Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Menlu China sindir AS: Pemahaman 'siapa yang kuat, dia yang benar' bisa merugikan negara-negara kecil

Pernyataan ini disampaikan Menlu China Wang Yi pada Jumat (7/2) menanggapi retorika ekspansionis yang kerap disuarakan oleh usai AS di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Menlu China sindir AS: Pemahaman 'siapa yang kuat, dia yang benar' bisa merugikan negara-negara kecil

Menteri Luar Negeri China Wang Yi berbicara dalam konferensi pers di sela-sela Kongres Rakyat Nasional di Beijing, China, pada 7 Maret 2025. (Foto: CNA/Lee Gim Siong)

Beijing: Jika negara-negara besar bertindak dengan pemahaman 'siapa kuat, dia yang benar', maka itu akan merusak tatanan dunia dan mewujudkan hukum rimba, negara-negara kecil dan lemah yang akan menjadi korbannya, demikian kata Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada Jumat (7/3), menyiratkan sindiran terhadap Amerika Serikat.

"Negara-negara besar harus memikul tanggung jawab internasional dan memenuhi komitmen global mereka. Tidak boleh hanya didorong oleh kepentingan pribadi, dan juga tidak boleh menindas yang lemah dengan kekuatan mereka," ujar Wang dalam konferensi pers di sela-sela pertemuan politik Dua Sesi.

Pernyataan ini disampaikannya untuk menjawab pertanyaan soal keluarnya Amerika Serikat dari berbagai kewajiban internasional dan apa artinya bagi China, beserta ancaman terhadap tatanan dunia saat ini.

Sebelumnya, Presiden Donald Trump telah menyuarakan keraguannya terhadap berbagai institusi internasional dan mengeluarkan AS dari badan-badan PBB, seperti Organiasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Dewan HAM PBB.

Selain itu, Trump juga menyuarakan sentimen ekspansionis dengan rencananya merebut Greenland, Terusan Panama dan Kanada dengan dalih keamanan nasional.

"Pertama dan terpenting, fondasi kesetaraan kedaulatan harus dibangun di atas semangat yang sama dengan komunitas internasional. Kita tidak bisa membiarkan pihak yang kuat mendominasi dan memutuskan segala sesuatu semau mereka," kata Wang.

"Negara-negara besar harus memimpin dengan memberi contoh dalam menegakkan integritas dan supremasi hukum, menentang standar ganda dan tebang pilih, dan tidak boleh terlibat dalam penindasan, manipulasi pasar, atau perampasan."

Wang mencontohkan China-Rusia sebagai contoh bagaimana seharusnya negara-negara besar berhubungan, yaitu dengan cara mencari keselaran dengan tidak saling memihak, non-konfrontatif, dan tidak didikte oleh pihak ketiga mana pun.

Menurut Wang, hubungan bilateral China dan Rusia "matang, tangguh, dan stabil", tidak akan terpengaruh oleh "peristiwa-peristiwa temporer" dan "campur tangan pihak ketiga".

"Ini menjadi tolok ukur dalam dunia yang bergejolak, bukan sebagai variabel dalam permainan geopolitik," kata diplomat veteran tersebut.

Sebelumnya Presiden China Xi Jinping juga memuji hubungan dekat negaranya dengan Rusia dalam sebuah panggilan telepon pada 24 Februari lalu dengan Presiden Vladimir Putin.

Ia mengatakan "sejarah dan realita" menunjukkan bahwa kedua negara adalah "tetangga baik, yang tidak dapat dijauhkan, dan teman sejati yang berbagi suka dan duka, saling mendukung satu sama lain dan mencapai kemajuan bersama", lapor kantor berita pemerintah China Xinhua.

"BUKAN SIKAP YANG BERTANGGUNG JAWAB DARI SEBUAH NEGARA BESAR"

Dalam konferensi pers yang berlangsung selama sekitar 90 menit tersebut, Wang juga mengecam AS secara langsung karena tidak bersikap selayaknya negara besar dengan memperburuk perang dagang.

"Amerika Serikat seharusnya tidak membalas kebaikan dengan kebencian, dan juga tidak memberlakukan tarif tanpa alasan. Ini bukanlah sikap yang bertanggung jawab dari sebuah negara besar," kata Wang, yang juga mengepalai Komisi Urusan Luar Negeri Pusat Partai Komunis China.

Barang produksi asal China saat ini dikenakan tarif tambahan kumulatif 20 persen oleh AS.

China membalas dengan mengenakan tarif 10 hingga 15 persen untuk produk makanan dan pertanian AS seperti ayam, jagung, dan kapas. China juga memberlakukan pembatasan ekspor dan investasi pada 25 perusahaan AS dengan alasan keamanan nasional.

Akibat perang tarif ini, nilai perdagangan antara AS dan China bisa terdampak hingga ratusan miliar dolar.

"Hubungan ekonomi dan perdagangan China-AS bersifat timbal balik dan adil. Jika kerja sama yang dipilih, maka keuntungan bersama dan hasil yang saling menguntungkan dapat dicapai. Namun, jika tekanan terus menerus diberikan, China akan dengan tegas membalasnya," Wang memperingatkan.

Wang lebih lanjut menekankan bahwa rasa saling menghormati adalah "norma dasar" yang mengatur hubungan antarnegara dan prasyarat penting bagi hubungan China-AS.

"Tidak ada negara yang boleh berangan-angan bahwa mereka dapat menekan China, dan di saat bersamaan ingin menjaga hubungan baik; sikap bermuka dua seperti itu tidak baik untuk stabilitas hubungan bilateral atau untuk membangun rasa saling percaya," kata Wang.

"Kami tidak pernah memprovokasi masalah, tetapi kami tidak takut. Tekanan, ancaman, atau pemerasan yang ekstrem tidak akan menggoyahkan tekad dari 1,4 miliar rakyat China, dan juga tidak akan menghentikan perjalanan sejarah peremajaan bangsa Tiongkok."

Sentimen yang disampaikan Wang juga senada dengan para pejabat China yang belakangan ini tidak menahan diri dalam berkomentar soal AS.

Pada Selasa lalu, Kementerian Luar Negeri China mengatakan mereka siap untuk berperang dengan AS jika diperlukan - baik di bidang ekonomi atau yang lainnya.

"Intimidasi tidak membuat kami takut. Penindasan tidak berhasil pada kami. Menekan, memaksa, atau mengancam bukanlah cara yang tepat untuk berurusan dengan China," kata juru bicara Kemlu China, Lin Jian, pada konferensi pers dalam menanggapi pertanyaan tentang reaksi China terhadap tarif AS.

Pemerintah AS beralasan bahwa penerapan tarif dagang terhadap China karena pemerintah Beijing tidak menindak aliran narkotika jenis fentanyl ke negara mereka. Menurut Lin alasan itu mengada-ada, seraya menambahkan bahwa AS seharusnya membicarakan masalah itu dengan China secara terhormat.

"Jika AS memiliki agenda lain dan jika mereka menginginkan perang, entah itu perang tarif, perang dagang, atau perang lainnya, kami siap untuk bertempur sampai akhir," kata Lin dalam salah satu pernyataan terkeras China terhadap AS sejak Trump menjabat.

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA Indonesia. Menangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan