Malaysia dikecam usai usulkan RUU yang dianggap berangus kebebasan berekspresi
Kelompok masyarakat sipil mengecam RUU yang dikhawatirkan akan membuat pemerintah Malaysia sewenang-wenang dalam memberangus kebebasan berpendapat di internet.
KUALA LUMPUR: Pemerintah Malaysia menuai kecaman dari kelompok masyarakat sipil dan para pakar setelah menggulirkan amandemen baru soal pengaturan internet dengan hukuman lebih berat bagi pelanggarnya. Banyak yang khawatir, amandemen ini adalah bagian dari upaya melegislasi kembali undang-undang "berita palsu".
Pada 2 Desember lalu, Menteri Komunikasi Malaysia Fahmi Fadzil mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Multimedia dan Komunikasi (CMA) ke parlemen.
Di antara perubahan yang diajukan adalah denda hingga RM1 juta (Rp3,3 miliar) dan penjara maksimal 10 tahun bagi pelanggar undang-undang tersebut. Denda dan hukuman ini jauh lebih berat dari sebelumnya, yaitu RM300.000 (Rp990 juta) dan ancaman penjara 3 tahun.
Menurut portal berita Scoop, ada 25 pelanggaran yang bisa dikenakan denda dan hukuman ini, dengan tambahan sembilan pelanggaran baru dalam RUU yang diajukan.
Misalnya, penyalahgunaan internet berdasarkan Pasal 233 dapat dikenakan denda sebesar RM500.000 (Rp1,65 miliar) dan penjara selama dua tahun, naik dari denda RM50.000 (Rp165 juta) dan penjara satu tahun.
Salah satu pelanggaran baru yang tercakup dalam RUU tersebut adalah denda RM500.000 dan penjara hingga lima tahun bagi pihak yang masih mengoperasikan layanan internet setelah lisensi kelas dicabut. Lisensi kelas adalah izin bagi operator layanan dan jaringan telekomunikasi untuk beroperasi di Malaysia.
RUU juga mencakup wewenang yang lebih besar bagi Komisi Multimedia dan Komunikasi Malaysia (MCMC) tanpa adanya pengawasan. Para pengkritik mengatakan, kondisi ini akan membuat MCMC bisa mengendalikan sensor di Malaysia.
Sebelumnya pemerintah Malaysia berdalih bahwa amandemen dan penambahan pasal dalam undang-undang lama diperlukan untuk memberantas konten online berbahaya, seperti judi dan penipuan, cyberbullying dan kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Rencananya pengajuan amandemen itu akan dibahas di parlemen Malaysia pada pekan ini.
Dr Benjamin Loh, dosen komunikasi dan media di Taylor's University, mengatakan pengajuan amandemen itu "mengerikan".
"Perubahan ini cukup mengerikan dan menjadi awal dari kembalinya kondisi yang lebih menindas dan melucuti kebebasan media dan kebebasan individu. Pemerintah akan memiliki kuasa untuk menghukum, mencari, dan mengawasi media dan masyarakat," kata dia kepada CNA.
Salah satu yang menjadi sorotan kelompok masyarakat sipil, seperti Article 19 dan Centre for Independent Journalism (CIJ), adalah Pasal 73A yang diajukan dalam RUU. Dalam pasal itu, MCMC dan petugas serta agen yang ditunjuk pemerintah berwenang memeriksa dan menyita informasi dari penyedia layanan telekomunikasi, tanpa memberikan perlindungan berarti bagi narasumber media.
Benjamin mengatakan, banyak pasal dalam amandemen yang tidak jelas dan memiliki multitafsir sehingga rawan disalahgunakan oleh pemerintah.
Article 19 dan CIJ juga mencermati Pasal 51A yang memberikan MCMC dan agen yang mereka tunjuk kekebalan hukum atas tindakannya yang dianggap memiliki "niatan baik".
"Hal ini akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan menciptakan celah akuntabilitas bagi pelanggaran HAM, memberikan kekebalan bagi pejabat publik," kata mereka dalam pernyataannya pada 3 Desember lalu.
"Lebih jauh lagi, kemungkinan investigasi sewenang-wenang tanpa akses pemulihan adalah pelanggaran proses hukum, peradilan yang adil, dan hak-hak untuk mendapatkan keadilan," tambah mereka.
Kedua kelompok masyarakat sipil ini juga mempertanyakan hukuman yang berat dalam amandemen tersebut.
"Tidak ada alasan rasional yang mendukung penambahan sanksi, atau tidak ada pembenaran yang jelas soal bagaimana menentukan besaran denda dan lamanya hukuman penjara," kata mereka.
Baca:
CNA telah mencoba menghubungi Menteri Komunikasi Malaysia Fahmi Fadzil untuk meminta komentar, namun belum mendapatkan balasan.
Pada 4 Desember lalu, Fahmi telah menerima memorandum dari kelompok aktivis dan jurnalis yang menentang amandemen terhadap Undang-Undang tentang Penerbitan dan Percetakan (PPPA), UU Pers, dan UU terkait lainnya.
Fahmi mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendengarkan para pemangku kepentingan dalam hal kebijakan ini.
"Kami ingin memastikan bahwa sejauh menyangkut amandemen undang-undang, (bahwa) kami ... mendengar dari sebanyak mungkin orang sehingga kami dapat mengambil pendekatan yang bijaksana dan seimbang di masa mendatang," ujarnya seperti dikutip oleh The Star.
PENGHAPUSAN KONTEN OLEH PEMERINTAH
Amandemen ini diusulkan setelah pemerintah mendorong rencana mengatur lebih ketat lagi perusahaan teknologi dan media sosial di Malaysia. Pemerintah kembali menerapkan skema lisensi tahunan untuk publikasi media dan menambah peraturan untuk media online.
Pada 27 Juli lalu, pemerintah mengumumkan bahwa semua media sosial dan platform berbagi pesan internet dengan setidaknya delapan juta pengguna wajib terdaftar dan harus mengajukan lisensi kelas mulai tahun 2025. Jika tidak mematuhi peraturan ini, ada hukuman yang menanti.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil mendesak Perdana Menteri Anwar Ibrahim memenuhi janjinya untuk meninjau kembali dan mencabut undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara.
"Bukannya mencabut, pemerintah malah memperkenalkan RUU yang lebih ketat lagi. Dalam beberapa tahun ini, pemerintah terus menyalahgunakan dan menjadikan CMA sebagai senjata untuk membatasi kebebasan berekspresi," ujar pernyataan bersama Article 19 dan CIJ.
Mereka mengatakan, rezim perizinan bagi perusahaan media sosial dalam CMA dan penerapan syarat ketat bagi penyedia layanan telekomunikasi dapat memberikan wewenang pemerintah untuk menghapus konten, sehingga merusak kebebasan berekspresi di internet.
"Kewajiban pendaftaran merupakan intervensi dari hak-hak kebebasan berekspresi," kata mereka.
MEMBANGKITKAN LEGISLASI SOAL BERITA PALSU
Pemerintah Anwar sebelumnya telah mengatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk mengatasi bahaya di internet, seperti berita palsu, penipuan dan kejahatan seksual.
Berdasarkan laporan DataReportal, terdapat 28,68 juta pengguna media sosial di Malaysia pada Januari 2024, atau sekitar 83,1 persen dari total populasi negara itu.
Namun kelompok HAM Lawyers for Liberty mengatakan amandemen yang diajukan bisa menjadi jalan belakang bangkitnya legislasi "berita palsu".
Sebelumnya pada 2018, pemerintahan Barisan Nasional pimpinan perdana menteri sebelumnya, Najib Razak, menerapkan Undang-undang Berita Palsu, tapi dibatalkan setahun kemudian.
Zaid Malek, direktur Lawyers for Liberty, pada 4 Desember lalu mengatakan pemerintah Anwar telah mengingkari janjinya, bahkan berencana menerapkan peraturan yang lebih ketat lagi.
"Hal ini bisa dilihat dari dimasukkannya penjelasan dari kata 'palsu' (dalam salah satu pasal), yang berarti konten atau informasi dianggap 'membingungkan' atau 'tidak lengkap' atau 'tidak benar' sehingga bisa dianggap pelanggaran dari Pasal 233(1)(a), dengan ancaman denda hingga RM500.000 atau penjara hingga dua tahun, jika amandemen yang diajukan disetujui," kata dia.
"Dimasukkannya kata 'membingungkan' dan 'tidak lengkap' dalam definisi berita palsu di sini telah memperluas cakupan pelanggaran. Hal ini akan menimbulkan ketakutan masyarakat dan mencegah mereka terlibat dalam mendiskusikan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Hal ini akan memberikan efek yang mengerikan bagi kebebasan berpendapat," ujar Zaid.
Artinya, kata Zaid, segala macam tuduhan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan atau kritikan secara umum terhadap pemerintah tidak boleh dilakukan kecuali masyarakat punya fakta menyeluruh dan penuh dari tuduhan tersebut.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil mendesak pemerintah Anwar menunda pembahasan rencana amandemen tersebut hingga dilakukan konsultasi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan.
"Malaysia memang bisa menerapkan berbagai pembatasan dengan dasar melindungi kepentingan yang sah, seperti keamanan nasional dan ketertiban umum, namun pembatasan itu harus dengan jelas dan berbasiskan bukti serta proporsional.
"Amandemen yang diajukan ini tidak memenuhi persyaratan tersebut dan merupakan langkah mundur dari perlindungan HAM di Malysia," ujar pernyataan Article 19 dan CIJ.
Ikuti saluran WhatsApp CNA Indonesia untuk dapatkan berita menarik lainnya.