANG TAK KESAMPAIAN
Ari mengatakan bahwa ia berusaha menyembunyikan kesulitan yang dialaminya dari istri dan anak-anaknya di kampung halaman.
Ia memastikan bahwa ia tidak pernah mengunggah foto-foto asramanya yang bobrok di media sosial yang ditempatinya bersama lima pekerja lainnya atau mengeluh tentang hari kerja yang panjang dan melelahkan setiap kali keluarganya melakukan panggilan video.
“Sebaliknya, saya mengunggah foto-foto hari saya di pantai atau kunjungan saya ke banyak tempat terkenal di sekitar kota saya. Saya tidak ingin anak-anak saya mengkhawatirkan saya,” kata ayah dua anak ini.
Ari tidak sendirian.
Marvin Rimas dari kelompok advokasi yang berbasis di Metro Manila, Migrante Philippines, mengatakan bahwa keluarga-keluarga di kampung halaman sering kali tidak mengetahui kesulitan yang dihadapi para pekerja migran di luar negeri.
“Mereka tidak tahu bahwa para pekerja migran harus bekerja berjam-jam dan berjuang untuk bertahan hidup. Yang mereka tahu adalah bahwa para pekerja migran ini mengirim uang ke kampung halaman. Bagi mereka yang kekurangan jumlahnya bisa terasa sangat besar,” kata Rimas kepada CNA.
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional, ada 169 juta pekerja migran di seluruh dunia. Pada tahun 2022, para pekerja ini mengirim pulang US$794 miliar (Rp12,9 triliun), menurut estimasi Bank Dunia.
Rimas mengatakan dengan banyaknya pengorbanan yang dilakukan para pekerja migran ini, mereka berharap keluarga mereka dapat menggunakan uang yang dikirim dengan bijak seperti membuka usaha atau menabung agar anak-anak mereka dapat kuliah.
Sebaliknya, Rimas melihat keluarga-keluarga menghabiskan uang tersebut untuk liburan mewah, membeli mobil, atau barang-barang mahal lainnya.
“Ketika para pekerja migran ini kembali, mereka terkejut karena tidak ada uang tersisa di bank. Jadi, mereka tidak punya pilihan selain menjadi pekerja migran lagi,” kata sekretaris jenderal Migrante Philippines.
Beberapa pekerja migran dari Indonesia juga harus berhadapan dengan anggota keluarga yang menghabiskan uang hasil jerih payah mereka yang sering kali berujung pada perselisihan, pertengkaran, dan terkadang perceraian.
"Kami ada beberapa kasus di mana suami menerima sejumlah besar uang dari istri mereka yang bekerja di luar negeri. Dan alih-alih menggunakan uang itu untuk membangun masa depan bersama yang lebih baik, suaminya malah punya istri lain," kata Anies Hidayah, seorang komisioner di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan seorang advokat hak-hak pekerja migran, kepada CNA.
Dan bukan hanya anggota keluarga di rumah yang lalai mengatur uang belanjaan.
"Ada banyak tekanan dari rekan kerja. Mereka akan berkata: 'Ayo keluar dan minum-minum' atau 'ayo pergi berbelanja'," kata Cathy, seorang warga Filipina berusia 26 tahun yang telah bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Hong Kong selama enam tahun.
Inilah sebabnya dia mulai membeli barang-barang yang tidak mampu dia beli: Ponsel pintar, tas tangan, perhiasan, dan gaun.
"Saya ingin terlihat seperti turis dan ekspatriat yang saya lihat setiap kali saya dan teman-teman saya pergi keluar," kata Cathy yang meminta CNA untuk tidak mengungkapkan nama lengkapnya.
Tekanan untuk tampil sukses di media sosial juga menjadi dorongan untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkannya.
Kecanduan berbelanja memburuk setelah pandemi COVID-19 melanda, karena platform e-commerce mulai memperkenalkan fitur baru: Beli sekarang, bayar nanti.
Fitur baru itu dianggapnya seolah-olah uang gratis, sehingga ia terkadang menghabiskan lebih banyak dari yang dihasilkannya dalam sebulan.
Ketika dia menyadari dirinya harus membayar kembali apa yang telah dibelinya, rekening banknya sudah kosong.
"Semua gaji saya digunakan untuk melunasi utang-utang saya. Saya harus meminjam uang dari teman-teman dan keluarga hanya untuk makan sendiri," kata Cathy, sambil menambahkan bahwa butuh waktu tiga tahun baginya untuk membayar kembali semua uang yang dipinjamnya.
Menurut sebuah studi tahun 2019 oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dari 1.698 pekerja migran dari negara-negara Asia Tenggara yang disurvei, 31 persen mengatakan mereka tidak mengalami perubahan dalam tabungan mereka setelah kembali dari luar negeri sementara 21 persen mengalami penurunan tabungan setelah migrasi.
Sekitar 17 persen pekerja migran dari Asia Tenggara mengatakan kepada IOM bahwa mereka pulang ke tanah air dalam keadaan terlilit utang.
PERANGKAP UTANG
Banyak pekerja terlilit utang dengan mengambil pinjaman besar bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di tanah asing.
Karena terbatasnya jumlah pekerja migran yang diterima negara tuan rumah setiap tahunnya, banyak yang bersedia membayar ribuan dolar kepada calo dan perantara untuk mendapatkan kesempatan bekerja di luar negeri.
Ini termasuk biaya-biaya yang sah, seperti tiket pesawat, kursus pelatihan, dan biaya administrasi pemerintah, tetapi bisa juga bersifat ilegal seperti suap.
Seorang ibu dua anak berusia 40 tahun asal Indonesia yang ingin diidentifikasi hanya sebagai Nur mengatakan bahwa ia harus mengeluarkan sekitar Rp30 juta sebelum ia menjadi pengasuh di Taiwan pada bulan Mei.
Sekitar Rp20 juta dihabiskan untuk pelatihan dan penginapannya selama dua bulan di sebuah fasilitas pelatihan pekerja migran di Jawa Tengah untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk bekerja di Taiwan serta tiketnya ke Taipei.
Sisanya diberikan kepada seorang calo yang mengaku dapat membantu memastikan Nur terpilih melawan ratusan pelamar lain yang bersaing untuk bekerja di Taiwan.
“Saya diberitahu oleh orang ini bahwa saya sebenarnya tidak memenuhi syarat dan lamaran saya akan ditolak. Namun, dia mengatakan dia mengenal orang-orang di pusat pelatihan tersebut. Jadi, saya membayarnya 10 juta rupiah hanya untuk menjamin tempat di pusat pelatihan tersebut,” katanya kepada CNA.
Beberapa bulan setelah pertemuannya pada Maret 2024, Nur masih belum yakin apakah pria itu benar-benar bisa memberinya jalan pintas atau apakah dia akan tetap dipilih berdasarkan keterampilan dan pengalamannya.
Yang penting adalah Nur harus membayar kembali uang yang dipinjamnya dari rentenir dan platform pinjaman peer-to-peer, keduanya mengenakan biaya jauh lebih besar daripada suku bunga tahunan bank konvensional, yaitu sebesar 10 hingga 25 persen.
Dengan gaji bulanannya sebesar NT$20.000 (Rp9,9 juta) yang sebagian dihabiskan untuk kebutuhan sehari-harinya di Taiwan, ia kesulitan melunasi utangnya. Ia belum mengirimkan uang ke tanah air.
Menurut temuan Bank Dunia tahun 2021, 97,7 juta orang dewasa Indonesia tidak memiliki akses perbankan, yang berarti mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki akses ke bank atau lembaga keuangan serupa. Hal ini membuat mereka rentan terhadap rentenir atau praktik pinjaman predator lainnya.
Pekerja dari Filipina juga terjerumus dalam perangkap utang serupa dengan para pelamar yang mengambil pinjaman besar untuk membayar biaya perekrutan dan tiket pesawat.
Seperti rekan-rekan mereka di Indonesia, banyak yang menjadi mangsa calo dan perantara yang menaikkan nominal biaya-biaya resmi, serta rentenir yang terkadang mengenakan suku bunga tahunan lebih dari 100 persen.
Populasi warga negara yang tidak memiliki rekening bank adalah 34,3 juta, menurut studi Bank Dunia tahun 2021.
"Saya telah melihat banyak keluarga yang berada dalam kondisi yang lebih buruk dibandingkan saat mereka pertama kali menjadi pekerja migran," kata Elisa Gumarang, seorang anggota dewan kota di San Isidro, sebuah distrik di pinggiran Metro Manila di mana banyak penduduk lokalnya pergi bekerja di luar negeri.
Anggota dewan tersebut mengatakan pekerja migran terkadang mengalami pelecehan, penunggakan gaji, atau dipecat, jauh sebelum kontrak mereka seharusnya berakhir. Banyak yang harus dipulangkan sebelum mereka dapat menghasilkan uang yang cukup atau mampu melunasi utang mereka.
PENTINGNYA LITERASI KEUANGAN
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru dilantik, Abdul Kadir Karding, mengatakan pada 28 Oktober bahwa ia akan memangkas jumlah pungutan dan biaya yang dikenakan kepada PMI dengan alasan bahwa biaya tersebut bisa “berlebihan” dan “eksploitatif”.
Sementara itu, Filipina sedang mempertimbangkan untuk mendirikan dana pensiun bagi pekerjanya di luar negeri guna melindungi pekerja dan keluarga mereka dari risiko usia lanjut, cacat, sakit, kematian, dan pengangguran.
Namun, pemerintah juga perlu mengajarkan literasi keuangan kepada warga negaranya, serta kemampuan untuk mengelola pendapatan dan pengeluaran, hingga membuat keputusan yang tepat terkait uang, kata beberapa organisasi pekerja migran.
“Mereka harus dapat menentukan berapa banyak gaji mereka yang harus diberikan kepada keluarga mereka, berapa banyak yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka di luar negeri, dan berapa banyak yang harus ditabung,” kata Rimas dari Migrante Philippines.
“Sayangnya, kami tidak memiliki program pelatihan semacam itu di Filipina.”
Nasrikah Paidin, penasihat Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran di Malaysia, mengatakan bahwa literasi keuangan bagi pekerja migran sangatlah penting.
Ia telah melihat bagaimana beberapa migran mengirimkan hampir semua penghasilan mereka kepada keluarga mereka, tanpa akuntabilitas tentang bagaimana mereka menghabiskan uang hasil jerih payah mereka.
“Dalam pelatihan kami, kami memberi tahu para migran bahwa meskipun mereka dapat memberikan uang kepada keluarga mereka, mereka juga harus belajar untuk mengatakan tidak,” katanya.
“Mereka berkorban untuk keluarga mereka, tetapi seharusnya tidak seperti itu selamanya. Tujuan mereka seharusnya setidaknya membangun rumah dan membuka usaha di kampung halaman setelah kontrak mereka berakhir.”
Melinda Damayanti, 29 tahun, asal Kota Bandung, telah bekerja sebagai operator pabrik di sebuah perusahaan multinasional di Shah Alam, di mana ia bertugas merakit turntable.
Melinda, yang telah bekerja di Malaysia selama delapan tahun, merasa beruntung karena ia disediakan asrama oleh majikannya dan transportasi ke dan dari pabrik setiap harinya.
Ia memperoleh sekitar RM2.800 per bulan ditambah lembur, dengan sekitar RM1.000 digunakan untuk pengeluaran pribadinya termasuk makanan. Ia terkadang memperoleh bonus dan perusahaannya bahkan menyediakan asuransi bagi semua pekerjanya.
Ia berharap dapat kembali ke Indonesia dalam satu atau dua tahun, dan selama beberapa tahun terakhir alih-alih mengirimkan semua penghasilannya kembali ke tanah air, ia menyimpan sebagian gajinya di rekeningnya sendiri.
“Setiap kali saya bertanya kepada keluarga saya tentang uang, mereka mengatakan semuanya telah dihabiskan. Tidak ada yang tersisa untuk saya. Saya merasa kecewa karena saya sendiri tidak memiliki apa pun untuk jadi kebanggaan saya sendiri meskipun telah lama pergi,” katanya, seraya menambahkan bahwa keputusan untuk pergi ke Malaysia adalah keputusannya sendiri.
Melinda mengatakan bahwa ia memendam impian untuk menjadi ibu rumah tangga suatu hari nanti dan ingin memulai hidupnya sendiri di tanah air. Hal itu, katanya, akan membutuhkan tabungannya sendiri.
“Kadang-kadang saya hanya bisa menangis sendiri dan bertanya-tanya sampai kapan saya akan berada di sini,” katanya.
Mengetahui cara mengelola uang serta memiliki tujuan yang jelas dan bekerja keras untuk mencapainya adalah kunci bagi pekerja migran untuk dapat keluar dari kemiskinan, kata pengusaha Filipina Rebecca Bustamante, yang dulunya adalah ART di Singapura dan pengasuh anak di Kanada pada tahun 1980 dan 1990-an.
Seperti banyak orang Filipina yang mencari pekerjaan di luar negeri, Bustamante, yang memiliki 10 saudara laki-laki dan perempuan, tumbuh di lingkungan miskin di kota pesisir kecil sekitar 280km barat laut Manila.
Ia menjadi pembantu rumah tangga pada tahun 1986 karena keluarganya terlilit utang dan rumah mereka hampir disita oleh bank.
“Saya bekerja di Singapura agar saya dapat membayar utang keluarga dan membantu saudara-saudara saya,” katanya. “Tetapi saya punya tujuan, yaitu tidak menjadi ART seumur hidup.”
Setelah pertemuan tak sengaja dengan seorang dosen di universitas terbuka di Singapura, ia belajar akuntansi di luar hari-hari kerjanya yang panjang.
“Saya sudah bekerja hampir 18 jam sehari, tetapi saya bertekad untuk menyelesaikan kuliah saya,” kata Bustamante, seraya menambahkan bahwa ia kembali ke Filipina pada tahun 1990 dengan sertifikat akuntansi.
Ia kemudian mengarahkan pandangannya ke Kanada yang menawarkan program izin kerja terbuka. Pintu baginya untuk memperoleh izin tersebut adalah dengan menjadi pengasuh anak selama dua tahun.
Berbekal sertifikat akuntansi yang diperolehnya di Singapura, ia kemudian bekerja sebagai tenaga penjualan untuk berbagai perusahaan, menjual apa saja mulai dari peralatan dapur hingga asuransi.
Setelah bertahun-tahun di Kanada dan memperoleh status penduduk tetap, ia memulai bisnisnya sendiri pada tahun 2005, membantu warga Filipina mendapatkan pekerjaan kantoran di negara Amerika Utara tersebut.
“Banyak pekerja migran berpikir bahwa mereka ditakdirkan untuk menjadi ART atau pekerja buruh.
“Namun jika Anda benar-benar ingin memberi diri Anda masa depan yang lebih baik, Anda perlu mengembangkan diri, meningkatkan keterampilan, dan menetapkan tujuan,” kata Bustamante, yang sering diundang untuk memberikan pidato motivasi kepada pekerja migran dan calon pengusaha.
“Saya sering ditanya ‘apa rahasia kesuksesan Anda?’ Padahal sebenarnya tidak ada rahasia. Ini semua tentang menetapkan pikiran Anda untuk mencapai tujuan tertentu dan meluangkan waktu dan upaya untuk mencapainya.”
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya.