Mengapa perubahan iklim membuat kimchi di Korea terancam punah?

Lee Ha-yeon, seorang grand master kimchi dan murid-muridnya menyiapkan kimchi di Institut Budaya Kimchi di Namyangju, Korea Selatan, 21 Agustus 2024. (Foto: Reuters/Kim Soo-hyeon)
GANGNEUNG: Kimchi, acar kesukaan masyarakat Korea Selatan, terancam punah akibat perubahan iklim. Para ilmuwan, petani dan produsen mengatakan perubahan iklim yang membuat suhu semakin panas berdampak pada kualitas dan kuantitas kubis napa, bahan utama kimchi.
Kubis napa tumbuh di iklim yang lebih dingin, biasanya ditanam di daerah pegunungan dengan suhu saat panen di musim panas tidak lebih dari 25 derajat Celcius.
Penelitian menunjukkan bahwa suhu bumi yang memanas akibat perubahan iklim mengancam tanaman ini. Bahkan jika suhu terus meningkat, suatu hari nanti tidak akan ada lagi kubis napa untuk dibuat kimchi. Artinya, kimchi kubis bisa punah.
"Kami berharap prediksi ini tidak sampai terjadi," kata ahli patologi tanaman dan virologi Lee Young-gyu.
"Kubis senang tumbuh pada suhu yang dingin dan mampu beradaptasi pada kenaikan suhu yang sedikit," kata Lee. "Suhu optimal untuk tumbuh antara 18 hingga 21 derajat Celcius."
Baik di pertanian maupun di dapur - baik komersial dan rumah tangga - petani dan pembuat kimchi sudah merasakan perubahannya.

Kimchi, acar fermentasi dengan rasa pedas, juga bisa dibuat dari sayur lain seperti lobak, mentimun dan daun bawang, tapi tetap yang paling populer terbuat dari kubis napa.
Master pembuat kimci yang tersertifikasi Kementerian Pertanian Korea, Lee Ha-yeon, mengatakan suhu panas membuat bagian tengah kubis menjadi busuk dan akarnya jadi lembek.
"Jika ini terus berlanjut, maka di musim panas kita tidak lagi bisa menikmati kimchi kubis," kata Lee.
Data dari badan statistik Korsel menunjukkan bahwa lahan pertanian kubis di dataran tinggi tahun lalu sudah berkurang setengahnya dibandingkan dengan 20 tahun lalu: kini 3.995 hektar, dari sebelumnya 8.796 hektar.
Menurut Badan Pembangunan Perdesaan Korsel, sebuah lembaga riset pertanian pemerintah, dampak perubahan iklim pada lahan pertanian akan membuatnya lebih menyusut dalam 25 tahun ke depan, menjadi hanya 44 hektar, dan tidak akan ada kubis yang bisa ditanam di dataran tinggi lagi pada tahun 2090.
Para peneliti menyebutkan bahwa suhu yang lebih tinggi, hujan lebat yang tak dapat diprediksi, dan hama yang kian sulit dikendalikan karena musim panas yang lebih panjang akan membuat lahan pertanian kubis berkurang luasnya.
Infeksi jamur yang membuat tanaman layu juga menjadi masalah besar bagi para petani karena kerap muncul menjelang panen.

Dampak perubahan iklim ini menambah derita industri Kimchi Korsel yang tengah bersaing dengan kimchi impor yang lebih murah asal China. Kini kimchi China sudah banyak disajikan di restoran-restoran Korsel.
Data bea cukai Korsel menunjukkan impor kimchi hingga akhir Juli tahun ini naik 6,9% menjadi US$98,5 juta, hampir semuanya berasal dari China dan merupakan yang tertinggi untuk periode tersebut.
Sejauh ini, pemerintah Korsel berusaha keras untuk mencegah kekurangan kimchi dan mengendalikan harganya. Para ilmuwan juga berlomba mengembangkan varietas tanaman yang dapat tumbuh di iklim yang lebih hangat dan lebih tahan terhadap fluktuasi curah hujan dan hama.
Namun, petani seperti Kim Si-gap, 71, yang telah bekerja di ladang kubis Gangneung sepanjang hidupnya, khawatir varietas-varietas baru akan lebih mahal untuk ditanam. Selain itu menurut dia, rasanya akan kurang enak.
"Ketika dengar laporan bahwa suatu hari nanti kami tidak lagi menanam kubis, di satu sisi itu mengejutkan dan sisi lain menyedihkan," kata Kim.
"Kimchi adalah sesuatu yang wajib ada di meja makan kami. Bagaimana nasib kami nanti?"
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.