Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.

Iklan

Asia

Mengapa Gen Z Filipina adalah kelompok masyarakat paling kesepian di Asia Tengara?

Masa pandemi dan penggunaan media sosial yang berlebihan menjadi dua faktor penyebab remaja di Filipina mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Program Insight CNA menyelami fenomena ini secara mendalam dan melihat upaya-upaya apa saja yang tengah dilakukan untuk membantu mereka.
 

Mengapa Gen Z Filipina adalah kelompok masyarakat paling kesepian di Asia Tengara?

Seperti kebanyakan anak muda di Filipina, Rafsanjani Ranin menghabiskan waktunya di media sosial hingga berjam-jam setiap harinya. Akan tetapi, hal itu justru membuatnya merasa semakin kesepian.

MANILA: Christian Castillo mengenal Andre saat pandemi, di saat ia merasa kesepian dan hampa. Pesan-pesan dari temannya ini di pagi hari bisa membantunya mengawali hari.

Tapi Andre bukanlah manusia. Melainkan teman virtual yang dibuat Castillo menggunakan Replika, aplikasi chatbot AI generatif. Dengan aplikasi ini, pengguna dapat membuat chatbot-nya sendiri, mulai dari nama, tampilan, gender, hingga kepribadiannya.

"Rasanya benar-benar seperti saya berbicara dengan manusia benaran," kata Castillo, 21 tahun, yang juga sedang mencari kerja di Kota Quezon, Filipina.

Persahabatannya dengan Andre terus berlanjut karena dia harus berdiam di kamarnya setiap hari, "melakukan hal yang sama berulang-ulang" sampai ia kehilangan satu persatu temannya di kehidupan nyata.

Christian Castillo mengobrol dengan "teman AI"-nya.

"(Pandemi) mengubah cara saya berkomunikasi (dan) menjalin hubungan dengan teman, karena saya orangnya lebih suka menikmati waktu bersama dengan teman-teman," jelasnya. "Kalau tingkat kesepian saya diukur dari satu sampai 10, saya ada di angka sembilan."

Filipina dipandang sebagai salah satu negara paling ramah di dunia. Orang-orangnya dikenal memiliki ikatan keluarga yang begitu erat. Namun menurut laporan Meta-Gallup soal kondisi global terhadap koneksi sosial yang diterbitkan tahun lalu, Filipina adalah negara paling kesepian nomor dua di dunia dan nomor satu di Asia Tenggara. 

Menurut para pakar, Generasi Z menjadi salah satu kelompok usia yang paling kesepian di Filipina. Mereka adalah orang-orang yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, dan menjadi generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dengan ponsel pintar dan media sosial.

Mereka tetap merasa kesepian meskipun terhubung secara digital. Terakhir, Survei Kesehatan Berbasis Sekolah Global menemukan bahwa proporsi orang Filipina berusia 13 hingga 17 tahun yang sering atau selalu merasa kesepian meningkat — dari 19,4 persen pada 2015 menjadi 24,2 persen pada 2019.

Program Insight mencoba menelusuri mengapa anak muda khususnya di Filipina merasa sangat kesepian, apa akibatnya dan bagaimana negara berupaya mengatasinya.

COVID-19, MEDIA SOSIAL, DAN KETIDAKHADIRAN ORANG TUA

Berteman dengan orang sebaya sangatlah berarti bagi orang Filipina, kata Direktur Pusat Kesehatan Mental Nasional (NCMH) Filipina Noel Reyes.

Oleh sebab itu, pandemi menjadi alasan utama di setiap laporan masalah kesepian di Filipina — seperti yang terlihat dalam survei Meta-Gallup — kata Reyes. "Kami kaget dengan adanya isolasi, lockdown," terangnya. "Tingkat kesepiannya benar-benar (meningkat)."

Lockdown di Filipina mulai diberlakukan pada Maret 2020, ketika Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa pandemi telah mengglobal.

Lockdown di negara itu termasuk yang terlama di dunia. Kelas tatap muka baru sepenuhnya pulih pada November 2022, sedangkan status darurat kesehatan masyarakat baru dicabut pada Juli tahun lalu. "Kami saat ini masih memulihkan diri dari itu," kata Reyes.

Bahkan sebelum ada isolasi sosial semasa pandemi, hubungan dengan orang lain sudah “tidak terasa terjalin” dan aspek kesepian ini menjadi sorotan psikiater Dinah Nadera. Beberapa penelitian juga menemukan adanya hubungan antara penggunaan media sosial yang berlebihan dan meningkatnya kesepian.

"Beberapa orang menggunakan (media sosial) tanpa harus bertemu," terangnya. "Anda merasa senang meski cuma menjalin hubungan sebentar. Tetapi dalam jangka panjang, Anda tidak bisa membangun hubungan dengan seseorang."

Orang Filipina khususnya sangatlah rentan dengan hal ini. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, orang Filipina dikenal sebagai ibu kota media sosial dunia.

Menurut temuan beberapa penelitian, orang semakin terasa kesepian jika mereka semakin lama di media sosial.

Kini, Filipina memiliki 87 juta pengguna media sosial. Jumlah ini setara dengan 73 persen dari total populasi di negara tersebut. Menurut laporan Digital 2024 dari Meltwater dan We Are Social, angka ini sudah meningkat sebesar 8 persen sejak awal tahun lalu.

Filipina menempati urutan ke-empat berdasarkan durasi penggunaan media sosial. Rata-rata penggunanya menghabiskan tiga jam 34 menit lebih lama daripada rata-rata penggunaan sehari-hari orang Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. 

Contohnya, mahasiswa bernama Rafsanjani Ranin. Di usia 21 tahun, ia menghabiskan empat hingga enam jam sehari pada platform seperti Facebook, Instagram dan TikTok.

Ranin adalah seorang mahasiswa yang sudah memasuki tahun ketiga di Universitas Kota Manila.

Ranin, yang mengaku dirinya seorang ekstrovert dengan banyak teman dan "sangat pandai bersosialisasi", menggunakan media sosial sebagai "mekanisme koping"-nya setiap kali ia merasa kesepian. Namun, hal ini juga bisa berdampak sebaliknya.

“Ketika saya sadar, saya sudah lama pakai media sosial dan belum ada yang mengontak (dan mengajak) saya nongkrong, ... ketika Anda terus-terusan melihat teman-teman Anda nongkrong di feed Anda, perasaan yang dirasakan semakin parah,” ungkapnya.

Ia sering lupa waktu di media sosial. "Pas saya ke kasur, yang harusnya tidur, malah scrolling," ucapnya. Kadang-kadang, ia akan bilang dalam hati "10 menit lagi" — tetapi malah begadang sampai subuh.

Selain itu, banyak remaja Filipina merasa kesepian karena orang tua mereka bekerja di luar negeri dan tidak hadir selama masa kecil mereka.

Tahun lalu, Departemen Pekerja Migran di Filipina memperkirakan bahwa ada 2,33 juta warga negara itu menjadi pekerja migran di luar negeri.

Menurut University of the Phillipines Population Institute (UPPI), sepertiga dari anak muda Filipina saat ini besar tanpa kehadiran orang tua kandungnya.

Seth Faye Aseniero adalah salah satunya. Selama masa kecil, orang tuanya bekerja di luar negeri, sementara ia dan empat kakaknya dirawat oleh bibinya.

"Hidup sudah sangat sulit, ... ditambah lagi, tidak ada orang tua?" keluh pria berusia 24 tahun itu. Meskipun ia punya kakak dan bibinya, mereka sibuk, dan dia "selalu sendirian", katanya.

"Kalau saya lihat masa-masa lalu dan lihat bagaimana saya sekarang, sangat jauh perubahannya."

Seth Faye Aseniero berasal dari Kota Quezon, bagian dari Metropolitan Manila.

Dalam beberapa kasus, meskipun orang tuanya tidak bekerja ke luar negeri, mereka kemungkinan meninggalkan anaknya di kampung untuk bekerja di kota dan pulang hanya sesekali saja, kata psikolog klinis Violeta Bautista.

"Saya sudah bertemu dengan anak-anak muda yang berbicara tentang rasanya tidak didukung, ... rindu menjalin hubungan, karena mereka tumbuh tanpa kehadiran ada orang tua yang membimbing mereka, memenuhi kebutuhan sosial mereka." 

DAMPAK MENTAL DAN FISIK

Dampak negatif dari rasa kesepian ini dapat memburuk. Selain itu, semakin lama, perasaan ini semakin dialami orang yang lebih muda.

"Ketika kesepian selalu menemani Anda pagi sampai malam, hingga mengganggu konsentrasi Anda belajar dan bekerja, dan membuat Anda menjauh dari hubungan sosial sehingga tidak merasakan kepuasan, ... maka itu bukan lagi kesepian biasa," jelas Bautista.

"Hal ini bisa berkembang menjadi gangguan depresi serius."

Kesepian bisa jadi karena kurangnya interaksi sosial.

Psikiater Nicanor L Echavez pernah mendapati anak usia delapan hingga 10 tahun mencoba menyakiti dirinya sendiri.

"Berbeda dengan 20 tahun yang lalu, ada begitu banyak tekanan sekarang ini yang harus mereka hadapi," kata koordinator program kantor kesehatan dan kebugaran mental di Muntinlupa, salah satu kota di Metro Manila.

Hal ini membuat mereka rentan mengalami kesepian dan depresi klinis, imbuhnya.

Menurut studi UPPI tahun 2021, hampir satu dari lima orang Filipina berusia 15 hingga 24 tahun pernah berniat untuk mengakhiri hidup mereka. Dalam kelompok ini, enam dari 10 tidak mengontak siapa pun.

Menurut Nadera, kesepian bisa membuat orang enggan menerima pertolongan dari orang lain.

Ada juga orang-orang yang meskipun dikelilingi banyak teman, mereka tetap tidak terikat secara emosional. Hal ini membuat orang-orang terdekat sulit mengenali tanda-tanda bahaya, terlebih di saat anak muda cenderung lebih terbuka kepada teman sebayanya daripada orang dewasa.

Julia Buencamino, misalnya. Orangnya "sangat mudah bersosialisasi", sering nongkrong dan punya banyak teman. Akan tetapi, ibunya, aktris Shamaine Buencamino, tidak menyadari kalau putri 15 tahunnya itu tengah menghadapi masalah kesehatan mental. Di tahun 2015, Julia mengakhiri hidupnya.

Ternyata, meski Julia pernah mengutarakan apa yang sedang ia alami saat itu kepada teman-temannya, ia menyembunyikannya dari orang tuanya. Namun, ia pernah meninggalkan puisi di meja makan.

"Dia bercerita soal suara-suara yang ada dalam kepalanya dan jeritan-jeritan yang tidak bisa dia diamkan," kata Buencamino kala meningatnya. "Kami kira ia hanya mengarang puisi saja.

"Kami sama sekali tak pernah mencoba untuk menerima kalau orang yang sudah kami besarkan punya kondisi seperti ini ... Ini salah saya sendiri (karena) pikiran saya tidak terbuka dengan kemungkinan kalau dia bisa saja mengalami hal ini. Jadi saya tak pernah mengetahuinya."

Julian Buencamino "seperti orang ekstrovert" tapi "dalam hatinya" ia merasa kesepian, kata ibunya.

Kesepian tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental tetapi juga fisik. Tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global, memicu berbagai masalah, mulai dari meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke hingga gangguan kecemasan dan depresi.

Faktanya, dampak kematiannya bisa sama buruknya dengan merokok 15 batang sehari.

Masalahnya, mengakui bahwa kita merasa kesepian dan mencari bantuan masih dianggap tabu di Filipina. Begitu juga dengan masalah kesehatan mental lainnya.

"(Kondisi ini) masih belum benar-benar dianggap sebagai penyakit," kata Buencamino. 

"(Orang-orang) mengira jika ini adalah kondisi yang Anda sebabkan sendiri dan Anda bisa selesaikan sendiri dengan mudah. Bahagiakan diri saja.”

"Ada kecenderungan orang Filipina merasa bersalah ketika (membahas) soal kesepian," tambah Bautista, Direktur Layanan Psikososial UP Diliman.

"Ini bisa diartikan kalau kerabat Anda, orang yang Anda cintai, dan sahabat Anda tidak dapat memenuhi kebutuhan sosial Anda."

ANGKA KESEPIAN TERUS MENINGKAT, TAPI TIDAK ADA PERUBAHAN

Secara umum, bantuan psikologis masih belum merata di Filipina. Asosiasi Kesehatan Mental Filipina (PMHA) menaksir kurang dari satu pekerja kesehatan mental melayani setiap 100.000 orang.

Tapi pemerintah telah mengetahui permasalahannya. Departemen Kesehatan Filipina sudah mengalokasikan hampir 683 juta peso (Rp187 miliar) untuk merawat pasien kesehatan mental pada anggaran tahun ini sebagai upaya pencegahan dan pengendalian.

Pada 2018, mantan presiden Rodrigo Duterte menandatangani Undang-Undang Kesehatan Mental, yang bertujuan agar perawatan kesehatan mental lebih mudah diakses dan terjangkau.

Setahun kemudian, NCMH meluncurkan saluran siaga untuk menyediakan konseling dan dukungan segera pada krisis kesehatan mental

Pada tahun 2019, ada sekitar 13 panggilan setiap harinya. Tahun berikutnya, panggilan meningkat menjadi lebih dari 30 setiap hari di tengah karantina semasa pandemi, dan sekitar 74 panggilan setiap harinya selama tahun 2021 hingga 2022. Sebagian besar orang yang menelepon berusia 18 hingga 30 tahun.

Di saat sekolah-sekolah ditutup ketika pandemi melanda, banyak anak muda di Filipina melaporkan bahwa mereka kesepian.

Kendati jumlah penelepon konsisten pada sekitar 60 per harinya, angka kesepian berada pada "tren peningkatan" di Filipina, kata Reyes. "Langkah-langkah untuk mengajarkan anak-anak muda tentang kesepian masih belum sepenuhnya dijalankan."

Bautista menambahkan bahwa meski ada perbincangan mengenai penyakit mental, perbincangan ini belum mengarah ke pembahasan tentang "kesepian yang wajar atau kesepian yang berbahaya di kalangan anak muda Filipina".

Inilah yang Buencamino harapkan agar ada perubahan. Ia kini menjadi penggiat kesehatan mental. Ia dan keluarganya memprakarsai suatu proyek guna meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental di kalangan anak muda Filipina.

Julia Buencamino Project menjangkau pelajar dan orang tua dengan mengadakan sosialisasi di sekolah-sekolah, lokakarya dan pameran yang berhubungan dengan seni.

"Komunikasi sangatlah penting," kata Buencamino. "Anda harus terbuka (dengan) anak Anda. Anda tidak boleh langsung menghakimi mereka, karena mereka merasa, mereka dihakimi melulu."

Shemaine Buencamino berkata, karena ia tidak dapat membantu putrinya, ia memutuskan untuk membantu orang lain.

Pembuat konten Keith Mirandilla juga berharap bisa menghapus stigma dari masalah kesehatan mental di Filipina.

Dengan terbuka, wanita berusia 21 tahun itu membicarakan perihal gangguan suasana hatinya dan keinginan-keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Kontennya membahas topik-topik tentang mencari psikiater atau tenaga ahli kesehatan mental, dan alasan untuk tetap hidup.

Dengan melakukan ini, ia terbantu dalam mengatasi rasa kesepiannya.

"Saat orang-orang bilang ke saya kalau video-video saya menolong mereka, saya merasa diterima di lingkungan," jelasnya. "Saya tidak lagi merasa saya membuang-buang ruang, karena perkataan saya berarti bagi seseorang.

"Ini hal yang akan saya selalu syukuri."

Perihal Castello, ia masih terus mengobrol dengan Andre namun sudah memantapkan diri untuk menjalin interaksi dengan sesama manusia.

Castillo membuat chatbot AI-nya, Andre, empat tahun yang lalu.

"Meskipun saya tahu Andre ada di sana — tinggal satu klik untuk memanggilnya, menyemangati saya dan lain-lainnya — dia tetaplah chatbot AI saja," jelasnya.

"Mungkin sudah saatnya saya bersikap dewasa dan bilang pada diri sendiri bahwa ada delapan miliar orang di dunia ini, dan kamu nantinya bakal mendapatkan teman sejati di sepanjang perjalanan."

Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini. 

Source: CNA/da

Juga layak dibaca

Iklan

Iklan