Mau ke luar negeri untuk perawatan medis; negara Asia Tenggara mana yang Anda pilih?
Rumah sakit dan klinik swasta di Singapura kini berupaya beradaptasi mengikuti perkembangan zaman dengan melebarkan sayapnya ke seluruh penjuru Asia dan menarik wisatawan bersaku tebal yang sedang mencari perawatan spesialis.

Dibandingkan dengan Singapura, Thailand dan Malaysia lebih menarik bagi wistawan medis yang tengah mencari layanan kesehatan dengan harga yang lebih terjangkau. (Ilustrasi: CNA/Nurjannah Suhaimi)
SINGAPURA: Belakangan ini, semakin banyak wisatawan mapan yang memilih untuk pergi ke Malaysia atau Thailand daripada ke Singapura.
Mereka ingin ke negara tersebut bukan semata karena pengalaman berbelanja atau kulinernya, melainkan karena layanan kesehatannya yang sangat terjangkau.
Meskipun Singapura terus dinobatkan menjadi salah satu destinasi wisata medis terbaik di Asia, negara tersebut masih belum dapat mengungguli Thailand, yang sudah lama menjadi destinasi wisata medis populer di Asia, dan Malaysia, yang dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong laju perkembangan pariwisata medisnya.
Negara lain seperti Vietnam juga turut mengincar bagiannya dalam industri wisata medis yang menguntungkan. Menurut perkiraan dari perusahaan riset dan konsultan pasar DataHorizzon Research, industri tersebut akan bernilai US$79,4 miliar (Rp1.283 triliun) secara global pada tahun 2032.
Wisatawan medis biasanya pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan yang tidak tersedia, terlalu mahal atau tidak memiliki standar yang diinginkan di negara asalnya.
Pelayanan yang dicari dapat bermacam-macam, mulai dari prosedur sederhana seperti pemeriksaan kesehatan hingga pengobatan kompleks seperti terapi kanker atau sel punca lutut.
Di Singapura, sebagian wisatawan medisnya berasal dari Indonesia, sedangkan di Thailand, mereka biasanya berasal dari Timur Tengah.
Malaysia, yang mengukuhkan dirinya sebagai pusat layanan medis halal bagi umat Islam, menarik sebagian besar wisatawannya dari Indonesia, China, dan India.
Malaysia menjadi satu-satunya negara dari ketiganya yang mempunyai lembaga khusus untuk mengurus arus wisatawan medis di negaranya. Lembaga tersebut bernama Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC) dan didukung oleh kementerian kesehatan setempat.
Singapura tidak memiliki badan koordinasi serupa untuk memantau wisatawan medisnya, yang biasanya merupakan pasien dari jaringan layanan kesehatan swasta.
Thailand juga demikian, namun pemerintahnya telah menyiapkan langkah-langkah untuk mengambil hati wisatawan tersebut. Pada Juni lalu, negaranya mengenalkan kategori visa baru agar wisatawan medis dapat keluar masuk Thailand hingga 180 hari.
Pada tahun 2023, ada sekitar 2,86 juta wisatawan medis yang mengunjungi Thailand dan mengucurkan dana sebesar US$850 juta (Rp13.744 triliun). Bank RHB melaporkan bahwa jumlah wisatawan medis yang mengunjungi Thailand pada tahun 2024 dikabarkan akan mencapai 3,07 juta, meningkat sekitar 7,3 persen.
Menyusul di belakangnya adalah Malaysia, yang mencatat pertumbuhan wisatawan medis sebesar 26 persen: Sekitar 1,26 juta turis mengunjungi negara tersebut antara Januari dan November tahun lalu, meningkat dari satu juta pada tahun 2023.
Sebaliknya, Singapura mengalihkan perhatiannya dari pariwisata medis pada tahun 2010-an, setelah mendapat kritik yang menyebutkan bahwa sumber daya publiknya telah dibagi secara tidak merata demi melayani segmen pasien tersebut.
Sejak 2015, negara tersebut telah berhenti melaporkan data jumlah wisatawan medis yang datang dan pengeluaran medis mereka. Akan tetapi, beberapa pengamat pasar memperkirakan bahwa pendapatan medis Malaysia tahun lalu berada di antara S$200 (Rp2.396 triliun) dan S$300 juta (Rp3.594 triliun).
Tay Wee Kuang, analis senior dari perusahaan jasa keuangan CGS International, berpendapat bahwa angka tersebut bisa mencapai hingga S$1 miliar (Rp11.980 triliun), berdasarkan pendapatan yang dilaporkan dari perusahaan terbuka IHH Healthcare dan Raffles Medical Group.
Keduanya merupakan perusahaan terbuka yang mengoperasikan beberapa rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Singapura dan seluruh dunia. IHH Healthcare menaungi Gleneagles, Mount Elizabeth dan Parkway sebagai penyedia layanannya, sedangkan Raffles Medical Group memiliki rumah sakit dan beberapa klinik di bawah namanya.
Mereka dan sebagian besar penyedia layanan kesehatan swasta lainnya mengatakan kepada CNA TODAY bahwa sekitar 20 hingga 30 persen dari pasien mereka adalah wisatawan medis. Angka ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sedang melambat atau mengalami stagnasi selama lima tahun terakhir, tambah mereka.
Para pelaku industri dan analis berpendapat bahwa kuatnya dolar Singapura telah membuat layanan kesehatan mereka menjadi sangat mahal bagi para wisatawan.
Perbedaan ini sangat kentara ketika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, di mana layanan tertentu tersedia dengan harga sepertiga dari harga di Singapura.
Melihat pariwisata medis kian diterima di berbagai belahan dunia dan para analis memprediksi bahwa sektor tersebut akan semakin berkembang pesat, apakah Singapura gagal memanfaatkan peluang bisnis yang sangat menguntungkan ini?

WISATA MEDIS SINGAPURA
Pada 2003, Singapura meluncurkan SingaporeMedicine, yaitu himpunan berbagai badan kemitraan pemerintah dan industri untuk mendukung negara menjadi pusat kesehatan yang terdepan di Asia dan destinasi perawatan pasien tingkat lanjut bertaraf internasional.
Dipimpin oleh Kementerian Kesehatannya (MOH), SingaporeMedicine bertujuan untuk membantu mencapai target penanganan pasien sebanyak satu juta pasien asing per tahunnya pada tahun 2012. Target tersebut ditetapkan oleh Komite Peninjau Ekonomi (ERC) yang dipimpil oleh Wakil Perdana Menteri Singapura saat itu Lee Hsien Loong.
Di tengah peluncuran SingaporeMedicine pada Oktober 2003, Penjabat (Pj.) Menteri Kesehatan Khaw Boon Wan membenarkan adanya kekhawatiran bahwa tingginya jumlah wisatawan medis pada saat itu dapat mendorong biaya layanan kesehatan menjadi tinggi. Hal ini disebabkan rumah sakit swasta dan umum bersaing memperebutkan tenaga medis.
Meski begitu, seiring dengan meningkatnya keahlian, sumber daya medis dan jaringan perjalanan udaranya, Singapura memperkuat posisinya sebagai pusat kesehatan yang nyaman dikunjungi bagi wisatawan.
Namun demikian, kekhawatiran akan pemanfaatan sumber daya di sektor ini terus bertambah seiring rumah sakit yang mengalami restrukturisasi menghadapi kekurangan tempat tidur pada tahun 2013.
Sebagai contohnya, Rumah Sakit Umum Changi mendirikan tenda untuk menampung pasien saat terjadi "lonjakan permintaan yang tidak terduga" pada tahun 2013, seperti yang disampaikan oleh MOH setahun kemudian. Pihak kementerian tidak menjelaskan mengapa terjadi lonjakan atau apakah pariwisata kesehatan menjadi penyebab kekurangan jumlah tempat tidur.
Pada tahun 2014, Inderjit Singh, anggota Parlemen dari daerah pemilihan (Dapil) Ang Mo Kio GRC, menjelaskan dalam postingan Facebook-nya bahwa: "Saya terkejut mendapati bahwa tahun lalu semua rumah sakit yang mengalami restrukturisasi oleh pemerintah turut mendorong wisata medis di wilayah tersebut. Bukankah seharusnya layanan tersebut ... mengutamakan warga Singapura dan penduduknya terlebih dahulu?"
Sejak 2015, Dewan Pariwisata Singapura (STB) telah menghentikan pelaporan angka penerimaan pariwisata dan wisatawan medis yang berasal dari layanan medis dalam laporan tahunan mereka. MOH juga menekan angka pariwisata medis di rumah sakit umum pada 2018.
Pada tahun berikutnya, menanggapi pertanyaan parlementer perihal penerimaan pariwisata medis sejak 2015 hingga 2018, Chan Chun Sing, Menteri Perdagangan dan Industri Singapura pada saat itu, menegaskan bahwa pariwisata medis tidak lagi menjadi bagian dari strategi pariwisata negara tersebut.
Baru-baru ini pada 31 Oktober 2023, Menteri Kesehatan Ong Ye Kung kembali menekankan sisi negatif dari pariwisata medis.
Ia mengambil contoh hipotesis dari negara yang mendanai subsidi layanan kesehatan yang besar melalui wisata medis. Akibat dari kebijakan ini, ia mengatakan bahwa "banyak dokter dan tenaga ahli kesehatan ternama memilih untuk bekerja di sektor wisata medis karena di sana insentif finansialnya lebih baik.
"Warga mulai sadar akan ketimpangan tingkat pelayanan dari yang mereka rasakan dan yang wisatawan medis rasakan, dan [mereka] kecewa."
Menanggapi pertanyaan baru dari CNA TODAY, Menteri Perdagangan dan Industri (MTI) mengatakan: "Kendati ukuran pasar diprediksi akan meningkat, [wisata medis] harus diimbangi dengan sumber daya yang terbatas."
Dalam wawancaranya dengan CNA TODAY, MOH menjelaskan bahwa antara 2019 dan 2023, rumah sakit umum dan swasta rata-rata menangani sekitar 18.000 pasien asing setiap tahunnya, atau sekitar 2 persen dari semua pasien rawat inap dan pasien operasi rawat jalan.
MOH menjelaskan: "Sepanjang tiga tahun terakhir, pasien asing yang berkunjung ke Singapura untuk mencari perawatan medis rata-rata berjumlah kurang dari 1 persen dari semua pasien, [baik itu] dari total pasien rawat inap maupun pasien operasi rawat jalan di institusi kesehatan umum kita." Ia menambahkan bahwa warga Singapura tetap menjadi mayoritas pasien yang dirawat di institusi kesehatan umum mereka.
"Prioritas institusi kesehatan umum kita adalah untuk melayani kebutuhan perawatan kesehatan warga Singapura, terutama mengingat sumber daya dan kapasitas tenaga kesehatan kita lagi terbatas, dan risiko biaya kesehatan terus meningkat."

BIAYA KESEHATAN KOMPETITIF
Di samping keputusan Singapura untuk tidak lagi memberi perhatian pada pariwisata medisnya, penguatan dolar Singapura membuat biaya pelayanan semakin mahal bagi wisatawan yang ingin berkunjung untuk mendapat perawatan.
Analis dari DBS Bank pada Juli lalu menilai bahwa industri pariwisata medis Thailand berkembang dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 5,1 persen antara 2019 dan 2023. Sebagai perbandingan, Singapura hanya meningkat pada angka 0,4 persen dalam periode serupa.
Dr Beng Teck Liang, Pejabat Eksekutif Utama (CEO) Singapore Medical Group Limited, menerangkan bahwa sepertiga dari total pasien yang diperiksa oleh klinik spesialis dari kelompok pelayanan kesehatan swasta dalam lima tahun terakhir berasal dari wisatawan medis. Sebagian besar dari mereka datang dari China, India dan Asia Tenggara.
Ia menambahkan bahwa kenaikan biaya rawat inap, obat-obatan dan akomodasi dalam beberapa tahun terakhir telah membuat Singapura kurang menarik di mata wisatawan medis.
Mengutip data dalam lima tahun terakhir pada situs webnya, Budget Direct Insurance menyebutkan bahwa operasi penggantian lutut di Singapura dapat menelan biaya sekitar S$22.000 (Rp263 miliar). Di Malaysia, operasi serupa bisa menelan biaya sebesar S$10.000 (Rp119,8 miliar).
Dr Ong Sea Hing, konsultan praktik kardiologi swasta The Cardio Clinic, berpendapat bahwa beberapa pasiennya memilih untuk membeli obat-obatan dari negara lain karena harganya lebih murah.
Menanggapi pertanyaan CNA TODAY, MHTC, lembaga yang menangani wisata medis di Malaysia, menjelaskan bahwa negaranya berharap dapat menarik banyak wisatawan medis. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan penawaran layanan kesehatan terintegrasi, yang meliputi pengobatan tradisional dan komplementer seperti Pengobatan Tradisional China, serta meningkatkan program kebugarannya.
Dr Melvin Heng, CEO grup perusahaan penyedia layanan kesehatan swasta Thomson Medical Group, menilai upaya lembaga tersebut, seperti memperpanjang kesepakatan kunjungan bebas visa dengan negara-negara seperti China, telah mendorong pariwisata medis untuk fasilitas layanan kesehatan grup perusahaan tersebut di Malaysia.
Tanpa menyebutkan angka, ia menjelaskan bahwa TMC Life Sciences, bagian dari Thomson Medical Group, melihat adanya "peningkatan yang stabil pada pasien internasional setiap tahunnya".
Ia menunjukkan bahwa destinasi wisata medis lainnya yang juga berkembang adalah Vietnam. Negara tersebut konsisten dalam memompa investasi untuk meningkatkan infrastruktur layanan kesehatannya dan memperoleh akreditasi internasional untuk institusi medisnya.
Thomson Medical Group mengakuisisi FV Hospital di Ho Chi Minh, yang juga melihat "arus wisatawan medis stabil setiap tahunnya" untuk mendapatkan layanan kesehatan premiumnya, tambah Dr Heng.
Dr Beng dari Singapore Medical Group mengamati bahwa Thailand dan Korea Selatan menjadi destinasi yang lebih menarik karena kemajuan di berbagai bidang seperti layanan kebugaran atau perawatan sel punca, terlebih negara-negara ini memiliki "pedoman dan regulasi [yang] tidak terlalu ketat dibandingkan dengan Singapura".
Selain melonggarkan visa dan terus berinvestasi pada industri pariwisata medis, Thailand memiliki 60 institusi medis terakreditasi oleh Joint Commission International (JCI), badan akreditasi layanan kesehatan nirlaba internasional.
Sebagai perbandingan, Singapura dan Malaysia punya sekitar selusin institusi medis berakreditasi JCI.

Bagi Esther Lee, warga Malaysia berusia 25 tahun, alasan utama dia memilih berkunjung ke Thailand untuk operasi plastik adalah karena biaya dan keahlian medisnya.
Eksekutif pemasaran yang tinggal di Singapura ini melakukan perjalanan ke Bangkok dua bulan yang lalu untuk menjalani operasi "Movita Joy", operasi implan payudara dengan teknologi yang relatif baru.
"Operasi bedahnya masih baru sekali, jadi tak begitu banyak orang yang punya sertifikasi untuk melakukannya. Bahkan beberapa dari mereka yang punya sertifikasi, baru pernah melakukan prosedurnya beberapa kali saja," ungkapnya, menambahkan bahwa ia masih ingin menjalani operasi bedah ini karena sayatannya lebih kecil.
Awalnya, ia berkonsultasi dengan sejumlah klinik di Malaysia dan Singapura, tapi masing-masing dari mereka memberitahunya bahwa mereka baru pernah menjalankan prosedur tersebut 10 kali. Akan tetapi, sebuah klinik di Bangkok ternyata telah memposting lebih dari 50 ulasan menyangkut operasi bedahnya di akun media sosialnya.
"Dokternya akan menelepon video dengan kita untuk melihat apakah [kondisi] kita sudah sesuai sebelum kita dapat terbang ke Thailand," jelas Lee.
"Dalam tujuh hari, kita akan melakukan konsultasi tatap muka, menjalani operasi, istirahat dan pergi belanja serta jalan-jalan kalau kita sudah merasa baikan. Kemudian, kita menjalani pemeriksaan untuk mendapat sertifikasi agar kita bisa terbang pulang.
Klinik tersebut juga menelepon video pasien luar negerinya setiap dua hingga tiga bulan untuk memastikan proses penyembuhannya lancar. Seorang konsultan yang bisa berbahasa Inggris akan menemani pasien asing yang bisa berbahasa Inggris sepanjang perawatan, supaya keduanya sama-sama mengerti maksud masing-masing.
Secara keseluruhan, Lee telah menghabiskan sekitar S$10.000 (Rp119,8 miliar) – mendekati sepertiga dari total S$29.000 (Rp347,42 miliar) yang dikenakan kepadanya oleh klinik di Singapura.
Sedangkan bagi Serene Soh, warga Singapura berusia 44 tahun, hematnya biaya yang dikeluarkan sepadan dengan ruwetnya perjalanan yang ia lakukan untuk mendapat pemeriksaan kesehatan di Johor Bahru, Malaysia.
Setelah mendapat rekomendasi dari teman dan kliennya, perencana keuangan itu memutuskan untuk menjalani pemeriksaan seluruh tubuh pada Oktober lalu di Rumah Sakit Gleneagles Johor dengan biaya sekitar RM$1.700 (Rp6,2 juta).
Untuk pemeriksaan serupa di Singapura, ia harus membayar sekitar S$1.000 (Rp11,98 juta), ungkapnya kepada CNA TODAY.
"Semua selesai dalam sehari saja – mulai dari ambil darah hingga scan ultrasound," terangnya, menambahkan bahwa ia menerima hasilnya di hari yang sama.
MHTC menyebutkan bahwa Singapura menjadi penyumbang wisatawan medis terbesar keempat di Malaysia per 2024.
Beberapa rumah sakit swasta di sana berupaya mempermudah pasiennya untuk melakukan perjalanan melewati Jalan Layang Johor-Singapura.
Selain memiliki fasilitas kesehatan di sekitar Johor Bahru, beberapa rumah sakit di seluruh Malaysia juga mendukung fasilitas Medisave. Medisave adalah rekening yang wajib dimiliki oleh warga Singapura dan merupakan bagian dari skema Central Provident Fund (CPF) Singapura, agar pemegang rekening dapat menggunakan tabungannya untuk biaya kesehatan tertentu.
Chin Wei Jia, CEO grup perusahaan HMI Medical, menilai: "Akreditasi ini memungkinkan pasien untuk menggunakan dana Medisave untuk mendapat pengobatan yang sah, sehingga meningkatkan aksesibilitasnya ke semua layanan kesehatan kita."
HMI Medical memiliki beberapa klinik di Singapura dan rumah sakit di seluruh Asia, termasuk dua rumah sakit di Malaysia, yaitu Regency Specialist Hospital di Johor dan Mahkota Medical Centre di Melaka.
Chin menambahkan bahwa untuk memenuhi permintaan yang semakin meningkat terhadap perawatan medis tingkat lanjut, Regency melakukan perluasan besar-besaran. Alhasil, kapasitasnya akan menjadi dua kali lipat lebih besar, dari 218 menjadi 500 tempat tidur.
APAKAH SINGAPURA MERUGI?
Dosen senior Temasek Polytechnic Benjamin Cassim, yang juga mengajar mata kuliah diploma manajemen perhotelan dan pariwisata, mendapati bahwa wisatawan medis kerap menjadi pengunjung tetap, tergantung pada jumlah layanan medis yang mereka cari. Selain itu, mereka seringkali pergi bersama anggota keluarganya.
Artinya, masing-masing wisatawan medis membawa uang yang cukup banyak untuk melakukan perjalanan.
"Umumnya, orang-orang yang pergi ke luar negeri untuk mendapat pengobatan medis berasal dari golongan kelas sosial berpenghasilan menengah ke atas," imbuhnya. "Oleh karena itu, ada kecenderungan pengeluaran per kapita lebih banyak saat pergi ke luar negeri untuk tujuan wisata medis."
Pun demikian, ia meyakini bahwa Singapura tidak sepenuhnya merugi. Karena populasi regional semakin sadar akan pentingnya menjaga kesehatan hingga lanjut usia, pandangannya terhadap wisata medis secara keseluruhan dapat menurun seiring waktu.
Selain itu, Selena Ling, kepala ekonom dan kepala riset dan strategi pasar global di bank OCBC, mengatakan bahwa kendala rumah sakit Singapura pada kapasitasnya dan pasokan dokter spesialisnya menunjukkan bahwa mereka harus lebih selektif terhadap klien yang diterimanya.
Oleh sebab itu, wajar bagi Singapura untuk membangun segmen tersendiri sebagai destinasi untuk mendapatkan perawatan yang kritis dan kompleks.
Tentu saja, dokter dan rumah sakit yang diwawancarai CNA TODAY mengatakan bahwa wisatawan medis di Singapura akhir-akhir ini banyak mencari perawatan spesialis dan prosedur kompleks.
Dr Peter Chow, CEO IHH Healthcare Singapura, menyebutkan bahwa prosedur tersebut meliputi operasi bedah saraf, tulang belakang, perawatan spesialis jantung, perawatan kritis dan terapi proton, yang mana digunakan untuk pengobatan kanker.
"Peralihan tersebut seharusnya jangan dipandang sebagai suatu kemunduran, melainkan sebagai peluang menarik bagi kita untuk menjadi yang berbeda dengan beralih ke perawatan spesialis yang lebih mutakhir, yang tak dapat disediakan oleh operator di wilayah lain," sambungnya.
Demikian pula, Dr Heng dari Thomson Medical Group berpendapat bahwa grup perusahaannya telah lama menarik wisatawan medis yang mencari layanan fertilitas.
Sehingga belakangan ini, perusahaan tersebut memperluas spesialisasi medisnya untuk menyediakan berbagai macam prosedur kompleks seperti pengangkatan katarak dan prosedur bedah ortopedi minimal invasif seperti operasi lutut dan tulang belakang.
Dr Beng, CEO Singapore Medical Group, sependapat bahwa perubahan ini tidak begitu merugikan Singapura.
"Kasus medis kompleks biasanya memiliki nilai dan persyaratan keterampilan yang lebih tinggi dan dapat membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama," jelasnya.
"Artinya, akan ada pengeluaran yang cukup besar yang masuk ke dalam perekonomian kita."
FOKUS PADA WISATA KEBUGARAN
Menanggapi pertanyaan dari CNA TODAY, STB menjawab bahwa wisata medis tidak menjadi bagian dari strategi pertumbuhan mereka.
Justru, mereka melihat sektor kebugaran sebagai kunci tren yang dapat mendorong wisatawan ke Singapura, terlebih ekonomi kebugaran global bernilai US$6,3 triliun (Rp101.871 triliun) pada tahun 2023, yakni 25 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 2019.
Ia menambahkan bahwa ekonomi industri kebugaran diperkirakan akan mencapai US$8,99 triliun (Rp145.386 triliun) pada 2028.
"Sehubungan dengan tren global ini, kami percaya bahwa Singapura memiliki posisi yang kuat dalam membangun dirinya sebagai surga kebugaran urban terkemuka yang mengutamakan kesejahteraan holistiknya dan memberikan akses mudah dan pengalaman "wajib" untuk meremajakan penduduk dan pengunjung [kami].
"Oleh karena itu, kami mengembangkan berbagai strategi dan inisiatif untuk merealisasikan ambisi kebugaran kami, dengan memanfaatkan kekuatan Singapura saat ini dalam hal aksesibilitas dan teknologinya serta sebagai pusat bisnis yang kuat yang dapat melayani pelancong liburan dan bisnis."
Pariwisata kebugaran mencakup berbagai macam pengalaman dan aktivitas yang melibatkan kesejahteraan fisik, emosional dan mental wisatawan.
Cassim dari Temasek Polytechnic menilai aktivitas tersebut dapat mencakup perawatan dan pengalaman spa, program perpanjangan hidup yang sehat, serta tempat relaksasi pikiran dan tubuh.
Ia juga mengatakan bahwa motif wisatawan untuk berkunjung ke Singapura akan berbeda pula: Wisatawan medis cenderung melakukan perjalanan untuk menerima perawatan bila mereka sakit, sedangkan wisatawan kebugaran terdorong karena mereka ingin menjalani gaya hidup sehat dan meningkatkan kesehatan mereka.
"Pariwisata kebugaran tidak dapat menggantikan pariwisata medis, melainkan ia menyediakan penawaran penunjang, sehingga dapat mendiversifikasi portofolio pariwisata Singapura dan meningkatkan reputasi global kota tersebut dalam hal perawatan kesehatan dan kesejahteraannya," imbuh Cassim.
STB menjelaskan bahwa mereka tengah mengembangkan berbagai penawaran kebugaran di Singapura dan penawaran ini dapat dinikmati baik penduduk setempat dan pelancong luar.
Sebagai contoh, STB mendukung acara kebugaran Glow Festival yang diadakan pada Juli lalu selama 16 hari di resor Marina Bay Sands. Festival ini di antaranya menawarkan kelas olahraga, kelas meditasi dan bincang kebugaran.
Dewan tersebut juga menyebutkan beberapa penawaran kebugaran baru, seperti Hideaway di New Bahru, Kim Yam Road, yang menawarkan pijat dan tempat pemandian, serta ruang terapi mengapung di air garam di Dempsey Village.

Juli lalu, STB membuka sebuah tender untuk atraksi kebugaran di Marina South Coastal Site. Tender ini kabarnya tutup pada 4 Oktober tahun lalu, tetapi diperpanjang hingga 17 April 2025.
Tay, seorang analis riset, merasa ragu bahwa Singapura dapat bersaing dengan pemain besar lainnya di kancah ini, seperti Thailand, yang terkenal dengan resor pantainya yang banyak, lengkap dengan spa, studio yoga dan kegiatan kebugaran lainnya.
"Thailand telah membangun posisi yang sangat kuat di bidang ini. Wisatawan dapat pergi ke sana, menjalani prosedur medis, dan menghabiskan waktu untuk meremajakan diri dengan kegiatan dan fasilitas kebugaran yang sudah [mereka] kembangkan dan dikelilingi oleh alam," terangnya.
"Bila memperhitungkan faktor biayanya, Singapura harus menarget segmen wisatawan tersendiri yang berkenan membayar lebih."
Menurut Cassim, agar strategi kebugaran tersebut berjalan sukses, penting untuk mengkurasi pengalaman relaksasi dan peremajaan diri secara terpersonalisasi.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya.