Skip to main content
Hamburger Menu
Close
Edisi:
Navigasi ke edisi CNA lainnya di sini.
Iklan

Asia

Masalah upah, keterampilan dan ketersediaan lapangan kerja: Bagaimana Malaysia mengatasi tiga 'paradoks' ini?

Jumlah lapangan kerja di Malaysia hanya mampu menyerap sebagian kecil lulusan universitas setiap tahunnya. Para pengamat mengatakan, saat ini industri membutuhkan pekerja terampil di sektor-sektor tertentu. 

Masalah upah, keterampilan dan ketersediaan lapangan kerja: Bagaimana Malaysia mengatasi tiga 'paradoks' ini?

Pekerja kantoran di depan Menara Kembar Kuala Lumpur, Malaysia. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

KUALA LUMPUR: Pasar tenaga kerja dengan persaingan ketat, tapi upahnya stagnan. Kurangnya tenaga terampil untuk mengisi sektor-sektor penting. Lapangan kerja yang hanya bisa menyerap seperenam dari 300.000 sarjana yang lulus setiap tahunnya.

Itulah "paradoks" ketenagakerjaan di Malaysia yang disebutkan oleh Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Steven Sim.

Untuk mengatasi ketiga paradoks ini, Malaysia perlu memanfaatkan para tenaga profesional terampil secara efektif melalui koordinasi yang lebih baik antara pembuat kebijakan, pemberi kerja dan pendidik, ujar para pengamat kepada CNA.

Menteri Sim menyampaikan pandangannya itu dalam diskusi panel soal operasional lembaga pendidikan dan pelatihan Malaysia yang diselenggarakan di Sunway University pada 13 Januari lalu.

Sim menjelaskan, paradoks itu terjadi di tengah membaiknya angka pengangguran di Malaysia dan banyaknya lulusan sarjana yang dihasilkan. Namun di tengah angka positif tersebut, masih ada kesulitan dalam meningkatkan upah, adanya pengangguran terselubung (underemployment) dan kurangnya ketersediaan pekerjaan bergaji tinggi.

Underemployment adalah pekerja yang masih mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja rendah.

Untuk mengatasi paradoks ini, Sim menekankan pentingnya meningkatkan keterampilan pekerja melalui berbagai program, seperti kursus TVET (Pendidikan dan pelatihan teknik dan vokasi) dan inisiatif pemerintah untuk menaikkan upah dan jumlah tenaga kerja.

Profesor ekonomi di Universitas Sunway, Yeah Kim Leng, mengatakan kepada CNA bahwa ketiga paradoks tersebut merupakan "gejala" dari perekonomian Malaysia yang berkinerja buruk dengan potensi pertumbuhan yang rendah.

"Kebijakan pendidikan nasional dan pasar tenaga kerja yang lebih responsif diperlukan untuk mengkoordinasikan perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia di Malaysia. Ini adalah seruan bagi para pembuat kebijakan, pemberi kerja dan pendidik untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya manusia di negara ini secara lebih efektif," katanya.

"Dengan tingkat pengangguran yang rendah dan peningkatan investasi yang akan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja, ketiga paradoks ini akan menjadi hambatan pertumbuhan, bukan perangkap pertumbuhan."

TIGA PARADOKS

Menurut Sim, paradoks pertama adalah "upah-terhadap-pekerjaan", ketika rendahnya angka pengangguran di Malaysia - saat ini 3,2 persen - tidak tercerminkan dengan tingginya gaji.

"Gajinya seharusnya meningkat karena permintaan dari pekerja dan rendahnya angka pengangguran. Tapi sayangnya, paradoks dari kondisi ini adalah gaji relatif kecil. Rata-rata gaji per bulan adalah RM2.700 (Rp9,8 juta) plus," kata dia.

Paradoks kedua menurut Sim adalah "keterampilan-terhadap-pekerjaan", ketika para pemberi kerja mengeluhkan kurangnya pekerja terampil di Malaysia, terutama di bidang STEM (science, technology, engineering and mathematics).

Ironisnya, kata Sim, Malaysia memiliki angka underemployment yang cukup tinggi, mencapai 36 persen, yang muncul karena ketidakcocokan antara pekerjaan yang dibutuhkan dan kualifikasi akademis yang ada. Artinya, Malaysia sebenarnya memiliki para talenta di bidang STEM, tapi mereka bekerja di pekerjaan yang tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.

Paradoks ketiga adalah "pendidikan-terhadap-pekerjaan". Sim mengatakan bahwa Malaysia menghasilkan 300.000 lulusan universitas setiap tahunnya - sepertiganya di bidang STEM - tapi hanya tersedia sekitar 50.000 lapangan kerja untuk tenaga terampil dan bergaji tinggi.

Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, Steven Sim (kedua dari kiri), berbicara dalam sebuah diskusi panel yang diadakan di Universitas Sunway pada 13 Januari 2025. (Foto: Kementerian Sumber Daya Manusia)

Edwin Oh Chun Kit, peneliti di Institute of Strategic Analysis and Policy Research (INSAP), memperingatkan bahwa jika tidak diatasi, ketiga paradoks ini akan meningkatkan risiko stagnasi ekonomi jangka panjang di Malaysia.

"Pemerintah harus berusaha untuk merampingkan koordinasi antar kementerian dan meningkatkan pengawasan untuk TVET dan pendidikan tinggi untuk memastikan keselarasan dengan tuntutan industri," katanya kepada CNA.

Para pengusaha juga harus memberi saran kepada pemerintah dan bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk "memberikan wawasan dunia nyata tentang kebutuhan tenaga kerja yang terus berkembang", kata Oh.

MEMBUAT TVET LEBIH MENARIK

TVET di Malaysia bertujuan untuk menghasilkan lulusan terampil di bidang yang relevan dengan kebutuhan industri, seperti untuk manufaktur, konstruksi, perawatan kesehatan, dan teknologi informasi.

Kursus TVET, yang terdiri dari level 1 hingga 5 dengan level tertinggi setara diploma lanjutan atau gelar associate, ditawarkan di universitas negeri dan swasta, politeknik, dan akademi komunitas di seluruh Malaysia.

"Dengan sinergi yang lebih baik, Malaysia dapat secara efektif menjembatani ketidaksesuaian keterampilan, meningkatkan hasil pasar tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," tambah Oh.

Setiap tahunnya, Malaysia menghasilkan sekitar 100.000 lulusan TVET. Pemerintah telah menargetkan 500.000 siswa untuk mendaftar dalam program TVET di seluruh 1.398 lembaga TVET tahun ini, kata Wakil Perdana Menteri Ahmad Zahid Hamidi, yang juga merupakan ketua Dewan TVET Nasional.

"Kursus-kursus yang diberikan disesuaikan untuk memenuhi permintaan pemberi kerja, terutama dari industri, dan Nota Kesepahaman telah ditandatangani antara institusi TVET dan pemberi kerja," kata Ahmad Zahid pada 11 Januari lalu seperti dikutip Bernama.

"Artinya, setelah menyelesaikan program, para lulusan TVET akan segera dipekerjakan oleh para pemberi kerja ini."

Untuk membuat TVET lebih menarik, Sim mengatakan bahwa ia telah mengusulkan kepada Kabinet untuk menambah level 6, 7 dan 8, yang "setara" dengan gelar sarjana, master dan doktor.

Rencana lain termasuk membuat TVET lebih mudah diakses dengan memperkenalkan portal aplikasi satu atap dan "universitas keterampilan" tanpa jangka waktu yang tetap. Selain itu, direncanakan juga kuota ras yang memungkinkan siswa dari berbagai latar belakang untuk bisa mendaftar kapan saja.

TVET TIDAK SEPERTI PENDIDIKAN UNIVERSITAS

Namun, Sim memperingatkan bahwa langkah ini di Malaysia jangan sampai membuat materi pelatihan TVET mirip dengan universitas. Pasalnya, kata dia, pendidikan universitas tidak dirancang untuk memenuhi tuntutan pekerjaan saat ini.

"Kita harus memikirkan kembali tentang universitas. Menurut saya, pada dasarnya, universitas adalah tempat Anda belajar selama empat tahun untuk berpikir secara mendalam. Memikirkan tentang makna hidup. Apa itu cinta? Apa itu rasa sakit? Apa itu kematian? Di manakah Tuhan? Siapakah Tuhan itu?" katanya.

"Namun industri belum tentu mendapat manfaat dari model pendidikan seperti itu. Itulah sebabnya mengapa saya merasa obsesi untuk membuat TVET menjadi seperti universitas harus diubah."

Sim kemudian mengklarifikasi bahwa pendidikan universitas masih diperlukan untuk pengetahuan filosofis, tetapi tidak untuk kebutuhan industri saat ini.

"Maksud saya adalah: Jika Anda berpikir bahwa model universitas yang ada saat ini akan mampu memenuhi permintaan pasar kerja, maka Anda sedang bermimpi. Karena universitas... (tidak) diciptakan untuk dunia industri," tambahnya.

Mahasiswa Sunway University merayakan kelulusan pada Februari 2024. (Foto: Facebook/Sunway University)

Sim mengatakan bahwa dia sendiri juga sedang mengikuti kursus TVET level 5 dalam kepemimpinan perusahaan. Dia kemudian juga mengundang 100 pemimpin perusahaan, komunitas dan serikat pekerja untuk bergabung dengannya dalam peningkatan keterampilan melalui TVET sebagai "duta besar" program tersebut.

Namun demikian, Sim menyadari adanya keraguan para pekerja untuk meningkatkan keterampilan karena mereka sudah lama tidak menempuh pendidikan. 

"Sangat mudah bagi kita untuk berbicara tentang pelatihan ulang, tetapi apakah kita tahu apa yang menjadi kekhawatiran para pekerja? ... Saya pikir kita harus mengatasi hal itu juga," tambahnya.

MENGATASI PENGANGGURAN TERSELUBUNG

Amirah Wan Usamah, peneliti di Khazanah Research Institute, mengatakan bahwa lembaganya tahun lalu menggelar studi mengenai perkembangan karier tenaga kerja terampil di Malaysia. 

Hasil studi itu menemukan bahwa lulusan TVET memiliki tingkat kelayakan kerja yang lebih tinggi dibandingkan lulusan non-TVET dalam beberapa tahun terakhir.

"Selain itu, ketika kita melihat lulusan TVET tingkat sarjana, ada proporsi yang jauh lebih tinggi dari mereka yang berpenghasilan di atas RM5.000 dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bukan lulusan TVET.

"Jadi, kita bisa melihat ada potensi yang cukup tinggi dari lulusan TVET, baik dalam hal kelayakan kerja maupun gaji."

Menurut Laporan Kemampuan Kerja Lulusan TVET tahun lalu itu, penempatan kerja untuk lulusan TVET meningkat dari 87 persen pada 2020 menjadi 94,5 persen pada 2023.

Sementara itu menurut Departemen Statistik Malaysia, dari 5,92 juta lulusan sarjana atau diploma pada 2022, sebanyak 3,7 persennya menganggur. 

Amirah mengatakan bahwa TVET memiliki "potensi besar dalam mengatasi paradoks keterampilan-terhadap-pekerjaan. Hal ini, kata dia, selaras dengan tren internasional saat ini yaitu memprioritaskan keterampilan teknis dan soft skill.

"Karena pasar tenaga kerja dan tuntutannya menjadi lebih dinamis, sebagian karena kemajuan teknologi, ada pergeseran perspektif dari 'titel apa yang Anda miliki', menjadi 'apa yang bisa Anda lakukan'," tambahnya.

"Ini adalah pola yang kita lihat secara global, sebuah gerakan menuju kredensial mikro dan sertifikasi terakreditasi yang terjadi di luar pendidikan tinggi. Semakin banyak pengakuan akan pentingnya pembelajaran seumur hidup dan kebutuhan untuk beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang terus berkembang."

Masalah utama yang menjadi inti dari paradoks keterampilan-terhadap-pekerjaan bukanlah kurangnya lulusan yang berkualitas, tetapi ketidaksesuaian antara keterampilan dari para lulusan dengan tuntutan spesifik dari kebanyakan industri, kata Oh dari INSAP.

"Hal ini sebagian disebabkan oleh dorongan untuk kuliah hanya karena ekspektasi masyarakat. Kebanyakan masyarakat Malaysia menganggap gelar sarjana adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan karier, sehingga status lulusan TVET dianggap lebih rendah dan tidak menjadi pendidikan alternatif," katanya.
 

Pekerja migran bekerja di lokasi konstruksi di Kuala Lumpur. (Foto: CNA/Fadza Ishak)

Ketidaksesuaian keterampilan dengan pekerjaan juga diperparah oleh kurangnya kompetensi bahasa dan teknis di antara para lulusan, kata Oh. 

Dia mengatakan, perusahaan-perusahaan di Malaysia yang melakukan bisnis lintas negara memprioritaskan kefasihan dalam bahasa Inggris dan bahasa kedua di samping keterampilan teknis praktis.

"Selain itu, banyak perusahaan melaporkan kesulitan dalam menemukan karyawan dengan kemampuan pemecahan masalah dan analitis, yang menunjukkan adanya kesenjangan dalam bagaimana program akademik mengembangkan keterampilan penting di tempat kerja," katanya.

Untuk mengatasi hal ini, Oh meminta pemerintah Malaysia untuk mempertimbangkan pembentukan gugus tugas multidisiplin yang terdiri dari perwakilan dari kementerian, industri, dan akademisi.

"Badan semacam itu dapat memastikan kurikulum akademis dan program pelatihan selaras dengan kebutuhan industri yang dinamis dan terus berubah, sembari memperbaiki kesenjangan yang diakibatkan oleh koordinasi antar kementerian yang tidak konsisten," tambahnya.

Kebutuhan industri saat ini bergerak sangat cepat, sementara proses untuk mendapatkan gelar dan menghasilkan lulusan di universitas cukup lama. Kenyataan ini, kata Amirah, menunjukkan bahwa pendidikan tinggi "selalu berada pada posisi yang kurang menguntungkan".

Ekonom Yeah menyarankan kerangka kerja untuk mempercepat program pendidikan dan pelatihan baru serta kurikulumnya. Salah satu caranya, kata dia, adalah bekerja sama dengan asosiasi perdagangan dan industri serta para pemimpin untuk mengatasi kekurangan keterampilan di bidang tertentu.

"Pemerintah juga dapat mempertimbangkan memberikan insentif fiskal kepada industri yang menghadapi kekurangan tenaga kerja untuk membantu universitas dalam merancang dan mengimplementasikan kurikulum pelatihan yang dibutuhkan," kata Yeah.

MENAIKKAN UPAH, MENCIPTAKAN PEKERJAAN BERGAJI TINGGI

Dalam mengatasi paradoks pendidikan-terhadap-pekerjaan yang ditandai dengan kurangnya pekerjaan bergaji tinggi, Yeah mengatakan pemerintah Malaysia perlu lebih gencar lagi dalam memikat investasi swasta di negara itu.

Menurut Amirah, Malaysia harus memprioritaskan untuk mempromosikan dan menarik investasi yang akan menciptakan peluang kerja berketerampilan tinggi dan upah yang tinggi. 

Selain itu, lanjut dia, Malaysia juga bisa mendukung para lulusan universitas - terutama juga lulusan TVET - untuk berwirausaha. Sehingga nantinya mereka tidak lagi dipandang sebagai pencari kerja, tetapi pencipta lapangan kerja berketerampilan tinggi.

"Pemberlakuan program kebijakan upah progresif di Malaysia tahun lalu merupakan langkah positif dalam mengatasi masalah struktural seputar pertumbuhan upah yang stagnan, terutama di antara pekerjaan-pekerjaan yang lebih teknis," ujarnya, mengacu pada paradoks upah-terhadap-pekerjaan.

"Karena program ini bersifat sukarela, dukungan dari industri sangat penting agar tujuan untuk mendorong pertumbuhan upah sekaligus meningkatkan produktivitas industri dapat tercapai."

Meski menteri SDM Malaysia, Sim, mengatakan upah progresif dan upah minimum "penting" untuk mengatasi ketiga paradoks ini, namun itu bukanlah solusi segalanya.

"Saya pribadi percaya jika ingin menciptakan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dan meningkatkan gaji, kita harus beralih dari model ekonomi 'beli murah, jual murah'," katanya.

"(Jika) Anda ingin membeli segala sesuatu dengan harga murah, Anda ingin disubsidi untuk berbagai kebutuhan, Anda ingin mempekerjakan tenaga kerja murah, maka Anda tidak akan pernah bisa berkembang."

Sim mengutip bagaimana Kerangka Kerja Ekonomi Madani dari pemerintah Malaysia bertujuan untuk meningkatkan ekonomi dengan meningkatkan standar.

Meningkatkan standar berarti menyuntikkan lebih banyak uang untuk membantu ekonomi bergerak naik ke rantai nilai, kata SIM. Malaysia tahun ini telah menganggarkan RM40 miliar untuk mendukung fasilitas pinjaman bagi usaha kecil dan menengah, dan tahun ini juga perusahaan investasi pemerintah telah menargetkan investasi domestik sebesar RM25 miliar.

"Meningkatkan standar juga berarti membantu masyarakat kita, misalnya untuk meningkatkan keterampilan, sehingga mereka dapat menghadapi tuntutan (ekonomi)," tambah Sim.

"Ini bukan hanya soal pengusaha perorangan, pekerja perorangan yang dibayar atau tidak dibayar, tetapi ini soal perekonomian yang tidak mampu menyediakan (pekerjaan bergaji tinggi) dalam 20 tahun terakhir. Jadi, kita harus melakukan konfigurasi ulang."

Ikuti Kuis CNA Memahami Asia dengan bergabung di saluran WhatsApp CNA IndonesiaMenangkan iPhone 15 serta hadiah menarik lainnya.

Source: CNA/da(ih)

Juga layak dibaca

Iklan
Iklan