Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Murung wajah Hong Kong ketika ekspatriat berbondong-bondong angkat kaki

Mulai dari tempat makan, sekolah hingga kursus yoga terdampak dari keluarnya warga asing dari Hong Kong. Beberapa tempat usaha memang gulung tikar, tapi ada juga yang bertahan dengan beradaptasi.

HONG KONG: Andrew Liu kini akhirnya memutuskan pindah dari Hong Kong setelah enam tahun tinggal di sana.

Manajer keuangan senior asal Taiwan ini pindah bersama keluarganya ke Prancis akhir September lalu, mengikuti jejak rombongan ekspatriat lainnya yang sudah meninggalkan kota tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Meski langkah yang diambil oleh pria berusia 36 tahun itu adalah hal wajar demi kemajuan kariernya, namun itu bukan alasan kebanyakan ekspatriat lain yang memilih pindah dari Hong Kong. Banyak ekspatriat di Hong Kong memilih angkat kaki karena ketatnya peraturan ketika pandemi COVID-19 hingga penerapan hukum keamanan nasional oleh China pada 2020.

Kepergian para ekspatriat telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi sektor industri Hong Kong, seperti makanan dan minuman, properti, dan pendidikan. Bisnis yang sebelumnya jadi langganan ekpatriat paling merasakan dampaknya, beberapa bahkan gulung tikar, sementara yang lainnya berusaha bertahan dengan mengubah arah operasinya.

"Kebanyakan restoran di Central yang saya bookmark (di ponsel) sekarang sudah tutup," kata Liu kepada CNA, menceritakan perubahan kentara yang ia alami langsung. 

Andrew, ekspatriat asal Taiwan, bersama dengan putranya tengah mengemasi barang-barang, bersiap-siap meninggalkan Hong Kong setelah enam tahun tinggal di sana dan pindah ke Prancis. (Foto: Andrew Liu)

"(Kami bisa merasakan dampaknya) dari toko-toko yang ramai-ramai tutup, kerumunan yang semakin kecil yang saya amati di Quarry Bay dan daerah populer lainnya, dan bahkan pasar kerja yang menurun."

Memang pergerakan individu masih berlangsung dua arah - pekerja profesional masih berdatangan untuk tinggal dan bekerja di Hong Kong. Namun, sebagian besar yang datang adalah warga China Daratan.

Meski fenomena ini memberikan kesempatan baru bagi usaha-usaha dan objek wisata setempat, proporsi penduduk China Daratan yang semakin bertambah mengancam citra Hong Kong sebagai kota kosmopolitan yang reputasinya kian menurun secara global.  

CNA mengunjungi Hong Kong pada Juli lalu untuk berbicara dengan pengusaha dan pengamat setempat sembari mampir di berbagai distrik untuk memahami situasi di sana.

MENANGGUNG KERUGIAN

Menurut data sensus resmi per 10 Juli lalu, Hong Kong memiliki 270.000 penduduk tetap non-China.

Kerumunan di distrik Central Hong Kong pada Juli 2024. (Foto: CNA/DNA Tsang)

Sensus yang dilakukan sekali setiap satu dekade itu menunjukkan bahwa jumlah populasi non-China di Hong Kong kurang dari setengahnya dari penghitungan tiga tahun lalu. Meski angka ini tidak bisa dijadikan bahan perbandingan karena juga menghitung penduduk nomaden - orang yang tidak sepenuhnya tinggal di sana - namun angka tersebut menunjukkan arus keluar orang asing.

Para pengamat menyebut penyebab utama di antaranya pembatasan ketat COVID-19 dan perubahan iklim politik pasca demo massal 2019-2020 dan penegakan undang-undang keamanan nasional oleh China yang tiada henti. 

Mereka menambahkan bahwa pusat keuangan global seperti Singapura dan Dubai juga menarik banyak ekspatriat, terutama dengan keadaan pandemi dan situasi politik yang terjadi di Hong Kong. 

Data dari perusahaan relokasi internasional Asian Tigers Group membuktikan adanya tren ini. Meski mereka tidak menunjukkan angka pastinya, perusahaan tersebut melihat adanya kesenjangan yang semakin melebar antara ekpatriat yang masuk-keluar dari Hong Kong selama lima tahun terakhir. 

"20 tahun yang lalu, orang-orang yang saya temui, yang sudah di sini selama 20 tahun, yang mengucapkan 'saya pamit', tentunya masih bisa dihitung dengan jari," kata Ng Yew Beng, manajer umum Asian Tigers group, dalam wawancaranya dengan CNA.

"Tetapi, tiga atau empat tahun belakangan ini, saya harus pinjam jari tangan dan kaki Anda, dan jari orang sebelah (untuk menghitungnya)," guraunya, menyinggung jumlah kepergian ekspatriat yang semakin bertambah. 

Banyak pekerja ahli tingkat menengah hingga atas berkemas dan pergi saat pandemi, dan hanya sedikit yang kembali, kata Lee Quane, kepala pengembangan bisnis global di perusahaan konsultan ECA International (ECA).

Ia menjelaskan bahwa bagi mereka yang berusia akhir 40-an atau 50-an, kekisruhan di kota kemungkinan mendesak mereka untuk bergegas pindah. Ketika situasi mereda, kemungkinan sulit membayangkan keluarga mereka untuk kembali lagi.

Di saat ekspatriat beramai-ramai pamit dengan Hong Kong, bisnis-bisnis setempat yang memikul kerugiannya, sembari menghadapi masalah seperti berkurangnya anggaran belanja penduduk lokal dan perubahan pariwisata di sana.

Restoran lama yang biasanya melayani ekspatriat mengalami kesulitan dengan harga sewa yang meninggi dan penjualan yang melemah. Grup restoran makan malam Castelo Concepts melikuidasi dan menutup sembilan restoran mereka di Hong Kong tahun lalu, sementara Outback Steakhouse menutup sembilan dari 19 cabangnya.

Central sudah lama dikenal sebagai distrik kehidupan malam yang populer bagi ekspatriat di Hong Kong karena bar dan restorannya yang meriah. (Foto: CNA/Melody Chan)

Lan Kwai Fong, pusat kehidupan malam yang terkenal, juga merasakan dampak yang signifikan. Statistik resmi setempat menunjukkan bahwa dari Mei lalu, bar menjadi sektor pemain terlemah di industri restoran Hong Kong selama kuartal pertama, dengan penurunan sebesar 17,8 persen. Kendati demikian, sektor tersebut mengalami peningkatan pendapatan sebesar 2,3 persen secara keseluruhan.

Prajna Yoga di Kowloon, yang sudah melayani ekspatriat sejak 2008, juga terkena dampaknya. Jumlah pelajar asing berkurang setengahnya dan kelas telah dikurangi dari 80 menjadi 72 per bulannya untuk memangkas biaya. Tempat kursus yoga ini tidak memberikan jumlah siswa yang pasti.

"Setelah COVID, orang-orang semakin sadar akan kesehatan dan berusaha meningkatkan kesehatannya, yang awalnya tampak seperti peluang yang bagus. Namun, ketika orang-orang pergi dan merasa tidak puas dengan situasi di sini, rencana (ekspansi) saya tidak berjalan dengan sukses," kata salah satu pendiri Kishore Kumar.

Prajna Yoga harus mengurangi kelas dari 80 menjadi 72 per bulannya demi mengatur keuangan karena jumlah pendaftar berkurang. (Foto: CNA/Melody Chan)

Pasar properti yang tengah mengalami kesulitan juga mendapati arus keluar ekspatriat.

"Saat awal pandemi, permintaan sewa jatuh, tapi sekarang, dengan pasar yang mulai pulih, angka sewa meningkat ke tingkat yang tidak terduga dalam enam setengah tahun ini," kata Mavis Lee, direktur penjualan distrik senior di Centraline Property Hong Kong.

Namun demikian, proporsi perantau yang menyewa telah menurun. Jumlahnya kini mencapai sekitar seperempat dari total pelanggannya, atau setengah dari jumlah pada 2019.

Data dari platform properti daring Spacious.hk menunjukkan adanya peningkatan sebesar 70 persen pada harga sewa apartemen satu kamar tidur seluas 54 meter persegi di Prince's Terrace, Mid-Levels, pilihan favorit para ekspatriat di Hong Kong. Saat ini, harga sewanya sudah mencapai HK$36.000 (Rp71,8 juta) per bulan dibandingkan tahun lalu.

Orang-orang melewati gerai Centaline Property dekat Pusat Konvensi dan Pameran Hong Kong pada Juli 2024. (Foto: CNA/Melody Chan)

Bagi mereka yang tinggal di Hong Kong, perubahan yang terjadi sangat terasa.

"Saya merasakannya ketika saya melihat tempat-tempat di dekat tempat saya tinggal tutup, salah satunya warung mie yang sering saya kunjungi," keluh Margaret Griffin, editor penerbit berusia 61 tahun yang sudah bekerja di kota itu lebih dari 30 tahun

Selain itu, jajak pendapat mengindikasikan bahwa warga setempat dan asing tengah memikirkan untuk berpindah. Menurut survei yang dilakukan oleh agensi rekrutmen Robert Walters pada Juli hingga Agustus 2023 dan diterbitkan pada September, lebih dari separuh tenaga ahli di Hong Kong mempertimbangkan untuk meninggalkan kota tersebut.

Survei tersebut mewawancarai 107 tenaga ahli dari berbagai sektor seperti teknologi, keuangan dan konstruksi. Dari semua yang disurvei, 16 persen ingin pindah sesegera mungkin, sementara 37 persen lainnya menimbang-nimbang untuk pindah dalam tiga atau lima tahun ke depan.

Survei lain yang dilakukan oleh Kamar Dagang Umum Hong Kong (HKGCC) pada April 2023 menemukan bahwa sekitar 75 persen bisnis setempat menghadapi kekurangan tenaga ahli. Sebanyak 70 persen menyebut emigrasi sebagai penyebab utama berkurangnya tenaga ahli di sana. Pengisi survei tersebut terdiri dari hampir 200 perusahaan HKGCC.

Survei tahun 2023 oleh agensi rekrutmen Robert Walters menemukan bahwa lebih dari separuh responden - termasuk pekerja lokal dan asing - mempertimbangkan untuk meninggalkan kota. (Foto: CNA/Dan Tsang)

PENDUDUK CHINA MENUTUP KESENJANGANNYA

Di saat yang sama, penduduk China Daratan ramai berupaya untuk tinggal di Hong Kong. Fenomena ini memberikan kesempatan dan juga tantangan baru bagi kota bekas jajahan Inggris tersebut.

"Ketika orang-orang bilang angka ekspatriat menurun, biasanya yang mereka maksud adalah perantau yang bukan orang Tionghoa, karena sebenarnya ada peningkatan besar dalam jumlah perantau China Daratan yang datang ke Hong Kong," terang David Hui, mitra pengelola regional untuk wilayah APAC & Timur Tengah di perusahaan pencari eksekutif Heidrick & Struggles, dalam wawancaranya dengan CNA.

Menurut data dari Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong, populasi kota tersebut secara keseluruhan melambung hingga 7,5 juta pada 2023, meningkat 30.500 atau 0,4 persen dari tahun sebelumnya dan tahun kedua pertumbuhannya sejak pandemi COVID-19.

Walau pemerintah setempat melihat separuh dari pertumbuhan tersebut terjadi karena warga Hong Kong mulai kembali dari perantauan, mereka juga mengungkapkan 80 persen dari arus masuk bersih datang dari China Daratan melalui "izin masuk sekali jalan", program yang diperkenalkan pada 1980-an untuk mengizinkan penduduk setempat tinggal di Hong Kong atau Makau.

Turis asal China daratan mengambil foto di luar restoran di Central sudah menjadi pemandangan yang lumrah. (Foto: CNA/Melody Chan)

Pendatang dari China Daratan sebagian besar juga memanfaatkan kesempatan di saat Hong Kong tengah menerima tenaga-tenaga kerja dari seluruh dunia.

Program Penjaringan Tenaga Ahli Terbaik (TTPS), Program Penerimaan Migran Berkualitas (QMAS) dan Program Penerimaan Tenaga Ahli Teknologi (TechTas) adalah beberapa inisiatif yang dijalankan oleh pemerintah Hong Kong untuk menarik tenaga ahli dan mendorong posisinya di tingkat internasional.

Lebih dari 130.000 orang berdatangan ke Hong Kong melalui program ini pada Juni lalu, dan sekitar 120.000 anggota keluarganya juga sudah menetap di kota tersebut. Sebagian besar pelamar yang sukses berasal dari Chna Daratan, mencapai sekitar 95 persen dari pelamar TTP dan 78 persen dari TechTas.

Sonali Gidwani, konsultan manajemen asal Inggris, mendapati kendala dalam mencari pekerjaan di Hong Kong karena bertambahnya syarat bisa berbahasa Mandarin atau "putonghua" di pasar kerja di sana.

"Banyak ekspatriat tidak mendapat pelajaran bahasa Kanton dan Mandarin yang baik di sekolahnya dulu... sehingga, peluang kerja (di sini) tidak terlalu besar bagi orang-orang yang tidak fasih berbahasa Kanton dan Mandarin, karena klien utama berasal dari China," kata Gidwani, yang keluarganya berasal dari India namun sudah tinggal di Hong Kong selama tiga generasi. 

Siswa asing yang mendaftar di sekolah internasional pada tahun 2013 mencapai 81 persen tetapi turun menjadi 65 persen tahun lalu, menurut dinas pendidikan Hong Kong.

Sebuah studi yang dilakukan pemerintah di sana juga menemukan bahwa hampir dari 30 persen sekolah swasta dan internasional Hong Kong memprediksi pendaftaran siswa asing turun 13 persen setiap tahunnya selama lima tahun ke depan.

Di saat ruang sekolah internasional kosong, pelajar Hong Kong dan China Daratan memenuhinya, sampai-sampai banyak sekolah lokal yang tutup atau bergabung jadi sat, terang Quane.

Cabang English Schools Foundation (ESF) di Fo Tan, Sha Tin, bagian dari organisasi sekolah internasional berbahasa Inggris terbesar di Hong Kong. (Foto: CNA/Melody Chan)

Meskipun pendaftaran sekolah internasional menurun selama pandemi, tingkat kekosongan sekarang hanya dalam satu digit, kata Alpha Lau, direktur jenderal Invest Hong Kong.

"Saya keberatan, tapi sebenarnya ini masalah yang menggembirakan (bagi saya) dalam artian, sekarang ruang sekolah internasional tidak lagi mampu menampung ekspatriat yang ingin kemari dan pindah ke Hong Kong," ungkapnya kepada CNA.

Ia menambahkan bahwa lembaganya akhir-akhir ini membantu setidaknya empat sekolah internasional untuk mencari lahan baru di Hong Kong.

"Sekolah internasional, selain menyediakan layanan pendidikan yang baik, tetap merupakan bisnis, sehingga mereka tidak akan melakukan ini jika tidak ada permintaan."

Di sektor properti, Lee dari Centraline Property Hong Kong menceritakan bahwa kembalinya penduduk China Daratan dari perantauan menggantikan perantau-ekspatriat yang sudah meninggalkan kota tersebut. Data pemerintah terkini menunjukkan bahwa sewa rumah pribadi mencapai level tertinggi lima tahun pada bulan Juli, meskipun harga rumah menurun hingga 22 persen dalam periode yang sama.

Seiring besarnya jumlah penduduk China Daratan yang berdatangan, bisnis-bisnis di sana bergegas beradaptasi dengannya.

Bisnis-bisnis di Hong Kong sudah mulai menerapkan metode pembayaran China dan mempromosikan layanan mereka di media sosial China. (Foto: CNA/Melody Chan)

Misalnya, Prajna Yoga mengubah strategi promosinya agar lebih sesuai dengan audiens dari China Daratan. "Saya mulai mengiklan dalam bahasa Mandarin dan berencana menyertakan segmen bahasa Mandarin ke dalam situs web dan postingan media sosial kami," kata Kishore, salah satu pendirinya.

Di The Pontiac, bar koktail sederhana di Central yang ramah terhadap komunitas LGBTQ, ekspatriat yang kaya seperti bankir dan pengacara dulunya menjadi target pelanggan mereka. Namun saat ini, target utama mereka adalah pelanggan-pelanggan dari China Daratan.

"Banyak bar dan restoran tutup, dan pelanggan kami berubah secara signifikan. Klien utama kami sekarang lebih banyak berasal dari China Daratan. Itu mengapa aplikasi seperti Little Red Book (Xiaohongshu) dan Dianping semakin penting," jelas Harsh Roopchand, salah satu pendiri tempat usaha tersebut.

"Beginilah kenyataannya saat ini," ujarnya kepada CNA, melihat tingginya penggunaan platform pembayaran China seperti Alipay dan WeChat Pay, dan permintaan akan staf yang bisa berbahasa Mandarin.

The Pontiac, sebuah bar yang berada di Central, Hong Kong, telah mengadopsi Alipay dan WeChat Pay untuk menarik semakin banyak pelanggan dari Tiongkok Daratan. (Foto: CNA/Melody Chan)

Lau dari Invest Hong Kong memperhatikan bahwa banyak pendatang baru dari China Daratan berasal dari etnis Tionghoa. Mereka sebelumnya pernah bekerja di Sillicon Valley, tetapi sekarang berkesempatan untuk tinggal di Hong Kong dan Greater Bay Area.

Ia menambahkan bahwa pendatang baru ini kemungkinan akan dapat beradaptasi dengan lingkungan kosmopolitan Hong Kong dengan baik.

"Mereka (perantau dari China Daratan) itu sangat mendambakan gaya hidup yang internasional dan peluang yang internasional. Itu mengapa mereka ingin datang ke Hong Kong. Kalau bukan, mengapa pindah ke sini? Mereka bisa saja tinggal dengan nyaman di kampung halaman mereka, bukan?"

MEMPERTAHANKAN RAGAM MASYARAKAT KOSMOPOLITAN

Pada saat yang sama, bertambahnya jumlah orang China Daratan mulai menggoyahkan status Hong Kong sebagai kota kosmopolitan. Para pengamat berpendapat bahwa kondisi ini membenarkan pandangan yang menilai bahwa Hong Kong semakin menjadi seperti kota di China daripada kota internasional.

Hong Kong juga sudah tersingkir dari peringkat global.

Meski kualitas hidup di sana baru-baru ini meningkat setelah pembatasan kegiatan semasa pandemi COVID-19 dicabut, daya tarik Hong Kong di mata ekspatriat Asia sudah memudar. Peringkatnya di mata dunia turun dari posisi ke-17 pada 2013 menjadi ke-77 saat ini, menurut Laporan Pemeringkatan Lokasi dari ECA International yang diterbitkan pada Januari lalu.

Sebagai perbandingannya dalam laporan tersebut, Singapura menduduki peringkat kota paling layak huni bagi perantau Asia untuk tahun ke-20 berturut-turut. Tokyo berada di urutan ke dua, berakhir seri dengan kota Wellington dan Adelaide.

Dalam membuat penilaiannya, ECA menilik faktor-faktor seperti ketersediaan layanan kesehatan, perumahan dan fasilitas umum, infrastruktur; iklim, keselamatan diri, ketegangan sosial-politik dan kualitas udara.

Profesor Anthony Cheung, penasihat administrasi umum di Departemen Ilmu Sosial dan Studi Kebijakan Universitas Pendidikan Hong Kong, menjelaskan kepada CNA bahwa nilai utama Hong Kong tetap sebagai "gerbang menuju China", yang berupaya menarik perusahaan asing untuk mendirikan kantor pusat di sana. 

Pemandangan Two International Finance Centre (IFC), kantor pusat HSBC dan Bank of China yang terlihat di Hong Kong, China pada 13 Juli 2021. (Berkas Foto: Reuters/Tyrone Siu)

Salah satu hasil rapat reformasi yang diselenggarakan pada Juli lalu oleh petinggi Partai Komunis China adalah komitmen mereka untuk 'menyempurnakan mekanisme yang relevan', sehingga Hong Kong dan Makau dapat berperan dalam membantu "China membuka diri kepada dunia luar".

Namun tantangan politik telah mengubah citra Hong Kong sebagai gerbang menuju China, kata Prof Cheung, yang pernah menjabat sebagai sekretaris transportasi dan perumahan Hong Kong dari 2012 hingga 2017. Ia menambahkan bahwa Hong Kong perlu mencari cara untuk tetap tampil beda dengan keunggulannya sendiri.

"Untuk menjadi yang istimewa, Hong Kong seharusnya tidak hanya menjadi batu loncatan atau titik tolak bagi orang Barat yang ke China, atau sebaliknya," jelas Prof Cheung. Ia menekankan bahwa nilai strategis kota ini bergantung pada bagaimana orang Barat memandang kemampuan Hong Kong dalam mempertahankan prinsip 'satu negara, dua sistem'".

"Tentunya Hong Kong punya keunggulannya sendiri, bukan hanya karena faktor China Daratan."

Prof Cheung meyakini bahwa arus hilir-mudik penduduk di wilayah tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, Hong Kong dari dulu selalu menjadi kota imigran.

Ia menyoroti sejarah imigrasi Hong Kong pada 1950-an, fenomena pengurasan keterampilan (brain drain) sepanjang puluhan tahun, dan gelombang emigrasi pada 1980-an. Namun profesor Cheung memperhatikan bahwa orang-orang pada akhirnya kembali.

Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka yang pergi akan kembali, lontar Prof Cheung. Ia melihat beberapa orang meyakini keadaan politik, kebebasan dan supremasi hukum di kota tersebut telah berubah. 

Pengamat lainnya juga memperingatkan bahwa masalah Hong Kong juga dialami negara-negara lainnya di seluruh dunia. "Dunia sekarang kurang global, dan itu memengaruhi cara perusahaan mengelola operasi mereka," kata Hui dari Heidrick & Struggles.

Di tengah perdebatan yang terus memanas, para ekspatriat yang saat ini berada di Hong Kong merenungi hidup yang sudah mereka alami. Bagi Griffin, editor yang sudah bekerja di sana selama 30 tahun lebih, kota tersebut punya daya tarik yang takkan pernah sirna.

"Masih ada banyak yang istimewa dari Hong Kong ini .. budayanya di sini benar-benar menarik, dan orang-orangnya mudah menyesuaikan diri," ungkapnya.

"Saya pikir, kondisi seperti ini sebenarnya juga terjadi di mana-mana ... mereka bukan meninggalkan Hong Kong untuk selamanya."

📢 Ikuti kuis CNA Memahami Asia eksklusif di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Ayo uji wawasanmu dan raih hadiah menariknya!

Jangan lupa, terus pantau saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk mendapatkan tautan kuisnya đź‘€

đź”— Cek info selengkapnya di sini: https://cna.asia/4dHRT3V

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan