Mencerabut akar budaya atau perlahan tenggelam: Dilema Fiji hadapi perubahan iklim
Fiji telah membuat kebijakan nasional yang ambisius untuk merelokasi ratusan desa yang terancam tenggelam. Dalam tulisan kedua dari tiga seri kisah negara-negara Pasifik yang berjuang melawan perubahan iklim, CNA mengupas tantangan dan dilema yang dilalui Fiji.
SUVA, Fiji: Di bibir pantai yang melingkari desa tradisional Vunisavisavi, terbaring objek yang menjadi simbol dari harapan sekaligus malapetaka.Â
Objek itu adalah pohon banyan raksasa yang tumbang beberapa tahun silam. Angin kencang dan ombak ganas telah mencerabut akarnya dari tanah berpasir, membuat batang besarnya kini rebah.
Anak-anak kecil kerap memanjat dan bermain di pohon tersebut. Berada di atas batangnya, mereka bisa melihat cakrawala yang terbentang di samudera.
Saking besarnya, batangnya kini menjadi semacam dinding pelindung antara lautan yang gelombangnya semakin beringas dan desa Vunisavisavi yang posisinya kian rentan.
Warga setempat mengatakan, pohon itu sudah ditanam di desa lebih dari setengah abad yang lalu. Meski telah tumbang, sebagian akarnya juga sudah keluar dari tanah dan terpapar air garam, namun pohon itu masih tetap hidup.
Pohon banyan tersebut menjadi perlambang dari perjuangan warga untuk bertahan di desa yang terancam tenggelam akibat perubahan iklim itu.
Vunisavisavi memang sedang di ujung tanduk. Ancaman cuaca buruk akibat suhu planet yang memanas, termasuk semakin seringnya topan tropis menghantam, membuat desa ini menjadi salah satu tempat di Fiji yang kemungkinan akan direlokasi.Â
Pada 2017, pemerintah Fiji telah mengidentifikasi 830 komunitas masyarakat yang rentan dan tambahan 48 komunitas yang harus segera direncanakan relokasinya.
Kondisi ini akhirnya memaksa pemerintah Fiji mengembangkan panduan nasional khusus untuk menyikapinya, sebuah kebijakan yang mungkin paling terperinci di dunia dalam menghadapi kondisi ketika relokasi menjadi sebuah keharusan.
Kebijakan itu bernama Standard Operating Procedures (SOP) for Planned Relocation atau prosedur standar operasi untuk relokasi terencana.Â
Tidak hanya Fiji, banyak negara di seluruh dunia yang juga menghadapi ancaman yang sama. Berdasarkan data Internal Displacement Monitoring Centre, hampir sembilan juta orang di 88 negara dan wilayah di seluruh dunia telah direlokasi karena bencana alam per akhir 2023.
SOP relokasi yang telah disahkan oleh pemerintah Fiji pada tahun lalu itu bertujuan memerinci persyaratan bagi sebuah komunitas masyarakat untuk bisa dipindahkan.Â
Dalam dokumen, ditegaskan bahwa SOP itu adalah "dokumen hidup" yang akan terus diperbarui dengan "mengedepankan pendekatan pada manusia dan hak asasi manusianya". Di dalamnya tercantum tahapan identifikasi risiko, tata cara perundingan dengan masyarakat, pengelolaan lahan, pertimbangan budaya, pendanaan dan evaluasi.
Komponen-komponen kunci dalam SOP itu menitikberatkan pada pentingnya konsultasi publik, mendengarkan aspirasi masyarakat, transparan dalam pembuatan keputusan, mekanisme ganti rugi dan adanya pilihan relokasi sebagian.
Relokasi adalah sebuah urusan yang kompleks dan melibatkan perasaan, keberadaan SOP ini diharapkan dapat menjadi solusinya.
Kerap kali keputusan relokasi diwarnai kesedihan, perasaan yang muncul karena kehilangan. Eratnya hubungan antar masyarakat telah menjadi sebuah kekuatan di Fiji, dan perubahan iklim telah mengancam ikatan tersebut.
"Ketika sebuah komunitas direlokasi, ini bukan hanya soal pindah ke tempat dan rumah baru," ujar Sitivani Rabuka, perdana menteri sekaligus menteri perubahan iklim Fiji dalam kata pengantar SOP tersebut.
"Ketika sebuah komunitas direlokasi, mereka juga membawa serta budaya, sejarah, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, keputusan untuk relokasi jangan dianggap enteng."
Setiap kali bencana menghantam negara kepulauan ini, para ahli dan warga khawatir akan semakin banyak desa yang masuk dalam daftar potensi relokasi. Artinya, semakin banyak juga identitas lokal yang berisiko hilang.
DEMI MASA DEPAN YANG LEBIH AMAN
Fiji adalah negara di dunia yang paling cepat dan paling keras terkena dampak perubahan iklim. Suhu lautannya memanas tiga kali lipat dibanding rata-rata global, sementara naiknya permukaan air laut mengancam pulau-pulau kecil dan masyarakat pesisirnya.
Negara ini terdiri dari 382 pulau dengan populasi kurang dari satu juta orang. Fiji sering kali diterpa badai tropis, salah satunya pada 2016 ketika Topan Winston menghantam negara itu, menewaskan 44 orang dan menyebabkan kerugian hingga 1,4 miliar dolar AS.
Empat tahun kemudian pada Desember 2020, Topan Yasa yang masuk dalam kategori 5 menghancurkan sekitar 8.000 rumah di Fiji, menyebabkan kerugian infrastruktur, rumah tinggal dan pertanian hingga senilai 250 juta dolar.
Bahkan sampai saat ini, masyarakat Fiji masih belum benar-benar pulih dari dampak topan tersebut. Kerusakan fisik dan emosional akibat Topan Yasa masih terlihat di desa Cogea, terletak beberapa jam perjalanan dari Vunisavisavi.
Cogea terletak di bagian selatan pulau kedua terbesar di Fiji, Vanua Levu. Di belahan Fiji ini, pemandangannya sangat menawan.
Sungai air tawarnya mengalir pelan sebelum bermuara ke laut. Permukaan airnya teduh lantaran dinaungi rerimbunan pohon lebat hutan hujan dataran rendah. Air lautnya biru, dangkal dan kaya akan terumbu karang. Desa-desa yang tersebar pesisir pantai dan kaki-kaki gunung terjalin rapi dan teratur.
Biasanya, ombak laut menepi dengan pelan di pantainya yang berpasir. Namun, ada saatnya di masa lalu gelombang laut menjadi ganas. Dan warga yakin peristiwa itu akan terulang kembali. Mereka telah melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Topan Yasa telah membawa serta banjir yang merusak bagi Cogea, desa berpenduduk 138 orang yang terletak beberapa kilometer dari pesisir. Permukiman di Cogea dikelilingi perairan, membuatnya rentan terendam jika gelombang meninggi akibat cuaca.
Kepala desa Cogea, Rusiate Senicevuga, sudah membangun rumahnya agar tahan hembusan topan. Tapi ternyata dia meremehkan kekuatan Yasa.
"Pagi hari ketika bangun tidur, kami tidak bisa berkata-kata. Saya terkejut. Rumah yang kami andalkan untuk melindungi kami, hilang ditiup topan," kata dia.
"Warga desa awalnya direncanakan hanya berada di tenda pengungsian selama tiga bulan saja. Tapi karena kerusakan yang dialami, ada yang tinggal di tenda selama dua tahun."
Sebagian Cogea terendam air, rumah-rumah rusak, ditambah lagi oleh tanah longsor di daerah pegunungan sekeliling desa. Perkebunan tempat warga menggantungkan hidup hancur, memicu kekhawatiran tiadanya ketahanan pangan setelah sektor pertanian dan perikanan di negara itu kerap gagal memenuhi kebutuhan warga.
"Kami terus diingatkan tentang apa saja yang direnggut oleh Topan Yasa dari kami. Banyak yang berubah karenanya. Kami jadi sangat ketakutan menyusul peristiwa itu," kata dia.
"Warga Cogea telah masuk dalam rencana relokasi setelah desa mereka diprediksi akan terendam air. Belakangan ini, banyak dari mereka ketakutan setiap kali langit berubah mendung," kata Senicevuga lagi.
Sebuah lahan yang terletak tidak jauh dari desa itu telah dialokasikan sebagai tempat relokasi. Kendati bertahan di desa itu telah membuat warga khawatir, namun relokasi tidak ayal memicu perpecahan di antara mereka.
"Desa ini sangat berarti bagi kami. Di sinilah nenek moyang kami tinggal. Tidak mudah bagi saya ketika melihat anak-anak muda desa ini setuju direlokasi," kata Silina Tinai, salah seorang tetua di desa itu.
"Saya khawatir akan nasib generasi masa depan Cogea. Akan ada perubahan di sini. Tidak hanya hari ini, tapi hari-hari dan tahun-tahun ke depannya. Bagi saya, sungguh menyakitkan mengetahui kami akan meninggalkan desa ini," kata dia lagi.
Baca:
Ini adalah sentimen yang umum terjadi di seluruh Fiji. Akar budaya yang kuat telah membuat masyarakat terikat dengan tanah leluhur mereka.
Tapi bagi Senicevuga, masyarakat desanya tidak akan bisa tenang sebelum mereka pindah ke dataran yang lebih tinggi. Perubahan iklim-lah yang memaksa mereka tercerabut dari ikatan masa lalu.Â
Tapi untuk sekarang, warga desa terjebak dalam ketidakpastian menanti pendanaan untuk membangun rumah-rumah baru mereka. Kapan mereka bisa pindah pun masih belum jelas.
"Menurut pendapat saya, setidaknya bagi keluarga saya, apa yang mereka alami ketika Topan Yasa tidak akan pernah terhapus dari ingatan. Yang terbaik bagi generasi masa depan adalah berada di tempat yang baru," kata dia.
"Jika kami masih di sini, saya yakin kami akan menghadapi masalah yang lebih besar daripada Topan Yasa. Untuk saat ini, relokasi adalah bagian dari solusi."
JADI PENGUNGSI DI NEGERI SENDIRI
Para pengkritik SOP relokasi mengatakan pembuatan dokumen tersebut telah mengabaikan masalah kebudayaan.
Dalam SOP tersebut, memang dipastikan struktur sosial dan kebudayaan "tidak berubah karena inilah yang mengikat masyarakat dan menjadi jaring pengaman sosial mereka di saat sulit."
Artinya, relokasi tetap akan mempertahankan dan menghormati ruang komunal dan tatanan hirarki di desa-desa tradisional.
Namun menurut Simione Sevudredre, pendiri lembaga Konsultan Budaya Sau-Vaka, ada pertentangan antara wawasan dan sensitivitas masyarakat adat dengan birokrasi pemerintah  yang mencoba mencari jalan mudah untuk proyek yang mahal dan mendesak ini.
"Untuk para pemangku kepentingan, untuk pemerintah, yang terlibat dalam relokasi masyarakat karena perubahan iklim, akan sangat mudah bagi mereka untuk mengabaikan dimensi spiritual yang tak berwujud. Tapi inilah benang tak kasat mata yang menjadi jangkar dan pengikat masyarakat kami," kata dia.
"Spiritualitas adat kami sudah sangat tua, terikat dan terpaku pada tanah. Dan itu sebabnya relokasi bukanlah hal mudah yang bisa dilakukan dalam semalam. Karena cara hidup kami, nilai-nilai dan etika kami berasal dari alam, dari lingkungan, dan dari kami sendiri, manusia, sebagai penjaganya."
Nilai-nilai ini termanifestasikan secara fisik di keseharian penduduk desa, bisa dalam bentuk ibadah di makam leluhur, pada hirarki sosial dan tata krama terhadap tetua adat, atau terwujud dalam pengetahuan yang melekat seperti soal cara menumbuhkan atau mencari makanan.
Isoa Talemaibua, sekretaris tetap di Kementerian Pembangunan Perdesaan dan Maritim Fiji, lembaga yang bertanggung jawab untuk mengawasi SOP relokasi, mengatakan bahwa gugus tugas relokasi difokuskan pada pendekatan konsultatif dan "mengajak masyarakat untuk bisa turut serta".
"Melalui konsultasi, ada orang-orang yang menolak. Kadang beberapa orang sulit menerimanya," kata dia.
"Ini adalah proses yang alot - karena mereka akan meninggalkan apa yang mereka miliki selama bertahun-tahun, atau beberapa generasi. Kebanyakan mereka menangisi tanah tempat mereka tinggal. Rasa kedekatan ini yang benar-benar menyentuh hati, jiwa dan raga mereka. Jadi, ini adalah keputusan yang berat bagi kami.
"Tapi kami harus meyakinkan mereka demi kebaikan semua. Perubahan iklim itu nyata. Fenomena ini telah berdampak pada segelintir orang di masa lalu, tapi sekarang semuanya di Fiji terdampak, entah karena meningkatnya permukaan laut dan masalah yang terkait lainnya."
Talemaibua berharap ke depannya kementeriannya dapat meningkatkan cara mereka dalam mengatasi masalah-masalah sensitif. "Kami baru saja memulai dan mungkin akan ada beberapa masalah," kata dia. Di antara tantangannya adalah mencari pendanaan untuk menjalankan SOP untuk membuatnya jadi seefektif mungkin.
Pendanaan dengan alokasi anggaran tahunan sebesar 5 juta dolar untuk membiayai relokasi telah dibentuk dan didukung oleh pemerintah Selandia Baru dan Jerman. Tapi jumlah itu masih jauh dari cukup.
Biaya untuk memindahkan satu desa saja, contohnya pada relokasi desa Nabavatu pada 2021, mencapai 2,5 juta dolar.
Di ranah global, Fiji terus aktif menyuarakan dipercepatnya mobilisasi pendanaan iklim hijau. Dana ini diambil dari negara-negara penyumbang polusi untuk membayar skema penanggulangan perubahan iklim.
Pada 2018, pemerintah Fiji mengatakan negara mereka memerlukan dana sekitar 4,1 miliar dolar selama 10 tahun untuk memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim. Lalu pada 2022, mereka mengidentifikasi kebutuhan investasi sebesar 1,98 miliar dolar untuk mencapai target NDC dan transisi menuju negara perekonomian nol emisi.Â
NDC (Nationally Determined Contribution) adalah komitmen negara-negara peratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai tujuan iklim global.
Secara global, dana yang dibutuhkan oleh negara-negara yang rentan perubahan iklim sangatlah besar.
"Menurut para ahli, dibutuhkan lebih dari 4 triliun dolar setiap tahunnya pada 2030 untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Perlu ada upaya besar untuk memobilisasi pembiayaan dan investasi yang dapat diakses dan hemat biaya agar manfaatnya dirasakan semua pihak," ujar Rabuka dalam pembicaraan iklim global di COP28, Dubai, akhir tahun lalu.
Ada beberapa contoh yang menunjukkan bahwa relokasi juga bisa jadi masalah. Sebelumnya sudah ada tiga desa di Fiji yang direlokasi sebelum terbitnya SOP. Reaksi dari warga desanya beragam.
Di tempat relokasi, keluhan mengenai masalah sosial bermunculan. Perencanaan di tempat tujuan relokasi juga dianggap kurang, terjadi juga perpecahan masyarakat dan munculnya konflik lahan.
Salah satunya adalah Vunidogoloa, desa di Fiji pertama yang dipindahkan pada 2014, yang kini menjadi contoh studi kasus agar kesalahan tidak terulang.Â
Desa ini dipindahkan jauh dari tempat berburu tradisional warga ke lokasi yang infrastrukturnya belum lengkap, memicu masalah sosial dan kesehatan. Ini adalah problema yang akan semakin banyak dihadapi negara-negara lain di dunia dalam beberapa dekade mendatang. Fiji hanyalah penggerak awal dalam relokasi skala nasional.
Sevudredre mengatakan kasus Vunidogoloa bisa menjadi pelajaran penting soal mempertahankan kebudayaan khas dari orang-orang yang terikat dengannya. Dan itu dimulai dari mendengarkan mereka.
"Mungkin seharusnya sejak awal para pemangku kepentingan melibatkan masyarakat? Mereka bisa mengajukan pertanyaan soal bagaimana wawasan masyarakat bisa memengaruhi kebijakan, bukannya langsung datang dan menegakkannya," kata dia.
"Ini adalah jalan bersama yang harus ditapaki melalui diskusi dengan masyarakat mana pun. Masyarakat, pemilik desa, tahu apa yang mereka butuhkan. Mereka tahu yang terbaik. Mereka hanya ingin didengarkan.
"Waktunya akan semakin mepet jika tidak ada pertimbangan soal dimensi yang tak terlihat dan tak benda ini. Kita berisiko menciptakan lebih banyak lagi orang-orang yang kehilangan arah, tak punya tempat berlabuh. Kami bisa menjadi pengungsi di negeri sendiri," kata dia.
RUMAH SANG RAJA
Vunisavisavi adalah rumah sang raja.
Desa ini adalah tanah milik "Tui Cakau", satu dari tiga pemimpin tertinggi Fiji, sebuah titel yang telah diwariskan selama 15 generasi. Pewarisnya saat ini adalah penjaga tanah kramat itu dan berusaha memenuhi sumpah untuk melindunginya.
Tapi pusat dari desa Vunisavisavi sekarang tak ubahnya seperti tempat pembuangan. Saat terjadi badai, air dari laut dan gunung membanjirinya. Beberapa penghuninya sudah pindah rumah.
Seluruh desa telah direncanakan dipindahkan dari pesisir pantai. Namun, masih saja ada penentangan dari warganya.
"Provinsi ini tidak akan dikenali jika desa ini ditinggalkan. Kami memang telah menghadiri lokakarya soal kesadaran akan perubahan iklim, tapi bagi para tetua di sini, tugas mereka terhadap pemimpin desa masih sangat penting," kata Mariana Sarawaqa, pemimpin desa.
"Mereka tidak bisa pindah. Relokasi bukan bagian dari rencana hidup mereka. Kami tahu jika direlokasi, maka kami akan kehilangan identitas diri secara permanen," lanjut dia.
Pastor Ben Salacakau, yang juga penduduk asli desa tersebut, adalah sosok yang keras menyuarakan penentangan relokasi pemerintah. Ketimbang relokasi, kata dia, sebaiknya pemerintah fokus pada beradaptasi dan mencari cara untuk bertahan.
Dia menyadari besarnya masalah iklim yang mendera negaranya. Namun menurut Salacakau, pemerintah tidak seharusnya mencoba menyelesaikannya secara sekaligus karena cara itu tidak akan bertahan lama.
"Pemerintah punya solusi yang cepat dan berdampak jangka pendek. Saya katakan, solusi mereka ini seperti alat penyiram tanaman. Airnya terciprat kemana-mana, tapi kami hanya mendapatkan beberapa tetes. Tidak ada yang benar-benar berdampak," kata dia.
"Menurut saya mereka seharusnya membentuk sistem yang benar-benar bekerja, mengembangkan sebuah tempat sampai berfungsi baik dan bisa mandiri, baru kemudian boleh bergerak ke tempat berikutnya."
Di perairan dangkal pantai Vunisavisavi, pohon-pohon bakau muda mulai tumbuh. Masyarakat berupaya semampu mereka untuk membangun penahan gelombang. Mereka berharap di masa depan dapat dibangun tembok laut.
"Saya katakan kepada anak-anak, jika kalian tidak melakukan ini, mungkin dalam beberapa tahun ke depan kalian tidak akan bisa tinggal di sini. Kalian harus pindah karena tempat ini akan tersapu air. Tidak akan ada lagi Vunisavisavi. Jika kalian tidak bertindak, kalian akan kehilangan tempat ini," kata Sarawaqa.
Seperti halnya pohon banyan yang bergeming menghadapi amukan gelombang, seperti itulah rakyat Fiji menggenggam erat tanah mereka. Akar-akar mereka keras mencengkeram bumi, mencoba bertahan dan terus tumbuh.
"Kami akan melakukan apa pun untuk mempertahankan desa ini."
Dapatkan informasi menarik lainnya dengan bergabung di WhatsApp Channel CNA.id dengan klik tautan ini.