Nelayan Johor keluhkan polusi dan ikan yang berkurang, Causeway Singapura-Malaysia disebut biang keladinya
Para ahli mengatakan reklamasi dan struktur Causeway telah menghambat aliran air di Selat Johor, memicu penumpukan polutan sehingga berimbas pada ekosistem laut.
JOHOR BAHRU: Selang 10 menit setelah melempar jala di perairan Selat Johor, insting nelayan Jefree Salim berkata bahwa hari itu tangkapannya tidak akan banyak.
Perairan itu terletak hanya sekitar 20m dari Causeway Johor-Singapura, sebuah jalan layang dan rel kereta yang menghubungkan antara Singapura dan Johor Bahru di Malaysia. Ini adalah salah satu lintas perbatasan darat paling ramai di dunia, dilewati oleh lebih dari 300 ribu orang setiap harinya.
"Bisa Anda cium baunya? Dan warna airnya juga tidak bagus," kata Jefree, nelayan berusia 42 tahun dari suku pribumi Orang Seletar yang telah turun temurun memancing di perairan itu.
Ketika dia menarik jala dari air di selat yang keruh itu, bau menyengat menguar ke udara.
Jefree kemudian mengarahkan perahunya menjauh sekitar 100m dari Causeway ke tempat memancingnya yang lain, dekat pelampung penanda perbatasan antara Malaysia dan Singapura. Dia kemudian melempar kembali jalanya ke air.
Sejam kemudian, Jefree dan dua perahu nelayan lainnya di perairan itu tidak juga berhasil menangkap ikan.
"Sudah biasa seperti ini kalau kami memancing di sekitar sini," kata Jefree, yang menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan untuk menafkahi istri dan dua putrinya.
"Dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, polusi semakin parah dan hasil tangkapan ikan berkurang jauh," imbuh dia.
Seperti halnya yang dialami masyarakat pesisir di seluruh dunia, perairan Selat Johor juga tidak terlepas dari dampak polusi dan perubahan iklim.
Namun para pengamat mengatakan kepada CNA bahwa masalah ini diperparah dengan rancang bangun Causeway, yang menjadi semacam bendungan besar sehingga menghambat aliran air.
Jalanan tersebut berdampak pada pertumbuhan biota laut dan mengurangi tangkapan ikan para nelayan, kata mereka.
Di waktu yang sama, pemerintah Singapura dan Malaysia telah melakukan upaya untuk meminimalisir dampak ekologi terhadap Selat Johor.
Pemerintah Singapura telah melakukan studi lingkungan di daerah yang akan dibangun untuk memastikan tidak ada dampak buruk pada biota laut.
Sementara itu, pemerintah negara bagian Johor di Malaysia telah melancarkan beberapa inisiatif untuk menjaga kebersihan sungai bersama dengan warga dan pelaku industri. Hal ini bertujuan agar sampah-sampah dan limbah industri tidak dibuang ke aliran sungai yang mengarah ke selat.
Ahli konservasi Serina Rahman yang juga dosen di departemen studi Asia Tenggara, National University of Singapore (NUS), memberikan presentasi mengenai masalah ini pada Mei lalu jelang peringatan 100 tahun Causeway.
Peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute ini juga menyoroti bagaimana Causeway telah menghambat aliran air dari satu sisi ke sisi lainnya di Selat Johor, tidak seperti Tuas Second Link yang berupa jembatan di atas pilar beton untuk menghubungkan kedua negara.
Menurut Serina, hal ini terlihat jelas dari bagaimana air di setiap sisi Causeway terkadang memiliki warna atau ketinggian yang berbeda. Hal ini, kata dia, terjadi karena muka air tanah yang tidak rata sehingga menciptakan "kompartemen gelombang yang berbeda".
Muka air tanah adalah permukaan teratas daratan yang memengaruhi tingkat kejenuhan air.
Dalam wawancara dengan CNA, Serina menekankan bahwa terperangkapnya polutan dan sampah dapat berdampak parah pada lingkungan. Kondisi ini pada akhirnya juga akan berimbas pada kesehatan dan perekonomian, lanjut dia.
"Selama ada aliran air, benda-benda yang mengalir ke selat dari wilayah kedua sisi bisa bergerak. Ketika (polutan) bergerak, maka akan larut dan terurai, sehingga dampak buruknya berkurang," kata Serina.
"Tetapi ketika bertumpuk, di saat itulah muncul masalah yang lebih parah. Kita tidak bisa hanya membuang zat-zat merusak itu.
"Di kedua sisi jembatan ada kehidupan dalam air ... jadi ketika polutannya terakumulasi, maka akan memengaruhi perkembangbiakan ikan, yang berimbas pada kualitas boga bahari," kata dia.
MENGANCAM WARISAN BUDAYA
Masalah polusi perairan Selat Johor bukanlah fenomena baru.
Studi yang diterbitkan oleh Universiti Teknologi Malaysia dan Universiti Putra Malaysia pada 2019 dan 2013 menyebutkan bahwa sampel air di perairan tersebut mengandung polusi logam berat dan mikroplastik.
Polusi di anak-anak sungai yang mengarah ke Selat Johor juga telah disampaikan oleh pemerintah.
Pada tahun 2019 Perdana Menteri Singapura saat itu, Lee Hsien Loong, menyuarakan kekhawatirannya mengenai polusi dan dampak jangka panjangnya terhadap Sungai Johor, sungai utama yang terletak sekitar 30km dari Causeway.
Berdasarkan Perjanjian Air tahun 1962 antara Singapura dan Malaysia, Singapura dapat membeli 250 juta galon air per hari dari Sungai Johor, dengan harga 3 sen ringgit untuk setiap 1.000 galonnya.
Pada 2021, penguasa Johor Sultan Ibrahim Iskandar juga mengkritik penduduk yang membuang sampah ke jaringan drainase, yang meliputi sungai dan parit yang mengalir ke Selat Tebrau.
Antara tahun 2022 dan 2023, Menteri Utama Johor Onn Hafiz Ghazi mempelopori inisiatif "bersihkan sungai kita" di negara bagian tersebut. Ini adalah program untuk membersihkan sungai-sungai di Johor dari sampah dan mengedukasi masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Namun menurut Atik, anggota suku Orang Seletar yang menjadi nelayan kerang hijau, masalah polusinya terus memburuk. Hal ini ditandai oleh semakin berkurangnya tangkapan kerang hijaunya.
Komunitas nelayan di Selat Johor juga mengumpulkan kerang untuk dijual di pasar lokal dan restoran-restoran seafood di Johor Bahru.
"Dalam beberapa tahun terakhir, musim pembiakan kerang hanya terjadi setahun sekali. Lima tahun lalu, kami bisa panen dua kali, dan kini hasilnya cuma setengahnya ... bahkan belakangan ini lebih sedikit lagi," kata dia.
Atik mengatakan, dia harus mengumpulkan paling tidak 2kg kerang dalam sekali melaut. Karena kalau kurang dari itu, harga jualnya tidak akan bisa menutupi ongkos bahan bakar perahunya.
Belakangan ini, kata dia, dalam 3 dari 10 kali perjalanan laut, hasil tangkapan kerangnya tidak cukup untuk menutupi pengeluaran melaut.
Atik khawartir, Orang Selatar tidak akan menjadi nelayan lagi jika tangkapan ikan terus berkurang jumlahnya bahkan sampai tidak ada lagi.
"Saya berharap anak-anak saya bisa melanjutkan warisan budaya nenek moyang kami dengan mencari ikan di perairan ini. Tapi bisa jadi itu tidak mungkin," kata dia.
MENGURANGI POLUSI DENGAN GORONG-GORONG
Kepada CNA, para pengamat menyarankan dilakukan perbaikan struktur di Causeway agar air dapat mengalir dengan lebih baik untuk mengatasi masalah polusi.
Ahli terowongan dan pemerhati Causeway, Tja Kim Huat, 59, membuat grup Facebook Eco-Link@Causeway untuk memberikan kesadaran mengenai masalah lingkungan di Selat Johor. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya memperbaiki dan menambah jumlah gorong-gorong di bawah jalan raya.
Dalam cetak biru Causeway yang dilihat CNA, sebenarnya terdapat beberapa gorong-gorong dalam rancangan awal, namun ditutup beberapa tahun kemudian karena pembangunan.
Ketika Causeway Singapura-Johor dibuka pada 1924, terdapat kanal dan jembatan yang bisa dinaikkan pada sisi Johor, memungkinkan kapal-kapal kecil untuk melintas. Ketika itu juga terdapat 10 gorong-gorong.
Konstruksi tersebut kemudian hancur pada Perang Dunia II karena dibom oleh tentara Inggris untuk mencegah masuknya pasukan Jepang.
Ketika CNA menyertai Jefree melaut di perairan dekat sisi Causeway Malaysia pada Juli lalu, hanya terlihat satu gorong-gorong dan bukaannya tersumbat sampah.
Jefree mengatakan, "saya berharap mereka bisa memperbaiki pipa-pipa ini dan mungkin kembali membangun jembatan. Akan menyenangkan jika akhirnya kami bisa melintasi Causeway dengan perahu ... seperti yang dilakukan nenek moyang kami dulu (sebelum Perang Dunia II)."
Serina menyampaikan hal yang sama, mengatakan bahwa perbaikan gorong-gorong dapat meningkatkan kondisi lingkungan dan membuat airnya menjadi bersih.
Namun, dia mengatakan bahwa Singapura dan Malaysia harus juga memastikan bahwa reklamasi yang dilakukan tidak akan berdampak pada kondisi kelautan di Selat Johor.
Saat ini di sisi Johor, wilayah antara Teluk Danga dan Pantai Lido tengah direklamasi untuk pembangunan permukiman penduduk dan perkantoran.
Sementara di sisi Singapura perusahaan pengembang JTC Corporation dan Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) telah mengumumkan akan melakukan reklamasi di daerah Woodlands untuk memperluas pos pemeriksaan perbatasan.
Pembangunan kembali pos pemeriksaan perbatasan akan dimulai pada 2025 dan akan diselesaikan dalam beberapa tahap selama 10 hingga 15 tahun ke depan.
Setelah selesai dibangun, pos pemeriksaan yang baru akan berukuran lima kali lipat lebih besar dan memangkas waktu pemeriksaan dari rata-rata satu jam menjadi 15 menit dalam periode puncak.
Setelah melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), JTC Corporation dan ICA menekankan bahwa reklamasi tidak akan berdampak negatif terhadap habitat bakau di Mandai Mangrove dan Mudflat yang terletak di dekatnya.
Dalam pernyataannya pada Agustus 2023 tentang laporan AMDAL, ICA menekankan bahwa proyek ini diprediksi tidak akan memiliki “dampak signifikan” dalam hal hidrologi permukaan dan kualitas air serta keanekaragaman hayati.
Namun ICA memprediksi dampak adanya dampak minimalis terhadap hilangnya habitat darat, tanaman dan serta ekologinya. Menurut ICA, dampak ini sangat sedikit dan akan teratasi dengan zona hijau dan penanaman spesies flora asli yang termasuk dari langkah mitigasi yang sudah direncanakan.
Pemerhati lingkungan asal Singapura Wayne Wong mengatakan baik pemerintah Malaysia dan Singapura harus bekerja sama dengan kelompok pecinta alam untuk mengawasi situasi di Selat Johor.
Wong memberikan contoh tumbuh suburnya ganggang berbahaya di Selat Johor yang bisa dicegah jika para ahli lingkungan dapat memberikan masukan secara langsung kepada pemerintah. Ganggang ini menyebabkan matinya kawanan ikan sehingga merugikan nelayan kedua negara.
Dalam makalah yang diterbitkan pada 2021 oleh peneliti Singapura, dilaporkan 22 peristiwa pertumbuhan ganggang berbahaya antara 1987 dan 2017, sebagian besar terjadi di Selat Johor.
Sementara itu, pemerhati Causeway, Tja, berharap dengan adanya kerja sama yang lebih erat antara kedua pemerintah, para nelayan bisa melaut dengan tenang lagi di perairan tersebut.
"Saya pernah melihat perlintasan air ketika masih kecil. Ketika itu banyak nelayan di Causeway, sekarang tidak ada lagi," kata dia.
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.